HARI KE 25 RAMADHAN: CERITA TENTANG LISDA...

Dear Diary,
Sudah 2 hari ini aku kedatangan tamu anak yatim bernama Lisda.
Dia cucu mantan tukang urut langgananku, mak Indun.
Sudah sejak lama aku tidak langganan urut dengan mak Indun lagi demi menghindari dosa, soalnya mak Indun itu seperti Lambe Turah, gemar bergosip.
Awalnya sih aku suka dapat masukan informasi tanpa perlu keliling kampung, tapi lama2 aku terganggu, soalnya kalau diurut kan enaknya kita tidur atau paling tidak merem melek keenakan bukannya merem melek membayangkan janda di ujung kampung yang ketangkap basah sedang indehoy cuma tinggal celana dalam motip Micky Mouse saja.
Kalau cerita mak Indun memang detil banget, masak sampai celana dalamnya saja dia tahu.
“ Itu bu haji, si perempuannya sudah buka baju, tinggal celana dalam saja yang belum. Celana dalamnya kayaknya punya anaknya deh, soalnya motif anak2 bu haji, itu yang di film kartun yang tikus telinganya panjang yang pacarnya pakai baju tikus totol2 warna pink.”
Berarti dia tahu itu motif Micky Mouse cuma gak tahu namanya saja.
Teliti bukan  ?!
Jadi ceritanya aku putus hubungan dengan si mak Indun ini walau hubungan finansial tetap berlangsung.
Ada sesuatu yang tidak bisa terputus begitu saja, karena aku tak sanggup memutusnya.
Dia punya cucu, anak yatim, namanya Lisda.
Pernah dulu dia datang kerumah dan kutawari agar tinggal dirumahku dan kubiayai, tapi Lisda menolaknya.
Tiga bulan setelah Dini tinggal dirumahku, mak Indun datang mengatakan bahwa cucunya berubah pikiran dan ingin tinggal dirumahku.
Tentu saja aku menolaknya karena dengan uang pensiunku yang dibawah UMR ini ku tak mungkin membiayai tambahan sekolah 1orang lagi.

Dear Diary,
Saat kulihat anak ini aku tak sengaja menyebut asma Allah.
Anaknya lumayan manis, kalau dilihat2 mirip Rina Nose, tapi kulitnya sehitam arang.
Asgafirulohaladzim, rasanya dia dulu tidak sehitam itu.
Sebagai seorang pemerhati lingkungan aku tentu saja penasaran.
“ Ya ampun Lisda, kok sekarang hitam sih kulitnya, eh bukan hitam, hitam banget malahan. Kamu ngapain aja bisa sampai hitam begini Lisda?” tanyaku saat menunggu buka puasa di resto Pan and Flip di mall CCM.
“ Lisda kan jalannya jauh bu kalau pergi dan pulang sekolah. Gak ada angkot, adanya ojek.”
“ Kenapa gak naik ojek ?” pertanyaan bodoh tanpa sadar kuajukan walau sudah tahu jawabnya.
“ Naik ojek sekali jalan 10 ribu bu, Lisda cuma dikasih 5 ribu sama mama. “
Wuih keren juga nih anak manggil mama, anak2ku saja yang borjuis manggilnya ibu, baru 5 tahun terakhir saja mereka memanggilku mamam, bukan mama.
“ Memangnya sejauh apa jarak dari rumah ke sekolahnya ? Kalau kamu dari rumah jam berapa berangkatnya, sampai sekolah jam berapa ? “ aku yakin kalau ditanya ukuran kilometer dia gak akan tahu soalnya.
“ Kalau Lisda biasa berangkat jam 6 sampai sekolah jam 7 kurang, kadang jam 7 kalau pas hujan karena jalanannya becek.”
2 jam tiap hari pulang pergi terkena matahari ya wajarlah kalau jadi gosong begitu.
“Ya sudahlah, kamu prihatin saja kan sudah kelas 2 tinggal setahun lagi, makanya kalau belajar yang rajin, dulu kamu malas sih makanya gak keterima di SMP negeri. Mulai sekarang belajarnya yang rajin Lisda, nanti kalau keterima di swasta kan mahal. Nenek gak mungkin bisa bayar, kalau di negeri kan gak mahal. Pulang sekolah daripada main mending kamu belajar lagi mengulang pelajaran yang tadi sekalian persiapan buat besok.“ seperti biasa aku sok bijak menasehati.
“ Lisda kalau belajar paling malam bu, kalau siang kan bantu mama masak dan nyuci baju.”
“ Mana ada sih nyuci baju siang kan gak kering ?” aku sih pakai logika karena memang tidak mungkin cuci baju siang2.
“ Kan Lisda tugasnya nyuci baju, sama beresin rumah. Kalau Lisda nyucinya pagi, gak sempat, Lisda sudah coba beberapa kali ternyata Lisda jadi telat sampai sekolah. Jadi Lisda cucinya pulang sekolah. “
“ Kalau yang masak siapa ?”
“ Kadang2 mama tapi kalau Lisda pulang mama belum masak yang masak Lisda.”
“ Terus mama kamu kerjanya apa saja ?”
“ Mama tugasnya jaga adik, kan ada adik yang masih kecil.”
“ Mama kamu galak gak ? Galakan mana sama ibu ? Coba tanya mbak Dini deh, ibu kan galak.”
Dia diam saja saat kutanya seperti itu, matanya kosong menerawang.
Belakangan dari Dini aku tahu bahwa ibunya sudah menikah lagi dengan buruh bangunan dan mempunyai 2 anak.
Kalau marah ibunya sering menampar mukanya sambil teriak2 histeris katanya “ kenapa gak mati ikut bapakmu saja sih ! Sudah hitam, jelek !”
Waduh kok ceritanya mirip kisahku sih, sering ditampar ibu tanpa sebab karena wajahku benar2 mirip bapak.
Cuma untungnya aku tidak pernah dibilang hitam dan jelek.
Katanya Dini, kalau aku kirim2 pakaian atau mukena untuk Lisda, itu langsung diambil ibunya, makanya mak Indun kalau mau kasih apa2 selalu ngumpet2 dikamar. Kemarin juga saat dikirimin mukena baru dan sajadah langsung diambil ibunya.
Untung saja ibunya gemuk jadi kaos2 yang besar2 biasanya diambil buat suaminya tapi kalau baju perempuan aman2 saja karena tidak muat.
Aku rasanya ingin merengkuhnya dan mengajaknya tinggal bersamaku.
Aku memang gampang kasihan.
Satu lagi anak yang tersia2 selain Dini, pikirku.

Dear Diary,
Seperti biasa si bungsu saat mendengar rencanaku itu apatis.
“ Pikir2 dulu mam, mamam kan sering banget ketipu. Dulu juga mamam sering ditipu sama sales2 mamam kan ? Padahal kan mamam katanya canggih, bisa “lihat” orang.” Kata si bungsu.
“ Menurut mamam sih ini anak gak bohong deh Van.”
“ Mamam kan baru ketemu 2 kali dan baru ngobrol sekali, mamam belum tahu kebenaran ceritanya. Lagian kan mamam cuma pensiunan, Vani bulan Juli ini sudah tinggal sama mamam, kan itu pengeluaran mamam berarti tambah. Biasa mamam gak masak jadi harus masak, biasa masak seliter jadi 2 liter. Belum ongkos sekolah Lisda, berarti mamam minimal harus bayar 20 ribu buat ongkos ojek pulang pergi. Jangan ikutin emosi deh mam, ini kan menyangkut nasib anak orang.” Seperti biasa si bungsu menjadi benteng terakhir yang menjaga kewarasanku.
“ Jadi gimana Van? Mamam kasihan lihatnya, lihat dia seperti lihat diri mamam dulu.”
“ Ya sudahlah, seperti biasa saja, kalau ada lebih ya dilebihkan kasihnya, kasih baju dan sepatu yang ukuran kecil2 saja. Vani bukannya melarang mamam, tapi coba mamam bulan agustus, sebulan setelah Vani ikut mamam lagi mamam hitung2an pengeluaran mamam, bisa gak tambah biayain 1 anak lagi. Mamam juga harus nabung karena tahun depannya Lisda kan masuk SMA. Mamam itu orang bank yang gak pernah tahu caranya menghitung uang. Menurut Vani mamam itu langka, orang Aneh.”
“ Ya sudah nanti malam mamam hitung2an estimasi pengeluaran kalau Vani sudah ikut mamam kan, kan bisa dibayangkan apa2 saja biayanya. “
“ Nanti saja hitung2annya bulan Agustus saja, real sama estimasi mamam kan jauh banget selisihnya, biasanya juga nombok2 melulu, gak pernah gak nombok.”
Kupandangi wajah si bungsu, wajah menyebalkan yang kusayang.
Omongannya memang menyakitkan tapi membumi dan membuatku sadar.
Yah terpaksa kutunda dululah proyek Lisda ini.
Benar omongan si bungsu bahwa aku kerap bahkan tak tahu isi dompetku, kukira uangku banyak gak tahunya cuma terisi lembaran2 bergambar pahlawan Pattimura.

Dear Diary,
Kutemukan juga fakta mengejutkan tentang sikap Lisda yang mungkin tak akan pernah cocok denganku yang otoriter dan tidak mau ditolak.
“ Din...duduknya deketan Lisda Din, biar ibu photo buat kenang2an.”
“ Gak mau ah di photo “ kata Lisda sambil cemberut dan duduk menjauh.
Yee....untung aku belum bilang apa2 soal keputusanku memungutnya.
Biarlah, mungkin dia khawatir wajahnya tak muncul di kamera karena gelap.
“ Ayo makannya dihabisin Lisda, pamali. Tuh mbak Dini sudah kekenyangan juga tetap dipaksa habiskan makanan.”
“ Gak mau ah, sudah kenyang.” Katanya bersikukuh sambil menyingkirkan piring makannya.
Padahal kulihat dipiringnya masih tersisa setengah porsi chicken Katsu, kan sayang makanan mahal2 dibeli gak dihabiskan.
Emosiku mulai bangkit melihat pembangkangannya.
“ Lisda, ibu gak suka kalau beli makanan tidak dihabiskan. Kamu yang pilih makanan itu, harus dihabiskan. Disekitar kita masih banyak orang yang gak bisa makan nasi kita malah buang2 makanan. Ibu gak akan pernah ajak makan kamu lagi kalau gak dihabiskan makanannya. Tanya mbak Dini kalau gak percaya, kalau ibu sudah bilang A ibu gak akan berubah jadi B.”
Kusodorkan kembali piring makannya.
Sambil cemberut Lisda menghabiskan chicken katsunya.
“ Memangnya chicken katsunya gak enak Din? ” tanyaku.
“ Enak kok bu. Ini Dini habis. “ jawab Dini.
Akhirnya pelan2 Lisda memang menghabiskan makanannya walau dengan wajah cemberut.
Benar2 ingin teriak melihat orang makan dengan terpaksa dan wajah cemberut.
Ini sudah cukup buatku, aku tak ingin dicemberuti tanpa sebab Dear Diary.

Dear Diary,
Tadi jam 12.30 sesudah sholat dhuhur kusuruh Dini mengajak Lisda dan keponakanku si Kerung untuk nonton film The Mummy di mall Cibinong Square.
Biarlah ini menjadi kenangan buat Lisda.
Sudah bulat keputusanku.
Lisda ujian kesabaran buatku padahal baru 2 hari menginap dirumahku.
Tidak, aku tak bisa memelihara anak yatim dirumahku.
Terlalu berat.
Dengan sikapku yang pemarah dan tidak suka dibantah, memelihara anak yatim malah akan membuat sang anak terpasung kemarahanku, sementara dosaku malah bertambah banyak karena akan sering marah.
Tidak, aku tak sanggup.
Aku salut pada mereka yang bisa memelihara anak yatim dirumahnya.
Mereka hebat menurutku.
Bukan cuma 1 atau 2 orang yang bilang bahwa memelihara anak yatim itu adalah berat.
Akan kukatakan pada mak Indun bahwa aku tak bisa memelihara Lisda.
Aku bukan malaikat.
Aku hanya seorang pensiunan pemarah yang berusaha untuk menjadi wanita normal, wanita sabar dan penuh pengertian.
Biarlah keadaan seperti semula, memantaunya dari jauh saja.
Sumpah Dear Diary, aku ini penjahat, bukan malaikat !

Komentar

Postingan Populer