KETIKA AYAH SAKIT.
Dear Diary,
Usia ayahku 80 tahun tanggal 15 mei nanti.
Sebenarnya ibu tidak yakin tanggal kelahiran ayah 15 mei, maklumlah saat itu ayah lahir melalui paraji nun disudut Ciampea sana.
Ibu bilang usia ayah pasti jauh lebih tua.
Tanggal 15 mei dipilih hanya kira2 saja, karena ayah bilang beliau lahir saat ibunya akan pergi ke pasar malam Gambir.
Ayahku jarang sakit walaupun punggungnya sudah agak membungkuk.
Bila ibu memperingatkan ayah agar tidak membungkuk, baru punggung ayah tegak lagi sambil meringis wajahnya.
Dear Diary,
Sejak hari selasa malam ayah lebih banyak bengong dan tidak banyak makan walau kursi kesayangannya sudah kupenuhi makanan.
Kupikir karena ayah lelah habis angkut barang2 nya dari rumah adikku Sinta.
Rupanya ayah shock habis dimarahi oleh adikku karena memakai mobilnya tanpa ijin.
Pikiran ayahku sederhana sebenarnya, masak sih pakai mobil anak, jarak dekat lagi, harus ijin.
Bukankah selama ini dia yang mencuci mobil dan motornya, yang selama ini mengantar cucunya les, serta mengurusinya sejak masih bayi.
"Masak ayah harus ijin Da?!" Ayah mengadu padaku.
"Itu kan bukan mobil ayah, sebaiknya ayah memang harus minta ijin, siapa tahu mau dipakai. Lagian kan sudah Ida kasih tahu bukannya naik taxi saja, ayah sudah bilang mau sewà mobil bak aja, kok malah akhirnya naik mobil Shinta.?!"
Aku agak menyalahkan ayah karena tidak sesuai rencana semula.
"Memangnya salah ayah minta dianterin pakai mobil anak ? Wajar saja, kan ayah yang menyekolahkan dr kecil sampai pintar cari uang, sekarang baru punya mobil begitu saja ayahnya mihta diantar kok gak boleh? Pakai bilang 'dasar orang tua pikun gak tahu diri'. Anak apa itu sama orang tua begitu sombongnya!"
Aku tak bisa bilang apa karena saat itu aku tak ada, bahkan saat ibu dimarah2i Shinta melalui telpon.
Aku hanya melihat dampaknya : IBU DAN AYAH BENGONG BERDUA diteras depan.
Tak ada omelan2 ibu untuk ayah, tak ada kata2 ayah yg minta dibuatkan atau dibelikan makanan.
Sepi.
Saling diam dan menatap kosong.
Aku langsung tahu ada sesuatu yang salah.
Dear Diary,
Tinggal dilingkungan rumahku sebenarnya seperti tinggal di surga buat orang yang dekat dengan penyakit seperti aku dan orang tuaku.
Diseberang jalan ada puskesmas.
500 meter dari rumahku ada Rumah sakit swasta.
100 meter dari rumahku, diseberang jalan ada dokter terkenal, pasiennya saja membludak saking banyaknya.
1 km kearah timur ada dokter terkenal juga.
Bila malas mengantri ada tetanggaku yang dokter dari Angkatan Darat yg mau dipanggil kerumah.
Nah bila tak bisa diobati, ada kuburan yg cukup luas.
Seperti surga bukan?
Dear Diary,
Ayah tiba2 minta dipanggilkan dokter agar datang.
Tumben.
Benar2 diluar kebiasaan ayah.
Biasanya kalau ayah sakit beliau lebih suka berobat ditempat yang sejauh mungkin dari rumah, biar bisa skalian jalan2.
Segera kupanggil sang dokter.
Aku baru tahu penyakit ayah sedemikian parah karena kebetulan ada disamping ayah saat diperiksa.
Ayah mengeluh "saya kalau mau buang air kecil tidak bisa dikontrol dok. Keluar saja begitu."
"Berarti bapak nanti kl sudah bisa jalan harus dibawa ke rumah sakit bu Rita, ini prostatnya harus diperiksa."kata sang dokter.
Aku langsung membayangkan ayah dg kantong berisi urine yang dibawa kemana kemana.
"Sudah 2 malam saya demam dok, batuk sampai sakit. Ini dada saya juga sakit dok." Sambung ayah.
Saat diperiksa tensinya, alat pengukur tensinya tidak bisa menghitung saking tingginya tensi ayah.
Akhirnya tensi ayah diukur manual.
" Dada bapak gak kenapa2 kok pak, saya sudah periksa. Mungkin bapak ada pikiran ya?"sang dokter menebak.
Punggung ayah juga diperiksa.
Ayahku sakit.
Betul2 sakit, tidak pura2 spt slama ini.
Kuperhatikan kepala ayah yang sudah jarang ditumbuhi rambut, terasa tua dimataku.
Begitu dahsyat kerusakan yg ditimbulkan seorang anak pada orang tuanya.
Anak kesayangannya.
Ayah yang 2 hari lalu kulihat sudah mulai gemuk dengan pipi kemerah2an, saling ledek dengan ibu, sekarang secara drastis mulai menyusut.
Ingin aku berteriak pada adikku "sudah cukupkah pemberianmu pada ayah dan ibu?"
Pada pengorbanan mereka mencuci baju, memelihara rumah, menyetrika, mencuci mobil, memasak dan menjaga anak2mu selama bertahun2 sejak masih bayi?
Bila harus menggaji 2 orang pembantu, yang paling murah misalnya 1 juta, kalikan tahun2 diurusi ibu dan ayah.
Belum lagi untuk makan ibu seringkali memakai uangnya sendiri untuk membeli bahan makanan.
Pernah aku diposisi itu, ayah dan ibu pergi dari rumahku di Sentul, biasanya karena aku melarang Buyung adikku buat datang kerumah karena kerap menyakiti ayah dan ibu.
Akhirnya ayah dan ibu sakit hati dan pergi dari rumahku.
Dua kali malahan, semua gara2 Buyung.
Tapi aku yg sebandel dan segalak ini tak pernah berani untuk menghardik ayah dan ibu, apalàgi marah2.
Kubiarkan saja.
Paling aku menjauh sampai bertahun2 biasanya, sampai aku didekati kembali.
Ingin aku bertanya pada adikku " benarkah kau mengurusi ayah dan ibu dan bukan memperlakukannya sebagai pembantu?"
Kalau kemarahan itu ada dari pihakmu, kurasa karena marah kehilangan pembantu.
Mobil itu cuma titipan.
Anak, suami juga hanya titipan.
Pada saatnya nanti akan diambil Tuhan.
Ada bekas suami, tapi tak ada bekas orang tua.
Jujur aku yang hanya anak tiri saja merasa sakit hati melihat ayah terpuruk, benar2 terpuruk.
Masak sih anak kandung sendiri bisa bersikap seperti itu?
Hanya karena suami?
OMG, ada bedanya wanita solehah dengan wanita bodoh.
Biar bagaimanapun, ibu dan ayah tak kan tergantikan, takkan terbayar jasanya.
Bahkan oleh cinta suamimu yang pernah berselingkuh.
Tidakkah adikku tahu itu?
Bogor, dipagi hari, saat melihat ayahku termenung sedih.
Komentar
Posting Komentar