AKU DAN AYAH : KOMUNIKASI 2 ARAH
Dear Diary,
Kemarin ayah menyuruh Yudi, adik iparku "Yud tolong ambilin Indo mie diwarung pak Juned 1 dus ya"
Yudi karena baru diangkat sebagai menantu tentu saja selalu menuruti ayah.
Dengan patuh Yudi kewarung sebelah.
Untung ibu buru2 mencegahnya.
"Eit tunggu dulu. Yudi ke warung sebelah bawa uang gak? Ayah sudah kasih uang buat beli mie belum ?"
"Belum bu." Kata Yudi.
"Gak usah pakai uang. Ambil aja dulu. Nanti kan ada Ida yang bayar."jawab ayah seenaknya.
Ibu tentu saja marah karena itu berarti kami berhutang.
Saat ibu lapor tentang kelakuan ayah yg seenaknya saja mengambil barang diwarung sebelah seolah2 aku punya saham disitu, aku langsung shock.
Sia2 aku menjaga image " pensiunan makmur dan tidak kekurangan uang sepeserpun" dengan berpuasa bila aku tak punya uang karena malas ambil ATM.
Pasti cerita ayah berhutang Indo mie se dus akan menjadi bahan pembicaraan tetangga2ku selama seminggu penuh.
Demi menjaga image itu, kuajak bicara ayahku.
"Yah, lain kali jangan pernah ke warung kalau gak bawa uang ya. Jangan pernah beli apapun kalau tidak bawa uang. JANGAN PERNAH BERHUTANG. Ayah ngerti maksud Ida kan?"
"Ayah gak hutang. Ayah beli Indo mie kok bukannya hutang. Cuma uangnya nanti, belakangan, Ida yang bayar." Ayah tidak menganggap itu berhutang nyatanya.
Aku geram sekali.
"Itu namanya hutang yah. Kalau Ida ada uang, kalau gak ada kan berarti gak dibayar, itu berarti hutang. Pokoknya Ida gak mau ayah beli apapun dari warung kalau gak bawa uang. Ayah dengar gak?"
"Ayah dengar kok. Gak boleh beli kalau gak bawa uang."
"Ida gak mau dianggap gak punya uang. Kalau ayah beli barang tp gak bawa uang, pasti orang sekampung pada tahu bahwa Ida gak punya uang sampai beli Indo mie saja hutang."
"Siapa yg bilang begitu. Kalau gitu berarti yg punya warung ember itu, seenaknya saja omongin orang" ayah kelihatan sewot sekali sampai menggebrak meja.
"Biar ayah datangi. Seenaknya saja omongin orang."
Aku garuk2 kepala, bingung harus menjelaskan apa lagi.
"Bu Juned gak ngomong seperti itu. Itu kan seumpama kita berhutang nanti pasti orang sekampung tahu.
Itu cuma contoh saja biar ayah tahu."
Ucapku mulai stres.
"Kalau gitu Ida yang bikin2 omongan dong!" Kata ayah.
OMG, aku benar2 bingung cara menerangkan pd ayah.
"Pokoknya ayah gak boleh beli barang kl ayah gak bawa uang. Kita gak boleh berhutang. Titik.
Ayah ngarti maksud Ida kan?" Aku bertanya untuk kesekian kali.
"Iya ayah tahu. Yang boleh hutang cuma Ida." Jawab ayah.
Ya Tuhan, beri aku kesabaran berlipat saat bicara dengan ayah. Aku langsung berdoa dalam hati.
Sekarang aku baru tahu kenapa ibuku selalu emosi bila bicara dengan ayah.
Dear Diary,
Kemarin sore saat hujan lampu jalan yg dibuat masyarakat putus sehingga keadaan jalanan gelap.
Pagi2 ayah datangi pak Juned pemilik warung sebelah.
"Kmarin sore lampu jalan didepan rumah saya putus. Nanti dibetulin ya." Ujar ayah mirip gaya mandor Ahok sambil menunjuk2 lampu.
Sudah berulang kubilang jangan menyuruh orang sembarangan.
Mereka bukannya pesuruh kita.
Pernah satu kali ayah ingin beli bubur kacang ijo yang lewat didepan rumah.
" Saya bikinin bubur campur pakai roti ya." Kata ayah.
" Saya gak jualan pakai roti pak" kata tukang bubur.
" Ya sudah beli roti dulu deh, saya tunggu. Kalau gak pakai roti saya gak suka soalnya."
Tukang rotipun akhirnya meminta solusi soal roti kepadaku karena gak enak pada ayah.
Kadang2 aku suudzon pada ayah.
Jangan2 ayah cuma pura2 pikun sehingga bisa dimaklumi bila tidak mengerti pembicaraan orang.
Melihat sikap ayah aku merasa jadi orang pikun itu sangat diistimewakan oleh keadaan.
Bisa berpura2 bodoh dan tak mengerti.
Bisa selalu berbuat salah dan mengulangi kesalahan.
Seperti ayahku.
Beri aku kesabaran Tuhan.
Komentar
Posting Komentar