OBROLAN TIGA IBU


Dear  Diary,
Sudah seminggu ini aku enggan untuk bergerak.
Niatku untuk mengecat lemari rias dikamar si bungsu pun sudah kutunda2 sejak 2 bulan yang lalu.
Aku membenarkan kemalasanku ini sebagai  “me time”, saat untuk merenungi semua kesalahan, dan bermalas2an, kalau hanya melakukan tidur, makan dan beres2 rumah setiap hari bisa disebut sebagai kemalasan.
Siang itu , Minggu 4 Desember 2016, saat sedang sakit perut terpingkal2 menyaksikan pawai PKI, Pawai Kita Indonesia, pawai tandingan dari pendukung Ahok, tiba2 HP ku berdering.
Kubiarkan saja, aku toh sedang serius2nya memerhatikan photo Hartoyo, pria yag berada didua dunia, memperhatikan betapa percaya dirinya dia dengan wajahnya yang jauh dari tampan, sumpah, memang minus kok wajahnya, tapi percaya diri memakai pakaian entah apalah.
Berkali2 berdering terpaksa kuangkat HP ku, mudah2an saja bukan orang pinjam uang, doaku.
“ Woiiiii Rita, lama amat sih diangkatnya? Ngapain aja sih lu?”
Aman....itu suara temanku, dia kukategorikan “aman” karena tak mungkin pinjam uangku.
Dia selalu bergue elu bila berbicara denganku, kadang2 diselang seling bahasa sunda.
“ Lagi lihat Hartoyo si banci kaleng bergaya nih di parade PKI. Jijai banget deh, urat malunya sudah putus semua nih orang kayaknya. Belum lagi lihat si Nusron Purnomo yang lagi bergaya mungutin sampah. Hadeuhh....ini sih mempermalukan diri sendiri pawai PKI ini.”
“ Hartoyo itu siapa sih? Nusron itu siapa? Lieur ah...gue mau curhat nih. Dengerin ya?”
Teman kuliahku yang satu ini memang cocok denganku, sama2 tak pernah suka mengemis walau suka uang.
Bedanya dia tak peduli siapa presiden Indonesia, apalagi gubernur DKI, tidak mungkin dia tahu.
Iseng kutanya dia “ Eh tunggu...tunggu dulu. Gue mau tanya, presiden Indonesia sekarang siapa namanya?” aku yakin dia tidak tahu, soalnya pertanyaan yang sama pernah kuajukan setahun yang lalu, jawabnya adalah SBY.
“ La memangnya presiden kita sudah ganti? Yang orang jawa itu bukan, gak ganteng deh orangnya, giginya maju jidatnya nongnong, pokoknya jelek deh, gue lupa namanya. Pokoknya nama2 jawa gitu Rit.”
“ Kalau Ahok tahu? “
“ Tahu lah, gubernur Jakarta kan, yang menghina Al Quran. Gue ikut bos gue ke Monas Rit, dia bagi2in makanan semobil. Lebih banyak yang ikut aksi tanggal 2 Desember kemarin Rit kalau menurut gue sih. Gila penuh banget jalanan. Semua mengucapkan takbir. Gue sampai merinding.” 
Niatku untuk mengerjai temanku langsung pupus mendengar dia ikut datang pawai bela islam sementara aku hanya duduk manis dirumah.
“ Dengerin ya Rit, gue lagi senewen nih. Masak gue masih hidup anak lelaki gue sudah minta supaya rumah gue disuruh balik nama ke dia, biar gak repot kalau gue meninggal katanya. Gue yakin itu karena disuruh bininya  Rit, minggu kemarin bininya adiknya juga  gue omelin, masak dia masuk2 kamar gue trus pakai baju muslim gue gak ijin dulu, kan kurang ajar namanya.”
“ Nah elo kenapa gak dikunci kamarnya?”
“ Yah kan rempong Rit kalau sebentar2 kunci kamar, lagian dia kan numpang dirumah gue sementara rumahnya lagi dibangun, kok gak menghargai mertuanya sih.”
“ Yah ada baiknya kamu ngomong terus terang ke menantu, bahwa elo gak suka kalau kamarnya dimasuki orang tanpa seijin lo, dia pasti mengerti kok. “
“ Telat Rit. Gue sudah usir2in itu anak gue sama menantu gue. Sudah pada pindahan pas hari sabtu. Mereka numpang berasa yang punya rumah, gak mau cuci baju, masak, apalagi boro2 beli bahan makanan. Gue capek2 pulang kerja cuci baju, setrika yang sudah kering, belum kalau pagi gue musti bangun jam 3 pagi buat masakin mereka sebelum kerja. Kapan gue senangnya ngurusin anak terus, dari dia kecil sampai tua?”
“ Ini anak lo yang minta balik nama rumah ?”
“ Bukan Rit, itu anak yang nomor 1. Yang kemarin numpang karena lagi bangun rumah itu anak yang nomor 2. Sekarang anak gue tinggal 1dimata gue, yang bungsu, yang 2 gue sudah gak mau ketemu, biarin deh dia pada mau mati atau hidup, gue capek disusahin terus.”
“ Kalau si bungsu gak pernah minta macam2?”
“ Sama juga sih, dia bulan kemarin pinjam duit gue 2 juta. Bulan sebelumnya pinjem juga 1 juta, kayaknya hampir tiap bulan dia pinjem duit buat beli susu anaknya katanya. Cuma cara dia mintanya sopan Rit, sambil pijit kaki gue baru dia bilang “ mami aku bulan ini bisa pinjam uang gak, 2 juta aja buat beli susu si dedek bayi, tapi kalau gak ada sih gak apa2 mih, nanti aku pinjam ke mertua aja.”, lha gue dia bilang gitu kan gak tega Rit, buat beli susu, lagian masak dia pinjam ke mertuanya, gue kan gengsi Rit. “
“ Ya kalau menurut gue sih mending si bungsu juga lo kasih ulimatum agar gak pinjam2 uang lagi. Kalau bulan depan dia pinjam uang, bilang aja kl lo gak punya uang. Lo harus menekan rasa iba, toh semua demi kebaikan anak lo, biar dia berusaha mandiri. Kalau gak dari sekarang lo ajarin dia mandiri, nanti kalau lo meninggal,  dia kasihan nanyi hidupnya karena sudah terbiasa gak mandiri.”
“ Padahal anak2 gue pada kerja,  sarjana semua Rit, apalagi kalau mereka yang gak kerja ya? Kata bos gue ini semua gara2 presiden kita gak becus Rit. Banyak PHK, lapangan kerja yang ada malah diisi cina2 semua, bos gue bilang dipabriknya malah mereka mengibarkan bendera cina dengan jalan2 nama cina didalam pabriknya. Harusnya itu kan hak orang Indonesia  buat kerja dan dipekerjakan.”
“ Yah begitulah, karena dulu saat Pilpres  banyak yang memilih karena terpengaruh pencitraan di media.”
“ Jadi nama presiden kita siapa ya Rit, kok gue gak ingat2 dari tadi.”
Belum sempat aku menjawab " Mukidi" untuk mengerjainya, pintu kamarku diketuk anak angkatku, Dini, dia bilang ada tamu.
“ Udah dulu ya say, gue ada tamu, nanti kalau masih belum puas curhatnya agak malem telpon gue lagi ya?”
“ Trima kasih Rit, sudah, gue sudah puas kok. Dulu saat lo cerita putusin silaturahmi sama anak2 lo gue sempat ngebatin, lo sadis banget jadi orang tua, tapi pas ngerasain sendiri bahwa kita diperas dan disakitin terus oleh anak, gue baru mikir bahwa jangan2 tindakan lo memang benar.”
“ Gue yakin tindakan gue bener kok, Tuhan tahu bahwa walau gue sedih gue harus bertindak seperti ini, mengajarkan anak gue mandiri. Gue kan gak selalu ada buat mereka. Udah dulu ah, trima kasih telponnya ya, assalamualaikum.”
Buru2 kumatikan HP dan keluar kamar.
Kupikir ada tamu yang ingin kost karena masih 1 kamar tersisa, ternyata tetanggaku yang datang.
“ Lagi tidur ya bu? Maaf ngeganggu, mau curhat saya, kepala saya pusing nih, anak dan suami saya ngomel2 terus seharian. Marah2nya didepan orang2 lagi, malu banget saya bu. Numpang duduk ya bu sampai saya tenang, kalau ibu mau tidur biar saja saya diluar sama Dini.”
Tidak mungkinlah aku masuk kamar lagi, mengingat dia tetangga dekatku.
“Masuk aja bu, asal itu cucunya sambil dipegangin ya, nanti tanaman saya dicabutin.” Kataku sambil senyum mengancam, maksudku sambil pura2 senyum tapi mataku berbinar2 mengancam.
“ Ada masalah apa lagi bu? Dikatain bego lagi? Anggap aja kentut bu, walau baunya menyakitkan tapi kan dia berlalu. Sudah 30 tahun kawin kan ibu sudah biasa dipanggil bego.”
“ Ya kalau suami yang panggil bego sih saya sudah biasa, tapi ini masak anak saya ikut2an marah2. Kemarin kan anaknya jatuh dari kursi, eh anak saya teriak “ mamah bego amat sih ngurus anak gak becus? Sedih banget bu, masih mending ada yang ngurusin anaknya, gratis lagi, dia juga makan gak bayar. Saya juga kan sambil kerjain pekerjaan rumah, masak cuci dan setrika baju2 dia, sambil jagain anaknya juga. Wajar ajalah kalau meleng sedikit anaknya jatuh. Saya kan ibunya, kok bisa2nya dia marahin saya.” Tetanggaku menangis sesenggukan.
Sedihbjuga lihatnya.
“ Saya gak bisa nasehatin apa2 bu, wong anak saya juga galak dan judes, kalau ngomong gak pernah halus, selalu lebih tinggi 1 oktaf dari nada manusia biasa. Coba nanti malam ibu pikir, langkah apa yang sebaiknya ibu ambil. Ibu kan punya contoh saya, saya putus hubungan dengan anak2 karena saya ingin anak2 saya mandiri dan tidak menyusahkan saya lagi, tapi hidup saya sepi tanpa cucu. Ibu mau hidup seperti saya atau ibu ingin tetap seperti sekarang, jadi budak anak ibu, dimarahin pula. Hidup itu kan pilihan, terserah ibu mau pilih yang mana, sendiri tapi sepi, atau ramai tapi capek lahir batin. Usia 30an itu rasanya harusnya sudah pisah rumah dengan orang tua bu, kalau menurut saya sih, masak mau nebeng orang tua terus. Terserah ibu lah, tapi pikir dan pertimbangkan masak2, diskusi dulu dengan si bapak. Kita sebagai orang tua juga berhak bahagia lo bu, selama ini kan kita ngurusi anak, cari duit buat anak terus. Masak kita gak boleh bahagia sih?”
Tetanggaku hanya diam mematung saat kuhadapkan pada dua pilihan.
“ Berat juga buat saya pisah sama cucu bu” katanya.
“ Itu karena selama 30 tahun ibu sudah memposisikan mempunyai mental pembantu, kalau bisa menjadi pembantu anak sih, itu sudah pengabdian. Kalau anak2 masih kecil oke deh, mereka tanggung jawab kita, tapi kalau sudah dewasa sih itu bukan tanggung jawab kita lagi. Di barat malah jelas, usia 17 tahun itu sudah dianggap dewasa dan harus mandiri.”
“ Nanti malam deh saya pikir2 lagi, sampai kapan saya bisa hidup seperti ini.”
“ Yang tahu kekuatan ibu pastinya diri ibu sendiri, hati ibu sendiri, bukan saya atau pak RT.”
“ Yahhhh cucu saya pipis lagi. Saya pamit pulang dulu ya  bu, lagi enak2 ngobrol pipis lagi.”
“ Namanya juga anak kecil bu. Biarin saja Dini nanti yang beresin bekas pipisnya. Yang penting nanti malam ibu pikir masak2, pertimbangkan lagi, pertimbangkan lagi, berulang2, jangan sampai menyesal. Gak semua orang kuat seperti saya bu, kadang saya juga menyesali keputusan saya kok, tapi kalau saya sudah menyesal atau ingat cucu, saya ambil air wudhu, saya sholat taubat mohon ampun sambil menguatkan diri bahwa ini semua demi kebaikan anak2 agar mereka mandiri dan lebih menghargai orang tua dan susahnya cari uang.”

Dear Diary,
Hari ini sudah cukup aku terima pengaduan 2 orang ibu yang tersakiti anak2nya, sudah cukup manakala akupun merasa tersakiti pula.
Hidup ternyata penuh warna.
Kupikir cuma hidupku saja yang menderita didera persoalan anak2ku yang manja, angkuh dan pemarah.
Ternyata wanita lainpun banyak merasakan pula.
Tetanggaku dan temanku hanya 2 dari belasan orang yang curhat dan mengeluh kepadaku tentang anak2nya.
Seandainya anak2 mau mengerti perasaan seorang ibu, tak pernah aku atau kami sebagai ibu mengharapkan balas jasa.
Mereka hidup mandiri saja sudah merupakan kebahagiaan tersendiri.
Yang kami inginkan sebagai seorang ibu hanya secuil perhatian, bukan cuma disaat butuh, tapi disetiap saat kami perlu.
Hanya seucap kata halus, bukan kata bernada tinggi.
Mungkin kami, aku dan ibu2 yang lain hanya ingin mengingatkan, Aku ibumu, ibumu, ibumu.
Hargailah.
Kami tak butuh uangmu anakku.

Komentar

Postingan Populer