HUBUNGANKU DENGAN IBU : UNBELIEVABLE
Dear Diary,
Perintah ibu buat kami anak2nya mutlak harus dilaksanakan.
Kadang sebagai anak selalu ada godaan untuk melanggarnya, makin berat pelanggaran makin hebat nilainya, serasa jadi jagoan berani melanggar larangan ibu.
Seumur hidup baru 2 kali aku melawan ibu, saat disuruh cuci cobek dan saat menikah.
Saat itu aku ingat masih kelas 6 SD, saat ibu menyuruhku mencuci cobek untuk mengulek sambal.
Karena malas harus jongkok, dulu kami mencuci piring dibawah dekat pancuran, aku mencuci cobek dengan menggunakan kakiku.
Ibu yang melihat langsung marah dan mencakarku.
Bisa dibayangkan seramnya.
Kuku ibu panjang2 dan terawat baik walau ibu memasak dan mencuci baju, sampai beberapa bulan yll kuku ibu seingatku masih panjang.
Dicakar ibu, tanpa sadar aku menarik tangan kananku, dan hasilnya adalah guratan memanjang, menyerupai belang ditanganku yang putih.
Terlihat jelas, karena lukanya cukup dalam.
Itulah kenapa saat masih menjadi wanita segar keyes2 aku tak pernah suka memakai baju terbuka, yah karena belang bekas dicakar ibu itulah.
Untungnya setelah makin tua belang ditanganku makin lama makin hilang.
Aku pernah cerita bukan bahwa aku bukan anak kesayangan ibu karena mirip alm. Bapak kandungku?
Kadang tanpa berbuat salahpun yang jadi tumpuan omelan biasanya aku sebagai anak tertua, yah alasan lainnya karena wajahku mirip alm. Bapak.
Nah gara2 itulah aku tidak pernah berulah nakal lagi.
Kalau ibu marah panjang lebar lengkap dengan perbendaharaan kata2 kasarnya, aku pasti menjawab, pasti lah, hukumnya wajib buatku untuk menjawab omelan ibu, tapi hanya dibelakang ibu, dengan meniru mimik ibu saat ngomel lengkap dengan gaya berjalannya.
Mana berani kalau didepan ibu aku sperti itu, bisa disumpahi jadi malin kundang.
Rasanya semua anak2 ibu seperti itu, hanya berani mengomel dibelakang ibu.
Dear Diary,
Pemberontakan terbesarku adalah saat minta izin menikah dengan si Semprul.
Malam itu, sabtu malam minggu tanggal 25 Juli 1987, seminggu sebelum kami menikah.
Sengaja kami tiba2 memberitahukan ke ibu, karena pasti akan ditolak mentah2 oleh ibu.
Setiap si Semprul datang dan mengucapkan salam “assalamualaikum bu” jawabannya hanya suara kentut yang terdengar sementara ibu tetap seolah2 tak mendengar sapaan si Semprul.
Kadang wajah ibu melengos kekanan atau kekiri.
Pernah aku belajar mencoba kentut tiba2 seperti ibuku, antisipasi saat anak2ku mulai remaja, yah siapa tahu mereka bawa pacar, tapi aku tak pernah bisa.
Selain malu kentut didepan orang, juga susah.
Entahlah.
Itulah hebatnya ibu, bisa kentut tiba2 setiap si Semprul mengucapkan salam.
Kadang kalau si Semprul pamit pulang dan dugaanku, ibu sedang tak ingin kentut, ibu suka buang ludah dengan suara keras seolah2 mengeluarkan dahak “hooekkkk...cuih.”
Aku jujur saja malu dengan penolakan ibuku.
Ibu tak cukup jujur dan berani untuk menolak kedatangan si Semprul mengapeliku setiap malam.
Yah betul, hampir setiap malam, karena selain sebagai pacar si Semprul secara bulat dan yakin telah kunobatkan menjadi supir pribadiku.
Tentu saja itu atas persetujuan si Semprul sendiri, saat dia tahu wanita pujaannya berhimpit2 naik bus dan sering digoda penumpang bus lain.
Maklum karena lelah aku sering kali tertidur dibahu penumpang sebelah, kadang malah sambil gelendotan tangannya bermimpi sedang memegang guling.
Saat si Semprul melihatnya, saat itu kebetulan si Semprul sedang tidak bawa mobil sehingga kami naik bus bersama2, yang dapat duduk hanya aku sedang si Semprul berdiri, dia langsung bersumpah, “selama kita pacaran, kamu gak akan gue bolehkan naik bus Rit ”, sumpah yang ditepatinya dengan serius.
Seandainya saja ibu saat itu tidak bersikap berlebihan dalam menolak si Semprul aku mungkin tidak akan pernah mempertimbangkan si Semprul dengan serius.
Aku masih suka senang2, masih belum mau memilih, walau adikku sudah 2 orang yang menikah.
Sayangnya ibu salah taktik, makin dilarang, aku makin berusaha buat serius dengan si Semprul.
Saat mendengar aku dan si Semprul minta izin untuk menikah, ayah dan ibu hanya diam membeku.
Itulah pembangkangan terbesarku.
Hampir 2 tahun aku hidup antara ada dan tiada karena tidak diakui anak, praktis 100 % aku hidup dilingkungan borjuis keluarga si Semprul.
Setelah tinggal terpisah dari ibu, bila kelak dimarahi ibu aku hanya tidak datang sampai lama, si semprul lah yang mewakiliku mengirim uang bulanan untuk ibu.
Dear Diary,
Kinipun ibu masih seperti dulu, masih cepat marah.
Jadi walau ibu kini tinggal dirumahku, aku tetap menjaga jarak.
Kalau saat ngobrol dengan ibu sudah tercetus panggilan “kowe”, nah itu saatnya aku memijit2 pelipis atau pura2 tanya “bu masih ada koyo gak? Kepala Ida kok tiba2 pusing.”
Saat ibu sedang ingin menasehati, jangan coba2 pakai alasan kepala pusing, bisa2 ibu ngomel seharian.
Makanya saat ibu memanggilku hari minggu kemarin, aku yang selalu was2 mulai curiga “wah ibu bakal ngomel nih”, untungnya ibu cuma memberitahuku untuk minta diantar ke Puskesmas depan rumah.
Saat hujan turun sejak pagi aku sudah mulai bahagia, berarti acara ke Puskesmas gagal.
Rasanya gengsiku merosot drastis bila harus mengantri ke puskesmas.
Sialnya hujan berhenti jam 10 pagi, akhirnya akupun pergi ke Puskesmas.
“Kok gak pakai jilbab Da” tanya ibu.
“Ida mau periksa gatal2 dileher dan diperut bu, kalau pakai jilbab nanti susah bukanya.”
Pandangan tak setuju ibu meneliti celana hitam selutut, kaos dan sandal jepitku.
Untung puskesmas sepi sehingga kami tak menunggu lama.
Tapi tetap saja banyak waktu buat kami membahas orang2 yang datang di puskesmas pagi itu.
“Itu orang kok ke puskesmas pakai antene, memangnya lagi model ya sekarang?” tanya ibu saat melihat wanita usia 30 tahunan memakai rol rambut diponinya.
“Iya bu lagi model, kan lagi ada film StarTrek yang baru bu.” Jawabku sekenanya.
Ibu semula duduk di kursi yang agak sepi, dipojokan, kulihat ibu tak sadar didekati laki2 tua seusia ayah.
Aku yang malas berbasa basi mengajak ibu pindah tempat duduk dekat tempat praktek dokter.
“Pindah yuk bu duduknya, kalau duduk disini gak kedengaran kalau dipanggil susternya.”
Kami pun pindah.
“ Itu kakek2 kayaknya mau dekatin ibu. Ibu pakai emas2an sih. Jangan2 dia copet bu.”
Aku yang biasa waspada langsung mengutarakan kecurigaanku pada ibu.
“Mana ada kakek2 tukang copet” jawab ibu.
“yah kalau gitu dia naksir ibu, pengen dekati ibu, soalnya Ida lihat kok dekatin ibu, tadinya kan dia duduk diujung sana. Coba saja ibu lihat, pasti dia dekatin nenek2 lain deh.”
Belum selesai ucapanku, kulihat si kakek2 beringsut pindah duduk dan mendekati nenek2 mewah dengan 2 cucu.
Entah apa yang dkatakan dengan berbisik2 sementara si nenek2 kemaluan.
“Tuh bu, lihat, kakek2 genit itu lagi dekatin yang lainnya. Betulkan yang Ida bilang. Itu pasti kakek2 play boy. Bukan, dia bukan tukang copet bu, Ida salah, soalnya sandalnya mahal bu.” Kulihat dia memakai sandal Homyped.
“Itu istrinya kali Da.”
“Bukan, bukan istrinya. Yuk kita pindah tempat duduk dekat dia biar bisa dengar pembicaraannya.”
Entah ibu bosan menunggu, entah ibu juga terpengaruh sikap kepoku, ibu akhirnya pindah sebaris dibelakang si kakek2.
Buset, aku menyesal pindah tempat duduk.
Laki2 tua itu sedang mengajak kenalan.
Ibu langsung sewot mendengarnya.
“Huh, laki2 sudah bau tanah saja masih genit, ngajak2 kenalan segala macam. Bukannya ibadah.”
“Ya dia ibadah kali bu, tapi dirumah. Ini kan di puskesmas, dia lagi berobat. Jangan2 ayah kalau ke puskesmas atau ke rumah sakit seperti itu ya bu. Kok ayah sering banget kerumah sakit, tiap minggu malah, coba ibu perhatikan deh.”
“ iya ibu juga yakin, ayahmu belum insaf jadi play boy nya.” Suara ibu mulai naik 1 oktaf.
Tak lama saat sepasang suami istri masuk menggendong bayi, ibu langsung berbisik “ itu kayaknya adikmu si Buyung deh Da. “
Buyung? Dari ujung kaki sampai ujung rambut kulihat tak ada mirip2nya dengan Buyung.
“Mana ada mirip2nya dengan Buyung bu?!”
Giliran ada seorang wanita yang kelihatan sedih dengan menggendong anak seusia cucuku Daru duduk diujung poli umum, ibu tak berkedip memandangnya.
“Kayak anakmu ya Da, itu anaknya juga mirip cucumu.” Kata ibu.
“Mana ada sih itu perempuan mirip Dea, dia kan kurus kering badannya, sedang dea gemuk. Itu anaknya juga dekil, Daru kan putih bersih .”
“Coba perhatikan matanya, bulat, mukanya persis Dea kok Da.”
“Wah kalau wajahnya Ida lupa bu, Ida ingatnya Dea gemuk aja. Di HP gak adalagi photonya, jadi Ida gak tahu wajahnya Dea bu.” Ujarku setelah mencoba mencari2 photo anakku.
“Kok jadi ibu bisa lupa wajah anaknya sih? Ibu waktu kamu bertahun2 gak kerumah tetap ingat, kok kamu baru beberapa bulan saja sudah lupa wajah anaknya? Apa gak ingat sakit saat melahirkan dulu? Kok bisa sih lupa sama sekali. Benar2 seperti batu hatimu. Dulu waktu cerai juga ibu lihat kamu gak nangis kayak orang2.” wah, kayaknya ibu mulai marah, dia benar2 gak rela aku bisa melupakan wajah cucu dan cicitnya.
“Semua orang kan berbeda2 bu. Ida yang teringat hanya rasa sakitnya saja dibohongi. Tuhan kasih Ida anugrah sifat pelupa, makanya Ida cepat lupa wajah orang bu. Ida juga nangis kok bu, siapa sih yang mau cerai? Cuma Ida kan nangisnya dikamar, gak didepan ibu, jadi ibu gak tahu. Sampai sekarang juga Ida masih terasa sakit kok kalau ingat Dea, masih suka nngis kalau malam, cuma Ida kebetulan lupa saja wajahnya, cuma ingat gemuknya saja.” Ujarku pelan, karena merasa beberapa kepala mulai menengok kearah kami duduk karena mendengar suara ibu yang agak keras.
Untung namaku dan nama ibu sudah dipanggil, selamatlah aku dari omelan ibu.
Dear Diary,
Saat ditanya penyakit ibu oleh dokter umum, ibu dengan wajah memelas bilang bahwa pinggulnya sakit, dan bibirnya terasa ba’al.
“Lho kita kan ke puskesmas kr ibu mau berobat mata bu” ujarku tanpa sadar karena heran kok ibu tidak menyebutkan sakit mata, padahal dirumah yang dikeluhkan adalah matanya tak bisa melihat jelas.
“Oh iya dok, mata saya juga kok gak jelas buat melihat ya, seperti ada kotorannya terus.” Kata ibu sambil melirikku dengan sewot.
Buru2 aku keluar ruangan, gak lucu rasanya bila aku disemprot ibu didepan dokter, aku kan hanya mengingatkan saja.
Dear Diary,
Untung mendung mulai menggantung sehingga saat pulang kami tak sempat berkata apa, terburu2 pulang karena takut kena hujan.
Pintu pagar yang lama dibuka oleh ayah membuat konsentrasi ibu terfokus kepada ayah,tidak kepadaku dan hati sekeras batuku lagi.
“Lagi ngapain sih ayahmu didalam, bukain pintunya lama sekali?” Ibu mulai ngomel lagi.
“Bu tanya ayah sekalian, kalau di puskesmas ngapain aja, jangan2 kayak kakek2 tua itu, ngajak kenalan nenek2.” Ujarku berbisik2 takut ayah dengar.
Belum sempat ibu duduk, ibu sudah mencecar ayah dengan pertanyaan “ situ kalau di puskesmas ngapain aja? Kok setiap minggu ke puskesmas? Apa ada nenek2 yang ditemuin di puskesmas?”
Aku tak mendengar jawaban ayah karena buru2 masuk kamar.
Alhamdulilah aku masih punya ayah, pengalih perhatian ibu.
Biarlah cukup ayah saja yang dimarahi ibu, ayah kan penyabar.
Biar dosa ibu tidak tambah banyak juga dengan memarahiku.
Yah untung saja aku masih punya ayah Dear Diary...
Komentar
Posting Komentar