SAAT IBUKU BERGOSIP
Kemarin aku mengobrol sambil menemani ibu menyiangi sayuran untuk berbuka puasa.
Topiknya siapa lagi kalau bukan adikku Wiwi.
Selama ini ada 3 orang yg selalu menjadi hot gosip ibu memang, yaitu adikku Wiwi, Buyung dan si cebol menantu idolanya.
"Kemarin Wiwi kesini diantar motor gede. Keren Da. Bawa makanan banyak. Jangan2 dia sudah bosan dengan suaminya ya?" Kata ibu mulai bergosip.
Kalau ibu bilang motor gede jangan anggap itu sejenis motor Harley Davidson atau Ducatti. Paling yang dianggap motor gede itu sejenis dg CBR atau Kawasaki Ninja. Atau mungkin juga segede.motor Binter atau motor Bajaj.
"Oh yg kemarin datang ya? Tapi kayaknya rukun2 kok waktu Wiwi datang kerumah sama suaminya minggu lalu. Masih bercanda main tabok2an pipi." Aku tak percaya gosip ibu.
"Itu dia. Masak suami istri bercandanya tabok2an pipi. Mungkin Yudi kekerasan tabok pipinya Wiwi jadi Wiwi bosen." Ibu bersikeras dengan analisanya.
"Lagipula itu suaminya kayaknya ikut aliran sesat kata Wiwi. Masak ikut pengajian malam jumat bukan dimesjidnya tapi di mesjid lain. Sama2 pengusaha tempe dari Pekalongan katanya."
"Setahu Ida sih Yudi memang ikut paguyuban pedagang tempe Pekalongan bu. Bukan aliran sesat itu. Nanti kalau Yudi datang Ida tanya2 deh." Jawabku menenangkan ibu.
"Palingan ibu dibohongin Wiwi lagi biar dia ada alasan cerai dengan Yudi. Mau cari suami seperti apalagi sih Wiwi? Yudi kan lumayan dan paling cocok sama Wiwi. Gampang dibohongin lagi. Kurang apalagi? Ida bingung jadinya." Aku bertanya pada ibu.
"Ibu jadi ingat sama suaminya dulu yg tentara. Siapa itu ibu lupa namanya. Dia bilang suaminya meninggal kecelakaan kereta api. Sekeluarga sampai repot bikin tahlilan, gak tahunya masih hidup."
"Itu Sugianto bu namanya. Ida juga masih ingat saat Wiwi datang nangis2 bilang suaminya meninggal kecelakaan. Kita semua diminta sumbangan buat Wiwi oleh ibu. Belum lagi sumbangan buat tahlilan. Gak tahunya sebulan kemudian sambil minta sumbangan buat 40 hari dia bawa pacar baru. Untung feeling ibu tepat, sampai terbongkar bohongnya." Aku menerawang mengingat kejadian saat Wiwi menangisi suaminya sampai pingsan berkali kali.
Pintarnya Wiwi sambil cerai dg suaminya, sambil minta sumbangan dikaitkan dengan kecelakaan kereta api di Pekalongan atau Tegal dulu, aku lupa tepatnya dimana kecelakaan kereta api terjadi.
Seingatku sih memang saat itu Wiwi membawa koran dan memberi tahu ada nama Sugianto diantara korban.
Tidak tahunya cuma kebetulan saja namanya sama sehingga dimanfaatkan oleh Wiwi untuk membohongi kami sekeluarga.
Tiba2 ibu emosi. Sambil menusuk nangka muda dengan sadis berkali kali, ibu menyumpah2 "dasar anak gemblung ! Wong edan. Bukan cuma itu dia bohongi ibu. Waktu nikah sama Lukman orang Tasikmalaya, dia minta uang buat beli empang. Katanya mau buat rumah diatas empang biar kalau ibu dan ayah datang, ayah bisa sambil mancing disitu ! Kamu memangnya gak ingat berapa banyak uang kamu masuk buat bikin rumah Wiwi diatas empang?!" Ibu bertanya dengan emosi.
Wah kalau ibu sudah memanggilku dengan "kamu" berarti sebentar lagi pasti tambah emosi.
Aku lebih suka ibu memanggilku Ida atau kowe saat berbicara denganku.
Itu berarti ibu masih normal.
"Ya ingatlah bu, keluar uang banyak kan sangat terasa. Ida dulu sampai ribut besar dengan suami karena dia gak setuju. Mungkin ibu salah sedari awal dalam mendidik anak. Saat Wiwi atau Buyung berbuat salah selalu ditutup2i. Saat mereka butuh uang selalu diberi.
Tanggung jawab ibu menafkahi mereka cuma sampai mereka dewasa saja bu. Selebihnya urusan mereka masing2. Memangnya mau sampai kapan ibu bantu mereka? Bagaimana kalau ibu nanti sudah gak ada?" Tanyaku.
Sambil mengacungkan pisau ibu bilang "kamu gak tahu sih rasanya melihat anak susah dan meminta2 kita orang tua? Sakit Da rasanya."
Tiba2 ibu menaruh pisau yang dipegangnya dan menghapus air mata yg tiba2 mengalir deras.
"Ida tahu rasanya bu. Itu sebabnya Ida lebih baik putus hubungan dengan anak2 daripada anak2 tidak mandiri. Sakit rasanya bu. Tapi akan lebih sakit lagi bila nanti Ida bertambah tua tapi anak2 tidak mandiri seperti Wiwi dan Buyung. Mudah2an sekarang anak2 bisa belajar caranya mandiri dan tidak bergantung orang tua."
Aku memang belajar dari kesalahan ibu dalam cara menangani anak2. Aku tak mau anak2ku menjadi seperti adik2ku, bergantung pada orang tua.
"Iya Da. Ibu bisa kok bayangin sakitnya hidup kamu, sendiri menjauh dari anak2. Mudah2an mereka mengerti maksud kamu."
Ibu masih menangis.
Cuma aku yakin kali ini menangisi nasibku.
Aku tak mau dikasihani ibu.
"Kalau Wiwi gagal lagi sama Yudi berarti Wiwi sudah berapa kali kawin bu?" Tanyaku mengalihkan masalah.
"Berapa ya? Coba ibu hitung. Junaedi,Toriq yg orang Kopassus, Sugianto yang tentara, terus yg punya angkot yg rambutnya gondrong yang waktu ngelamar manggil ibu mamih sambil duduk ngedeprok dibawah, jijik ibu dengarnya, terlalu lebay, terus Lukman yg kita bikinin rumah di Tasikmalaya, terus yang orang Padang, siapa itu namanya, biasanya Wiwi manggilnya Uda, terakhir Yudi. Berapa itu ya? Sudah 7 kali ya? Berarti yang ke 8 nanti kalau Wiwi kawin lagi." Ibu kembali menghitung hitung dengan jari.
"Kalah itu bintang film Liz Taylor. Berarti betul orang2 tua dulu bilang ya Da. Kalau air susu jatuh di paha anak perempuan nanti kalau sudah besar anaknya kawin cerai terus.?" Tanya ibu lebih mirip minta diyakinkan.
"Ah itu cuma mitos bu. Memang Wiwi cepat bosenan kok orangnya." Jawabku sambil merewind pikiran jauh2 kemasa menyusui anak2 perempuanku dulu.
Adakah air susuku yang terjatuh kena paha mereka?
Mitos atau bukan aku tetap terpengaruh.
Ya Allah, lindungi anak2ku.
Jadikan mereka bahagia dengan pilihannya walau aku tidak akan pernah merestui, diam2 aku berdoa dalam hati.
"Nanti kalau Wiwi kerumah ajak omong dia Da. Bilang saja temannya bau dan dekil. Dia pasti mundur. Kalau kowe yang bilang Wiwi pasti nurut" Kata ibu.
Alhamdulilah, ibu sudah normal.
Aku sudah dipanggil kowe lagi.
"Memang bau matahari dan dekil kok bu. Ida saja tadinya mau menemui tapi gak jadi karena bau matahari badannya. Mana ongkang2 angkat kaki lagi. Gak sopan banget bertamu kerumah orang kok adabnya seperti itu. Disangkanya bertamu dirumah mertuanya kali."
"Amit2. Ibu lebih milih Yudi anaknya sopan. Jangan lupa nasehati adikmu nanti. Bilang saja pacarnya bau dan gak sopan. Ibu gak setuju. Kowe juga gak setuju !" Ibu mewanti2 sambil membereskan bahan2 masakan dan membawanya kedapur.
Sambil menyapu bekas2 tadi, aku membayangkan apa yang harus kukatakan pada adikku.
Bahwa tak ada manusia yang sempurna?
Bahwa kecantikan dan masa muda itu akan hilang?
Bahwa ibu sudah 77 tahun dan sudah saatnya melihat dia mapan berkeluarga?
Bahwa Yudi adalah pilihan terbaik untuknya karena lucu dan lugu.
Aku masih ingat saat sehabis buka puasa, karena hujan, teras kotor dengan daun2an yang diterbangkan angin, aku mencari2 sapu.
"Tolong sapu mana? Sapu..." kataku meminta tolong pada orang2 yang sedang duduk diteras.
Disitu ada Wiwi, Yudi, Dini dan ibuku.
"Oh kain pel mbak. Nanti saya ambilkan." Kata Yudi.
"Bukan kain pel !! Sapu. Ini mau mbak Ida sapu dulu." Kataku panik, takut kotoran diteras terinjak2 dan terbawa masuk kedalam rumah.
"Oh serokan sampah. Itu disana, biar Yudi ambil." Kata Yudi.
Tiba2 Wiwi teriak diikuti suara tertawa ramai2 " wooi........bukan serokan sampah. Mbak Ida minta sapu buat sapu sampah."
" ohhh sapu......ini mbak sapunya." Jawab Yudi tanpa rasa bersalah dan ikut2an tertawa.
Setahuku setiap ibu atau aku bicara, Yudi selalu salah tingkah dan salah tangkap.
Aku sih melihatnya seperti ketakutan.
Apakah ibu dan aku memang terlihat seperti ibu dan anak monster sehingga dia selalu ketakutan?
Entahlah, aku belum sedekat itu untuk bertanya tentang itu pada adik iparku.
Rasanya, kalau tebakanku benar, itu yg membuat ibu cocok dengan Yudi.
Ibu merasa mempunyai obyek penderita.
Sampai saat ini aku belum tahu harus bilang apa pada adikku sebagai anak tertua.
Yang jelas aku pasti bilang, bahwa calon suaminya itu tidak sopan dan bau matahari badannya.
Selebihnya nanti sajalah aku cari dibuku2 tentang pernikahan.
Mudah2annya internetnya masih bisa dipakai.
Mudah2an juga adikku Wiwi membaca ini sehingga aku tidak perlu bersusah2 mencari alasan.
Mudah2an.
Komentar
Posting Komentar