NASIHAT IBU IRRASIONAL
Dear Diary,
Seumur hidupku bila ibu melarang sesuatu biasanya selalu dikaitkan dengan pantangan.
“Jangan duduk didepan pintu, nanti kamu jauh jodoh!” Ibu biasa memarahiku bila aku duduk didepan pintu rumah.
Aku memang sok pintar dan biasa bermain dengan logika.
Bila adik2ku sudah langsung menjauhi pintu dikatakan seperti itu, aku tetap duduk tak bergerak.
Logikaku sih ibu melarang karena tubuhku menghalangi jalan orang yang akan keluar masuk rumah, makanya aku biasanya ngeyel menjawab ”Bilang aja ida menghalangi jalan, apa kaitannya dengan jauh jodoh.”
“Kamu kalau dibilangin orang tua selalu ngeyel. Coba saja nanti lihat kalau gak percaya, kamu sering duduk didepan pintu pasti jodohnya jauh.” Ibu juga ikut2an ngeyel.
Bila kelak jodohku ternyata memang jauh karena dilangkahi 2 kali oleh adik2ku, itu mungkin karena ucapan ibu adalah doa, bukan jauh jodoh karena sering duduk didepan pintu.
Entah kenapa menurutku depan pintu adalah tempat paling strategis buatku.
Dengan mudah aku bisa melihat tamu yang akan datang kerumah, rumahku agak menjorok kedalam, jadi orang yang akan masuk sudah terlihat dari jauh, bila tamu yang tak kuinginkan aku bisa buru2 masuk kamar dengan bermacam alasan.
Angin juga sepoi2 terasa dingin, apalagi ubin rumahku jenis ubin PVC warna abu2, dinginnya menusuk kedalam tulang.
Dear Diary,
Tugas paling lama yang kuemban adalah bagian sapu2 dan membersihkan rumah.
Dari dulu aku memang gemar mematut2 rumah.
Dengan barang2 perabot rumah yang secuil dan apa adanya, hampir setiap bulan posisi2 perabotnya selalu kuubah2.
Seringkali ibu mengomeliku bila melihat hasil bersih2ku ternyata tidak bersih.
“Kamu kalau nyapu gak pernah bersih, nanti dapat pacar jerawatan atau kalau gak bopengan, memangnya mau?” biasanya ibu bilang seperti itu.
Bukan aku membela diri, tapi rasanya aku sudah dengan segenap jiwa raga menyapu dari ujung ke ujung, tapi tetap saja hasilnya tidak bersih.
“Ah mana ada hubungannya nyapu gak bersih dengan jerawatan dan bopengan. Ibu kalau mau bohongin anaknya yang masuk akal kenapa? Lagian gak mungkinlah terjadi, Ida kan gak suka yang jerawatan apalagi bopengan.” Seperti biasa aku ngeyel.
“”Coba aja lihat nanti. Kamu pasti dapat yang jerawatan!” balas ibu.
Aku merasa tak mungkin terjadi, ibu merasa mungkin terjadi.
Memang selalu seperti itu.
Selang beberapa bulan aku lupa, satu2nya anak muda kampungku yang pernah kutaksir, Eddy Mancung panggilannya, karena ada beberapa Eddy dikampungku, akhirnya dengan usaha keras berhasil kugaet.
Senangnya hati.
Aku melambung bahagia, apalagi kalau sedang berjalan bersama, wah serasi banget, karena tubuh kami memang sama2 tinggi.
Saat itu rasanya semua cowok pendek, jarang yang berbadan tinggi.
Makanya mendapat cowok setinggi 180 cm seperti anugerah tak terhingga.
Rasanya dia laki2 paling ganteng dimuka bumi buatku.
Tinggi, mancung, pendiam, tidak genit dan suaranya enak saat mengumandangkan adzan.
Saat dia kubawa kerumah, di dapur ibu menemuiku yang sedang membuat teh.
“Tuh kan, dapat yang jerawatan akhirnya. Kamu kalau nyapu gak bersih sih, gak percaya orang tua lagi.
Dari jaman dulu kalau anak perepuan nyapunya gak bersih pasti dapat yang jerawatan atau bopengan.”
Ujar ibu sambil melenggang masuk kamar lagi.
Aku terpaku, masak sih idolaku jerawatan?
Jalan satu2nya harus mengelus pipinya.
Malam minggu berikutnya, saat sepi akhirnya aku bisa mengelus pipinya.
Busyet, memang ada benjolan2 kecil2.
Malam minggu berikutnya, aku putus dengan damai dari Eddy Mancung dengan alasan dia genit.
Sedih juga harus berpisah dengan Eddy Mancung, soalnya aku benar2 berusaha dengan keras untuk mendapatkannya.
Tak urung aku menangis juga, sejam atau dua jam kurasa.
Saat itu aku tidak tahu kalau aku harus memakai kaca mata, yang kutahu, sejak kasus Eddy Mancung, setiap melihat cowok akubwas2 mataku salah lihat, kukira mulus ternyata kebalikannya.
Dear Diary,
Kemarin, aku dapat SMS dari teman kantor yang ingin meminjam uang karena ingin menikah lagi.
Seperti biasa aku diskusi dengan ibuku.
Seperti biasa juga ibu menasehatiku, irrasional sebenarnya, tapi aku tak berani mendebatnya karena ibu mengajukan bukti2.
“ Ingat Da, ada 3 hal yang pantang kamu lakukan. Jangan pernah meminjamkan uang untuk orang2 yang akan bercerai, akan melahirkan dan akan menikah. Itu membawa sial Da.
Kamu ingat waktu kamu cerai pertama kali dengan Lilik. Itu kan persis beberapa minggu setelah kamu bantu adikmu Wiwi untuk mengurus perceraian karena sudah 5 tahun gak dicerai2 si Junaedi.”
“Masak sih bu ? Kayaknya gak pernah deh.”
“Ibu yang minta uang kekamu, akhirnya dengan uang kamu Wiwik bisa cerai dari suaminya. Tapi beberapa minggu kemudian Lilik nangis2 bilang ke ibu kalau kalian mau cerai.”
Aku benar2 lupa hal itu.
“Ingat gak, kamu juga biayain si Buyung ceraikan istrinya karena dia gak cerai2kan si Dwi. Kamu kasihan melihat si Dwi terkatung katung2 selama beberapa tahun. Kamu malah bilang sama ibu, “ ini Ida pura2 kasih ibu, nanti ibu tolong urus si Buyung agar dia urus perceraiannya dengan Dwi. Jangan buat anak orang terkatung2". Masak kamu gak ingat sih da?”
Kalau yang terakhir aku ingat karena kejadiannya masih baru, sekitar tahn 2008, aku ingat pernah memberi uang rp.1 juta untuk biaya perceraian adikku Buyung dengan istrinya.
Adikku yang bernama Buyung memang bejat dan sakit, dia tinggalkan istri dengan 2 anaknya yang masih kecil tanpa sepeserpun uang dan menikah dengan selingkuhannya sampai punya anak 1.
Berkat hubungan gilanya dengan selingkuhannya ibuku sampai harus habis2an menjual rumah dan perhiasannya, kebetulan selingkuhan adikku memang haus akan uang.
“Bukan maksud Ida menyuruh orang cerai bu, Ida cuma kasihan melihat Wiwi, melihat Dwi dibuat terkatung2 begitu. Ida juga kan pernah merasakan terkatung2 selama 3 tahun bu.”
“Iya ibu tahu maksudmu baik, tapi walaupun uang itu kamu berikan ibu, tapi akhirnya toh dikasih ke Buyung oleh ibu buat cerai, makanya sial. Ingat, berapa lama kamu cerai sesudah kasih uang buat cerai si Buyung? Sebulan pas sesudahnya kamu telpon ibu, bilang kamu sudah cerai. Ingatkan sekarang?.”
Aku diam saja.
“Ibu pernah minjamkan uang ke teman ibu, sesama orang Cilodong, dia mau melahirkan gak punya uang. Waktu pinjamkan uang pertama kali, ibu baru mau piknik ke Borobudur. Beberapa hari kemudian di candi Borobudur kaki ibu terperosok masuk ke got, sampai dengkul ibu bengkak sebesar buah melon dan gak bisa jalan berbulan2 lamanya.
Kedua kalinya, ibu masih gak percaya juga, ibu pikir takhayul waktu Uwak Rusni mengingatkan ibu, ibu pinjamin orang kontrakan karena suaminya gak ada dirumah sementara dia mau melahirkan, seminggu kemudian ibu jatuh dan tangan ibu sebelah kanan sampai tergantung2 gak bisa diapa2kan karena mati rasa. Sekarang kamu percaya kan?”
Aku juga cuma bisa diam.
Aku tahu walau ibuku kadang hiperbola dan agak lebay, tapi untuk hal2 seperti ini dia tidak akan berbohong, melebihkan iya.
“ Pantangan yang ketiga adalah dilarang meminjamkan uang pada orang yang akan menikah. Logikanya orang yang akan menikah kan harus sudah punya uang. Kamu ingat waktu kamu pinjamkan uang ke adiknya teman kamu yang sama2 naik haji sama kamu itu, yang cantik itu, yang adiknya terus photo2 di Sentul itu sama calon istrinya, sebulan kemudian kamu cerai lagi kan sama suamimu? Ibu juga pernah pinjamkan uang buat orang menikah, tapi seminggu kemudian ibu kena musibah.”
Aku tak berani menanyakan musibah apa karena kulihat mata ibu mulai berkaca2.
Jujur saja melihat ibu menangis lebih menakutkan daripada melihat ibu marah2.
Rasanya kalau melihat ibu menangis aku seperti si Malin Kundang yang bikin sengsara sang ibu.
Kalau melihat ibuku marah2 aku masih bisa membayangkan, sambil ngedumel tentunya “hmm... kayak ibu tiri marah2 melulu. Ibu memang gak pernah sayang aku, jangan2 memang ibu tiri.”
Lamunanku terputus oleh kata2 ibu.
“Maaf Da, dua perkawinan kamu bubar gara2 adikmu si Wiwi dan Buyung, ibu turut merasa bersalah karena ibu yang minta uang ke Ida buat biaya cerai mereka. Kalau ingat itu ibu suka sedih Da, ibu pengen lihat kamu bahagia berumah tangga. Ibu janji gak akan pernah minta uang buat cerai2 adikmu lagi.” Pandangan ibu menerawang jauh, menembus kandang kucingku, entah apa yang dilihatnya.
“ Sudahlah bu, rejeki, jodoh, dan maut itukan takdir. Memang sudah takdir dari Tuhan jodoh Ida cuma sampai disitu saja, gak ada kaitannya lagi sama Wiwi dan Buyung.”
Maksud hatiku ingin membuat ibu melupakan kesedihannya apa daya kesedihan ibu terlalu cepat pergi.
“Kamu itu kalau dibilangin orang tua selalu aja ngeyel, selalu merasa lebih pintar. Coba kalau kamu ikutin nasehat2 ibu sejak dulu, gak akan terjadi begini. Beli rumah 2 kali salah, banyak hantunya semua, kasih modal orang ditipu semua, coba sekali2 kamu ikutin orang tua ngomong. Yang namanya orang tua itu ada hidayahnya kalau nasehatin.” Suara ibu mulai naik lagi, air mata yang merebakpun langsung hilang.
“Yah ibu kalau nasehatin anak2nya gak pernah masuk akal sih.” Ujarku memancing kemarahan ibu.
“Banyak orang pintar didunia ini tapi gak semua ngelawan orang tua seperti kamu.” Kata ibu.
Yah lebih baik kulihat ibu marah2 darpada menangis.
Buatku hidup terlalu singkat untuk menangisi yang sudah berlalu Dear Diary...
Komentar
Posting Komentar