CERITA TENTANG 3 NENEK GENIT
Dear Diary,
Barusan pak Udin tukang bangunan favouritku datang, padahal aku sedang mau mandi.
Tanpa sadar aku menemui pak Udin hanya berkalung handuk.
Kami bicara tentang apa2 saja yg harus diperbaiki, berapa lama dan kapan dia bisà mulai kerja dirumahku.
Untuk pak Udin selalu ada kekecualian dan perlakuan khusus walau bau badannya minta ampun tapi karena dia satu2nya tukang yang mengena dihati, pendiam, jujur, kerjanya cepat dan selalu dirapihkan kembali setiap selesai kerja.
Aku selalu puas dengan hasilnya.
Sambil bicara sambil mencatat biaya2 yg diperkirakan akan keluar, hidungku mengendus2 udara, sebenarnya ini bauku atau bau pak Udin sih, aku kan belum mandi.
Saat selesai, anakku menegurku, " mamam gak sopan banget sih nemuin tamu pakai kalungan handuk gitu."
" Inikan buat nutupin dada mamam Van."
" Ya ampun mam, nemuin tamu gak pakai BH. Bajunya sobek2 lagi ya?!"
" Enggak kok, daster coklat ini belum sobek Van."
" Katanya mau insaf, baju muslim sdh ada banyak juga masih nemuin tamu pakai daster."
Tumben2an si bungsu nyinyir pagi2.
" Kan mamam lupa Van, tadi baru mau mandi di sms. Dia sudah 30 menit di pintu depan, kalau dia pulang lagi kan mamam yg rugi. Susah banget buat manggil pak Udin Van." Aku membela diri, karena aku memang lupa, kali ini aku tidak bohong.
" Lagian pak Udin juga gak tahu mamam gak pakai daleman kan ditutupi handuk."
" Mamam ! Jadi mamam tadi gak pakai apa2? Pak Udin itu laki2 mam. Baru 37 tahun. "
" Ya gak mungkinlah pak Udin naksir nenek2 Van. Lagian mamam kan seleranya tinggi, masak sama tukang sih?" Aku tentu saja membela diri.
"Eh tapi kok Vani tahu pak Udin baru 37 tahun umurnya?" Tanyaku penasaran.
" Ya tahulah, kan mamam ngobrolnya didepan kamarku, kencang lagi. Ngapain sih pakai nanya2 umur segala mam? Ganjen banget sih?"
Waduh.
Pagi ini sudah 4 orang yang bilang aku ganjen.
" Mamam juga gak tahu kenapa mamam nanya2 umur ya? " aku juga bingung.
Kan gak ada hubungannya warna cat rumahku dengan umurnya pak Udin?
" Makanya kalau bicara jangan kebanyakan basa basi mam. Mamam sih kebanyakan prolognya jadi akhirnya yang inti malah lupa. Bicara to the point aja. Kalau mamam bicara ngalor ngidul begini kan mamam jadi sama dengan Jokowi."
Mataku mendelik disamakan dengan jokowi.
Tapi kayaknya anakku gak peduli mataku sudah hampir keluar dari rongganya.
Dia malah meneruskan ceramahnya.
" Terus itu daster yg sudah sobek2 dijadikan lap saja mam, nanti mamam lupa dipake lagi deh. Sayang kan mamam sudah belajar pakai baju muslim cuma gara2 pak Udin jadi gagal lagi. Mudah2an kalau Vani sudah setua mamam Vani gak pelupa kayak mamam ah. Horor banget bayanginnya."
Bicara to the point?
Bukannya aku biasa bicara dengan tegas ?
Terus dimana mirip2nya sih aku dengan Jokowi ?
Aku kan gak suka ngibul kecuali terpaksa.
Masak bicara basa basi = ngibul ?
Dear diary,
Dibilang genit oleh si bungsu rasanya sesuatu banget.
Pantas selama ini kalau ada cowok anakku bukannya lihatin itu cowok tapi malah melihat kearahku.
Ya Allah nak, ibumu punya selera nak.
Bagi kaum wanita apalagi yang semahir ibumu, lips service itu diperlukan dalam pergaulan.
Jatuh cinta?
Ya ampun, gak banget deh anakku.
Bisa2 ibu cuma jadi alas kasur saking empuknya, bukan karena saking disayang.
Kadang kita tidak bisa memberi apa2 nak.
Kadang orang itu juga tidak perlu bantuan apa2 dari kita, mereka hanya perlu sekedar kata2 dukungan, penyemangat saja nak.
Ibumu merasa betapa indahnya dukungan dari teman ibu, Maureen saat ibu terpuruk dulu.
Bukan uang, dan belum tentu uang, mana ada sih Mauren kasih uang dia kan pelit, tapi cukup kata2 dukungan.
Itulah yang dinamakan persahabatan.
Itu bukan karena ibumu genit, tapi menjalin hubungan.
Dear Diary,
Sebetulnya orang pertama yang bilang aku ganjen pagi ini adalah kedua sahabatku, Nana dan Niyang.
Saat dibilang ganjen oleh Nana aku masih kalem2 saja.
Iya juga sih, aku merasa memang lebih ganjen dibanding Nana.
Kalau aku mengagumi terang2an sambil jual mahal, kalau nana malah pura2 cuek, padahal matanya terus mengikuti subyek targetnya.
Saat kami jalan mencari asinan Bogor di jalan Surya Kencana, aku bolak balik menariknya agar berjalan lurus ke depan.
Gaya jalan Nana mirip mantan sahabatku Ardiyanto, selalu miring kearah trotoar dan langsung mendatangi subyek targetnya.
Okelah...aku lebih ganjen.
Tapi saat Niyang juga ikut2an bilang aku ganjen, jiwa ku yg menyukai kejujuran berontak.
Mana ada sih gue lebih ganjen dari Niyang?
Bisa2 bumi ini dibilang segi empat datar dan bukannya bulat.
Rasanya baru kemarin saat supir Crab Car, pak Ucu dengan terharu bilang bahwa keramahan Niyang mengingatkannya pada mantan istrinya.
" Mantan istri bapak memangnya kecil juga badannya?"
" Enggak bu, tinggi besar kayak ibu."
Lha terus ngapain dia bilang Niyang bilang mirip istrinya ?
Memang sih percakapan selama di mobil antara Niyang dan pak Ucu itu lebih mirip percakapan suami istri, lengkap dengan omelan2 dan arahan2nya.
Aku dan nana saat itu hanya jadi penonton.
Dear Diary, kalau saja ada anakku, akan kuberi tahu dia bahwa sikap seperti Niyang inilah yang ganjen bukan seperti aku.
Bukan, bukan aku yang genit kok, Niyang yang genit..
Komentar
Posting Komentar