ANTARA ALM. FREDDY BUDIMAN DAN PSK

Dear Diary,
Kemarin hari kamis 4 agustus 2016, tepat jam 11 pagi saat aku sedang makan pagi yang terlambat, kudengar ayah mandi gedebar gedebur dengan penuh semangat.
15 menit kemudian kulihat ayah keluar kamar memakai baju koko putih, lengkap dengan sorban haji terkalung dileher dan semerbak parfum seribu bunga ciri khasnya.
“Ayah mau kemana yah? Kok kayak mau pergi ke mesjid?” tanyaku.
“Ayah mau jumatan, mudah2an pak ustadz Kusnadi gak telat jemput ayah.”
“Lho sekarang kan hari kamis yah. Besok baru hari jumat.”
“Ohhh ayah pikir hari Jumat, soalnya ayah lihat pak Juned gak keluarin burung2nya tadi pagi.”
Aku maklum kalau ayah suka salah mengira hari, tapi kenapa hari Jumat harus dihubungkan dengan burungnya pak Juned?
Kulihat pak Juned kalau cuaca mendung juga sering tidak mengeluarkan burungnya walau bukan hari Jumat.
Sudahlah, aku toh sedang makan, kubiarkan ayah duduk2 dikursi kebesarannya diteras, aku lalu meneruskan makan pagiku dengan tak nyaman karena pikiranku penuh pertanyaan tentang burung pak Juned.

“Ida mau langsung tidur ya?” ayah tiba2 masuk keruang makan.
“ya enggak lah, masak langsung tidur. Lagipula Ida kalau dikamar bukannya tidur yah, tapi baca buku.”
“Kalau sudah makan kedepan Da, ayah mau curhat nih.”
Curhat?
Bisa berjam2 kalau ayah curhat.
Aku ingat kalau ayah sedang memberi nasehat atau curhat, kami anaknya kerap tertidur saking gaya ayah yang aneh kalau berbicara, putar2 tak tentu arah.
Mudah2an ayahku sudah berubah, dengan kaki lemas aku berharap dalam hati.

Dear Diary,
Selesai cuci piring, kulihat ayah sudah duduk diteras dan sudah berganti baju rumah, kaos hitam hadiah dari cucunya Bilqis yang bertuliskan “Turn back Crime” dengan sarung kotak2 coklat.
“Ada apa yah?” tanyaku.
“Ida kemarin antar ibu ke pasar Cibinong beli cincin ya? Ibu beli cincin berapa?”
“Gak tahu yah. Toko mas nya penuh, jadi Ida nunggu di toko didepannya.”
“Masak Ida gak tahu ibu beli cincin berapa?”
“Sumpah yah, Ida gak tahu, soalnya langsung dipakai sama ibu. Lagian ibu gak bilang apa2, jadi mana Ida tahu.”
“Ayah kan sudah bilang sama ibumu, gak usah beli2 emas2an, nanti paling dijual buat Buyung, mending uangnya buat senang2, makan di restoran.” Saat mengucapkan ini wajah ayah kulihat sendu.
“Biarlah ibu mau beli cincin atau apa, kapan lagi ayah buat ibu bahagia? Selama ini kan ibu selalu sedih dan direpotkan anak2nya, belum lagi dipinjamin uang oleh saudara2 ayah. Memangnya ayah gak senang lihat ibu bahagia sambil senyum2 memandang jari2nya?”
“Tapi kan jari2nya sudah penuh cincin. Ayah malu lihatnya, kayak pelawak Srimulat yang kasus narkoba itu. Mana jari2 ibumu gede2. Jelek banget kelihatannya” Pembelaan ayah mulai melantur.
“Ya nanti Ida ingatkan ibu, kalau pakai cincin jangan semuanya, cukup 1 atau 2 saja.”
“Ayah pengen makan diluar berdua dengan ibu daripada buat beli cincin. Bosen ibu masakannya itu2 saja. Gak ada variasinya. Sekali2 ayah pengen makan enak berdua sama istri.”
Tiba2 tengkukku merinding, seperti dipandangi mata membara.
Wah, jangan2 ibuku mengintip dari balik pintu.
“ya sudahlah, kalau ayah mau berduaan makan sama ibu, kan tinggal bilang Ida saja. Nanti pergi rame2, ayah nanti diturunin dimana, di CCM atau di Botani, misalnya, biar bisa berduaan dengan ibu makan. Nanti pulangnya janjian dijemput Ida lagi.”
Aku berusaha mengalihkan pembicaraan agar ayah tak fokus mengkritik ibu.
Aku merasa ada bahaya mengancam, dan biasanya naluriku benar.
Tiba2 ibu dengan rambut putih dan mata membara muncul dari balik pintu.
“Apa? Jalan2 berduaan sama situ? Enggak. Gak bakalan aku mau, nanti ditinggal lagi. Memangnya situ lupa saat  jalan2 ke Pemda situ pergi sendirian sampai berjam2 ninggalin istrinya kepanasan, mana dompet dibawa situ. 3 jam ninggalin istrinya berdiri sambil pegangin helm, bilangnya mau parkir gak tahunya lupa. Sakit hati Da, kalau ingat kelakuan ayahmu.” Cerita lama itu kembali diulang2 ibu, lengkap dengan air mata yang mulai merebak.
Kupikir ayah juga kelewatan sih.
Masak parkir motor saja bisa lupa istrinya tadi turun dimana.
Konon ayah mencari2 ibu disemua warung makan disepanjang jalan Pemda Cibinong, sementara ibu sebetulnya hanya berdiri diparkiran motor sambil memegang helmnya.
Ibu menuduh ayah sengaja meninggalkannya kepanasan, setelah kenyang baru ayah pura2 menemukan ibu ditempat parkir, sementara ayah mengakui kalau dia memang sempat makan karena capek mencari2 ibu.
“Tadi situ bilang apa ? Tanganku jelek? Besar2 jarinya?  Situ malu punya istri jarinya besar?” Ibu merangsek ayah dengan pertanyaan2 yg fatal.
“Enggak. Situ gak  besar kok jarinya, cuma gak pantes kalau jari tangannya dipakaikan cincin semua. Situ tangannya kecil kok.” Ayah mulai salah tingkah kulihat. Digesernya kursi agak menjauhi kursi ibu, mungkin takut ibu tiba2 emosi.
“Jangan bohong deh. Aku dengar kok situ bilang jari2ku besar2, jelek. Situ apa gak sadar, jari2 besar dan jelek ini yang masakin makanan buat situ, yang cuciin baju dan kolor situ? Apa situ gak sadar? Kalau gak ada jari2 jelek ini situ kelaparan!” Ibu menggebu2 mengomeli ayah tanpa titik koma.
“ Lagian sebagai istri aku berhak beli apapun, ingat penghasilan suami adalah hak istri. Makanya baca dong buku2 agama yang dibeliin anaknya. Jangan lihatin cewek lewat terus. Mending kalau ceweknya mau sama situ, sudah kakek2 mana ada yang mau?!”
Kalau sudah lihat ibu marah, cara paling aman adalah diam dan tidak ikut2an.
“Yah, tadi ayah telpon pak ustadz minta jemput ya? Sudah dibatalkan belum? Nanti dia kesini kan kasihan yah” Aku pura2 mengingatkan ayah.
“Enggak ah. Ayah gak telpon pak ustadz.” Ayah ngeyel, tidak mengerti maksudku memberi jalan agar ayah pergi dari teras.
“Ah  Ida dengar kok ayah tadi nelpon pak ustadz suruh buruan jemput.” Aku tetap ngeyel, takut ibu tahu trik ku.
“Masak ayah lupa kalau ayah nelpon pak ustadz? Tadi kan ayah baru mandi dan ganti baju jadi gak sempat nelpon.” Ayah tetap ngotot tidak merasa menelpon pak ustadz.
Gantian ibu melotot padaku.
“Kamu sengaja kan bilang ayahmu nelpon pak ustadz biar ibu gak omeli ayahmu?”
“Gak bu, perasaan Ida sih tadi ayah nelpon, kan tadi ayah sudah siap2 mau sholat Jumat, sudah pakai baju koko.” Aku lemas, bakalan sengsara aku kalau ibu sudah marah, bisa2 semua masakannya terasa asin disengaja atau malah hambar tanpa rasa.
“Itu lah ayahmu, sudah pikun saja masih lihatin cewek lewat tiap hari matanya sampai keluar semua.”
Ibu masih mengomel dengan emosi. Syukurlah, dalam hati aku kegirangan karena ibu kembali fokus kepada ayah.
Amarah dan omelan ibu teredam bunyi speaker adzan Dhuhur yang dikumandangkan mesjid depan rumah.
“Kita sholat dhuhur dulu bu, sudah diingatkan Tuhan. Alhamdulilah kita masih bisa merasakan dhuhur.” Entah darimana kalimat bijak itu meluncur dari mulutku.
Mungkin aku pernah membacanya entah dimana.
“Yuk kita jamaah yah, Ida ambil wudhu dulu. Ayo bu, nanti diterusin lagi kalau ibu masih marah. Kita sholat jamaah dulu.”
“Sholat jamaah imamnya ayahmu? Malas banget, ibu sholat sendiri saja. Lafal ayahmu sudah gak jelas, itu harus sudah gak bisa jadi imam.”
“Ya udah, ibu sholat sendiri saja, Ida biar sama ayah.”
Untungnya ibu menurut dan buru2 bangkit sambil mendelik ke arah ayah.
Bila ibu sudah bangkit dari duduk, baru ayah berani bangkit juga.
Itu sudah kode etik mereka.
“Ayah tadi pakai ngotot bilang gak nelpon pak ustadz, padahal itukan Ida sengaja biar ayah bisa keluar ruangan dan gak diomeli ibu.
“Ida tadi gak kasih kode sih, mana ayah tahu.” Jawab ayah.
Kasih kode?
Didepan mata ibu yang memelototi kami?
Mana bisa!
Tapi itulah ayah.

Dear Diary,
Akhirnya setelah sholat, setelah tidur siang 2 jam, aku bangun dan mendapati ayah sedang minum teh berdua ibu, dengan suara keras mengomentari hukuman mati dan isu suap Freddy Budiman.
Hampir saja jantungku copot, kukira ayah ribut lagi dengan ibu.
“Kok ayah tahu Freddy Budiman? Wah ayah hebat lho” aku berusaha memuji ayah.
“Tahu. Itukan yang dihukum mati, gembong narkoba yang sudah insaf dan jadi mualaf. Pemerintah memamg kejam, sudah jadi mualaf masih dihukum mati.” kata ayah.
“Kalau ibu tahu siapa Freddy Budiman?” tanyaku pada ibu penasaran, biasanya ibu lebih pintar daripada ayah.
“Ya tahulah, dia kan yang dulu bekas pacarnya Anggita Sari. Yang artis merangkap PSK itu kan.” Kata ibu.
“Oh yang punya sate PSK di Sentul itu artis ya Da?” tanya ayah tiba2.
Aku tahu niat ayah ingin melebur dalam pembicaraan dengan ibu tentang gosip artis, sayangnya ayah salah kira arti PSK, dikiranya PSK itu resto sate kiloan di Sentul yang kerap dibeli ayah sehabis gajian.
Tiba2 ibu memotong pembicaraan ayah.
“Yeeee bukan itu. Kalau gak ngarti situ gak usah ikut2an ngomong. PSK itu artinya.....”
Aku buru2 masuk kamar, tak mau ikut2an lagi.
Lebih baik aku baca buku atau lihat film Korea yang jarang kusentuh.
Baguslah, untung ada alm. Freddy Budiman, untung ada PSK.
Seandainya tak ada alm. Freddy Budiman dan PSK, mungkin ayah dan ibuku tidak ada bahan pembicaraan, hanya saling duduk termangu.
Satu pemahaman baru untukku; Siapa bilang menikah itu harus dengan orang yang mempunyai sikap dan sifat sama, berbeda itu jauh lebih ramai dan berseri.
Beda kecerdasan, beda pemahaman membuat hidup lebih berwarna rasanya.
Lihatlah ayah dan ibuku...

Komentar

Postingan Populer