HIDUP ITU SAWANG SINAWANG.....
Banyak orang melihat hidupku bahagia dan berkecukupan.
Bisa ke mall setiap saat dan pergi kemana aku mau.
Tapi sayangnya orang hanya melihat apa yang ingin dia lihat.
Pergi ke mall setiap hari itu enak?
Tidak.
Kalau mau jujur malah seperti ibu2 kurang kerjaan, seperti anak hilang atau malah seperti tante2 girang kesepian.
Pergi ke mall untuk apapun sebaiknya tidak sendirian.
Percayalah.
Sebaiknya pergi bertiga, jangan berdua.
Dengan maraknya LGBT jalan berdua2 dengan sesama wanita, mojok berdua sambil bisik2 dan ketawa cekikikan pasti akan dicurigai LGBT.
Siapa bilang LGBT tidak ada yg tua?
Tetanggaku bu Juned bilang enak karena bisa belanja apa saja tanpa ada suami yang melarang.
Percayalah, lebih enak ada suami yang melarang agar pengeluaran tidak bebas lepas.
Kadang sehabis belanja aku tercenung, bukankah baju yg dulu kubelipun belum sempat kupakai karena jarangnya acara yg dihadiri?
Saat menaruh buku baru, sering kudapati judul yg sama sudah kubeli.
Betapa berartinya larangan stop belanja dari suami, yang sayangnya baru kusadari saat ini.
Teman2ku saat datang kerumah selalu bilang rumahku enak dan luas.
Tetanggaku malah bilang aku katanya pintar menata rumah sehingga indah.
Saat mereka pulang, sering aku memandang sekeliling rumah dan bertanya dalam hati "indah"?
Indah darimana ukurannya?
Bukankah ini penghinaan terselubung?
Apakah mereka sebetulnya ingin bilang rumahku indah seperti markas Golkar karena warna cat rumahku sewarna kuning Golkar ?
Saat mereka memuji pot bunga saljuku aku malah serasa ingin menangis.
Buatku ini seperti penghinaan terselubung banget.
Tahukah mereka bahwa pot itu pot pecah yg kusambung kembali dg lem, yg untuk menutupi retakannya terpaksa kututup dengan cat putih dan kulumuri dengan pasir bekas pipis kucingku agar kelihatan artistik?
Tahukah mereka bahwa pohon salju itu sebetulnya adalah pohon bambuku yang mati dan kucat putih lalu kulumuri kapas?
Indah?
Terbata2 aku menerangkan proses pembuatan pot saljuku.
Ingin aku menjerit kuat2 bahwa aku membuatnya karena aku tak ingin membuang2 barang yang pernah berarti buatku, serusak apapun, dan betapa aku ingin melihat salju dan memegangnya tapi tak akan pernah mampu.
Bukan, bukan karena tak ada biaya tapi karena aku asma akut......yang tak tahan udara dingin dan akan berbunyi ngik ngok bila kedinginan.
Aku tak tahu apakah itu hinaan atau pujian, karena terlalu seringnya orang2 sekelilingku berpura2 baik.
Kinibaku tak tahu lagi yang mana kenyataan yang mana ilusi.
Betapa aku rindu rumah kecilku di Beji Timur, Depok dulu.
Rumah ukuran 200 m itu begitu mungil, penuh dengan tanaman suplir.
Betapa mudahnya aku memanggil anak2 karena kecilnya rumahku.
Aku tak perlu susah payah membersihkannya, tak perlu lelah mengejar anak2.
Saat ini memanggil anak2pun aku tak mampu lagi terdengar.
Biasanya aku pakai Line atau WA saat memanggil anak2ku.
"Van kekamar mamam ya sekalian bawa minum."
Membersihkan rumahpun perlu setengah hari belum tentu selesai karena aku keburu pegal2.
Ya Tuhan, betapa aku rindu rumah kecilku dulu...
Menghadapi pujian atau hinaan terselubung, entahlah aku tak yakin yang mana, awalnya selalu kuhadapi dengan rendah hati.
Kuceritakan apa adanya.
Bahwa biaya perawatan rumah tua seperti ini mahal, lebih bagus rumah mereka karena praktis merawatnya.
Kadang aku bilang bahwa ide2 yg mereka bilang kreatif itu kebetulan ada karena aku pelit dan tidak bisa membeli yang baru.
Sayangnya tak ada yang percaya.
Akhir2 ini kepada pemuji2 itu aku ganti taktik dengan pengalihan masalah.
Yah mirip2 jokowi setiap mau mengeluarkan keputusan aneh dan bodoh.
Aku bilang bahwa rumah temanku Tati lebih gila lagi luasnya.
4 tanah kapling dijadikan satu, entah berapa ribu meter luas rumahnya.
Rumah temanku Utik juga gila.
Pintu dan jendelanya berlapis emas murni.
Dan mereka langsung terkesima dan shock membayangkan seperti apa rumah2nya Tati dan Utik.
Sejujurnya sih aku tidak pernah masuk rumah Tati apalagi Utik, cuma melihat dari luar saja.
Tapi aku bisa membayangkan kemewahan didalamnya.
Sekarang aku tidak direpotkan pertanyaan tentang trik2 menata rumah lagi.
Lha apa yg ditata, aku kan cuma sekedar mengisi ruang kosong dirumah dengan barang2 tua dan bekas.
Sekarang aku malah direpotkan dengan pertanyaan2 kepo seperti "teman ibu yang bu Tati itu yang waktu itu sunatan masal ya? Yg orangnya kecil putih kan?"
Aku sempat bingung sebelum menjawab pertanyaan2 seperti itu.
Tati itu putih atau gak ya?
Atau "bu Tati nulis apa di FB hari ini bu. Pasti lagi jalan2 lagi ya bu? Kok.jalan2 melulu bu kerjanya kapan ya kan notaris ya bu ?"
Benar2 pertanyaan yg memerlukan kesabaran dalam menjawabnya.
Pertanyaan tentang Utik lain lagi.
"Teman ibu yang namanya bu Utik itu cantik juga ya bu?"
Mungkin ukuran cantik menurut tetanggaku adalah wajah Tati atau wajahku mungkin.
Kalau ukuran kecantikan itu wajah Tati atau wajahku, aku dengan gampang menjawab "ya cantik lah bu.
" Alhamdulilah teman saya cantik2 bu."
Pertanyaan2 selanjutnya betul2 memerlukan pulsa dan menghabiskan kuota internetku karena tetanggaku ramai2 bertanya "ada photonya bu Utik? Penasaran saya bu, rumahnya kok sampai dilapisi emas."
Ya Allah nih orang, padahal kan aku cuma asal cuap.
Aku gak tahu dilapisi emas atau tidak tapi yang pasti mewah untuk ukuranku.
Akupun menghabiskan bermenit2 mencari wajah Utik di FB.
Dan puaslah mereka karena telah melihat wajahnya disebelah sang cucu.
Aku menyesal menyebut2 rumah Tati dan Utik sesungguhnya.
Sangat menyesal bahkan.
Aku cuma ingin mengalihkan perhatian dan membuka mata tetangga2ku bahwa yang namanya rumah mewah dan luas itu adalah rumah Tati atau Utik.
Rumahku cuma rumah tua murahan yg baru direhab.
Yang saat hujan selalu kukhawatirkan bocor disana sini atau terkena longsor karena nerada didepan jurang.
Kemalasanku menjawab malah menjadi bumerang buatku karena akhirnya aku harus menerangkan betapa kayanya teman2ku itu.
Aku lupa bahwa aku sekarang tinggal didesa, dikelilingi oleh orang2 yang haus informasi, dan tidak pernah melihat kemewahan kecuali di TV.
Katanya aku pandai bercerita, kalau aku yang cerita seolah2 mereka melihatnya dari membayangkan ceritaku saja.
Katanya, cerita2ku memberikan mimpi pada mereka bahwa orang kaya itu ada didunia nyata bukan cuma ada di sinetron TV.
Maafkan aku Tati,
Maafkan aku Utik.
Aku terpaksa menyebut nama kalian, karena memang cuma kalian yang kutahu berumah luas dan mewah.
Pergaulanku terbatas dan tak pernah kemana2.
Cuma nama kalian yang kuingat untuk memenuhi mimpi tetangga2ku.
Kadang terenyuh juga aku melihat keadaan ini.
Tapi beginilah hidup.
Orang2 mengeluh rumahnya sempit karenà kecil.
Sementara orang yg berumah luas mungkin malah mendambakan rumah yang kecil saja kr praktis mengurusnya.
Hidup itu memang sawang sinawang kata orang2 Jawa.
Seperti melihat pelangi.
Dari kejauhan selalu indah.
Manusia memang selalu lupa bersyukur akan apa yg dimilikinya.
Seperti aku.
Aku selalu lupa bersyukur.
Komentar
Posting Komentar