GOODBYE JOGJAKARTA
Dear Diary,
Jumat, 29 Januari 2016, hari terakhirku di Jogjakarta.
Kami agak terlambat bangun mengingat semalam sampai jam 1 malam kami masih terjaga saling bercerita setelah beres2 koper dan oleh2.
Walau lelah karena seharian jalan, rasanya kami masih punya energi lebih untuk saling ledek.
Kemarin kamis siangnya kami kembali ke keraton, ke Taman Sari, berkeliling ke Musium De Mata, pantai Depok, pantai Parang Tritis, dan cari oleh2 gudeg Yu Jum dan Bakpia Merlino serta Bakpiaku.
Dear Diary,
Aku memang harus kembali ke kraton Jogja. Aku ingin di photo ulang dengan hasil yang harus lebih baik dari photo kemarin.
Sesampainya di keraton suasana sepi dari photograper dadakan.
Yang ada hanya murid2 SMP dari berbagai daerah.
Akhirnya Wiwi mencari photographer kraton kesudut2 kraton.
Sayangnya orangnya berbeda.
Hasilnyapun jelas beda.
Aku sudah skeptis sejak awal karena sang photographer memilihkan hasil photo seenak jidatnya sendiri.
“Ini jelas bu photonya. Gambarnya tajam. Pilih yang ini saja bu.” Katanya.
“Saya gak peduli jelas atau tidak. Saya ingin photo saya kelihatan kurus dan hidungnya mancung. Tidak seperti kemarin.” Aku seperti biasa ngotot.
Apa yang terjadi maka terjadilah.
7 photo itu dalam posisi tidak terbaikku.
Aku selalu kelihatan gemuk dan...pesek.
Uang rp. 105 ribu yang dibayarkan untuk 7 lembar photo tak rela kubayarkan karena hasilnya jelek.
Kutinggalkan kraton Jogja, kami menuju Taman Sari.
Melihat undak2an tangga yang banyak dan agak menukik membuatku jeri.
Apa daya si pemandu mengiming2ku dengan bujukan “dibawah sana buat photo bagus2 bu. Ibu kelihatan kurus kalau photo disana.”
Semprul.
Mungkin dia mendengar pembicaraan kami tentang photo dan berat badan.
Aku hanya mampu sampai kamar mandi, duduk disana membayangkan sang raja melempar bunga dari atas sementara dikolam renang dibawahnya para selir dan permaisuri menunggu untuk rebutan bunga agar bisa mandi bersama, ML berdua dengan sang raja.
Di kamar mandi ini kubayangkan para selir saling lirik dengan iri, melihat tubuh saingannya masing2.
Saling resah menunggu giliran untuk digiliri sang raja.
Sejak dulu rasanya kaumku memang sudah dianggap pemuas nafsu.
Tiba2 rasa kagumku pada Hamengkubuwono I sirna membayangkan dia melempar bunga ke kolam.
Dear Diary
Unik2 kelakuan adik dan sepupuku.
Di musium De Mata, Eni yang mungkin dialam bawah sadarnya ingin jadi photo model asyik dengan berbagai gaya tanpa diarahkan, mulai dari photo kencing berdiri, jadi mayat yang tidak muat di peti mati sampai bergaul dengan pocong.
Lain lagi dengan Wiwi.
Gaya Wiwi selalu harus diarahkan. Sudah jelas dia dulu tidak minat jadi photo model, aku yakin itu, seingatku dulu dia bercita2 jadu istri mentri, entah mentri apa aku lupa.
“Wiwi photonya gimana mbak? “
“Ini photo apa ya En?”
Untung ada Eni yang sabar menjelaskannya, sementara aku hanya bisa tertawa terpingkal2 mentertawakan keluguan Wiwi.
Hanya satu yang tidak perlu diarahkan, saat memotret cowok ganteng.
Nalurinya mengambil alih.
Dear Diary,
Saat menuju pantai Depok ternyata saat dhuhur sudah tiba.
Aku dan sang supir idola, Mastadi, supir sabar dari Trans Jogja, turun untuk sholat dhuhur dan Ashar sekaligus.
Adik2ku dengan tanpa rasa berdosa bilang “ titip salam ya mbak.”
Lega sudah menunaikan kewajiban membuatku lapar.
Saat memesan udang, cumi dan ikan bawal untuk dimasak, aku sudah was2, pasti bumbunya beda.
Makanya saat memakan udang saos padang berwarna kuning pucat aku langsung yakin, “ ini udang saos padang versi pantai Depok.”
Rencana mau langsung kembali ke Jogja batal gara2 Wiwi bolak balik bertanya ke Mastadi “kok pantainya sepi ya disini? Itu kok disana ramai sekali? Itu apa ya?”
“itu disana pantai Parang Tritis.”
“Wiwi mau kesana. Boleh ya mbak?”
Terpaksalah kami dari pantai ke pantai.
Memang pantai Parang Tritis lebih indah, dan lebih banyak...cowok.
“Nah enak nih pantainya mbak, banyak cowoknya.” Ujar Wiwik.
Di Parang Tritis ada sado yang ditarik seekor kuda dengan tempat duduk untuk dua orang dibelakangnya.
Eni yang pecinta kuda ngotot mengajakku naik sado.
Aku awalnya menolak karena takut dengan kuda.
Tapi terpaksa aku ikut naik sado menemani Eni karena Wiwi menolak naik kuda dan hanya ingin duduk memandangi cowok2 lewat.
Aku memang punya rasa perikekudaan.
Ada rasa sedih dan kasihan melihat sang kuda tertatih tatih keberatan saat menarik tubuh gembrot kami.
Kulihat punggung kuda kapalan karena sering tergesek2 sais kereta, botak tidak ditumbuhi rambut.
Aku menjerit2 latah saat sang kuda menyeberangi pantai berair.
Aku takut sang kuda tergelincir.
Untungnya disudut pantai Parang Tritis kutemui photographer juga.
Mudah2an kali ini photoku terlihat kurus saat diphoto.
Sayangnya kenyataan terlalu pahit untuk diterima.
Photoku masih sesuai kenyataan.
Hari itu diakhiri dengan beli oleh2 dan makan duren lesehan di jl raya Magelang, depan gedung TVRI Jogja.
Mastadi sampai menolak nolak saat ditawari makan malam di Raminten.
Semua sudah kekenyangan.
Akhirnya acara ke Raminten batal.
Bukannya istirahat, Dear Diary, adik2ku malah saling sahut2an meledek.
Wiwi merekam adegan Eni sedang menari striptease untuk dijadikan barang bukti buat James suaminya.
Wiwi juga merekam adeganku saat sedang dalam keadaan tidak senonoh untuk ditunjukkan ke ibu, bahwa anak baiknya ternyata binal.
Aku sih tenang2 saja,” paling juga dia gak bisa merekam.”
Ternyata dugaanku betul.
Aku masih tetap baik dimata ibu, Jamespun tidak mendapat bukti kebinalan istrinya, karena rekaman Wiwi tiba2 tidak ada.
He he he ...sesuai dugaan.
Aku dan Eni tertawa kegirangan.
Dear Diary,
Jumat ini hari terakhir kami di Jogja.
Eni dan Wiwi berharap bisa datang lagi ke Jogja dan memakai Mastadi jalan2 keliling Jogja.
Aku tidak berharap banyak.
Tidak ada lagi sudut2 di Jogja yang bisa mengusik rasa bersalahku terhadap almarhum suamiku si play boy kampret.
Kemarin adalah air mata terakhirku untuknya, juga untuk Jogja yang pernah menjadi kota idamanku.
Kelakuan tukang becak meluluh lantakkan kekagumanku akan Jogja.
Goodbye Jogja, kini sudah kutinggalkan semua kegetiranku terhadapnya dikota ini.
Tak ada lagi kenangan tentangnya.
Goodbye Jogja, goodbye masa lalu.
Komentar
Posting Komentar