BERBOHONG ITU BOLEH ASAL DEMI KEBAIKAN
Bogor, 21 Agustus 2016,
Dear Diary,
Anakku si bungsu besok balik ke Bogor karena dosen pembimbing skripsinya yang tidak selesai2 itu sedang keluar kota selama seminggu katanya.
Pagi ini aku sudah kepasar beli udang, entah mau dibuat apa, aku juga sudah siap2 beli daun bawang yang banyak serta bahan2 buat masak bakwan goreng.
Sudah kubayangkan dapur yang porak poranda saat aku masak, bau anyir udang atau cobek berat yang harus kuangkat untuk mengulek bumbu2.
Aku juga sudah siapkan mie rebus untuk bakwan mie khusus pesanannya.
Aku tak tahu dimana enaknya masakanku, atau jangan2 itu hanya perasaan seorang anak yang kangen masakan ibunya.
Masakan andalan kesukaan anak2 dan tentu saja kesukaan si semprul adalah bakwan mie.
Belum selesai bakwan mie kuangkat dan kutiriskan, bakwan mie yang ada sudah disikat anak2.
Tapi biarlah, sepanjang anak2 tidak komplain dan nyinyir bertanya2 apakah mie tersebut mie sisa atau mie baru.
Dulu saat anak2 masih SD, mereka penggemar mie rebus.
Jangan bayangkan satu orang makan 1 bungkus mie, dirumah ini satu orang biasanya makan 2 bungkus mie sekaligus, kecuali si bungsu tentunya.
Bisa dibayangkan betapa sedihnya saat mencuci piring melihat onggokan2 piring dengan sisa2 mie yang hampir setengahnya tersisa.
Pernah aku buatkan 1 bungkus mie saja, tapi mereka malah selalu minta tambah, kupikir daripada berulang2 masak ya sudahlah sekalian saja kumasak 2 bungkus untuk sekali makan.
Kukumpulkan sisa2 mie yang tak habis dalam 1 mangkok plastik besar.
Tiba2 terbersit pikiran “bagaimana kalau sisa mie ini kutambahkan daun bawang dan terigu untuk kubuat bakwan? Toh anak2 dan suamiku suka bakwan dan suka mie.”
Itu ideku, atau mungkin itu resep masakan dari bahan bacaan yang pernah kubaca.
Aku tak tahu pastinya.
Dengan penuh nafsu pembalasan dendam melihat masakan yang disia2kan, ku campur semua mie sisa, kurajang daun bawang dan kuberi terigu.
Rasanya pas, tidak perlu kuberi bumbu dan garam, tinggal kutambahkan sedikit ketumbar yang kuhaluskan.
Sorenya kuhidangkan dipiring dengan diberi hiasan cabe rawit dan saos sambal.
Dalam sekejap masakanku habis.
Sambil mengerjap ngerjap kan mata bulatnya karena kepedasan si tengah yang paling rakus bertanya mewakili saudara2nya “ ada lagi gak bu,masih laper nih, masakannya enak banget.”
“ Dea suka ya? Besok ibu bikinkan lagi ya kalau pas ibu libur.”
Dulu anak2ku memanggilku ibu, seiring dengan perkembangan jaman mereka berubah memanggilku mamam, walau aku menolak mati2an dipanggil seperti itu pada awalnya, aku serasa orang kaya yang menjadi tante girang dipanggil mamam menurutku.
Sampai bercerai dengan si semprul, dia tak pernah tahu bahwa bakwan mie kesukaannya kubuat dari sisa2 mie rebus yang tak habis dimakan dia dan anak2nya.
Kebohonganku yang paling fatal tentu saja soal kulitnya.
Sudah jadi kebiasaan si semprul kalau mencuci mobil selalu bertelanjang dada.
Buatku sih oke2 saja sambil membayangkan adegan diatas dadanya ditempat tidur, tapi saat kulihat pembantuku yang masih gadis, Erna ikut2an memandang si semprul dengan penuh nafsu aku mulai tak rela, apalagi Erna memanggil suamiku mas Lilik, padahal semula dia biasa memanggilnya pak Lilik.
“ Pak tuh Erna bilang sama ibu katanya bapak kalau lagi cuci mobil dia suka kasihan lihatnya, badannya kurus kering, tulang2nya kelihatan, mana hitam lagi kulitnya. Ibu juga kaget kok Erna berani bilang seperti itu ya? Apa karena dia sudah dianggap keluarga?” suatu sore aku buat laporan palsu pada suamiku.
“ Kayak badannya gak hitam saja, dia malahan gosong. Lagian sama majikan berani2nya bicara seperti itu. Nanti bapak tegur dia. Kurang ajar banget.”
“ Gak usah ditegur, nanti kalau dia keluar kita gak punya pembantu lagi, susah cari pembantu. Ya bapak saja jangan terlalu dikasih hati, kalau sama pembantu gak usah bercanda, ya jadinya seperti itu, ngelunjak.”
Besok2nya kulihat suamiku mulai menunjukkan wibawanya sebagai majikan kepada Erna, tak pernah melucu yang tak lucu, bicarapun hanya seperlunya.
Si semprul memang selama ini selalu melawak dengan garing, akupun tak tahu lucunya dimana.
Seandainya aku tertawa saat melihatnya melucu garing, itu karena aku kasihan melihat pandangan matanya bertanya2 “ kok pada gak ketawa ya? Aku kan sedang melawak?!”
Kehebatan laporan palsuku cuma seatas merubah sikap si semprul menjadi bersikap layaknya majikan, tetap saja dia masih bertelanjang dada saat mencuci mobil, paling ditambah topi, dan Erna pun tetap saja kulihat memandang suamiku bertelanjang dada sambil celegak celeguk.
Malamnya, sehabis mandi aku pura2 kaget melihat punggung si semprul.
“ Astaga, bapak kok ada panunya? Kelihatan jelas banget pak, kulit bapak kan hitam.”
“Mana? Dimana?” tanya si semprul sambil mematut matut diri didepan cermin.
“ Tuh Disini....” kutunjukkan punggung agak kebawah, posisi yang tak terlihat di cermin.
“Malu ah pak, kalau tetangga2 tahu bapak panuan.”
Singkat cerita, sejak itu si semprul tidak pernah lagi bertelanjang dada.
Setiap hari dia minta dioleskan Kalpanax untuk mengobati panunya.
Sampai kami bercerai, si semprul tidak tahu kalau punggungnya mulus tanpa panu.
Itu kebohongan2 yang kubuat demi kebaikan.
Suami keduaku juga punya keburukan, dia selalu pindah kamar saat marah denganku.
Saat itu kami tinggal di Sentul.
Tidur sendirian dirumah berhantu membuatku kesal sekesal2nya.
Sebelum sampai kerumah, kutelpon pembantuku Yanti, “ Yan, ibu sudah sampai gerbang tol Sentul, siap2 buka pintu gerbang ya” ujarku, padahal itu kode buat Yanti untuk membuka pintu gerbang dan menyemprot rumahku, terutama ruang tamu dan kamar depan dengan pewangi ruangan beraroma melati.
Saat kami sampai rumah aku pura2 ketakutan dan bilang “ mas, kok bau nya harum ya? Jangan2 ada tambahan setan lagi dirumah ini.”
“ Iya ya dik, apalagi dikamar tamu dik, baunya ngangsreng sekali.”
“ Itu kamar mas kalau lagi ngambek. Ternyata berhantu juga ya kamar tamu.”
Aku tahu pasti suamiku penakut, karena aku yakin hasilnya.
Sejak saat itu, betapapun marahnya, dia tak pernah tidur pindah kamar lagi, paling hanya memunggungiku saja tidurnya.
Sampai dia pindah ke alam lain, dia tidak pernah tahu aku membohonginya.
Korban kebohonganku selain anak2 dan suamiku adalah pemimpinku dan guru2 sekolahku.
Tak terbilang aku bolos saat di SMP dengan alasan pusing dan minta ijin pulang.
Dasi yang wajib dipakai setiap hari kubuat ikat kepala seperti pendekar, dengan mata dibuat sekecil dan sekuyu mungkin, aku ijin pulang.
Biasanya sih saat pelajaran ilmu ukur atau aljabar.
Akibatnya sudah pasti, aku makin jeblok dikedua pelajaran itu.
Mantan2 pemimpinku juga kerap kubohongi.
Di kantor, kebohongan paling umum adalah saat ditanya soal pekerjaan kita sudah selesai atau belum, selalu kujawab “ sebentar lagi pak, sedang di print pak ”, padahal konsepnya saja belum kubuat.
Itu sih masih kebohongan demi kebaikan bersama istilahnya.
Hampir semua pegawai malas sepertiku biasanya pernah beralasan seperti itu.
Dulu dikantor kami setiap hari sabtu pegawai harus memakai atasan batik coklat atau hijau, harinya sudah ditentukan.
Mulanya sih memang kr lupa aku salah pakai batik, orang2 sekantor pakai batik coklat aku malah pakai batik hijau.
Oleh pemimpin bagian umum, pak Hukom, aku disuruh pulang ganti baju.
Karena rumahku jauh di Cilodong Cibinong sana, jam 12 saat orang pulang aku malah baru datang.
Besok2nya aku suka sengaja lupa sehingga kembali disuruh pulang.
Setelah kenyang cuci mata di TIM, aku balik kekantor dengan memakai baju batik yang benar yang memang sudah kubawa didalam tasku.
Pak Hukom memang galak dan nyelekit sekali bicaranya, menimbulkan rasa ingin membantah.
Kalau sudah kehabisan ide dan ingin pulang setengah hari, biasanya aku menghadap pak Hukom sambil berurai air mata sambil lapor bahwa nenekku meninggal dunia semalam.
Sialnya karena aku pelupa alasan yang sama kuulang kembali beberapa bulan kemudian.
“ Kamu neneknya bukannya sudah meninggal bulan Maret yang lalu?” kata pak Hukom.
“ Memangnya nenek saya cuma satu pak. Itu yang meninggal kemarin kan ibunya ibu saya, mbah Pon, sekarang yang meninggal ibunya bapak saya, mbah putri Sastrodijoyo. Kalau bapak gak percaya ya sudah, saya gak usah pulang, tapi ibu saya nunggu mau sama2 ke Serang pak.”
“ Ya sudah kamu saya antar pulang “ kata pak Hukom.
Hukum “Terlanjur Basah” buat seorang pembohong sangat kupegang erat, sehingga aku walau dg penuh rasa was2 diantar pak Hukom pulang.
Sesampainya dirumah belum sempat kukenalkan pak Hukom aku menangis sambil bilang ke ibuku “ Maaf bu, Ida gak bisa ikut melayat ke Serang, ini Ida diantar orang kantor karena disangka Ida bohong kali bu. Almarhumah mbah Putri jadinya dikubur jam berapa bu? Oh ya ini pak Hukom bu, pak Hukom ini ibu saya, silahkan bapak tanya sama ibu saya, ibu saya gak jadi ikut ke Serang karena nunggu2 saya. Yang pergi ke Serang akhirnya cuma ayah dan adik2 saja.”
Runtut dan jelas aku cerita pada ibu didepan pak Hukom.
Untungnya ibuku berdarah seni, dg piawai dan wajah sedih ibu bilang “ iya pak saya akhirnya jaga rumah takut anak saya Ida tiba2 pulang, yg layat akhirnya bapaknya anak2 sama adik2nya Ida.”
Endingnya pun damai, pak Hukom percaya kalau nenekku meninggal dunia.
Sebetulnya aku tidak 100 % berbohong, karena kedua nenekku itu memang sudah meninggal bertahun tahun yang lalu.
Sejak saat itu aku enggan memakai alasan nenekku meninggal, setiap berbohongpun kucatat di diary agar aku tak lupa.
Pengalaman memang guru yang baik bukan?
Berbohong apapun alasannya sebetulnya tidak baik, tidak sehat.
Karena satu kebohongan akan diikuti kebohongan2 lainnya untuk menutupi kebohongan yang kita buat.
Walaupun berbohong demi kebaikan, sebaiknya tidak dilakukan.
Untuk menutupinya kadang kita malah harus melakukan kebohongan yang lain.
Kebohongan paling fatal yang kulakukan adalah saat aku berpacaran dengan seseorang dari suku batak yang beragama kristen, kakak kelasku di FHUI.
Untuk memenangkan hatinya aku cerita bahwa keluarga kami adalah berasal dari keluarga kristen protestan.
Itu memang tidak salah, aku tidak berbohong, karena kakekku dari pihak ibu, mbah Harry adalah penganut agama kristen, juga ibuku dulunya.
Kukatakan aku tidak beragama karena belum memilih agama yg kuanut, apakah islam seperti bapak atau kristen seperti dr pihak ibu.
Niatku agak berbohong itu sih cuma ingin melancarkan jalanku, mencicipi bagaimana rasanya berpacaran dengan orang batak, ganteng pula.
Sialnya saat berpacaran aku diajak ke lapo tuak, dan pernah ke resto yang mengandung b**i.
Aku panik, akhirnya aku bilang bahwa aku vegetarian dan tidak makan daging apapun.
Tapi kerusakan sudah terlanjur terjadi, aku sudah merasa jijik bahkan walau cuma untuk minum apalagi dicium.
Sejak saat itu kalau jalan bersamanya aku cuma diajak makan mpek2 saja paling keren, atau cuma es teh botolan.
Petualanganku hanya sampai disitu saja dengan si batak ganteng itu, karena setiap mau dicium aku selalu terbayang anjing yang terkaing2 atau b**i panggang guling yang matanya serasa menuduh mataku.
Sebetulnya tanpa kusadari, jauh didalam hati, aku sudah memilih Islam sebagai agamaku.
Yah pokoknya, jangan berbohong, walau itu demi cowok paling ganteng sedunia sekalipun.
Oke ?!
Komentar
Posting Komentar