ANAK2 ADALAH PENIRU YANG BAIK
Dear Diary,
Saat anak2ku masih kecil, bila dia jatuh dan menangis, aku selalu mendatanginya, lalu memukul lantai sambil bilang “ cup.... cup....jangan nangis lagi. Sakitnya sudah hilang kan, ibu sudah pukul lantai tuh lihat....” bruk.... bruk... kembali kupukul lantai.
Tangis anak2ku biasanya berhenti.
Kadang aku memakai alasan kodok, maaf pak Jokowi, ini kodok beneran, bukan kodok anda.
Ku usap air mata anakku, lalu aku bilang “ cup.... cup....jangan nangis lagi ya, kodoknya sudah ibu usir tuh, sudah pergi.” Sambil aku melakukan gerakan mengusir kodok.
Entah kenapa lantai atau kodok yang kusalahkan bila anakku jatuh dan menangis.
Baru akhir2 ini aku tahu bahwa tindakanku salah karena secara tidak langsung mendidik anak untuk tidak menerima kesalahan dan menimpakannya kepada orang lain.
Tiba2 aku berpikir, jangan2 Ahok dulu saat masih kecil dan terjatuh selalu digadang2 seperti itu karena selama ini dia tidak bisa menerima kesalahan, yang salah selalu anak buahnya, seperti saat banjir, kadang dia salahkan kulit kabel, salahkan Tuhan dan terakhir dia salahkan penduduk setempat.
Dear Diary,
Walau tahu tindakanku salah, sayangnya sampai beberapa bulan yang lalu, terakhir waktu si ganteng cucuku Handaru jatuh saat main dorong2 dingklik kecil, aku kembali menghibur si ganteng dengan ucapan2 klise “ cup.... cup....jangan nangis lagi ya sayang, kodoknya sudah granny usir tuh, sudah pergi.”
Tentu saja dengan ucapan yang agak pelan mengingat sekitar rumahku ada yang penggemar Jokowi.
Bisa2 rumahku dilempari batu kalau mereka mendengarnya.
Dasar cucu bandel, dalam sekejap dia berhenti menangis, dan akupun tenang lahir batin.
Tidak terpikirkan dimasa depan cucuku akan tidak mau menerima kesalahan.
Dear Diary,
Dalam keheningan malam kamis, aku merewind ulang ingatanku.
Pantas saja anak2ku, ketiganya bahkan tidak pernah mau menerima kesalahan, semua salah orang lain, dalam hal ini, semua salahku.
Memang sih aku juga bukan ibu yang sabar dan penyayang, kasih sayangku baru kulimpahkan hanya disaat aku punya uang saja, “ mas mau ibu beliin CBR lagi atau Kawasaki Ninja mas? “, “ Van, temanin ibu belanja yuk, kasihan baju kamu sudah jelek2.” Atau “ De, mau diganti gak mobilnya ? Tapi dijaga kebersihannya ya”.
Dan bila uangku tak banyak aku hanya bisa mengajak mereka makan ditempat yg layak dan mewah...ehm..pakai kartu kredit tentunya.
Itu bentuk kasih sayangku pada anak2ku.
Cuma itu mampuku memang.
Sayangnya bila aku menasehati agar jangan kasar terhadap saudara atau orang lain, jawabannya selalu sama “ aku kan ikutin ibu. Ibu juga kasar kalau bicara.”
“ Ibu kupingnya sebelah kiri kan gak dengar, jadi memang kalau bicara keras, itu bukan berarti bentak2, karena ibu anggap kalau gak keras orang gak akan dengar ibu bicara, sama seperti ibu.” Sambil menangis aku menjelaskannya.
Aku betul2 sedih disalah pahami.
Masak sih mereka gak tahu kalau kupingku tidak berfungsi sebelah sejak tahun 2000 an ?
Anakku si sulung malah lebih sadis lagi cara nge - blame nya.
“ Memangnya salah siapa mas seperti ini? Ibu yang ajarin mas seperti ini. Mas masih ingat dilempar piring, mas ngumpet dikolong meja waktu ibu berantem sama bapak!”
Ya Allah ya Rabb, apa hanya itu yang ada dalam ingatannya?
Tidakkah ada kebaikanku sebagai ibu walau cuma secuil terhadapnya?
Kenapa hanya yang jelek2 saja yang terpatri dalam ingatannya?
Bertahun2 bekerja, aku rela kost di Jakarta, hidup dikamar sempit beralaskan tikar hanya demi agar lebih irit pengeluaran untuk menyenangkan anak2ku saat kami bertemu.
Tak pernah aku berusaha untuk menolak bila anak2ku meminta bila aku memang ada.
5 Kartu Kredit Platinum milikku, full semua, mungkin bisa jadi bukti rasa cintaku pada anak2ku.
Aku tak pernah mengutamakan kepentinganku, toh hobbyku hanya makanan yang murah2 yang banyak tersedia disekeliling kantor.
Dear Diary,
Ya sudahlah.
Terlambat.
Nasi memang sudah jadi bubur ayam.
Aku memang selalu salah.
Semua memang salahku.
Kalau anak2ku pembohong itu juga pasti karena aku mengajarkannya seperti yang anakku bilang.
Selama ini aku dan si Semprul selalu mengajarkan agar2 anak2 tidak mencuri, berbohong dan berkata kasar.
Tapi aku selalu berkata kasar, berteriak dan marah.
Aku mengajarkan untuk tidak berbohong, tapi manakala alm. mertuaku datang dan aku malas melayaninya karena sedang tidur2an dengan daster bututku, aku selalu menyuruh anakku buat berbohong.
“Ssssttt..... de, bilang sama yangti ibu lagi tidur ya.” kataku pada si tengah, Dea.
“ Katanya gak boleh bohong, kok ibu bohong? ” jawab si tengah.
“ Sssttt.... sudah sana bilang ibu lagi tidur. Nanti ibu beliin komik di Gramedia.”
Anakku pun lari kesenangan.
“ Yangti...yangti.....kata ibu, ibu lagi tidur. Tapi ibu lagi gak tidur yangti....“ teriak anakku terdengar jelas dikupingku saat mengintipnya.
Gubraaaak.....akupun semenjak itu menjadi menantu kurang ajar dimata alm. mertuaku.
Dear Diary,
Aku memang istri dan ibu pembohong.
Pernah karena tidak nyaman ketoko buku dengan si Semprul karena selalu dilarang beli ini itu, aku berencana pergi sendiri dengan anak2, tanpa si semprul.
Hari itu hari sabtu, aku libur sementara si Semprul masih mengajar.
“ Biar saja anak2 ibu yang jemput pak, ibu iseng dirumah.” Kataku pada si Semprul.
Sehabis pulang sekolah, dengan naik taxi kami ber empat pergi ke toko Gunung Agung di Kwitang.
Beli buku dan makan sepuas2nya di toko AW dilantai bawahnya.
Kusuruh anak2 menyembunyikan buku2 yang dibelinya agar si Semprul tak tahu karena pasti akan dimarahi nantinya.
Dan itu seringkali kulakukan.
Aku memang ibu pembohong Dear Diary,
Pernah karena ingin bertemu anak2 tanpa sepengetahuan si Semprul, saat itu aku sudah bercerai dengan si Semprul, aku jemput anak2ku sebelum si Semprul menjemputnya.
SMPN 1 di daerah Cikini adalah sekolah paling ketat, sekolah bagus yang memang sesuai kwalitasnya.
Jangan coba2 pulang sebelum waktunya.
Tapi aku tetap bisa menjemput anakku si sulung dan si tengah pulang, malah sambil dipeluk2 dan dinasehati guru agama dengan rasa iba karena air mataku mengalir tak henti2.
Aku bilang bapakku meninggal dunia di Serang, anak2 harus pulang cepat, sambil berurai air mata.
Dalam sekejap anak2ku diijinkan pulang, sambil aku dinasehati agar tabah dan penuh haru.
Pakai disuguhi air teh dan sekotak tisu pula.
Sebenarnya aku tidak berbohong.
Ayahku memang meninggal dunia tapi itu setahun yang lalu.
Aku juga memang sedih saat menangis, tapi sedihku karena aku membayangkan harus main umpet2an karena dilarang untuk bertemu anak2ku.
Tapi dalam kenyataannya aku toh mengajarkan anakku berbohong.
Mereka melihatku melakukannya dan menirunya.
Apa yang bisa kuharapkan dari anak2ku bila hanya kebohongan dan kekasaran yang kuajarkan pada mereka?
Mereka berhasil meniruku dengan baik.
Aku memang guru yang baik.
Dear Diary,
Aku menyuruh anak2ku agar mengaji dan sholat.
Tapi baik aku maupun si Semprul tidak pernah sholat.
Naik haji dan Umroh memang ya kami laksanakan, tapi sholat malah tidak.
Kami sholat hanya saat dirumah mertuaku saja.
“ Nanti kalau dirumah yangti jangan lupa pada sholat ya? Ingat kan bacaannya apa ?”
Biasanya aku selalu mengingatkan seperti itu sebelum kerumah mertuaku di Pondok Pinang.
Aku dan si Semprul pun sholat disana, dengan khusyum layaknya suami istri muslim yang baik.
Aku memang memanggil guru mengaji khusus yang datang setiap sabtu sore dan minggu sore.
Bertahun2 mengaji aku hanya sampai Iqro 6, setelah selalu lupa, akhirnya balik lagi menjadi Iqro 1 setiap berganti guru.
Seringkali setiap sang guru mengaji datang aku berhiaskan koyo di dahi, dengan wajah lesu minta ijin tidak mengaji dulu.
Belum lagi alasan sedang menstruasi.
Jadi jangan harapkan aku akan bisa mengaji dengan baik, lha huruf2nya saja aku selalu lupa.
Jangan juga mengharapkan anak2ku bisa mengaji, sholat saja mereka tidak pernah.
Aku sekolahkan anak2ku di Al Azhar Kebayoran, kecuali si sulung, karena ingin mereka berbeda dr orang tuanya, kuharapkan dengan bersekolah disekolah islam mereka bisa mengaji dan sholat.
Mereka mengaji dan sholat memang, tapi hanya disekolah.
Mereka bisa mengaji memang, tapi hanya disekolah.
Ibu, sang guru terbaik mereka masih belum sholat, masih berkutat dengan kenikmatan duniawi.
Sekarang, disaat aku sudah melakukan sholat seutuhnya, kerusakan itu sudah terjadi.
Anak2ku sudah tidak pernah sholat.
Selalu ribut dan saling teriak bila ingin menyuruh mereka sholat.
Akupun lelah.
Masak aku harus ribut terus setiap hari.
Ya sudah, Tuhan, aku menyerah kalah.
Itu toh hidup kalian.
Maka saat kerusakan itu sudah terjadi, kulepaskan semuanya.
Aku lelah ribut dengan anak2ku.
Kulupakan si sulung dan si tengah.
Kulupakan bahwa aku pernah menjadi ibu buat mereka.
Sudah cukup yang kulakukan.
Hanya tinggal si bungsu harapanku.
Mudah2an dia masih bisa diperbaiki, tidak separah kakak2nya menyakiti hatiku.
Aku menyerah kalah, ini karmaku.
Aku memang bukan ibu yang baik, selalu memberi contoh kekasaran dan kebohongan, kadang dengan pukulan seringnya bila mereka berlebihan.
Apalagi yang bisa diharapkan dari anak2ku memangnya?
Mudah2an saat berjauhan denganku, ada seseorang yang bisa mengajarkan kebaikan pada mereka, mengajarkan kearifan dan agama yang baik pada mereka, hal2 yang tidak pernah bisa dilakukan oleh aku dan si Semprul sebagai orang tua.
Dear Diary,
Terlambat kusadari bahwa menjadi orang tua tidak cukup dengan cinta dan materi, tapi juga dibutuhkan contoh yang baik.
Berhentilah memarahi anak2, memukuli anak2.
Jangan sampai sepertiku, yang tersisa dalam ingatan mereka ternyata hanya ingatan yang buruk, bukan ingatan tentang kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya.
Berhentilah memarahi anak2, karena waktu cepat berlalu dan kita tidak pernah akan bisa memeluk mereka lagi karena selama ini terlalu sibuk memarahi dan melarang mereka.
Waktuku untuk memeluk anak2ku telah habis.
Mereka sudah besar dan tidak bisa kupeluk lagi, sementara dalam ingatan mereka hanya keburukanku yang ada.
Dear Diary,
Dalam keheningan malam ini, kupanjatkan doa tahajud dan hajatku untuk mereka.
Doa ibu mustahil tidak didengar Tuhan, apalagi bila doa itu diiringi isak penyesalan.
Aku selalu sholat di keheningan malam dan melantunkan doa untuk anak2ku.
Aku tak akan pernah menyalahkan anak2ku lagi.
Memang semua salahku.
Anak adalah ibarat kertas putih tak bernoda, semua tergantung bagaimana orang tua mewarnai dan menuliskannya.
Sayangnya aku telah menodai kertas putih itu.
Aku menyesal Dear Diary...
Bogor, Kamis 8 September 2016
Komentar
Posting Komentar