SEMARANG, FAREWELL MY SORROWS

Dear Diary,
Hari minggu 10 september 2017 kemarin,sepulang kondangan aku ke Paragon Mall, Semarang.
Dulu mall ini belum ada, hanya ada 1 mall di semarang sini, hanya mall Citraland di Simpang 5.
Aku cuma mau makan dan nonton film Baby Drive saja kok.
Jujur saja aku belum makan dari pagi, ditempat kondanganpun aku tidak bisa makan karena masakannya berbau daging semua.
Aku penasaran banget ingin melihat akting Ansel Elgorth si Baby, dan lebih penasaran lagi ingin melihat akting Jon Hamm, si ganteng seksi yang sering lupa memakai, maaf, celana dalam.
Serius lho Dear Diary, media di Amrik sono sering memergoki dia jalan tanpa memakai celana dalam, saat ditanya dia bilang lupa, yah apa mau dikata dia memang pelupa sih. 
Kayaknya aku bakal menjadikannya idola baru Dear Diary, Jon Hamm kan sama denganku, pelupa.
Karena filmnya akan main jadilah kami nonton dulu.
Aku betul2 tidak fokus melihat film ini, yang aku perhatikan hanya penampilan nya mas Jon Hamm saja, apakah dia lupa lagi memakai pakaian dalam? Yah kampretnya sayangnya sepanjang film kuperhatikan dia selalu pakai pakaian dalam.
Selesai nonton tertatih2 aku berjalan.
Aku memakai sepatu si bungsu karena warnanya yang merah marun cocok dengan selendang jilbabku sehingga 2 sepatu yang kubawa sia2 tak dipakai.
Jadilah aku mencari toko sepatu dulu.
Sialnya setiap toko sepatu yang kucoba semua tidak ada yang ukuran 42, paling besar ukuran 40.
Dari lantai ke lantai kucari ukuran sepatuku, model apa saja gak masalah asal jangan memakai hak.
Apakah cewek2 Semarang tidak ada yang berkaki besar sepertiku  kok susah banget sih cari ukuranku ?
Akhirnya kupilih sandal pria merk Fladeo karena hanya sandal prialah yang ukurannya bisa kupakai.
Kupikir aku memilih sandal itu dari area yang berdiskon, saat membayar aku terperangah dan langsung mules, harganya seperti tiket pesawat.
Hanya karena sudah terlanjur kupakai saja aku terpaksa membelinya.
Makan di Mama Malaka ternyata juga lumayan menguras kantongku,  dan sialnya tidak mengenyangkan karena tidak sesuai selera lidahku.
Walau aku kelaparan karena belum makan sejak pagi, aku tidak seputus asa itu menghabiskan makanan yg tidak sesuai selera lidahku, jadi aku makan hanya beberapa suap saja.
Makanku memang porsinya banyak Dear Diary, tapi hanya pada makanan yang aku suka saja.

Dear Diary,
Atas bujukan si bungsu kami pergi ke Ksatriaan Kepoh di Jatingaleh, rumah kontrakanku dulu, rumah bahagia saat aku masih  berbahagia dengan keluarga kecilku.
"Mending dari sini kita ke Jatingaleh dulu deh mam, biar kalau nanti mamam nangis sambil guling2an ditanah bajunya sekalian kotor. Kalau besok perginya mamam pasti malu. Masak ke Lawang Sewu mata mamam bengkak habis nangis dan bajunya kotor bekas guling2?"
Kembali kami naik Go Car dengan supir sopan dan tua.
"Ini daerah Candi ya pak?"
"Betul bu, ini daerah Candi."
"Dulu saya kalau mau laundry sprei atau blazer saya harus kesini pak. Tuh tokonya masih ada Van. Kayaknya dulu susah banget mau laundry pakaian."
Mobil meliwati pertigaan taman.
"Ini pertigaan Coca Cola ya pak?" Tanyaku.
"Bukan bu. Maaf saya kok baru dengar ada pertigaan Coca Cola bu?" Tanya si supir.
"Betul kok namanya pertigaan Coca Cola. Saya ingat banget soalnya supir saya si Rudi itu hampir setiap hari ditilang sama polisi Semarang. Mungkin karena nomor mobil saya B."
Ternyata pertigaan Coca Cola sudah mengecil karena dipakai pelebaran jalan.
Jalannya jadi 4 jalur kanan kiri, padahal dulu hanya 2 jalur.
Ternyata Jatingaleh juga sudah berubah banyak.
Didepan pintu masuknya sudah ada fly over padahal dulu cuma ada terowongan kearah Solo.
"Belok kearah kiri pak. Itu disebelah kanan ada TK, ini anak saya sekolah TKnya disitu. Dia dulu masih belum bisa ngomong pak walau sdh di TK sama seperti cucu saya."
"Mamam fokus ke jalanan kenapa sih gak usah curhat segala macam, nanti gang nya kelewatan."
"Lho masak Vani lupa sih gang kita kan ada diseberang TK kamu."
"Gangnya betul yang ini mam? Kayaknya beda deh."
"Betul. Itu rumahnya penjahit langganan mamam. Itu ada mesjid tempat bapakmu sholat jumat kalau lagi ingat."
Tak terasa air mataku mengalir deras.
Ada rasa sedih melihat lingkungan dulu kami pernah bahagia.
Banyak kelebatan2 ingatan terbayang lagi.
Itu tempat aku dan si semprul ngopi sambil melihat anak2 jalan bolak balik dari ujung ke ujung jalan.
Itu rumah tetanggaku yang orang batak, tempat aku bertamu  mengucapkan natal dan akhirnya ketakutan digonggong anjing piaraannya sampai naik keatas pohon mangganya dan baru bisa diturunkan pakai tangga bambu oleh suaminya.
Itu rumah dinas jendral siapa aku lupa, rumah bangunan Belanda yang memiliki rusa.
Tinggal dirumah ini memang mengesankan karena pemilik rumahnya, mbak Ninuk, juga akrab denganku.
Kulihat rumah kontrakan ku itu mulai hancur tak terurus.
Ilalang tinggi tumbuh dimana2.
Garasi juga atapnya mulai ambrol.
Di garasi itu si semprul yang sedang mencuci mobil berkali2 kukirimi lagu melalui kiriman penggemar di radio.
"Untuk bapak Lilik Bintoro yang ganteng, ini ada kiriman lagu dari istrinya Rita,  dengan ucapan, cari uangnya agar lebih giat lagi ya?"
Garasi ambrol itu dulu lumayan bagus muat berisi 3 mobil.
Garasi tempat kami main semprot2an air pakai selang sambil mencuci mobil dan akhirnya aku terjerembab karena licin.
Tak ada sisa2 kemegahan lagi di rumah itu.
Rumah itu sejatinya megah karena merupakan rumah dinas brigjen siapa aku lupa, namanya mirip nama pemimpin BPD Semarang yang ditangkap karena korupsi tahun 1997an.
Aku tak peduli dipandangi supir Go Car, aku menangis sesenggukan, bukan cuma menangisi masa bahagia tapi juga menangisi kesalahan2ku, dosa2ku pada si semprul.
Di Semarang aku mulai mengenal agama tapi dibalik itu karena jurang gaji yang terlalu tinggi antara si semprul dan aku membuatku mulai berani bertindak dholim terhadap suami.
Si semprul  masih tetap dengan kesederhanaan dan kesetiaannya sementara aku malah  berubah dan mulai menginjak2 kesetiaan dan kesederhanaannya.
Ya Allah ya Rabb, rumah ini saksi kekejamanku terhadap suami dan anak2.
Tempat aku merusak masa depan dan kebahagiaan anak2ku dengan merenggut haknya mempunyai ayah dan ibu yang lengkap.
Ya Allah, maafkan aku Tuhan.
Aku terduduk sambil menangis tersedu2 dimuka rumah kosong itu.
"Sudah mam, jangan sampai guling2an, ingat mam, malu biar kita gak kenal orang sini juga."
"Ya Allah Van...dosà mamam banyak banget, jahat banget Van. Kasihan bapakmu. Mamam gak bisa bayangkan bagaimana sakitnya hati bapakmu setiap hari melewati rumah kita di Pondok Cabe, mamam lewat rumah ini saja sakitnya minta ampun. Ya Allah....ya Allah...ampuni aku ya Allah.."kembali aku menangis tersedu2 sambil.memeluk pagar karatan rumah itu.
Selama aku menangis si bungsu selalu disebelahku, berjaga kalau2 aku lupa diri dan guling2an ditanah kayaknya.
Dia peluk aku, sambil berkali2 mengusap air mata yang tidak pernah berhenti.
"Udah yuk mam, sudah jam 5.30, sebentar lagi gelap. Lagian mamam sudah 30 menit.lebih tuh nangis terus, matanya sudah bengkak. Yuk kita pulang. Kalau mamam nangisnya kelamaan nanti mata mamam gak bisa melihat pemandangan indah. Penampilan mamam pasti jadi jelek banget. Teman Vani bilang di Lawang Sewu suka banyak shooting, nanti gak bisa lihat aktor ganteng mamam nyesal lho."
Si bungsu memang cerdik.
Kalau dia melarangku menangis dengan alasan lain pasti aku akan makin lama menangis.
Kalau bujukannya dengan bilang bahwa menangis akan merusak penampilan aku pasti akan  berhenti karena aku membayangkan tanpa mata sembab pun mataku sudah segaris tipis apalagi kalau sembab dan bengkak.
Pasti bakalan hancur2an penampilanku.
Dalam perjalanan pulang air mataku masih mengalir namun tanpa suara.
Rasanya sesak didada ini mengingat dan teringat semuanya.
Malam terakhirku di Semarang diisi tangis dan ingus.

Dear Diary,
Senin 11 September 2017 aku dan si bungsu ke Lawang Sewu.
Tak ada apapun yang menarik hanya bangunan2 tua yang tidak cukup tua untuk membuatku terpesona.
Aku lebih terpesona saat menghabiskan uang di Bandeng Juwana.
Untungnya si bungsu banyak mengingatkanku "jangan banyak2 belinya, gak ada yg bawa....kaki mamam kan sakit."
Buru2 ke bandara ternyata hanya untuk mendapati pesawat NAM Air didelay selama 3 jam.
Terpaksalah sesudah memasukkan tas ke bagasi kami tanya2 adakah mall yg bisa didatangi untuk mengisi waktu menunggu  total selama 5 jam?
Yah...Paragon lagi, Paragon lagi akhirnya jawabannya.
Kembali aku terdampar disana karena menurut info 3 orang satpam bandara yang kutemui disana paling dekat dan lengkap.
Membeli yang tak perlu dibeli, melihat yang tak perlu dilihat akhirnya sudah bisa diduga, semua terasa perlu untuk dibeli.
Untungnya ada si bungsu yang menjadi bayanganku, me rem semua tindakanku.
"Mam jangan beli buku ini, ini kan buku import, nanti mamam baca buku ini 2 tahun baru selesai. Cari yang terjemahan saja gak usah gaya2an."
Ops, ternyata yang mau kubeli itu buku impor.
Aku cuma lihat judulnya, soalnya buku terjemahanpun judulnya tetap pakai bahasa inggris.
"Mam baju ini dicoba dulu kalau memang mau beli, jangan sampai gak muat kan sayang."
"Tapi kan cukup diukur pakai meteran baju Van."
Di dalam tas ku memang selalu ada meteran baju takut tiba2 ada baju yang ingin kubeli.
"Jangan mam..mamam tetap harus cobain dulu. Waktu itu kan sudah diukur juga tapi tetap saja gak muat."
Dan akupun mundur beli baju itu saking malasnya harus buka baju yang berlapis2 ini.
3 jam putar2 mall Paragon walaupun pakai sandal baru dan empuk tetap saja membuat kakiku kejang2.
Akhirnya  2 jam terakhir kuhabiskan di bandara yang sumpek, sempit dan berbau aneka bau.
Saat mau buang air kecil merupakan siksaan tersendiri untuk orang gemuk sepertiku.
Bergerak sedikit sudah mentok kepintu, pokoknya kanan kiri mentok deh judulnya.
Kalau sudah begini aku menyesal sekali pakai celana panjang.
Coba kalau aku pakai rok panjang, kan gampang, tinggal tarik keatas saja bajunya.
Sudahlah, menyesal kemudian tak  berguna pikirku.

Dear Diary,
Akhirnya tepat pukul 6 sore Semarang sudah jauh dibawahku.
Kutinggalkan kota penuh kebahagiaan dengan keluarga kecilku.
Mulai sekarang, rasanya aku akan kembali diliputi kenangan dan rasa bersalah lagi, kenangan yang terbangkitkan saat melihat rumah lama itu.
Tak akan pernah ada lagi rasa rindu menanti kedatangan si semprul dari jakarta, merasakan repotnya menjemput di stasiun Tawang saat musim hujan yang penuh banjir.
Makan bersama di resto Aldo lalapan saling suap dan ditertawai anak2, merupakan masa indah tersendiri.
Sembunyi2 pergi berdua menghindari anak2 untuk menumbuhkan cinta, adalah usaha yg pernah dilakukan.
Cinta dan nafsu memang tumbuh lagi, sayangnya dengan makin tingginya gajiku membuat aku tak mau lagi diinjak2 dan diremehkan keluarga si semprul.
Seharusnya aku bertahan demi anak2ku, demi cinta yang kuperjuangkan selama 19 tahun, 2 tahun pacaran dan 17 tahun perkawinan.
Yah seharusnya.
Semarang telah membuka mataku dan merubah aku menjadi istri yang dholim.
Kebahagiaan, kesedihan, penghinaan, cinta dan rindu yang membuncah semua kualami dikota ini.
Aku tinggalkan semuanya disini.
Selamat tinggal Semarang, selamat tinggal duka.
Farewell my sorrows...

Komentar

Postingan Populer