GOODBYE PAK IN, MAAF KAMI TERLAMBAT. INI GARA2 NETTY PAK...


Namanya Indartono bin Soedarmadi,tapi dia hanya ingin dipanggil Indartono saja. Pria kelahiran 14 September 1960 itu baru pensiun per 1 Oktober 2015, dua bulan lebih dulu dari aku yang pensiun per 1 Desember 2015.
Dari pak In, nama panggilannya, aku banyak bertanya2 tentang hak2 apa saja yang diperoleh sebagai pensiunan, karena dia  masih gres pensiun, dari mulai DPLK sampai BPJS.
Dari pak In aku tahu bahwa saat semua pegawai BNI pensiun akan selalu kesulitan mengambil BPJS karena pegawai BNI pensiun 55 tahun sementara peraturan BPJS pensiun usia 56 tahun.
Kadang kalau pak In lama mengangkat telpon, seperti biasa pasti aku akan mengomel panjang lebar “kok telponnya lama sekali diangkat sih? Malas banget jadi orang. Jalannya pasti lama deh, sudah tua, pasti lemes kan?”
Biasanya dia akan menjawab “ah, bisa aja”, dengan nada kalem tapi tak peduli.
Seperti wanita2 penggemar curcol, kalau ada sesuatu menimpa biasanya aku update status di BBM, WA atau Line. Pak In sebagai pemerharti lingkungan pasti akan langsung koment “ ada masalah apa lagi sih?” baik secara lisan, tapi seringnya secara tulisan.
Aku biasanya langsung bercerita seperti air bah, kadang sambil menangis, kadang sambil menendang2 pintu atau apa saja yang bisa kutendang.

Pak Indartono contoh klasik pegawai BNI yang tersia2 karena 1 titik noda yang tidak dibuatnya tapi noda hanya karena koneksitas, karena harus bertanggung jawab sebagai pemimpin.
Sejak awal disingkirkan sampai akhir masa di BNI pak In mempunyai julukan “spesialis PGS wakil”.
Kalau kuledek biasanya dia mengelak dengan sombong“eh tapi saya levelnya AVP lho!”, kalau sudah begitu aku langsung sakit perut dan komentar “sombong lo, orang sombong biasanya disayang setan.” Dia hanya tertawa.
Dimanapun pak In menjadi Pgs, dia selalu lapor. Keadaan ini berlaku sejak pak In ditempatkan di cabang Jakarta Kota.”Bu Rita, saya lagi jadi Pgs di cabang anu. Jangan cari gue ya!” Lapornya.
Kalau sedang baik hati aku selalu menjawab “Hati2 pak In. Di cabang itu ada yang bandel, namanya si anu, dia suka klepto. Hati2 kerja lo.” Kusampaikan info yang kupunya pada pak In.
Kalau sedang bad mood aku akan menjawab “ EGP. Mau nyombong ya?”
Saya, gue, elo, kamu, bu Rita, pak In campur aduk terucap tidak karuan. Tidak ada kata baku yang sopan saat kami saling berbicara. Seenak udel saja kata2 meluncur.
Saat bonusnya tidak dibayar oleh Pgs. pemimpin yang berwenang, saat itu sang Pgs. Pemimpin juga menjadi pria yang paling kubenci karena bersikap tidak adil kepadaku, pak In hanya berkomentar ringan “biarin deh, nanti kalau bu Rita uangnya sudah habis saya kan masih banyak.”
Tak sekalipun dia ikut2an menjelek2an sang Pgs pemimpin yang berwajah mirip patih Gajahmada sedang kembung. Dia hanya haha hihi mendengarkan celotehku.
Itulah pak In.
Kesakitannya selalu disimpan sendiri.
Kejelekan yang dilihatnya tak pernah terucapkan dan diucapkan kepada yang lain.
Itu sebabnya aku selalu merasa nyaman curhat kepadanya.

Saat sabtu pagi, 6 februari 2016 Yanti mengirimkan kabar pak In meninggal dunia karena kecelakaan, aku kaget setengah mati. “pak In kita Yan?” tanyaku.
“Iya bu, yang dulu di Bogor dan terakhir di Cabang Jakarta Kota.”
Terlalu cepat pak In dipanggil Yang Kuasa. Dia baru 4 bulan menikmati masa pensiunnya.
Karena merasa banyak dosa sering  ngomel2 dan curhat tanpa sebab, aku sangat ingin melayat dan kalau bisa mengantarkan pak In ketempat peristirahatannya terakhir.
Mulailah aku, Tati dan Yanti saling arrange cara agar bisa barengan kerumah pak In.
Teman dekatku yang bisa bawa mobil memang cuma Tati dan Yanti. Sayangnya Tati berencana ingin naik kereta dan sudah janjian sama Utiek, katanya. Aku kaget. Naik kereta?
“Jangan kayak orang susah deh naik kereta umpel2an. Bisa geger dunia notaris kalau kamu naik kereta.” Aku memanas2i Tati.
“Saya buta sama sekali daerah Bogor bu” kilah Tati.
“Jangan khawatir Tat. Yanti itu lurah Bogor timur, ibu lurah Bogor barat. Kita gak bakal nyasar.”
Aku berkata dengan yakin, padahal Bogor Barat atau Bogor Timur dimanapun aku tidak tahu.
Kembali kuingatkan Tati “Jangan kayak orang susah deh. Masak notaris terkenal naik kereta?”
Seperti yang kuduga, harga diri Tati memang tinggi. Dia langsung setuju bawa mobil, kurasa setelah dia membayangkan bajunya basah kuyup saat naik kereta rakyat.
Nah kalau sudah begitukan aman, pikirku, aku bisa nebeng.
Yanti bilang Tati akan sampai dirumahku jam 9 pagi.
Tati bilang kalau sudah berangkat aku akan ditelpon. Tidak sinkron sih, tapi aku tidak terlalu teliti mendengarnya. Aku buru2 mandi dan berangkat kepasar untuk beli jilbab Syar’i agar bisa menutupi dada dan perutku yang rasanya makin maju.
Jam 10.40 Tati menelpon katanya sudah keluar dari pintu tol Sentul.
Karena sudah siang, aku menunggu dipinggir jalan bermodalkan sebotol Fanta rasa anggur dan sebuah kipas.
Jam 9 dan baru datang jam 10.45 itu kok rasanya jauh banget kupikir.
Untung mahluk mungil yang duduk dikursi depan langsung mengakui kesalahannya “Saya yang salah bu Rita, saya telat datang kerumah bu Tatinya.”
Oooh.....ternyata bukan salah Tati keterlambatan ini. Ternyata Tati sudah berubah.
Yanti sudah  menunggu didepan Jogja departemen store, mall yang sejak tahun 2006 seingatku, sudah sejuta kali sering dipamer2kan Yanti selama ini,. Saat kutengok, kok hanya mall biasa, sama dengan mall2 lainnya, semrawut.
Hebatnya dimana? Ah biarlah, kupikir. Pendapat orang kan beda.
Capek2 jalan macet kerumah pak In, ternyata jenazah sudah dibawa kemakam dipekuburan Kayu Manis, didaerah Salabenda, Cilebut.
Tati yang biasa menggunakan Waze kali ini juga dipandu oleh Netty.
Ternyata Waze tidak tahu letak TPU Kayumanis.
Aha...dalam hati aku kesenangan. Waze-nya Tati ternyata tidak sepintar dugaanku.
Sayangnya navigator dadakan, Netty  malah lebih parah. Telpon sana sini keteman2 Cabang Jakarta malah membuat sang raja jalanan tambah bingung, belum lagi ditambah suara Yanti yang panik memberi arahan ke Utiek yang ternyata salah jalan.
Lengkap sudah kebingungan sang raja jalanan. Arahan Yanti untuk Utik disangka untuk Tati.
Rasanya dimobil ini yang waras dan sadar akan keadaan hanya aku.
Akhirnya mobil Tati putar balik menuju pemakaman diikuti mobil Utiek.
Sudah kuingatkan Tati agar jangan cepat2 karena ada Utiek yang mengikuti, disamping perutku langsung lapar karena terlonjak lonjak dikursi belakang.
“Tenang bu. Ini saya lagi lapar bawa mobilnya. Kalau lagi lapar memang begini bu”.
Pantas sepanjang jalan Tati selalu berkomentar bila ada papan nama restoran.
Anak ini ternyata lapar. “Ya Tuhan, selamatkan kami, hindari kami dari kecelakaan karena Tati sedang lapar.”
Jalan menuju pemakaman ternyata berliku2.
Netty sebagai navigator ternyata kacau.
Dengan nada manis merayu dia bertanya kepada seorang pengendara motor tentang arah kepemakaman.”Maaf bu saya masih baru disini” Jawabnya. Gagallah sang navigator.
Akhirnya petunjuk kepemakaman malah diperoleh Tati yang bertanya dengan nada tegas dan seperti biasa mengintimidasi.” Arah kepemakaman Kayumanis kemana ya?” tanya Tati pada seorang anak SMA yang berdiri dipinggir jalan.
Sumpah, demi Tuhan, kulihat wajah anak itu ketakutan saat menjawab “lurus saja bu”.
Arahnya ternyata benar. Sayangnya mobil Utiek sudah tidak kelihatan dibelakang.
Netty dengan penuh harap setiap lihat motor melintas teriak2 dengan penuh histeria “ itu bikers BNI bu”.
Semangat Netty langsung surut begitu aku dan Yanti menepis dugaannya. Masak semua orang naik motor dia bilang bikers BNI pulang dari makam?
Tukang ojek dekilpun dia bilang bikers BNI yg dekil krn habis touring.
Karena lapar sang raja jalanan mengalami disorientasi arah. “nah itu makamnya pasti didepan bu. Ada bendera banyak soalnya.”.Tati berkata dg meyakinkan.
Busyet dah.
Ternyata itu mesjid yang dipenuhi umbul2.
“Jangan2 makamnya masuk perumahan ini ya?” ujar Netty tak yakin.
Kali ini aku, Yanti dan Tati kompak menolak.
Mana ada pemakaman terletak ditengah2 perumahan? Makin ngawur banget ini anak.
Saat ada jalan kecil, baru kami yakin itu jalan benar menuju makam saat Netty dengan bahagia teriak2 “Mustakim. Lihat bu, itu  Mustakim lewat. Benar ini pasti  jalan menuju makamnya. Pasti.”
Tambah yakin lagi saat kami berpapasan dengan Edi Rosa.
Ehm....ternyata Edi Rosa masih kalah canggih membawa mobil dibanding Tati saat kulihat roda mobilnya susah payah dimundurkan dan diarahkan agar tidak lurus kekanan.
Terbiasa mempunyai suami dan anak yang hobby kebut2an, aku jadi terbiasa melihat kecanggihan seseorang dari caranya membawa mobil.

Saat dipemakaman kulihat Didi, Yudi dan yang lain2 yang kulupa namanya.
Netty seperti bola bekel lincah menghampiri mereka. Tak lama kuseret Netty.” Woiiii... kita belum kemakamnya. Masih ada keluarganya disana. Jangan ganjen deh. Kalau lihat cowok langsung saja nyosor.” Entah apa jawabnya karena saat yang bersamaan Tati dan Yanti berkomentar.
Dipandu Mustakim kami menuju makam pak In.
Entah siapa ada yg mengusulkan aku agar membonceng motor Mustakim menuju makam.
Dengan gaya wanita muslimah dan solehah aku menolak. “ Bukan muhrim, bukan muhrim..”
Padahal bukan karena itu alasanku menolak.
Aku tak yakin badan kurus Mustakim mampu memboncengi bobot 98 kg tubuhku.
Kalau sampai motornya ngadat tidak bisa jalan krn keberatan bagaimana?
Bisa jadi skandal memalukan nanti.
Dipemakaman kulihat suasana memang sudah agak sepi, tapi istri dan 2 anak pak In masih ada dimakam, dengan mata sembab.
Istri pak In kulihat agak bule, putih dan cantik.
Pantas saja walau pak In genit tapi dia selalu genit dalam taraf wajar, hanya sebatas guyon, dan tidak pernah lebih.
Punya istri cantik dirumah, kurang apalagi?
Istrinya menangis dan berulang2 mengucap “ Ya Allah...ya Allah...”
Kami berdoa dalam diam.
Tak terasa air mata mengalir, membayangkan jasad pak In yang terbaring didalam makam.
Aku berdoa untuk pak In, aku minta maaf kepada pak In dengan segala rasa.
“Maaf pak In, kami datang terlambat. Ini semua karena Netty pak.” Sambil berdoa aku memberi penjelasan.
Semua teman yang datang kulihat menangis.
Utiek menangis, kuduga mungkin karena ingat almarhum anaknya Arya yang juga meninggal karena kecelakaan.
Yang lebay kulihat menangis adalah Netty.
Gayanya menangis rasanya familiar.
Beberapa menit kemudian aku baru sadar, gaya Netty menangis mirip gayaku menangis saat nonton film seri  Korea.
Sebelum pulang kami masih sempatkan ngobrol dengan teman2 yang kulihat terduduk lesu dipinggir makam.
Suntoro Mardi teman karib pak In kulihat lesu bercerita kepada Tati.
Tadinya kupikir Tati begitu dekat dengan Toro karena ingat yayang bebebnya, Toro yang lain dirumahnya. Rupanya Tati dan Netty sedang tekun mendengar cerita kepedihan Toro.
Disudut sini aku berasa seperti seleb saat Ibnu memberi dorongan menulis.
Ehm.... Hidung pesekku kembang kempis rasanya.
Disetiap kesedihan pasti ada kesempatan berphoto2. Kamipun berphoto2 walau aku merasa itu tak elok. Pak Nunu bahkan berkomentar “masak dimakam photo2 sih?”
“Kapan lagi photo, kan kesempatan ketemu jarang.” Kata Utiek sambil mengeluarkan kaca mata hitamnya yang keren dari dalam tas.
Pak Nunu  yang barusan berceramah memprotes akhirnya ikut2an photo juga.
Mungkin ini phenomena baru semenjak ada ponsel berkamera dan kaca mata hitam.
Seingatku dulu walau sudah ada kamera jarang ada yang mau berphoto2.
Siapa yang mau diphoto dengan mata sembab dan hidung merah mengucurkan ingus?

Perut lapar membuat Tati makin tak wajar membawa mobil. “ini cuma 90 km kok bu. Tenang aja.”
Walaupun sudah ditenangkan, tapi kenapa aku tetap deg2an ya?
Apa karena Tati memakai kaca mata hitam saat menyetir?
Didalam mobil untuk menahan lapar kami makan buah2an dan kue2 yang dibeli Yanti.
Aku langsung histeris dan minta cairan pembersih tangan saat kuingat aku tadi bersalaman dengan Netty.
Kubayangkan tangan Netty beberapa hari yang lalu mengobok obok WC penuh t**i untuk mengambil ponselnya yang tercebur di WC.
Dan tangan itu barusan menyalamiku...pasti belum bersih tangannya.
Berkali2 kubilas tanganku, Yantipun ikut2an.

Niat baikku meringankan beban Tati agar tidak perlu susah2 mengantar aku dan Yanti dengan mengajak makan di Bellanova ternyata menjadi bumerang untukku dan Yanti.
Kupikir dan memang nyatanya biasanya banyak taxi Blue Bird berjejer di depan Bellanova menunggu penumpang.
Aku dan Yanti tinggal naik taxi sementara Tati dan Netty pulang ke Jakarta.
Sejam kami menunggu taxi sejak diturunkan Tati dengan penuh perasaan, tidak ada satupun taxi.
Satpamnya malah mengusulkan agar naik Trans Pakuan ke Botani karena disana banyak taxi.
Betul juga kupikir.
Yanti langsung naik Trans Pakuan menuju Bubulak, arah mall kebanggaannya, Jogya Mall untuk mengambil mobilnya. Aku menunggu taxi didepan lobby Botani.
Satpam bilang sekarang jarang ada taxi yang masuk ke Botani. Waduh !
Sejam kutunggu tidak ada juga. Dengan terseok2 aku mencari taxi sampai depan gedung pasca sarjana IPB. Wuihh, saat kutengok kebelakang, jauh sekali jalan yang sudah kutempuh ternyata.
Akhirnya karena putus asa mencari taxi aku naik angkot jurusan Warung Jambu. Kepalang tanggung, sekalian kucarter saja angkotnya, rp. 50 ribu sampai rumah.
Naik angkot berasa naik taxi, plus semilir angin.
Jam 17.54 aku baru sampai rumah.
Kubayangkan saat ini pasti Tati sedang menggelendot manja pada yayang bebepnya, sementara Netty pasti sedang bercerita sambil meneruskan tangisnya yang tertunda.
Yanti juga pasti sedang memamerkan daster2 yang barusan dibeli di Bellanova, pasti harganya di mark up. Sambil mandi dan menyabuni kakiku yang bengkak aku membayangkan mereka.
Sholat Dhuhur dan Ashar ku terlewat.
Tak akan lagi aku mau diturunkan dipinggir jalan bila belum kulihat ada taxi dengan mata kepalaku sendiri.
Nanti malam aku pasti akan kesakitan karena kakiku bengkak semua.
Walau ibuku menghibur dan bilang “gak terlalu bengkak kok Da, itu kaki kamu memang besar”, aku tetap merasakan kesakitan.
Betapa menderitanya jadi orang tak punya ternyata...

Komentar

Postingan Populer