5 JAM BERSAMA MASA LALU....
Dear Diary,
Hari minggu 8 November 2015, sehabis sholat subuh yang kesiangan, kubaca berita bahwa temanku Savitri mau datang pagi ini kerumah.
Dia janji datang pagi ini.
Aku bilang jam 10 saja datangnya, jangan siang2, karena Bogor siang hari pasti hujan lebat.
Aku menakuti takuti dengan kalimat bahwa “ Bogor siang hari pasti hujan lebat” bukannya tanpa maksud apa2.
Jujur saja aku malu didatangi temanku saat suasana musim hujan seperti saat ini.
Rumah tua yang kudiami seringkali bocor, ember dan bak mandi ada dimana mana menampung air hujan.
Tapi memang dasar temanku ini mantan ikan duyung, dia ternyata malah kesenangan mendengar kata air hujan.
Dengan antusias dia malah bilang “ musim hujan ya? Alhamdulilah mbak, di Jakarta masih sedikit hujannya.”
Nah lho !
Walau terkesan cuek menanti kedatangannya, tapi aku buru2 meminta tolong Dini agar buru2 bersih2 rumah, sementara aku mandi dan keramas agar saat cipika cipiki bauku harum.
Jam 7, 8,9 sampai jam 10 masih belum ada kabar kedatangannya.
Rumah bersihku sudah menjadi kotor kembali diinjak2 tukang aqua galon, kue risol yang kupesanpun telah menjadi dingin, sementara aku malah tertidur sambil mengeluarkan liur.
Ternyata jam 11.20 baru dia mengabarkan sudah di jembatan.
Selamat datang masa lalu, ujarku dalam hati.
Dear Diary,
Savitri namanya.
Dia lebih muda beberapa puluh tahun dariku, tapi aku tetap memanggilnya mbak Vit.
Bukan karena tampangnya tua, tapi karena aku terlalu sopan untuk hanya memanggil namanya saja.
Walau aku berangasan rasanya aku sangat memegang sopan santun.
Tetangga sebelahku yang jauh lebih mudapun aku tetap memanggilnya bu Juned, sampai dia protes. “Bu jangan panggil saya bu Juned dong, saya jadi merasa tua. Panggil namanya saja.”
Aku bilang “saya manggil ibu bu Juned karena saya menghargai ibu. Kalau saya tidak menghargai ibu saya pasti panggil Iyong saja.” Iyong adalah nama panggilannya sehari hari.
Savitri sebenarnya menjadi sahabatku berawal dari suatu insiden.
Semua aplikasi kredit kami diolah disuatu unit terpisah namanya LNC, entah apa kepanjangannya.
Soalnya setiap ganti pemimpin di BNI selalu ada perubahan nama, dari nama Bank sampai nama unit.
Belum hafal semua nama unit kuhafalkan, sudah ganti nama lagi.
Begitulah Pemimpin kami di BNI, terlalu banyak ide tapi hanya ide kecil yang bisa terpikirkan, hanya ganti nama Unit.
Seringkali susah payah mencari calon debitur, kerap aplikasi kredit ditolak dengan alasan yang kadang tak masuk akal.
Saking seringnya ditolak aku dan sales2ku mempunyai lagu kebangsaan setiap kurir yang membawa aplikasi penolakan datang “ direject ....direject.... direject lagi....”
Kadang aku sampai menangis mendengar kabar aplikasiku ditolak.
Kami dikejar target, tapi diujung sana terlalu ketat filter yang dibuat.
Setiap saat bertambah ketat.
Semua calon debitur selalu dianggap maling dan tak akan mampu membayar, walaupun usaha dan jaminan menurutku baik.
Kalau pertanyaan yang diajukan sopan sih tidak masalah, tapi kadang pertanyaan yang diajukan analis saat dilapangan terkesan menuduh, “memangnya mampu bayar cicilan?”
Kata yang biasa tapi bila diucapkan dengan arogan dan menuduh kesannya jadi melecehkan.
Jadilah kami, aku dan sales2ku menjadi tumpuan amarah dan kekecewaan calon debitur.
Kadang kalimat yang sama dalam peraturan ditafsirkan berbeda antara divisi yang membuat kebijakan dengan LNC, tinggal kami yang terjepit ditengah2.
Savitri inilah yang biasanya menjembatani hubunganku dengan LNC.
Wajah cantik dipadu dengan sikap tegas dan judesnya kadang bisa meloloskan aplikasi yang ditolak.
“Wah cewek cantik ini lumayan galak juga. Perlu kudekati nih. “ aku berharap dalam hati.
Setelah meminta kesadaran dan pengertian supirku pak Sis agar rela memutar lebih jauh agar bisa mengantarkan teman baruku, akupun kerap pulang bareng dengannya.
Kadang kami karaoke dulu di Diva atau Inul Karaoke atau kadang hanya makan sepulang dari rapat.
Tidak memberatkan kantongku, karena masing2 punya harga diri tinggi dan tak mau dibayari, jadilah semua biaya akhirnya selalu di sharing.
Aku tak bisa bersombong diri didepannya saat berkaraoke.
Bila lagu andalanku adalah lagu melengkingnya Pance Pondaag dan Exist grup band dari negeri jiran, biasanya lagu “Mencari alasan” lagu andalanku, temanku ini malahan punya segudang lagu andalan.
Dari mulai lagu melayu yang tak pernah kudengar dimuka bumi sampai lagunya Raisa.
Yah sudahlah, aku memang harus mengalah.
Suara melengkingku karena terbiasa berteriak memanggil anak2ku rasanya menjadi tak berarti bila dibandingkan suara melengkingnya saat menyanyikan lagu melayu.
Aku memang harus mengalah karena usiaku toh lebih tua.
Wajar saja.
Dear Diary,
Awalnya kukira temanku ini sebatang kara atau paling tidak seorang janda terlantar sepertiku, mengingat dia selalu tak peduli mau pulang jam berapapun bila kuajak bersantai.
Tapi ucapannya tentang anak2 dan suami akhirnya menyadarkanku, bahwa dia bernasib lebih baik dariku, mempunyai anak dan akan selalu ada seorang suami yang mengkhawatirkannya.
Dear Diary,
Saat pertama kali bertemu kembali dengannya yang kulihat saat melihatnya adalah kaca mata barunya.
Dan...alis Sinchan hitamnya.
Tak tahan diam saja, akupun protes,”mbak Vit, kok alisnya hitam amat? Kayak di sinetron”.
Sebagai sesama pengeyel dan selalu ngeyel, dia menjawab “Gak kok mbak. Aku dari dulu alisnya hitam. Mungkin maskara nya ya? Dulu aku gak pakai maskara.”
Okelah, alasannya masuk akal.
Alhamdulilah, aku berhasil mendidik seorang pengeyel sejati.
Dia bawa oleh2 roti Boy, sayangnya aku tidak suka.
Akhirnya rejeki roti Boy dinikmati oleh Dini anak angkatku.
Diapun makan mie ayam yang penuh MSG yang kebetulan sedang populer dikampungku.
Dear Diary,
Ternyata dunia itu sempit.
Saat dia bercerita tentang kunjungannya ke LP Sukamiskin Bandung, ternyata orang yang dikunjungi adalah teman seangkatanku saat pendidikan RM sejuta tahun yang lalu.
Saat aku bercerita tentang mantan sahabatku yg ku anggap black list karena komentar menyakitkan hatinya di FB, eh ternyata dia temannya juga.
Sambil bercerita, hatiku selalu was2, takut temanku itu membidikkan kameranya, maklumlah temanku ini sangat menghargai karunia Allah akan kecantikan yang diberikan padanya, sehingga sangat suka berphoto ria.
Sementara aku?
Karunia Allah itu rasanya sudah meninggalkan wajahku.
Aku tak tahu lagi apa yang kami ceritakan.
Rasanya semua bisa menjadi cerita dan dibahas.
Tak terasa 5 jam kami saling bercerita dan akupun diceramahi disela2 obrolan kami.
Benar2 diceramahi.
Saat pulang, karena aku juga akan pergi menonton film James Bond diusia tuanya, aku terpaksa pakai lisptick, benda aneh yang jarang kusentuh lagi karena katanya pelembabnya mengandung lemak babi.
Akupun didandani layaknya boneka barbie kadaluwarsa.
Tak mau mengecewakannya, aku akhirnya mau diphoto, sebagai bukti usaha kerasnya mendandani wajahku.
Tentu saja temanku langsung sumringah bakal diphoto.
Dengan gaya ikan duyung malu2 kami berphoto di kamar, area paling rapi dirumahku, menurutku.
Selesai photo, kulihat hasilnya dan akupun kecewa, tubuhku tidak terlihat langsing, wajah sembabku seperti habis disuntik silikon.
Inilah takdir usia tua.
Bahkan keriputpun mulai menyambangi laksana isyarat kematian yang makin mendekat, pengingat batas usia kita.
Saat membuka payung berlindung dari hujan, kulihat tulisannya “ My Size”.
Rasanya ingin pulang kerumah menukar payung.
Aku malu pakai payung gratisan, dari toko khusus orang gemuk pula, seakan2 memproklamirkan “nih gw gendut, beli bajunya disini”
Aku batal balik kerumah, dan menghibur diri, “biarlah, seandainya seluruh dunia tahu aku beli baju di toko khusus, mereka juga pasti akan tahu bahwa harganya juga khusus diatas rata2.”
Hmmm...aku memang optimis sejati.
Kami naik kendaraan rakyat dibawah derai hujan.
Kendaraan melaju dengan kencang dan seperti biasanya kendaraan rakyat, dia mengerem tiba2 dimanapun dia ingin mengerem.
Kulirik supirnya, matanya setengah terpejam, pasti mengantuk.
Sang supir rupanya sadar aku tahu dia mengantuk, akhirnya dia pasang lagu dangdut "Terong dicabe’in" sampai kepalaku pusing mendengarnya saking kerasnya sang supir pasang volume.
Di lobby Cibinong City Mall, kami berpisah tanpa aku mengantarkannya ke pangkalan taxi.
Diam2 aku berdoa agar dia selamat dijalan.
Kalau sampai terjadi apa2....wuihhh aku tak sanggup bila harus tidur ketakutan lagi.
Aku juga tak rela bila harus kehilangan donatur baju keren.
Walaupun ladang dia menyebalkan kalau sedang berceramah, kuakui aku kerap merindukan ceramah2 gratisannya, pengerem sikapku.
Selamat jalan mbak Vit, hati2 dijalan, semoga selamat sampai dirumah kosong.
Selamat jalan masa laluku, terima kasih telah sudi menyambangiku.
Komentar
Posting Komentar