MUSHOLA UNTUK AYAH
Sewaktu masih tinggal di Sentul ibuku kerap mengeluh karena ditinggal ayahku berjam2 ittikaf di mesjid.
Aku tahu ayah pasti bukan ittikaf tapi ngobrol, entah dengan pengurus DKM mesjid, marbotnya atau sesama pengunjung sambil minum bandrek atau bajigur.
Yah walau sudah tua ayahku tetap lelaki, daripada melihat istrinya yang sudah 40 tahun dinikahinya terus menerus, secantik apapun pasti bosanlah, apalagi bila kecantikan itu sudah hilang karena usia tua.
Eh ditambah cerewet lagi.
Saat baru pindah kerumah ini ayahpun meminta dibuatkan mushola agar lebih khusyu.
Kupikir ide ayah cukup bagus, siapa tahu anak2ku dan menantuku bisa insaf dan turut sholat berjamaah dimushola.
Jadilah aku berusaha mewujudkan sebuah mushola untuk ayah.
Dibantu menantuku sedikit demi sedikit kuciptakan mushola dirumahku.
Saat itu aku masih aktif bekerja.
Setiap teman yang mengelola debitur yang bergerak dibidang wallpaper pasti kutanya, adakah menjual wallpaper bergambar Ka’bah. Sayangnya tidak ada satupun yang tahu.
Untungnya menantuku punya ide hebat.
Dia bilang " bu, kenapa kita tidak cari gambar Ka’bah saja sendiri bu, lalu kita print dan kita tempel di dinding, itu namanya wall sticker bu."
Menantuku memasang karpet merah dan wall sticker bersama istrinya, si tengah.
Sampai punggungku terasa patah, kami bahu membahu membuat musholla.
Saat renovasi rumah kemarin, musholaku hampir saja dicat warna kuning Golkar oleh pak Udin.
Aku mencak2 tak rela.
Aku bilang “ pak Udin, jaman Golkar masih jayapun gak ada mesjid yang dicat warna kuning.”
Pak Udin manggut2 setuju.
Akhirnya musholaku diganti warna hijau muda.
Sering kulihat ayah tidur2an dimushola menunggu adzan selanjutnya datang.
Pikirankupun melantur.
Seandainya langit2 mushola kucat seperti awan, pasti saat tiduran ayah akan merasa tiduran di alam luas, dengan bintang2 atau bulan diatas langit.
Untung ada yang kenal dengan seniman yang bisa melukis awan.
Aku ingin digambar awan beriringan dengan bintang disana sini. Sayangnya terjadi dilema. Kalau siang kan tidak akan ada bintang, sementara kalau ada bintang berarti awannya hanya awan gelap.
Akhirnya kupilih awan disiang hari menjelang senja. Kupilih juga lampu redup berbentuk bulan.
Giliran ayah mengeluh karena mushola jadi redup, susah buat baca Al Quran.
Ibu sebagai pengambil keputusan bilang “memang seberapa sering situ baca Al Quran? Bukannya lebih sering kelekaran tidur2an? Sudah kelekaran saja sana, itu sudah ada awan dan bulannya. Situ bisa sambil bayangin bidadari turun dari langit.”
Entah kenapa ayah dan ibu saling membahasakan dirinya “situ” atau “sini”.
Kelak kalau sudah senggang akan kucari dalam Kamus Bahasa Indonesia, adakah padanan situ atau sini.
Rasanya janggal manula yang sudah menikah puluhan tahun saling memanggil situ atau sini, bukannya yayang bebep, honey, istriku atau suamiku seperti di sinetron2.
Saat sedang membuat awan dengan sang seniman betul2 terjadi pergulatan batin.
Dengan rambut kumal panjang, perut buncit dan mata genit, aku betul2 terganggu melihat dan tercium bau tubuhnya.
Pantas dia genit, ternyata istrinya ada 3.
Aku baru tahu ada seniman beristri 3.
Belum selesai pembuatan awan, ayah meminta agar disekeliling ruangan diberi tulisan ayat2 Quran.
Sibuklah menantuku yang anti mesjid ikut2an sholat di mesjid2, sekedar menanyakan pembuat kaligrafi di mesjid bersangkutan.
Ternyata teman sang seniman bisa membuat kaligrafi.
Kaligrafi selesai, ternyata banyak tanda baca yang kurang.
Untung ibuku pintar membaca Al Quran dan mengerti tanda2 bacanya.
Jadilah ibuku sebagai mandor pembuatan kaligrafi.
Hadeuh, benar2 perjuangan.
Jam kerja yang diluar kelaziman, datang jam 12 siang pulang jam 10 malam membuatku akrab dengan kegelapan malam, menunggu2 kepulangan sang seniman untuk menutup pintu rumah dan tidur.
Dengan perjuangan berat, benar2 berat karena saat itu aku ikut2an memanggul wall sticker setinggi tembok, dan menanti berjam2 pembuatannya, akhirnya musholaku jadi.
Betul seperti dugaan ibuku, ayah lebih banyak tidur2an menunggu adzan berikutnya, kecuali saat magrib. Kenapa saat magrib tidak?
Karena saat itu ada bidadari manula yang memelototi ayah agar tidak tidur2an di mushola karena sang bidadari sedang menunggu adzan magrib di sajadah.
Dia adalah ibuku.
Aku cuma bisa menyalahkan ayah “lagian ayah sih bukannya baca2 Quran malah tidur2an.”
“Katanya ibu ayah disuruh tidur2an nunggu bidadari turun, ya ayah ikutin, kok disalahin?” ayah membela diri sambil memelototi ibuku.
“Ini bidadarinya sudah ada disini’, sambil kutunjuk ibuku “ayah mengharap bidadari mana lagi memangnya?” aku meledek ayah.
“itu sih bukan bidadari, nenek2” ayah masih ngeyel.
Keributan terus berlangsung dan baru berhenti saat adzan magrib berkumandang.
Sholat magrib berjamaahpun berlangsung, sementara ibuku sholat sendiri diujung sana, masih marah karena dianggap nenek2 oleh ayahku.
Beginilah hidup.
Jangan sangka hidup sampai tua dengan pasangan bisa saling bersikap romantis.
Percayalah.
Lihatlah ayah dan ibuku.
Saling memanggil situ dan sini, tapi saling kehilangan bila tidur berjauhan.
Inikah cinta?
Komentar
Posting Komentar