LUPAKAN AKU PERNAH ADA ANAKKU....


Kulihat Arin anakku yang pertama berdiri disudut sekolah TK Bustanul Anfal Beji Timur Depok.
Sekeliling tubuhnya dikerubuti oleh lalat, saling berdengung ribut.
Kuhampiri dia, ternyata anakku pup dicelana.
Untung aku selalu membawa persediaan celana.
Saat itu sudah ada pampers memang, tapi sayangnya harganya masih terlalu tinggi buatku.
Maklum aku masih petugas teller, masih keroco mumet.
Beres menceboki dia, aku ingat, kembali dia main perosotan sambil berteriak2 gembira.
Tak henti mataku mengikuti kemanapun dia melangkah, takut dia terjatuh dan luka.
Pernah saat aku cuti dirumah, matanya terluka karena bermain lidi.
Aku histeris menangis meraung2.
Hanya bermodalkan dompet, aku segera naik becak dan pergi ke puskesmas.
Aku lupa memakai BH dan hanya memakai daster butut.
Tak pernah aku merasa semalu itu saat sadar.
Bajuku sobek dibagian ketiak, bolong dibagian pantat dan disembarang tempat.
Biarlah, toh aku tidak kenal mereka, hiburku.
Yang penting anakku selamat.

Anakku Arin selalu ingin yang terbaik dan bermerk.
Sangat bertentangan dengan bapaknya.
Tapi apa daya, karena sering tinggal dengan neneknya yg orang berada, apa yang dibelipun mengikuti selera anakku.
Daripada anakku tidak mau pakai?
Seperti sepatu. LA Gear yang bersinar, Converse atau entahlah, itu pilihannya.
Sepatuku hanya 1/4 harga sepatu anakku.
Suamiku bahkan tidak pernah mau berganti sepatu baru bila yang lama belum aus.
Tak apa2lah, kata orang kebahagiaan anak adalah segalanya.

Kalau dipikir2 awal mula pemberontakanku pada suami adalah karena anak2.
Suamiku selalu bilang di saat makan "jangan makan banyak2, makanlah seperlunya" atau "jangan yang mahal2 pilih yang murah saja yang penting bisa dipakai" petuah2 suamiku itu selalu terucapkan.
Selalu dan berulang2 disetiap keadaan.
Aku selalu membantah manakala kulihat wajah sedih anak2ku.
"Biarlah. Toh kita cari uang untuk anak2" begitu aku menjawabnya, dan suamikupun menurut walau kadang kami harus perang mulut.
Itulah awalnya pemberontakanku.
Saat anakku tergila2 play station dan ingin stick yang seperti setir mobil yang harganya selangit, kemana lagi aku harus meminta.
Pada suamiku?
Oh no !
Sampai abad kapanpun dia tidak akan mau membelinya walaupun mampu.
Aku terpaksa memintanya pada bosku yang akhirnya menjadi suamiku.
Pemberontakan kecil2an kupun akhirnya menjadi besar.
Bukan aku membela diri.
Tapi saat anak2ku menyalahkan aku sebagai penyebab rusaknya keluarga, hilangnya kasih sayang lengkap yang semula ada, rasanya aku ingin menjelaskan.
Tapi apalagi yg harus dijelaskan?
Nyatanya memang aku yang bersalah.
Tapi dari sudut hati kecilku, aku ingin anak2ku tahu awal mula aku berani memberontak pada suami.
Demi anak2.
Saat aku menikah lagi, bukankah semua keperluan mereka kupenuhi dengan baik, tanpa menawar atau berkeluh mahal.
Saat aku menikah lagi, buatku itu bukan cuma untuk aku, tapi untuk anak2ku.
Aku ingin anak2ku mendapat yg terbaik yang tidak mau walaupun mampu dibelikan oleh bapaknya.
Bukan nafsu semata.
Kalau cuma demi nafsu, tak akan kupilih suami yang lebih tua 10 tahun, yang tak bisa memenuhi hasrat seksualku.
Mungkin ini bisa dianggap pembelaan diri.
Tapi cobalah berpikir.
Kalau cuma demi aku, aku sudah hidup mewah.

Makanya saat anakku Arin marah dan membentak2 aku sambil melotot dan menudingkan jarinya menyalahkan aku, hatiku bagai diiris sembilu.
Aku tak bisa menerima.
Aku tak bisa memaafkan.
Selalu dan selalu, saat punya uang, yang kupikir adalah  anak2ku, baru ibuku dan aku.
Tak pernah aku berpikir sebaliknya.
Inikah yang kuterima padahal aku menyayangi anakku?

Seorang ibu juga adalah seorang manusia.
Yang mempunyai daging dan darah, yang bisa tersakiti bahkan oleh anak2nya.
Saat kuputuskan dengan sadar tak ingin bertemu lagi dengan anakku Arin, aku tahu yang kuharapkan.
Aku ingin dia sadar dan berubah, aku ingin dia mandiri dan dewasa diusia 26 tahun.
Aku bukan seorang yang pemaaf, bahkan untuk anakku.
Sudah cukup kesakitan ini.
Sudah cukup kekasaran dan kekurang ajaran ini.
Aku tak sanggup lagi menanggungnya.
Saat kau anakku, membaca ini, ketahuilah, sikap ibu tidak akan pernah berubah.
Ibu tidak ingin ada lagi sumpahan dan air mata untukmu nak.
Bagaimanapun kalimat ibu, kalimat hujatan ibu sedikit banyak akan berpengaruh dalam kehidupanmu.
Sudahi perih ini sampai disini nak.
Setiap malam, dalam doa tahajud dan hajat, ibu selalu mendoakanmu, semoga hidayah menghampirimu, semoga sukses selalu ada untukmu.
Tapi cuma doa nak.
Ibu tak sanggup bertemu lagi bila hanya tersakiti.
Lupakan ibu pernah ada dan menyakitimu.
Lupakan bila ibu pernah menghancurkan mimpimu akan keluarga bahagia.
Lupakan ibu nak.

Komentar

Postingan Populer