BILA MANULA KONDANGAN...
Dear Diary,
Minggu 10 september 2017 ini hari pertama aku bermalam di kota lumpia Semarang setelah 18 tahun berlalu.
Tidurku tak nyenyak semalam.
Berkali2 aku bangun hanya untuk membersihkan sprei tempat tidurku.
Rasanya aneh dan terasa kurang bersih dikulitku.
Kulitku memang sensitif dan gampang gatal2.
Pagi sesudah subuh aku ingin jalan2 melihat car free day ala Semarang sebenarnya.
Sayangnya si bungsu bilang masih terlalu pagi.
"Jam 8 saja mam kita jalannya."
Jam 8?
Bukankah jam 8 matahari sudah panas?
Apakah anakku ingin melihat kulitku seperti udang rebus?
Terpaksa aku mengalah kr aku memerlukan bahunya untuk kusandari.
Dear Diary....
Jam 8 itu ternyata pagi banget buat ukuran orang Semarang.
Jalanan dekat guest houseku sepi.
Saat di Indomart pun hanya ada aku dan seorang wanita keturunan.
Saat petugas Indomaret lebih dulu melayani wanita itu spontan tanpa sadar aku bertanya dengan suara meninggi "kok saya dilayani belakangan? Kan saya duluan yang mengantri?!!"
Untungnya si petugas sigap dan cepat tanggap melihat emak2 stres sepertiku.
"Maaf bu....Mari saya layani." Dia minta maaf.
Sebetulnya aku juga tidak buru2 jadi tidak masalah bila diselak, hanya karena rasa keadilanku terusik saja makanya aku langsung teriak komplain.
Karena kulihat cewek kampret itu tanpa rasa bersalah menyerobot antrianku maka aku marah.
"Mam lain kali jangan gitulah. Kita kan gak buru2 biar saja dia duluan. Jangan rasis gitu lah. Kita kan bukan dinegeri kita sendiri. " kata anakku.
"Ini negeri kita sendiri Van. Ini bukan negeri mereka, mereka cuam menumpang."
Yah gara2 tragedi Ahok aku jadi sensitif bila didahului oleh mereka.
Gak selalu sih, kemarin aku didahului oleh mereka, sepasang pria wanita seusiaku tapi dg permintaan maaf dan wajah ramah, dan aku rela2 saja kok, cuma kl gayanya arogan seperti cewek kampret tadi barulah gayaku sebagai pemilik asli negeri ini muncul tak mau kalah.
Dear Diary, jam 9 tepat aku mulai bersiap2 dandan.
Aku sudah prepare membawa 3 baju khusus kondangan di koper.
Baju ungu muda kupakai, "jangan mam, kok kayak kelelawar ungu mau terbang jadinya.Lagian itu kan warna janda mam, nanti 1 gedung tahu semua kalau mamam janda." Komentar si bungsu sambil mengarahkanku pakai baju warna salem.
Kucoba baju warna salem, "eh jangan.....jangan deh mam. Itu dadanya terlalu ketat banget. Kesempitan banget mam, nanti mamam gak bisa nafas, dadanya gepeng, pingsan deh", komentar si bungsu khawatir melihat dada montokku menjadi gepeng.
"Sudah pakai yang hitam saja mam. Jadi orang gemuk itu memang cuma hitam yang bagus. Gak kelihatan benjolan2nya." Kata si bungsu sambil cekikikan memakaikan baju hitam bermanik2 itu.
Dengan susah payah kupakai baju ini.
Dari 4 kancing dilengannya hanya 1 yang bisa terkancing, yang paling ujung.
"Gak apa2 mam, gak kelihatan ini. Paling kancing yg 3 disangka asesorisnya." Sibungsu menghiburku.
Sebetulnya tanpa disuruhpun aku pasti memilih baju ini, lha masak aku pakai baju ungu andalanku lagi?
Kuambil buku petunjuk memakai jilbab dari dalam kopor, kubuka halaman2 yang ditandai si bungsu dan sudah kulatih kemarin dirumah.
Ternyata semua gak ada yang cocok.
Peringatan buat kaum emak, BILA INGIN MENCOBA VARIASI JILBAB, COBALAH DENGAN MEMAKAI BAJU YANG AKAN DIPAKAI SEKALIAN.
Ternyata gak semua model jilbab itu cocok pakai baju apapun.
Akhirnya aku pakai jilbab model sapu jagat yang selalu kupakai saat masih kerja dulu, model selendang melambai yang kuikat dikepala.
Dulu sih sengaja kupakai seperti itu, diikat dikepala sehingga bila kepalaku pusing aku tinggal mengencangkan ikatannya saja dikepalaku agar pusingku hilang.
Niatku ingin kelihatan cantik didepan mbak Asih dan teman2ku dulu jadi sirna.
Sudahlah, memang beginilah nasib jadi orang gemuk.
Dua jam telah berlalu...
Dear Diary,
Untung kuajak si bungsu.
Aku dibuatkan alis yang sama panjangnya, kalau aku buat sendiri biasanya tidak pernah sama panjang.
"Kalau buat alis seperti ini mam, digambar dulu panjangnya. Mamam buat alis saja gak adil, gak sama panjang, sama anak juga mamam gak pernah adil."
Aku cuma diam tak berani menjawab.
Bukannya takut, kalau aku jawab kan nanti mukaku bergerak2 dan alisku jadi panjang sebelah gimana?
Dandananku memang apa adanya kr bahkan peniti indah yg sudah kupersiapkan pun hilang entah dimana.
Untungnya Aqua Di Gio nya tak ketinggalan.
Tanpa itu aku pasti tercium bau Rexona obat ketekku.
Gak lucu banget kalau cipika cipiki aku bau Rexona, teman2ku sambil berpikir "si Rita ini pasti aslinya bau ketek soalnya bau obat ketek."
Yah untunglah aku bawa parfum idolaku.
Dear Diary,
Dandan, berputar2 mematut diri ini ternyata menghabiskan waktu 3 jam pas tidak lebih semenitpun.
Pantas saja walau belum jalan kakiku sudah pegal2.
Tinggal sejam lagi waktu untuk kondangan.
Jam 12.05 aku sampai di gedung serbaguna Akademi Kepolisian di jl jend. Sudirman.
Dengan terengah2 dan mengangkat separuh bajuku agar tidak terinjak, pelan aku naik kelantai 2.
Kuduga mbak Asih pasti ingin aku olah raga makanya sengaja dia memilih acara digedung dengan adegan naik tangga 2 lantai.
Untung suasana sudah sepi saat aku sampai jadi aku tidak merasa terperangkap keramaian.
Baru masuk gedung ada seorang wanita yang menunjuk2 aku.
Aku langsung bingung.
Tapi karena gak kenal ya aku diam saja hanya senyum2.
Eh ternyata dia menghampiriku.
"Rita ya?" Katanya sambil menyodorkan pipi kanan dan kiri buat cipika cipiki.
"Eh iya....saya Rita." kataku salah tingkah.
" ini mbak Susi Rit." Katanya.
"Ya ampun...mbak Susiii... Kok bisa sih kenalin aku kan kita belum pernah ketemu? Lagian aku kan kibulin mbak Susi bilangnya pakai baju warna merah?"
Aku memang sengaja bilang pakai baju warna merah pada mbak Suzinil Majid agar aku punya waktu mengenali lebih dulu dengan mencari wanita yang celingukan mencari wanita berbaju merah.
"Yah ngenalin lah Rit, kan lihat photonya di Facebook."
"Aku telat mbak. Dandan sampai 3 jam, baju dan jilbabku gak ada yg cocok, akhirnya beginilah."
"Bagus kok jilbabnya"
"Bagus apaan. Habis aku gak bisa model2. Nih lihat lengan bajuku saja cuma 1 yg bisa dikancing."
Seperti biasa aku nyerocos tak tentu arah kalau panik dan baru sadar setelah aku disenggol2 si bungsu agar berhenti.
"Kenalin mbak ini si bungsu, Vani."
Kulihat si bungsu mencium tangan mbak Susi.
"Bisa tolong photoin tante sama mamah dong ya?"
Anakku pun langsung ceklak ceklik memphoto.
"Aku salaman ke mbak Asih dulu ya?"
Akupun salaman dengan tuan rumah diatas sana.
'Mbak Rita kok gak nginep di hotelku sih. Padahal kosong lho. Itu ada mbak Bedah yg mau ketemu mbak Rita dr Banjarmasin. Jangan pulang dulu."
Mungkin kr melihat suaminya hanya diam dan heran memandangiku, mbak Asih buru2 bilang." Ini Rita lho mas yang dulu di Semarang. Istrinya Lilik."
"O alah kirain sopo aku lagi mikir sopo iki wong ayu kok lemu ngene." Jawab suaminya mbak Asih, pak Pargono.
Aku tak tahu itu penghargaan atau ngeledek dibilang ayu tapi dengan embel2 lemu...lemu itu gemuk Dear Diary.
Gemuk !
Rasanya orang 1 gedung jadi tahu kalau aku gemuk gara2 pak Parjono kr dia berdiri didekat MC yang pegang mic.
Perasaanku sih orang2 itu pasti mencari2 wanita yang dimaksud bapak pengantin perempuan, wanitavayu dan lemu.
Aku dan si bungsu buru2 kabur mencari makanan.
Sayangnya semua makanan khas jawa dan...berdaging.
"Coba kamu muter kesana Van, mamam muter kesini. Kalau kamu mau, makan saja gak apa2 kok, gak usah mikirin mamam. Mamam nanti minum saja. Nanti mamam makan di Paragon saja."
Memang rencananya aku mau ke Paragon sehabis kondangan ini, yah mau apalagi kalau bukan mau nonton, ada film baru Baby Driver yang kutebak bagus kr wajah pemainnya ganteng.
Sayangnya tidak kutemui makanan tak berdaging, atau jangan2 mungkin sudah habis karena sudah hampir jam 1 saat batas waktu terakhir pesta.
" mbak Panca ya? Mbak Maria ya?" Aku menyapa lebih dulu wajah2 yang kuingat saat di Semarang.
Ada wajah2 yang kukenal namanya tapi ada juga wajah yang tidak kukenal nama atau wajahnya.
Ada mbak Kus adiknya mantan bosku alm.pak Agus Kusbrijantono, ada 2 wanita berbaju biru yang kenal aku tapi aku lupa namanya, ada pak Joko, pak Taufik mantan analisnya mbak Asih yang panti asuhannya di Guci Tegal kutempati untuk merayakan khitanan anak sulungku Jati bersama puluhan anak2 panti lainnya.
Kulihat ada juga pak Agus sesama bekas RM, entah Agus siapa nama panjangnya, pria idolaku dulu saat di Semarang.
Menurut ukuranku sih dia ganteng dan penyabar sehingga aku mengidolakannya.
"Pak Agus...masih ingat saya kan? Dulu saya di Semarang." Kataku menyodorkan diri.
Sekilas kulirik anakku cemberut dan menjauhiku, mungkin malu punya ibu keliwat ramah.
"Masih ingatlah. Rita kan?"jawabnya.
Dan akupun berbunga2 bahagia dikenali idolaku.
"Pak Harry..." aku memanggil seorang laki2 yang sedang asyik bicara dg beberapa wanita, kuduga sedang ngegombal karena aku tahu pak Harry Sapta ini genit dan suka memuji serta ngegombal.
Siapa sih wanita yang tidak suka dipuji lha setiap ngobrol denganku selalu aku dibilang cantik.
Aku curiga ukuran cantik pak Harry mantan pemimpin Rangkasbitung ini pasti sederhana banget.
Ada hidung, bisa ketawa dan diajak ngobrol, pasti cantik.
Soal ukuran hidung atau mulut gak jadi soal buat dia.
"Eh mbak Rita..."kata pak Harry.
" Kok mbak Susi kenal pak Harry sih?"
"Kita dulu sama2 1 angkatan analis BNI mbak, dia yang jagain ibu2 disini." Kata mbak Susi.
"Wah saya sarankan jangan deh mbak, pak Harry itu genit. Waspadalah...waspadalah. Pak Harrry belum jinak lho."
Pak Harry memang sabar dan punya sense of humour yang baik.
Dia hanya senyum bangga malahan dianggap play boy.
"Eh pak Margono ya...? Saya dengar pak Margono sudah naik haji ya. Selamat ya pak haji."
"Ayo mbak Rita dicoba masakannya pak Margono." Kata mbak Maria sambil menunjukkan makanan Garang Asem didekatku.
"Lho aku kan gak doyan daging mbak Maria, lupa ya? Jadi pak Margono sekarang punya katering? Hebat ya?" Aku memuji kagum.
Rasanya hanya pak Margono mantan pelayan di BNI yang sukses, bisa naik haji dan punya bisnis katering.
Jadi aku memang kagum betulan dan tidak pura2.
Saat photo2 ada 1 bapak2 yg senyum2 gak jelas gitu ikutan minta diphoto bareng, sengaja menyikut2 aku seperti memohon perhatian.
Dear Diary, karena aku ini wanita yang penyabar banget, aku tidak marah disikut, aku malah tanya "Maaf bapak siapa ya?"
"Masak lupa? Gak ingat ya?" Sambil ketawa menampilkan gigi ompongnya.
Aku langsung ingat. Tak akan kulupa saat kuperhatikan wajahnya dengan jelas.
"Ohhh...pak Gafar ya, bekas pemimpin bagian saya yang galak itu?"
Aku rasanya langsung ingin mencekik lehernya dan mencolok2 matanya serta menarik2 rambut keriting kampretnya.
Rasanya sakit hati dimarahi timbul kembali walau belasan tahun telah berlalu.
Untungnya perhatianku teralihkan mbak Susi yang mengajakku ke podium
"Yuk Rit kita dipanggil mbak Asih, katanya orang2 BNI photo bersama."
" Cuma mantan analis kali mbak?"
"Enggak kok. Semua pegawai BNI katanya."
Untuk menghindari pencekikan terhadap mantan pemimpin bagianku, aku mengikuti mbak Susi ke podium.
Kulihat ada Ardianto si play boy juga diujung sana sedang tebar pesona.
Aku malas mendatanginya walau dia mantan gengku saat di Semarang.
Aku tidak simpati lagi karena jalannya tak lurus.
Walau idolaku pak Agus sempat masuk penjara tapi aku tahu jalannya lurus.
Dia masuk penjara karena koneksitas saja, karena hubungan kedinasan bahwa seorang bos walau bawahannya berbuat salah tetap harus bertanggung jawab.
Di Indonesia bahkan didunia memang seperti itu, tanggung jawab atasan judulnya.
Yah hanya Àhok dan Jokowi saja yang bawahannya salah tetapi atasan selalu benar dan bersih tanpa noda.
Yah mereka memang termasuk keajaiban dunia yang ke delapan : manusia yabg tidak pernah salah.
Kembali saat dipodium mbak Asih mengingatkanku agar jangan pulang dulu.
Maaf mbak, ada Ardianto, jadi aku harus buru2 pulang.
Aku menghindar.
Dear Diary,
Rasanya bahagia bertemu dengan teman2 lama.
Eh kecuali dengan pak Gafar ya.
Itu sih tidak termasuk.
Diam2 aku mengharapkan ada kondangan seperti ini lagi agar bisa melihat wajah teman2 lamaku.
Sayangnya pak Raharjo sobat karibku saat di Mikro Banking sudah keburu pulang.
Aku juga tidak sempat bertemu dengan pak Kusmanto yang penyabar, dan dengan pak Wiyarso.
Pak Wiyarso sangat berjasa karena sukses membuatku malu dan akhirnya sholat.
"Mbak Rita, daripada ditegur dan diajakin sholat terus kan capek nolaknya mbak, mending mbak Rita sholat sekalian. Ada belasan orang lewat depan mbak Rita, semua pasti basa basi tanya "sudah sholat mbak". Kalau mbak Rita sholat mereka pasti gak ngajakin sholat lagi deh."
Memang saat itu aku apes, meja kursiku dipintu masuk, jadi setiap orang mau ambil wudhu pasti ajak aku sholat.
Dengan cerita2nya pak Wiyarso menumbuhkan kesadaran tentang kisah2 nyata orang meninggal yang tidak sholat.
Yah jaman dulu kan belum ada sinetron religi atàu majalah Hidayah jadi cerita2 itu hanya kudapat dari pak Wiyarso.
Pak Wiyarso juga yang membuatku ingin memakai jilbab, sayangnya saat itu hanya tubuhku yang berhijab, nafsuku belum tersentuh hijab, aku masih tetap tergiur rayuan si play boy karatan.
Kapan2 aku akan tanya mbak Asih, dimana pak Wiyarso.
Aku kangen dia.
Mungkinkah aku bisa bertemu orang baik itu lagi?
Komentar
Posting Komentar