PKI DAN KELUARGAKU
Dear Diary,
Ibuku yg lahir 31 desember 1940 diusia senjanya kerap bercerita tentang keluarga2 yg jarang kutemui dan kudengar, dengan penuh rasa rindu.
Biasanya saat 30 september ibu memintaku datang, kadang ibu berpura2 sakit, bila aku bilang sedang ada urusan.
Bertahun2 dikelabui ibu yg hanya ingin bertemu, baru kemarin, dalam kesendirian aku sadar arti PKI dan tanggal 30 september bagi keluargaku.
Biasanya ibu cerita berulang2 tentang kakekku, paman ibuku, tanteku dan terakhir...... bapakku almarhum.
Dengan ingatan yg masih setajam sembilu, ibu bercerita penuh kerinduan tentang mereka dan kebahagiaan yg seharusnya ada.
Dear Diary,
Ibu adalah anak angkat dari almarhum Sutrisno, pamannya sendiri.
Sebelum bekerja sampai pensiun di Percetakan Negara di Salemba, ibu bilang kakekku Sutrisno adalah seorang prajurit dg pangkat sersan, lumayan tinggi saat itu.
Ternyata keluargaku keluarga tentara, dari mulai mbah buyutku.
Pernah saat ibuku masih berusia 8 tahunan, ibu bercerita, ayahnya pulang dengan masih memakai sepatu bot tentara, berdua dengan adik kandung ibunya ibu, pak lek Sarimun, ibu biasa memanggilnya.
Ibu berlari2 menyambut ayahnya, ibuku katanya anak kesayangan ayahnya, kr ibuku cerdas dan rajin.
Saat itu ayahnya berteriak agar ibu tidak mendekatinya krn sepatu dan bajunya berlumuran darah.
Demikian juga baju dan sepatu pamannya, pak lek Sarimun.
"Ibu pikir baju bapak dekil, ternyata penuh darah yg sudah mengering. Setelah mandi bapak cerita bahwa bapak dan pak lek Sarimun habis menumpas gerombolan PKI yg dipimpin Muso. Bapak cerita bahwa urusannya adalah dibunuh atau membunuh karena gerombolan PKI itu punya ilmu kebal semua. Ibu tidak sadar sikap diam pak lek ternyata awal ketidak warasannya.
Rupanya pak lek shock karena hampir saja ditebas kepalanya oleh gerombolan PKI dg kelewang, untung berhasil diselamatkan komandannya.
Saat terakhir ibu melihat pak lek saat pak lek berangkat dg seragam tentaranya yg sudah bersih, mengusap2 rambut ibu dengan mata kosong dan pergi tanpa pernah kembali kerumah lagi sampai saat ini, meninggalkan istri dan anaknya.
Sebelumnya berhari2 ibu lihat pak lek hanya menatap kosong sambil membersihkan sepatu botnya, mungkin sambil membayangkan tubuh2 dibawahnya yg terinjak2, tubuh kawan2nya dan tubuh gerombolan PKI.
Saat itu sekeluarga tidak sadar bahwa pak lek sudah mulai terganggu jiwanya."
Dear Diary,
Saat2 tahun 1966 an, banyak pelajar dan mahasiswa yg ikut berdemonstrasi meminta agar harga2 tidak naik dan agar Sukarno diturunkan.
Satu diantaranya ternyata tanteku, adik bungsu ibuku, aku biasanya memanggilnya mbak Nani dan bukannya bule, mungkin kr dia saat itu masih gadis jd tidak mau dipanggil bule.
Mbak Nani aktif berorganisasi di Kappi, kalau tidak salah dan ikut berdemontrasi dengan naik truck keliling kota.
Saat itu dia baru kelas 2 SMA, cantik dan sedang ranum2nya sebagai wanita.
Sayangnya dia terjatuh dr atas truck saat berorasi diatas truck dan dibawa ke RSCM atau Cibizet untuk diobati.
Ternyata mbak Nani cedera parah dan kakinya harus dioperasi segera.
Saat itu masih belum seperti jaman sekarang, tanpa dimintai uang muka dahulu mbak Nanipun dioperasi.
Kakinya dijahit dengan jahitan yg benar2 jelek dan kasar.
Jahitan memanjang besar2 yg nampaknya benar2 dikerjakan sembarangan.
Mungkin hanya itu yg bisa dilakukan dokter2 disitu saat itu.
Berbulan2 dirawat, saat mau pulang melihat biaya tagihan yg segunung, ibunya, maksudku nenekku, mbah Pon namanya, langsung pingsan.
Sadar akan keadaan keluarganya yg tak mampu, tertatih2 mbak Nani pulang sendirian kerumah, kabur tanpa membayar biaya RS sesenpun.
Keadaan yg melarat tanpa uang memaksanya berbuat begitu.
Saat itu, pengangguran meraja lela, tidak ada beras yg bisa terbeli, dimana mana orang hanya bisa makan bulgur, antri minyak tanah.
Dimanakah presiden kita?
Saat itu beredar kabar presiden sakit keras.
Sakit keras dengkulmu !
Belakangan, di era keterbukaan media baru kutahu saat itu presiden sedang asyik masuk menikahi Heidy Jaffar, mantan ibu mertuanya Ari Sigit cucu pak Harto.
Dear Diary,
Tak lengkap ibuku bercerita tentang PKI tanpa bercerita tentang bapak kandungku almarhum, Sudarmo Sastrodijoyo.
" Kalau saja dulu bapakmu nurut ibu, hidup kita gak akan sengsara dan terpecah2. Bapakmu kr pengen cepat2 naik jabatan disuruh masuk SOBSI mau saja, padahal bapakmu benci ikut2an organisàsi. Untung bapakmu gak terbukti PKI dan masuk SOBSI karena terpaksa. Coba kl tidak bapakmu bisa langsung dikirim ke pulau Buru. Seandainya bapakmu nurut sekali saja sama ibu ya....." kata ibuku sambil menerawang jauh.
Dear Diary,
PKI dan kesengsaraan keluargaku mempunyai keterikatan erat.
Itu sebabnya aku benci PKI.
Aku tak ingin PKI ada dimuka bumi.
Sampai kapanpun.
Salahkah aku?
Komentar
Posting Komentar