AKU BANGGA PERNAH MENJADI BAWAHANNYA....
Senin, 8 Oktober 2012.
Tiba2 Iwan Kuro, pelayan pemimpin Wilayah mendatangiku.
“ bu, dipanggil bu Emma diruangannya. “
“Bu Emma siapa Wan ?”
Aku memang tidak kenal bu Emma, mungkin pernah ketemu namanya 1 kantor tapi sebagai penyendiri aku tak berusaha mengetahui namanya apalagi mengingat wajahnya.
“ Itu bu yang cakep itu, ruangan disebelah ruangan pak Jarot.”
“ Kalau pak Jarot yang mana Wan orangnya? “
“ Pak Jarot itu ruangan dekat bekas ruangannya pak Jet dulu bu”, Iwan masih tenang menjelaskan “ bu Emma itu temannya bu Sylvi dulu, orangnya yang kecil2 pakai jilbabnya kayak topi itu bu “.
Waduh bu Sylvi?
Mati aku.
Aku ingat dulu pernah ngomeli bu Silvy gara2 sandal.
Saat itu aku sholat pakai sandal khususku benar2 khusus karena aku susah payah mencarinya, warna ungu kesukaanku di ITC Mangga dua.
Sehabis sholat kulihat sandalku hilang, teman2ku bilang pasti dipakai ambil air wudhu.
Dengan panik kutunggu pemakai sandalku sambil berdoa mudah2an bukan laki2 yang memakainya.
Tak lama muncul cewek cantik memakai turban dikepala, tanpa ba bi bu kutegur dia “ mbak kalau pakai sandal bilang2 dong.ini bukan sandal rame2.”
“ Oh maaf ya mbak. Aku pikir ini sandal mushola. Maaf ya mbak.”
Beberapa hari kemudian baru aku tahu kalau namanya Silvia dan pangkatnya diatasku, kelak dia menjadi bosku memantau kegiatanku sehari2.
Hukum Karma memang ada ternyata.
Sudahlah, itu cerita aku dan bu Sylvi, nanti kapan2 akan kuceritakan.
Mendengar nama bu Sylvi disebut2 aku sudah ketar ketir, jangan2 yang namanya bu Emma ini mempunyai misi khusus untuk balas dendam dari bu Sylvi.
“ Ayo bu, nanti saya diomelin nih. “ kata Iwan setengah memaksa setengah menangis ketakutan.
“ Nanti ibu kesana wan. Bilang saja ibu lagi be’ol ya”
“ Benar ya bu, nanti saya sampaikan ke bu Emma. Jangan sampai gak datang ya bu.”
Aku buru2 ke WC, aku benar2 mules semules2nya membayangkan dipanggil temannya bu Silvy.
Dengan didampingi pak Pujiyatno, yang akan menjelang pensiun aku menghadap bu Emma.
Tanpa basa basi bu Emma menawariku untuk menjadi Area Sales Manager di kredit BWU.
“ Tapi saya gak suka kredit bu..” kataku.
“ Ayolah mbak Rita pasti bisa kok. Mbak Rita kan sudah biasa di kredit. “ kata bu Emma.
Dalam hati aku menjawab “ aku benci menghitung bu.” Tapi yang terucap malah “Saya bantu2 saja bu, jangan saya yang ditaruh di kredit lagi bu, yang lainnya saja.”
“ Sekarang mbak Rita pikir dulu deh, nanti kasih tahu saya keputusannya.” Kata bu Emma.
Kalimatnya sebetulnya ultimatum buatku, tapi karena diucapkan dengan tersenyum aku tidak merasa seperti diultimatum, pikiranku malah melayang “ ini cewek parfumnya apa ya? “
Aku tak fokus menjawab karena asyik menebak2 merk parfumnya.
Yah aku memang suka parfum sejak dulu.
Besoknya Casdari temanku datang keruanganku.
Membujuk agar aku mau menerima tugas menjadi ASM BWU.
“ Nanti aku bantuin mbak. Aku kan di Dana, mbak Rita di Kredit tapi aku bantuin deh trik2nya. Gampang kok. Nanti aku kasih nasabah buat mbak. Untuk sementara anak buah mbak Rita 5 orang dulu ya, nanti kita seleksi lagi sales2 barunya, karena idealnya 15 orang salesnya. Mbak Rita juga nanti dapat kendaraan dinas sendiri. Biasa seperti saat jadi RM dulu cuma kalau dulu kan puluhan milyar kalau ini kan cuma ratusan juta, namanya juga kredit kecil. “
Casdari memang pintar membujuk.
Tanpa sadar aku dan Casdari sudah bicara tentang rencana kerja dan peraturan2 BWU.
Seminggu kemudian, 15 Oktober 2012 secara resmi aku menjadi anak buah bu Emma.
Rapat dengan bu Emma menjadi hiburan tersendiri buatku.
Dalam tim kami saat itu hanya aku dan bu Emma kaum wanitanya, selebihnya laki2.
Saat rapat kesannya santai banget, diomeli pun masih terasa santai.
Kami para ASM yang ada, saat berbicara dengan bu Emma memang seperti teman biasa, tidak ada kesan siapa yang diatas siapa yang dibawah, tapi matanya itu lho.
Mata kaum laki2nya tetap jalan.
Yasa yang terkesan alim dan pendiam, apalagi Adi Priambodo yang mirip2 Poltak si Raja Minyak karena selalu didampingi dan diiringi sales wanita, selalu memandang kagum bila sedang berbicara dengan bu Emma.
Kadang2 Adi suka berbisik pelan padaku, “ Bu Emma pakai rok mini, gue jadi gak fokus nih mbak “, rasanya hanya Hendry yang tahan banting dengan pesona bu Emma.
Saking ingin tahunya kenapa Hendry tahan banting akan pesona bu Ema, aku sampai melihat lihat di FBnya.
Wajarlah kupikir, kulihat di FB istrinya memang cantik.
Hendry biasanya pelan2 berbisik dan menjawab gerutuan Adi “ Lo sih gak fokus melulu, sudah ada Riama Tobing masih gak fokus juga “.
Jangan bayangkan orang cantik gak bisa marah.
Bu emma juga suka marah, sering malahan.
Tapi marahnya masih dalam kadar “ normal “ tidak sampai buang memo atau gebrak meja seperti gaya pemimpinku dulu di Semarang.
Sambil mengelus2 rambut berulang kali kuperhatikan itu gayanya bu Emma bila sedang berbicara, dia akan selalu bilang “ Sudah sampai mana targetnya? Ini sudah tanggal berapa? Masak baru berapa milyar realisasinya ? Bulan ini kita bisa realisasi berapa ? ”
Kami para ASM nya langsung serentak menunduk malu sambil membuka2 kertas print out dan mencoret2 di agenda.
Perhatianku kadang terpecah kalau duduk dekat Adi.
Karena dicoretan agendanya Adi malah menulis “ Kakinya bu Emma gak kelihatan dari arah sini, sialan, ketutupan meja “ atau “ bu Emma betisnya ada biru2nya, kenapa bisa luka begitu ya ?”
Aku pun lupa ingin bilang apa saat ditanya bu Emma.
Memang kadang temanku itu membawa bahagia dikala stres.
Kadang membuat stres dikala bahagia.
Yasa dengan cara bicara dikulum2, kalau dipikir2 sih mirip Guruh Sukarno Putra, suka menjilat2 bibir, selalu bilang “ Saya sudah tinggal teken Perjanjian kredit mbak atas nama debitur A,B,C dan D.”
Semuanya bernilai fantastis.
Biasanya bu Emma menanyakan kreditku dulu atau malah belakangan, terkesan menghargaiku karena nilai kreditku kecil2, tidak lebih dari rp 1 milyar.
Di BWU saat itu memang dibatasi tidak boleh lebih dari 1 milyar per nasabah.
Mungkin agar aku tidak minder atau malu.
Sebenarnya aku tidak malu walau nilai realisasiku kecil, aku merasakan susahnya merealisasikan malah di tempat proses kredit bukan ditempatku.
Mencari nasabah buat aku dan sales2ku mudah, rata2 salesku banyak yang berpengalaman dan membeli data nasabah, belum lagi kami mendapat pasokan data dari KB, ya diantaranya dari Otter dan bu Silvy itulah.
Dengan bantuan mereka terasa lebih mudah menjaring nasabah, tapi masalahnya tetap sama : di prossesing data.
Rasanya setiap rapat dengan bu Emma yang paling sering diomeli adalah aku dan Adi.
Suatu hari menjelang rapat dengan bu Emma kulihat Adi memakai cincin bermata hijau, kadang2 kecubung putih.
Dulu masih belum booming batu2an.
“ Adi itu cincin pasti ada isinya ya? “ ujarku.
“ Iya mbak Rita, biar gue gak dimarahin bu Emma, bulan ini gak capai target soalnya. “ jawab Adi enteng.
Saat bu Emma datang kami melaporkan kepada bu Emma.
“ Bu... itu Adi hari ini pakai cincin hijau, hati2 bu.” Kata Yasa sambil mengemut emut bibirnya.
“ Iya bu, itu cincin Adi ada isinya bu, ada peletnya bu, jangan sampai tunduk bu.” Ujarku.
Kalau soal mistis anehnya bu Emma percaya kepadaku, mungkin aku mempunyai aura dukun menurutnya.
Suasana menjadi ramai dengan saling canda.
Saat rapat tetap saja kami yang tidak mencapai target dimarahi bu Emma, tapi tanpa sakit hati malah rasanya makin semangat ingin buru2 keluar dan mencari prospek baru.
Yasa hampir2 tak pernah diomeli.
Entah bu Emma terkesima lihat cara bicara Yasa atau memang karena wajahnya kalem dan santun jadi kerap menimbulkan rasa iba.
Aku tadinya malah curiga kalau Yasa gay, tapi saat kudengar dia sudah punya anak, kecurigaanku langsung sirna.
Hendry juga termasuk mahluk yang jarang diomeli.
Yasa dan Henry memang seringkali mencapai target.
Adi ?
Kadang2 dia mencapai target tapi lebih seringnya dia sepertiku, tidak mencapai target, cuma dengan nilai berbeda, yah maklumlah, sekali transaksi KPR kan cenderung besar2, beda dg BWU.
“Ayo dong mbak Rita, buktiin kalau mbak Rita hebat. Kendalanya sebetulnya ada dimana sih?”
Akupun bercerita tentang kendala di prossesing Data, di LNC.
Bak panglima perang, bu Emma maju menghadap pemimpin LNC, pak Toto, sementara aku menciut duduk diujung meja rapat, nun jauh disana.
Ganteng sih ganteng, tapi pak Toto itu kan terkenal galaknya selangit.
Yah mirip2 pemimpinku dulu di Semarang, “dia yang tak dapat disebutkan namanya” nya lah pokoknya.
Berbagai masalah bisa diatasi bila bu Emma datang atau sekedar menelpon.
Ku lihat bahkan pak Toto pun menaruh hormat pada bu Emma.
Cara kerja bu Emma kulihat mirip2 bu Sylvi.
Keduanya kalau mendengar kata “kendala” malah mendatangi masalah dan mencari jalan keluarnya.
Alhamdulilah sampai saat ini bu Sylvi tidak ingat kejadian sandal ungu ku yang dipakainya.
Diantara ASM2 dibawah bu Emma mungkin hanya aku yang jarang ikut bersosialisasi, maksudnya kumpul2 dengan bu Emma dan ASM2 lain.
Disamping ruanganku tersendiri dilantai 2 sementara yang lainnya dilantai 4.
Seperti bu Silvy, bu Emma juga suka mengadakan rapat di resto2 terkenal.
Biasanya aku suka langsung tanya, dan biasanya Adi tempat tumpuan pertanyaanku.
“ Di, restorannya menunya apa an Di ? Ntar gue cuma lihatin orang makan, gue kan vegetarian. “
Bila menu makanannya aku bisa makan biasanya aku datang, tapi bila tidak suka aku biasanya bilang sakit kepala.
Alhamdulilah selama ini bu Emma percaya kalau aku bohongi sakit, mungkin karena dia beranggapan bahwa “ gemuk itu sarang penyakit “.
Karena hanya ada 2 wanita, mungkin untuk “ menjaga perasaanku “ agar tidak terlalu merasa seperti Beauty and the Beast, teman2 ASM cowok juga suka menggodaku saat rapat.
Yah godaan sopan sih, seperti anak2 menggoda emaknya atau pembantunya, seperti begitulah.
Jangan kira diomeli dengan halus tidak membuatku habis2an bekerja.
Kebetulan kost ku disebelah kantor.
Daripada di kamar kost seorang diri aku pikir lebih baik bekerja dikantor, memantau hasil hari itu.
Kadang memang para sales itu jalan seharian dan baru bisa mengerjakan laporannya sore atau malam hari.
Sayangnya aku tidak pandai cari muka.
Harusnya setiap pulang kantor jam 9 malam, aku melongokkan kepalaku keruang Mr. J atasannya bu Emma “ saya baru pulang lho pak “, atau “ saya kerja sampai malam lho pak, ini hasilnya “.
Biarlah, toh mereka bisa lihat hasil keseriusanku pontang panting mendatangi nasabah dan berkali2 hampir ditipu calon nasabah.
Yang penting buatku bu Emma menghargai dan tahu aku bekerja dengan serius.
Hampir 3 tahun masa indah dibawah bu Emma betul2 ternodai oleh kehadiran Mr. J.
Sembunyi2 kami para ASM menjulukinya patih Gajah Mada, kampret atau banyak lagi julukan buatnya.
Tegurannya menyakitkan hati walau tanpa intonasi tinggi.
Kalau ASM lain ditegur tentang pemakaian mobil sementara aku, selalu tubuhku yang dijadikan teguran.
Dalam hati kadang kujawab “ kayak lu gak gemuk aja kampret “.
Dan yang paling sering dengan mengancam akan meng cut anak buahku.
Banyak alasan kusampaikan agar tidak meng cut mereka.
Tanpa disuruh aku akan meng cut mereka kalau kinerja mereka buruk dan tidak ada motivasi bekerja.
Tapi aku kan melihat dengan mata kepala sendiri susahnya mencari nasabah di BWU, kendala lebih banyak di unit pemroses kebanyakan disamping mereka juga perlu belajar.
Unit pemrosses selalu menganggap calon debitur adalah calon maling.
Aku juga kan pakai filter, pakai perhitungan dan naluri, gak akan sembarangan menerima nasabah.
Sayangnya dimata Mr. J anak buah selalu salah.
Begitulah, cara pemimpin menegur anak buah, bisa memberikan aspirasi timbal balik dari anak buah.
Tanpa dicela dan dimarahi kampret itu kami serius bekerja, karena kami ingin dihargai, ingin dianggap manusia.
Dimarahi bu Emma serasa diguyur air dingin, serasa ingin buru2 cari nasabah sementara dimarahi Mr. J serasa diguyur air panas, ingin buru2 keluar dari ruangan tapi karena sakit hati.
Dimarahi bu Emma tidak terasa sakit tapi terasa malu dan ingin berbuat lebih baik lagi.
Dimarahi Mr. J serasa ingin mengumpat balik dan menyumpah2 dalam hati “ sok cakep lu kampret ! ”
Dengan caranya yang suka hura2, kumpul2 dan makan2 dengan anak buah, bu Emma melepas kepergianku.
Mereka melepas kepergianku di tepi empang mertuanya Ajum Bachtiar salah satu sales seniorku.
Yang paling membuat haru adalah saat bu Emma dan teman2 ASM lain melepasku di resto idolaku, Ny. Suharti di Menteng, mereka tahu itu resto kenanganku, tempat kubuat sejuta kenangan, dan banyak tawa disitu.
Kututup episode ku di BNI dengan penuh haru, masih ada pemimpin yang menghargaiku, menganggapku manusia dan melepasku setelah 34 tahun bekerja sementara banyak teman2ku yang memasuki pensiun bagai angin lalu, tak dilepas apalagi diberi ucapan terima kasih.
Aku bersyukur lebih beruntung.
Terima kasih banyak bu Emma, terima kasih atas semua yang telah diberikan untukku.
Kasih sayang, perhatian, omelan, candaan, disamping mukena dan topi2 indah buatku.
Aku bangga pernah menjadi bawahan bu Emma.
Terima kasih bu, wish you all the best..
Komentar
Posting Komentar