SEHARI BERSAMA IBUKU
Dear Diary
Sabtu 30 Juli kemarin aku tiba2 diajak ibu kepasar Cibinong, bukan mall, tapi pasar tradisionil.
Apa ibu lupa kalau aku suka pingsan melihat orang banyak dengan bau macam2?
Aku belum sempat menolak, ibu sudah wanti2, “ Jangan bawa jarum kepasar ya, kamu sudah tua, jangan seperti anak kecil lagi sikapnya! Namanya juga dipasar yah wajar saja kalau kaki kita keinjak injak.”
Aku terperangah.
“ Jarum bu? Buat apa Ida bawa jarum?”
“Kamu kan kalau kepasar selalu bawa jarum buat nusukin orang2 yang injak kakimu kan?”
“Oh itu kan waktu Ida di SMA. Sekarang sih gak pernah lagi bu , sekarang sih paling orangnya Ida kejar dan balas injak lagi kakinya.”
“Gak usah kayak gitu. Sudah tua kok kelakuan gak berubah.” Kata ibu.
Rasanya mendung langsung menyergap hati, belum berangkat sudah diomeli ibu.
Membayangkan bakal berdesak2an dipasar sempit saja aku sudah trauma.
Oke lah, karena aku berusaha jadi anak yang berbakti, jadi anak yang sabar aku hanya bisa pasrah diomeli ibu.
Dear Diary
Saat mau berangkat, aku yang sudah rapi jali dengan memakai perlengkapan khas dengan pashmina melilit di leher, melihat ibu hanya memakai daster panjang dengan jilbab beda warna.
“Bu ke pasar jangan pakai daster dong, ini kan pasarnya besar, nanti kita dianggap gembel dan gak dilayani kalau pakaiannya seperti itu.” Aku langsung protes.
“Ah cuma ke pasar Cibinong kok. Gak ada yang kenal juga disana.” Ibuku menjawab enteng.
“Ida kan teman2nya banyak yang tinggal di Cibinong bu, nanti kalau ketemu gimana. Biar kita miskin jangan sampai ketahuan oranglah bu. Ida juga kan malu kalau disangka gak bisa bahagiain ibu.” Aku masih berusaha membujuk ibu dengan wajah memelas.
“Kayak temanmu banyak saja. Memangnya temanmu pada jualan dipasar.?!” Ibu tetap ngeyel.
“Yah siapa tahu nanti kita ketemu si Didi itu pacarnya Wiwik, atau kakaknya Alex teman Ida, kan malu bu kalau kita dekil.”
Mendengar nama Didi disebut sebut, apalagi nama Alex juga disebut, ibu buru2 ganti baju, dengan busana muslimah seperti orang yang mau pergi kondangan.
Tidak apa2lah, yang penting jangan pakai daster, lebih baik disangka pulang kondangan buatku.
Dear Diary
Saat naik angkot, karena ibu ingin duduk didepan supir akupun mengalah.
Baru kali ini aku bersyukur duduk dibelakang.
Sang supir menguarkan bau khas ketiak orang yang tidak mandi berhari2, dicampur bau kulit terbakar matahari siang.
Sambil menengok kebelakang ibu berbisik2 sambil menutupi mulutnya “ Supirnya mulutnya bau jengkol Da, ibu pengen muntah.”
Hah bau jengkol?
Bukannya aku yang barusan makan semur jengkol dirumah?
Ingin aku mendebat ibu, sayangnya sang supir menengok kearah kami.
“Ibu jangan deket2 mulutnya dong biar gak bau.” Ujarku berbisik juga, maksudku ingin meledek ibu awalnya.
Sayangnya kulihat ibu hanya cemberut, tak punya sense of humour nampaknya.
Pokoknya sepanjang perjalanan ibuku menutup hidung dengan sapu tangan ayah.
“Kok pakai sapu tangan ayah bu?” tanyaku penasaran.
“Biar ayahmu ingat ibu terus kalau sapu tangannya dipakai.” Jawab ibu.
Yah terserah ibulah, walaupun aku baru tahu dalil kalau kita memakai sapu tangan suami akan membuat suami ingat istrinya terus.
Logikaku sih bilang bahwa si suami pasti ingat karena sapu tangannya dipakai, bukan karena kangen.
Dear Diary
Di pasar, kami langsung ke toko mas Mutiara.
Belum2 kakiku sudah lemas melihat antrian panjang mengular berbentuk huruf U.
“Kita mau apa ke toko mas bu?” tanyaku heran sambil ikut mengantri.
“Ibu mau beli cincin. Lebaran kemarin kan ibu dapat uang lebaran dari anak2, uangnya gak terpakai, daripada nganggur mending ibu buat beli cincin lagi.”
Cincin?
Padahal rasanya ibuku memakai cincin disemua jarinya.
Mau dipakai dimana lagi?
“Kenapa gak ditabung saja sih bu, nanti hilang cincinnya. Kalau ibu perlu uang juga kan repot harus jual ke toko mas lagi.”
“Gak apa2 Da. Kalau dijual paling cuma ongkos pembuatannya yang hilang gak dihitung. Lagian kalau di tabungan nanti diambil ayahmu buat beli yang gak jelas.”
Cuaca panas, antrian panjang membuatku tak sanggup menasehati ibu.
Kalau ibu sudah bersikukuh, siapa diantara anak2nya yang berani mendebatnya?
1 jam lebih mengantri, ibupun akhirnya keluar dengan sumringah sambil mengacung2kan tangannya yang memakai tambahan cincin.
Ingin aku meledek ibu, ‘mirip Tessy Srimulat bu, jarinya pakai cincin semua’, tapi rasanya tak sanggup membuyarkan kebahagiaan ibu mengantri 1 jam lebih demi sebentuk cincin.
Dear Diary
Saat pulang dan ingin mengantri angkot, ibu wanti2 lagi, “ jangan pilih supir angkot yang bau jengkol ya?”, aku cuma bisa mengangguk.
Ternyata susah.
Hampir setiap supir yang pura2 kutanya jurusan baunya sama, bau jam 2 siang, bau orang yang belum diisi sesuap nasi.
Aku bisa maklum, jangan2 sang supir angkotpun merasakan hal yang sama denganku mengingat sudah jam 2 siang aku belum diisi makan siang.
Lagipula susah mendeteksi bau jengkol bila akupun penggemar jengkol yang baru makan jengkol.
“Bu, mending ibu yang pilih supirnya saja bu, kan ibu yang duduk didepan dekat supir, pilih sesuai selera ibu saja. Ida sih nurut ibu saja.” Usulku pada ibu.
Akhirnya ibu pilih angkot dengan supir anak muda yang berbadan kekar berambut panjang.
“Yang ini saja Da, ini mirip suaminya Wiwik yang pas ibu naik haji dia ikut antar dulu naik mikrolet. Kayaknya mulutnya gak bau deh.” Kata ibu memuji supir pilihannya.
Terserah ibu sajalah.
Yang jelas, didera terik matahari jam 2 siang, siapa sih yang masih harum baunya?
Aku yang memakai Channel no.5 disekujur tubuh saja masih merasa kewalahan, apalagi supir2 angkot itu.
Alhamdulilah, dalam perjalanan pulang kulihat ibu bahagia, bertanya macam2 kepada supir angkot tentang harga mobil, besarnya setoran dan lain2.
OMG, tinggal aku yang ketar ketir, jangan2 ibu mau minta dibelikan angkot.
Mudah2an bahagia dan keingin tahuan ibuku hanya karena bisa bersanding dengan pria kekar berambut panjang mirip bekas menantunya dulu.
“ Ibu jadi ingat suaminya Wiwik Da. Ibu lupa namanya. Itu dia kan suka lebay kalau manggil ibu ‘ mamah...mamah’ sambil duduk ngedeprok dilantai....”
Oh syukurlah, jawabku dalam hati, hanya dalam hati.
Kukira ibu tertarik dan akan minta dibelikan angkot.
Alhamdulilah...
Komentar
Posting Komentar