KARTINI KECIL YANG TERSISIHKAN
Sahdan atas nama cinta seorang wanita mau diperistri menjadi istri kedua dengan janji akan menceraikan istri pertama yg telah mempunyai 2 anak.
10 tahun berlalu, perceraian yang dijanjikan tidak terjadi bahkan sang istri malah menjadi bertambah anaknya menjadi 3 anak, sementara sang wanita juga telah dikaruniai sepasang anak pula.
Bosan dengan janji dan pukulan2 sang pria, wanita itu pergi merantau ke Sentul Bogor, jauh dari sang pria dan kampung halamannya dipelosok Jawa Tengah sana.
Menjadi pembantu seorang aktor ternyata mempertemukan sang wanita dengan seorang pemuda lulusan SMA, tinggi besar dan tampan, putra seorang alim ulama di Ciluer Bogor.
Bekerja berdua sebagai pembantu dan tukang kebun sang aktor telah menumbuhkan benih cinta dan nafsu.
Entah menikah resmi atau tidak, akhirnya lahirlah seorang gadis cantik, Dini namanya.
Saat 10 tahun kemudian lahir pula seorang gadis kecil bernama Dina, sang pemuda yang dewasa sebelum waktunya itu mengalami kecurigaan dan cemburu berlebihan.
Dia merasa Dina bukan anaknya tapi anak tetangganya.
Mungkin keceriaan dan kegenitan wanita itu yang telah memupuk rasa cemburu dan curiga, mungkin benar pula sang wanita berbuat seperti itu.
Hanya Tuhan yang tahu kebenarannya.
Tuduhan itu berbuah petaka.
Sang wanita pergi kembali ke kampung halamannya, kembali kepelukan suami pertamanya, milik wanita lain itu.
Ditinggalkannya Dini, dibawanya Dina merantau mengikuti suami pertamanya hingga nun jauh ke pulau Batam.
Sejak usia setahun Dini terbiasa dititipkan kerumah2 warga disekitar Ciluer sini sementara ibu dan bapaknya bekerja dirumah sang aktor.
Mulanya saat dia baru berusia setahun, dititipkan kerumah bu Mumun namanya, dengan janji akan dikirimkan biaya kehidupan oleh orang tuanya, sampai bertahun2, biaya itu tak kunjung ada.
Orang tuanyapun tak pernah muncul.
Bisa dibayangkan nasib Dini bukan?
Tersisihkan, menumpang hidup tapi tak berbiaya.
Lepas dari bu Mumun, Dini dititipkan kerumah pak Ujang, demikian seterusnya sampai usia Dini mencapai 10 tahun dan dia bisa bekerja menjadi pembantu, mengasuh anak sang aktor yang cacat.
Menggendongnya kemana2 sampai malam tiba.
Makan setelah yang lain usai makan.
Untungnya Dini masih tetap bersekolah.
Padahal ada pamannya yang kaya menurut ukuranku, memiliki warteg didekat Kebun Raya dengan omzet 10 juta sehari, dengan rumah mewah 2 tingkat, tapi tak tergerak untuk mengambilnya.
Padahal rumahnya berdekatan dengan rumah bu Mumun atau pak Ujang yang sempit dan sangat sederhana.
Pamannya yg lain malah memiliki rumah bertingkat dua dibelakang rumahku.
Saat itu kakeknya telah tiada dan tidak mewariskan apa2, hanya sebuah mushola kecil saja.
Maka Dini kecilpun tetap terlunta2 tak berrumah.
Seperti biasa aku meminta tolong pak Didin, sang pemuda yg dewasa sebelum waktunya itu untuk menyapu jalanan dan jembatan depan rumah, dengan upah sekedarnya.
Dari cerita tetangga kudengar jalan hidupnya.
Bahwa dia mulai tak normal.
Sering berbicara dan tertawa sendiri.
Bahwa anaknya Dini mulai tak sanggup menggendong anak sang aktor setiap menit, karena tubuhnya makin berat.
Tadinya ingin kujadikan Dini sebagai pembantu saat ditawari, sayang saat itu aku sudah punya pembantu.
Lagipula Dini hanya bisa menyapu dan mengepel, tak bisa memasak, padahal memasak keahlian yg sangat kubutuhkan.
Jadilah kutawarkan agar Dini tinggal dirumahku saja, dengan biaya sekolah dan ongkos kutanggung.
Rumahku toh kosong.
Saat itu Agustus 2015.
9 bulan yang lalu.
Kuanggap Dini sebagai anakku, menemani hari2ku yang sepi.
Aku menjauh dari Dini hanya bila si bungsu ada.
Maklum si bungsu begitu iri dan tak ingin ada seorangpun yg dekat denganku, walau itu keponakan sekalipun, apalagi orang lain.
Untung ada Dini.
Ada yang membantu mencuci pasir kucing, satu2nya kegiatan yang tak bisa kulakukan lagi kr punggung tuaku.
Kadang Dini menjadi asistenku saat berkebun.
Dia yang menarik tanganku dari kursi dingklik yang biasa kududuki bila sedang menanam.
Untung ada Dini.
Pagi2 tadi kami sudah bangun.
Dini hari ini harus memakai kebaya karena SMP dimana dia bersekolah mengadakan peringatan hari Kartini.
Wajahnya cantik.
Dengan alis lebat, mata bulat besar dan berbulu mata lentik membuatku tak bersusah payah mendandaninya.
Yang penting aku harus kelihatan yakin dan mampu saat merias wajahnya, sehingga dia yakin akan hasilnya.
Trick seperti ini yang kulakukan saat mendandani anak2ku dulu.
Aku harus terlihat piawai memakaikan make up untuk mereka.
Untungnya ada kebaya bekas si bungsu saat wisuda di SMA Al Azhar Kebayoran Dulu.
Untungnya ada sepatu tinggi si bungsu yg cocok.
Untungnya ada jilbab serasi untuknya, lengkap dengan perhiasan2 imitasi yg gemar kukoleksi.
Abrakadabra, anakku akhirnya menjelma menjadi gadis cantik.
Mudah2an kelak kau bisa seperti Kartini nak, berkembang dalam penderitaan dan menjadi wanita solehah yang mandiri.
Aku bukan ibu sempurna untuk anak2 kandungku sendiri, apalagi untuk anak orang lain.
Tapi aku akan berusaha menyàyanginya, memperhatikan dan menyekolahkannya semampu kubisa.
Semampu seorang pensiunan bisa maksudku.
Berbahagialah nak.
Kaulah Kartini sesungguhnya, Kartini yang masih berada dalam kegelapan.
Aku berdoa untukmu.
Amin ya robbalalamin.
Komentar
Posting Komentar