AKU DAN ALMARHUMAH MAMAH
Dear Diary,
Seminggu yll Mamah, adik ibuku meninggal dunia jam 7 pagi dan langsung dimakamkan selepas dhuhur.
Mamah, demikian aku biasa memanggilnya sedari kecil adalah ibu kedua bagiku, karena saat kecil dulu ibuku bekerja dan jarang dirumah.
Sehari2 aku diurus mbah dan Mamah, sehingga aku ikut2an memanggil Mamah spt anak2nya.
Mamah adik kedua ibuku.
Mereka 3 bersaudara, ibu, Mamah dan yg ke 3 mbak Nani, aku biasa memanggil spt itu. Bukan bule atau tante.
Diantara ketiga bersaudara itu cuma Mamah yg paling lembut, tidak pernah marah dan gampang dibohongi.
Itu kesanku.
Dear Diary,
Dulu saat usiaku masih 6 tahunan, aku slalu iri kl lihat Mamah menyuapi anak2nya.
Aku ingat, aku ingin ibu seperti dia.
Tidak berkuku panjang seperti ibuku. Dalam bayanganku jika Mamah sampai mencubitku pasti tidak akan sakit dan berbekas krn tidak berkuku panjang.
Hampir 5 tahun kami, aku dan keluargaku yg terdiri dr bapak, ibu dan 2 adikku hidup menumpang pada Mamah krn bapak dipecat dr perusahaan tempatnya bekerja di pabrik baja Cilegon sebagai kepala bagian keuangan.
Hidup menumpang itu tidak nyaman.
Walau masih kecil aku sudah tahu diri bahwa kami cuma menumpang, jadi aku berusaha bertindak sebaik2nya menjadi kakak bagi adik2ku dan keponakanku.
Untuk menambah pemasukan, ibu dan Mamah membuat kue2 untuk dijual dipasar atau dijual keliling.
Dulu mbah ku, aku memanggilnya mbah Pon karena dia lahir hari pasaran Pon, padahal namanya Sutiyati, suka membuat kue kamir, warnanya kuning bulat, yg dijual dipasar pramuka dipinggir jalan.
Jam 3 atau jam 4 pagi aku sudah dibangunkan mbah Pon untuk berangkat jualan dipasar.
Kalau kesiangan biasanya kue2 mbah Pon tidak laku kr pembeli selalu datang pagi2. Jarak dari kampung Jawa di Johar Baru menuju pasar Pramuka rasanya bukan jarak yg jauh buat kaki kecilku.
Aku suka menemani mbah Pon berjualan karena sepanjang jalan aku akan melewati rumah2 bagus dengan mobil2 bagus, dan aku bisa berkhayal menjadi putri pemilik rumah, bukan penjual kue kamir.
Kadang kl tidak ikut mbah Pon jualan aku ikut jualan kue2 diatas tampah dg pedagang keliling yg menjual kue2 buatan ibu dan mbah Pon.
Pernah saat aku sedang jualan dan bertemu teman sekolahku di SD Johar Baru, aku diledek oleh mereka dan dikata2i dengan ucapan " ida miskin yeee...tukang kue yeee...." Aku tak pernah menangis.
Betapa anehnya, kl sekarang aku jd wanita paling cengeng, melihat drama Korea saja aki bisa menangis berhari hari.
Dulu pernah saat menemani berjualan kue ditampah, aku ditimpuki batu sampai luka oleh mereka, tak pernah aku menangis atau mengadu pada orang tuaku atau pada Mamah yg akan slalu mau mendengarku.
Terakhir aku dilarang berjualan kr laporan si penjual kue yg mengadu pada ibu atau mungkin pd mbah Pon, bahwa aku diledek anak2 sekolah.
Sampai sekarang aku ingat namanya.
Dia Yani, anak seorang tentara dkampung Jawa, teman sekelasku.
Saat perpisahan datang dan tiba2 Mamah dan keluarganya pergi dari rumah, saat itulah aku menangis sejadi2nya, karena aku takut tidak bisa makan bulgur, atau makan nasi lagi Dar Diary.
Bertahun2 kemudian aku tak bertemu Mamah lagi kr aku pindah ke Serang, saatnya aku bertemu Mamah, dia bukan lagi Mamah yg dulu, dia tidak bisa lagi jadi ibu keduaku.
Perpisahan bertahun2 dg Mamah membuat batas tak terlihat dengan Mamah.
Dia sibuk dg keluarganya dan kegiatan2 lain, dan aku cuma keponakan yg baru bertemu lagi.
Rasanya sejak itu aku mulai mempunyai sikap aneh, tidak percaya dg adanya kasih sayang. Bapak menyayangiku, tapi akhirnya dia pergi. Ibu katanya menyayangiku tapi aku slalu menjadi orang yg tersakiti kr wajahku mirip bapak dan ibu membencinya, membenci wajahku bila ibu sedang marah.
Mamah menyayangiku dan dia pergi diam2 saat aku tidak ada.
Tidak ada yang sungguh2 menyayangiku sampai akhir.
Dear Diary,
Karena ini cerita tentang Mamah, ingatkan aku ya Dear Diary untuk hanya bercerita tentang Mamah saja.
Saat itu keadaan sudah menjadi lebih baik, Mamah menikah lagi dengan Papi, chinese muslim yg baik dan....ya Tuhan, aku menyayanginya.
Aku melihat ketulusan dimata Papi, suami Mamah yg baru, kasih sayang yg tidak dibuat buat.
Tapi ternyata semua kebahagiaan ini hanya sementara.
Papi meninggal, yg bahkan tidak kuhadiri pemakamannya, dan sekarang Mamah juga meninggal.
Saat Mamah sakit, ibu berkali2 mendesakku agar bezuk, bahkan menyuruh adikku menjemputku saat aku beralasan tidak ada yg antar.
Bukan aku tidak mau, aku takut akhirnya Mamah akan meninggal kr kehadiranku.
Saat aku lihat Mamah terakhir kali, kulihat mata Mamah sdh berkabut dan tidak ada bayangannya, tapi kesadarannya masih ada, dia masih mengenaliku.
Aku bahkan sempat meledek Mamah saat dia bilang dia ingat bahwa aku Ida.
Aku bilang " Ida siapa mah? Mamah salah kali."
Mamah bilang "iya kowe Ida, anaknya mbak Nar yg tinggal di Sentul."
Tapi sayang bibir Mamah pecah2 dan ucapannya yg pelo membuat kami susah berkomunikasi.
Saat aku tanya adakah yg Mamah inginkan, Mamah cuma bilang, sudah cukup, dia tidak ingin apa2 lagi.
Sayang keberadaan cucuku ditempat parkir mobil menungguku membuat aku terburu2. Aku masih ingin bertanya pada Mamah, kenapa dulu Mamah pergi?
Kenapa aku tidak dibawa?
Apakah dia pernah ingat aku?
Sayangnya aku tidak sempat bertanya2.
Yang masih sempat kusyukuri adalah krn aku sempat membalas kebaikan Mamah, membawa Mamah ke tanah kelahirannya di Solo, sekedar jalan2 atau sekedar kondangan di rumah oom Darmoko di solo, dan membuat Mamah ingat Tuhan dengan membawanya umroh.
Kebaikan Mamah memang tak bisa diukur dg uang, tapi setidaknya aku sudah berusaha membalasnya, kr aku tidak ingin berhutang budi yg akan kubawa mati.
Aku tidak mau itu.....
Selamat jalan Mamah...
Komentar
Posting Komentar