AKU DAN SIBUNGSU : TIDAK PERNAH AKUR.
Barusan aku bersama si bungsu berpanas2 pergi ke BPJS Bogor mengurusi keanggotaan BPJS karena aku belum pernah punya BPJS Kesehatan mengingat BNI sekarang mengharuskan pensiunannya membaur dengan rakyat jelata, menjadi anggota BPJS.
Setelah bertanya2 ke Satpam, bereslah, aku dapat nomor antrian 903.
Sambil menunggu, 1 nomor sebelum aku ada pensiunan TELKOM.
Dengan lembut si bapak ditolak dan harus ikut jalur BPJS Mandiri, berarti harus ambil nomor lagi dilantai dasar dan mengantri lagi.
Jangan dibayangkan antrian BPJS Mandiri itu sepanjang apa.
Pokoknya puanjanggggg banget !
Ingin kuterangkan si petugas, bahwa pegawai TELKOM juga adalah PNS.
Tapi karena tidak mau dianggap sok pintar aku diam saja.
Giliran sampai antrianku, sang petugas memeriksa formulir dan berkas2 lampirannya.
Aku yakin betul tidak akan ada kekurangan.
Aku sudah puluhan kali periksa karena malas bolak balik soalnya.
Sang petugas menanyakan tempat kerjaku dimana.
"Saya pensiunan Bank BNI mbak."
"Oh ibu harus ikut jalur Mandiri bu. Ini buat pegawai negeri sipil."
Wah darahku mulai naik kekepala.
Kusabarkan hati dan memasang senyum sejuta watt.
"Mbak, BNI juga pegawai negeri cuma non departemen."
"Iya bu, ini konter khusus pegawai negeri yg dari departemen." Sang petugas masih ngotot.
"Mbak tahu gak, yang namanya pegawai negeri itu ada 2 macam. Mana ada kertas gak, sini saya terangkan. Pegawai negeri ada 2 macam, pegawai negeri departemen dan non departemen. Kalau pegawai negeri departemen itu gajinya dari APBN kalau pegawai negeri non departemen itu gajinya dr hasil usaha sendiri. Kami semua sama2 pegawai negeri. Lha saya juga anggota Korpri kok sejak tahun 1982. Itu semua bank pemerintah, TELKOM, PLN itu semua pegawai negeri mbak." Ujarku meyakinkan.
"Saya tanya pemimpin saya dulu ya bu." Si petugaspun masuk kedalam ruangan.
Tinggal aku bertanya2 dalam hati, "memangnya aku masih anggota Korpri? Kok gak pernah pakai seragam Korpri lagi sejak pak Harto jatuh? Ataukah sejak BNI go publik pegawai BNI tidak jadi pegawai negeri?"
Aku menyesal tidak mempelajari lebih lanjut ttg BPJS dan Korpri.
"Maaf bu, kata pemimpin saya konter ini khusus yg pendaftaran dan pembayarannya secara kolektif" si petugas menyela lamunanku.
"Mbak, kantor saya juga saat diharuskan mendaftar ke BPJS dulu juga kolektif, cuma karena saya baru desember 2015 kemarin pensiun, maka saya daftar sendiri, tapi dari kantor saya diterangkan bahwa saya harus masuk BPJS yang PNS bukan mandiri. Nanti juga yang bayar kantor saya bukan saya mbak. Nanti mereka bayarnya kolektif juga kok." Aku masih menjelaskan dengan sabar dan mulai tanpa senyum.
Melihat wajahku cukup menyeramkan karena tanpa senyum, kembali si petugas minta ijin untuk tanya ke pemimpinnya.
"Baik bu, kata pemimpin saya ibu didaftarkan Mandiri saja, gak usah daftar dibawah, saya bantu daftar disini saja." Lalu si petugas mulai sibuk mengetik.
"Bu maaf ini anak bungsunya sudah usia 22 tahun apa masih kuliah atau sudah menikah?" Tanyanya.
Pertanyaan menjebak kupikir.
Apa aku sebodoh itu mendaftarkan anak yg sudah menikah?
"Masih kuliah mbak. Belum, belum menikah, pacar saja gak punya. Kalau sudah menikah kan gak mungkin saya daftarkan BPJS, saya kan tahu peraturan kantor."
Aku mulai ketus menjawab.
"Kalau masih kuliah bisa lihat surat masih kuliahnya?"
"Kalau kartu mahasiswa ada, tapi kalau surat itu gak ada. Gak mungkin juga anak saya bawa2 surat seperti itu. Lagipula di keterangan BPJS tidak disebutkan harus melampirkan surat keterangan masih kuliah kok?!"
Kembali sang petugas masuk kedalam ruangan untuk meminta petunjuk.
"Ya sudah bu. Ini saya buat tapi nanti ibu laporkan ke kantor ibu. Setelah dibayarkan oleh kantor, ibu bawa strook pembayarannya dan ambil kartu keanggotaannya dibawah ya bu" suara sang petugas kudengar lelah.
Aku bisa maklum kalau sang petugas lelah, banyak pemimpinku yang juga kulihat lelah menghadapi sikap ngeyelku.
Kuucapkan terima kasih sebelum meninggalkan konter.
Dilantai dasar kulihat sibapak tua pensiunan TELKOM masih mengantri dijalur mandiri.
Ingin kuhampiri si bapak dan menerangkan bahwa seharusnya dia mendaftar diatas, dikonter tadi, seperti tadi adalah sudah betul, sayangnya si bungsu protes "Biarin ajalah mam, belum tentu si bapak itu bisa berdebat seperti mamam. Yang ada malah nanti dia disuruh bolak balik malah kasihan."
Betul juga analisa anakku.
Ya sudahlah.
Kamipun makan bubur ayam dipelataran parkir kr kulihat banyak pembelinya.
Pasti enak pikirku.
"Sebetulnya Vani kagum sama mamam. Mamam pintar jelasin sesuatu, meyakinkan lagi cara bicaranya. Ketara banget mamam menguasai peraturan. Beda jauh sama bapak. Kalau bapak pasti langsung pulang dibilang seperti itu. Bapak kan selalu mengikuti peraturan, gak pernah coba2 menyuap kayak mamam." Si bungsu tiba2 bicara sambil makan bubur, matanya memandangiku.
"Sayangnya mamam cepat marah. Vani tadi deg2an takut mamam gebrak meja. Mamam kan gak sabaran."
"Tahu gak van. Sebenarnya mamam gak yakin pegawai BNI itu pegawai negeri atau bukan. Itu peraturan pernah mamam baca tahun 1994 saat mamam mau ikut test apa gitu mamam lupa. Sekarang kan semua sudah berubah." Kataku buka rahasia.
"Kok mamam ngomongnya tadi meyakinkan. Pakai bikin diagram lagi dikertas petugasnya."
"Itu yg perlu Vani pelajari kalau sudah kerja. Yang namanya pemimpin itu tidak selalu menguasai permasalahan. Kalau kamu kepepet ya ngibullah, asal ngibul dengan meyakinkan saat mengucapkannya."
"Gak ah. Vani lebih suka cara bapak. Sesuai peraturan saja" anakku menolak nasehatku.
"Kamu coba lihat Jokowi. Dia sudah sering bohong tapi tetap saja bohong lagi dengan meyakinkan dan masih saja dipercaya kebohongannya. Karena kenapa? Karena dia tahu, gak semua orang mengerti permasalahan dan ucapannya. Yang penting Van, bohonglah dengan meyakinkan."
"Kenapa sih harus Jokowi. Vani kan lagi makan bubur mam. Bisa2 Vani muntah nih ngomong Jokowi melulu."
Anakku menghentikan suapan buburnya sambil melotot."kayak gak ada contoh lain saja."
"Oh Vani mau contoh lain. Banyak Van. Pak lek Buyung itu lumayan jago ngibul. Lebih jago dari bule Wiwik. Kalau pak lek Buyung minta duit wajahnya betul2 polos. Mbah kan jago menilai orang, mamam juga jago, tetap aja jutaan rupiah melayang. Nah kalau bule Wiwik juga pinter ngibul tapi gak kreatif, kalah kreatif sama pak lek Buyung. Mungkin juga karena keseringan ngibul jadi mbah dan mamam sudah hafal taktiknya bule Wiwik." Aku merenung sambil membanding2kan total nominal yg berhasih diraih Buyung dibandingkan Wiwik.
"Sudah ah. Vani sudah selesai makan bubur. Bubur enak2 jadi gak enak rasanya dengar omongan mamam. Lagian mamam bukannya juga pinter ngibul. Tadi bukannya mamam ngibulin petugas BPJS ?" Ujar anakku sambil membayar tukang bubur dipelataran kantor BPJS.
"Lho mamam kan ngibul demi kebaikan. Kejahatan pun ada yg hitam dan putih. Kalau mamam kan white crime Van. Lagian mamam belum tentu juga tadi ngibul, mamam cuma gak yakin peraturannya sudah berubah atau belum !"
"Mamam gak mau kalah banget sih orangnya! Susah kalau ngomong sama sales. Selalu pinter ngeles." Kulihat bibir anakku mulai maju 2 cm.
Ini saatnya mengakhiri kemenanganku.
Aku tak mau dia marah2 dijalanan.
"Mamam bukan sales Van. Mamam belum pernah jadi sales. Ingat2 ya Van. Mamam cuma membawahi sales sales saja. Mamam itu Area Sales Manager bukannya Sales." Aku tetap ngotot, tak mau disamakan dengan adik iparku yang sales sombong.
Akhirnya akupun berjalan 5 langkah dibelakang anakku.
Lebih aman dan menyenangkan buatku melihat bokong kurus anakku daripada melihat wajahnya yang cemberut.
Begitulah aku dan si bungsu.
Tak pernah bisa bersatu.
Seperti minyak dengan air.
Hanya 5 menit damai didunia, bila aku dan si bungsu berbicara.
Hanya 5 menit.
Komentar
Posting Komentar