PIKUNKAH AKU ?

Dear Diary,
Beberapa hari yang lalu saat aku kepeleset dan terkilir kaki kiriku, selama hampir 3 hari aku berbaring ditempat tidur.
Tidak bisa menulis, kecuali sekedar koment2 di FB dan tidak bisa menonton film Korea karena letak tempat tidurku menyamping layar TV dan aku tidak bisa berpindah tempat.
Yang kubisa hanya membaca, seperti kebiasaan lamaku.
Aku minta diambilkan buku untuk kubaca kepada si bungsu, buku apa saja.
“Nih mam, buku ini saja, tentang orang pikun, bukunya tipis kok. Warnanya pink lagi, kan mamam suka pink.”
Aneh nih anak.
Sejak kapan aku suka warna pink?
Tapi aku diam saja, daripada si bungsu berubah pikiran dan malah membawakanku buku horor.
Aku tidak bisa membayangkan membaca buku horor sendirian dikamarku yang menyeramkan ini.
“Ini ada 16 buku yang belum dibuka plastiknya, malah ada 1 judul ternyata 2 buku, mamam dobel lagi belinya pasti. Makanya kalau beli buku jangan banyak2, baca dulu kalau sudah habis baru beli lagi. Mamam gak bisa seperti ini lagi. Bulan depan mamam sudah pensiun, harus diatur pengeluarannya.”
Si bungsu menyerocos mengomentari buku2ku yang belum dibaca.
Aku tetap diam karena aku tahu sikapku salah.

Dear Diary,
Kuambil buku berjudul “Aku bersyukur ibuku pikun” karangan Irna Permanasari.
Aku ingat Irna ternyata temanku, maksudku temannya Roosiah temanku, eh maksudku sebenarnya Ros itu ibunya teman anakku yang nomor dua, nah Irna itu adalah sahabatnya Ros.
Yah pokoknya seperti itulah.
Cewek chinese manis berlesung pipit yang Ros bilang sedang jatuh cinta itu ternyata seorang penulis.
Pantas waktu datang kerumahku saat hujan2 dulu, matanya menerawang menatap plafond atap rumahku yang menguning, melihat dengan mata berbinar namun kosong, jangan2 dia membayangkan asal muasalnya warna kuning plafond atapku.
Kenapa aku tidak menyadarinya ya?
Biasanya saat bertemu seorang penulis aku bisa menebaknya, yah dari pandangan matanya yang suka kosong itu sebenarnya.
Aku langsung ingat buku ini pernah dirayu oleh Ros agar kubeli karena aku kan pelupa, siapa tahu pikun katanya.
Memang langsung kubeli, tapi teronggok lupa kubaca bersama 15 buku lainnya sampai berbulan2 kemudian.
Kubaca dan kubaca lagi buku itu.
Jarang aku membaca buku sampai berulang ulang, yah kecuali buku biografi  tentang Inggit Garnasih, “Kuantar ke gerbang”nya Ramadhan KH, buku yang sudah 3 kali kubeli tapi selalu hilang entah dimana.
Dan....akupun ketakutan.

Dear Diary,
Buku ini merupakan kisah nyata pengalaman dari Chili Desire Sylvia saat merawat orang tuanya, Mama Dee yang mengalami demensia, nama keren dari pikun.

Dari buku itu aku mendapatkan gejala pikun itu ada 10 buah:
1. Kehilangan memori yang mengganggu aktivitas keseharian.
2. Kesulitan membuat rencana atau tak bisa menyelesaikan persoalan sepele. Biasanya penderita mulai memerlukan waktu lebih lama dari biasanya.
3.  Kesulitan menyelesaikan tugas2 ringan.
4.  Bingung soal waktu dan tempat.
5.  Kesulitan memahami tulisan.
6.  Bingung pada kata2 dalam pembicaraan.
Ini diketahui saat penderita mengulang ulang materi pembicaraan.
7. Meletakan barang sembarangan dan kemudian bingung menemukannya.
Yang kemudian terpikir adalah dia mengalami pencurian.
8. Tidak bisa menentukan jumlah.
Dalam urusan uang, penderita bingung dengan nilai uang, seperti memberi tip dalam jumlah amat besar dan tak wajar.
9. Menarik diri dari berbagai kegiatan sosial.Penderita juga mengalami kesulitan melakukan olah raga, hobby serta bergaul.
10.Mood dan kepribadian berubah.
Penderita terlihat bingung, curiga, takut dan tertekan, terlebih bila bergeser dari zona nyamannya.

Kubaca dan kubaca lagi halaman 38 sampai halaman 45 buku itu, kucari2 kesamaannya dengan perilakuku.
Aku benar2 ketakutan.
Kalau mama Dee menurut Chili anaknya mendapat ponten 10 karena menderita ke 10 gejala itu, maka aku rasanya mendapat ponten 9.
Astagfirullohaladzim...

Dear Diary,
Aku mengalami 9 gejala dari 10 gejala!
1. Kehilangan memori yang mengganggu aktivitas keseharian.
2. Kesulitan membuat rencana atau tak bisa menyelesaikan persoalan sepele. Biasanya penderita mulai memerlukan waktu lebih lama dari biasanya.
3.Kesulitan menyelesaikan tugas2 ringan.
4. Bingung soal waktu dan tempat.
5. Kesulitan memahami tulisan.
6. Bingung pada kata2 dalam pembicaraan. Ini diketahui saat penderita mengulang ulang materi pembicaraan.
7. Meletakan barang sembarangan dan kemudian bingung menemukannya. Yang kemudian terpikir adalah dia mengalami pencurian.
9. Menarik diri dari berbagai kegiatan sosial.Penderita juga mengalami kesulitan melakukan olah raga, hobby serta bergaul.
10. Mood dan kepribadian berubah. Penderita terlihat bingung, curiga, takut dan tertekan, terlebih bila bergeser dari zona nyamannya.

Hanya gejala no 8. yaitu “Tidak bisa menentukan jumlah. Dalam urusan uang, penderita bingung dengan nilai uang, seperti memberi tip dalam jumlah amat besar dan tak wajar.” Yang  aku yakin tidak mengalami gejalanya.
Aku merasa masih sangat mengerti nilai uang walau kerap dibodohi anak2 ku dan mantan adik iparku.
Pikunkah aku?

Dear Diary,
Seingatku  kepikunan ini kualami sejak muda usia, sehak aku masih seger.
Aku ingat saat usiaku masih sedang ranum2nya, aku berpacaran dengan 2 orang sekaligus.
Solusinya mudah.
Dengan pacarku Budi aku mengaku tinggal ikut buleku di Gudang Air Cijantung, atau kadang ikut budeku di komplek Depkes Kramat Jati, sementara dengan pacarku yang bernama Fabian aku mengaku tinggal di Cilodong, dirumahku yang asli.
Apabila pacarku kuduga tidak memenuhi kriteria ibuku sang penentu pergaulan, sementara aku benar2 jatuh cinta, aku selalu membawanya kerumah buleku. Kalau aku duga ibu akan setuju dan aman2 saja berpacaran dengannya, aku membawa pacarku kerumah.

Suatu saat sepulangnya dari pacaran dengan Budi aku di drop dirumah buleku.
30 menit kemudian aku pamit pulang kerumah pada buleku, karena malamnya pacarku Fabian akan datang.
Saat sedang berpelukan dengan Fabian, aku lupa memanggil nama, kupanggil Fabian dengan Budi. Fabian pun tersentak marah karena ini bukan kejadian pertama aku salah panggil namanya.
Sebagai pemuda ambon yang pencemburu dan agak berangasan dia langsung marah2, kamipun bertengkar.
Aku capek dimarah2i, lha pacaran kan cuma iseng, ajang pengenalan, kok sudah dimarah2i?
Akupun mengaku menyerah, “ kita putus sajalah. Gue memang pacaran sama Budi anak Bank Ekspor Impor Jakarta Kota. Lagian kan kita cuma iseng2 saja.”
Putuslah kami, agak menyesal juga sebenarnya, karena Fabian itu selain mesra dan romantis, ciumannya sangat menyentuh, mungkin  karena bibirnya tebal.
Yah, aku sering baca bahwa bila seseorang mempunyai bibir tebal ciumannya akan terasa lebih nikmat.
Tak mau terulang lagi, sejak saat itu kubuat peraturan baru bahwa aku akan berpacaran dengan lebih dari 1 orang apabila nama panggilannya sama.

Aku juga pakai cara lain.
Mulai saat ini aku akan memanggil semua pacarku dengan panggilan “yang”, entah kepalanya peyang atau tidak. Biasanya memang kalau aku memanggilnya “yang” itu karena kepalanya pasti peyang, semacam ciri pengingat buatku. Kalau dia gondrong aku akan memanggilnya “gon”, atau “mis” bila berkumis, atau “gut” bila pacarku mempunyai janggut.
Sebetulnya itu tanda2 awal bahwa aku menyadari kalau aku pelupa, memberikan julukan karena aku pasti lupa namanya.

Dulu entah berapa kali saat di SMP Waskito aku kena hukuman karena lupa nama guru, padahal aku tidak bodoh, tapi memang sangat pelupa Dear Diary.

Pernah saat aku di tim Mikro Banking, di Kantor Besar, karena selalu on time saat pulang, suamiku biasanya sudah mengantri dipinggir jalan, sambil jalan pelan saat aku sudah dekat gerbang kantor.
Pernah dua kali aku salah masuk mobil merah milik orang. Kupikir mobilku, aku langsung masuk mobil, tutup pintu sambil bilang “ayo jalan buruan pak, nanti macet dibelakang kita” sambil pasang seatbelt kulirik suamiku.
Astagfirulloaladzim, ternyata bukan suamiku.
Buru2 aku buka kembali seatbelt, sambil minta maaf dan turun dari mobil.

Sering juga saat sedang ML dengan Lilik suamiku,  aku memanggil2 nama orang lain, entah pria atau wanita. Untungnya suamiku sudah teruji sabarnya, dia mahfum, pasti aku siangnya habis ngobrol lama dengan sipemilik nama.
Berbeda dengan suami kedua, kadang saat ML aku lupa salah sebut nama “Pak”, nama panggilanku untuk Lilik, sementara nama panggilan untuk suami keduaku adalah “mas”. Suamiku keduaku langsung merosot lemas, selemas lemasnya pria usia 60 tahun yang sudah uzur.dan terkena diabetes Melitus.
Sampai akhir waktu, suami keduaku masih tidak bisa mengerti kalau aku suka salah panggil.
Bukan aku memikirkan Lilik, tapi mungkin saja saat itu aku tiba2 membandingkan dia dengan suami lamaku.
Pernah aku salah panggil “ Di ayo Didi, terus...”, suami keduaku langsung curiga, disangkanya aku kumat lagi penyakit penuh kasih sayangnya.
Padahal jujur saat sedang ML itu aku tiba2 memikirkan Didi penjual bakwan dan mie rebus dikantorku.
Aku sedang berpikir2, apakah tadi pagi aku sudah bayar makanan atau apakah aku lupa bayar.
Jadilah Didi yang kupanggil dan bukan nama suamiku.
Salah panggil nama yang kerap jadi bahan pertengkaran dengan suami keduaku, padahal aku memang pelupa.
Kalau sudah marah biasanya suamiku akan diam seribu bahasa.
Yo wis lah, sakarepmu, aku menggerutu.

Dikantor seringkali aku memasuki ruang wakil pemimpin, setelah masuk aku keluar lagi sambil minta maaf karena aku lupa mau ada keperluan apa masuk keruangan sang wakil. Setelah beberapa saat aku baru ingat lagi.

Aku juga seringkali salah gandeng saat pergi ke supermarket saat belanja bulanan.
Pernah di Harmoni aku nyerocos sambil gandeng tangan laki2 lain mengelilingi area, saat mau bayar di kasir ternyata suami keduaku sedang berdiri sambil melotot dekat kasir. Akupun tersadar kalau yang kugandeng selama ini adalah laki2 lain, bukan suamiku.
Anehnya kok yang kugandeng diam saja2 kutarik2 sambil menunjuk sana sini kadang2 berkomentar tentang SPG atau manekin yang kulihat.
Kelak ternyata bertahun2 kemudian aku bertemu lagi dengan laki2 salah gandeng tadi, dan....menikah. Kelak dia bilang, katanya aku lucu, komentar2ku juga aneh tapi tepat.

Dear Diary,
Penyakit lupa ini agak berkurang sejak aku menuruti saran si  bungsu agar aku mencatat semua tindakan yang akan kulakukan secara lengkap di kertas post it.
Aku jarang lupa lagi, tapi lama kelamaan mana aku telaten mencatat semua tindakan yang akan kulakukan satu demi satu?
Akhirnya akupun tetap pelupa, tapi tak terlalu parah, karena untuk hal2 yang penting aku selalu mencatat di kertas pos it, dengan catatan, asal kertas post it nya tidak tercecer atau lupa menaruhnya.

Sejak dulu sampai kini, saat sedang berbicara, tiba2 aku suka berhenti, entah lupa apa yang dibicarakan kadang juga lupa nama yang kuajak bicara.

Aku ingat aku mengalami hal itu sejak awal masuk SMP.
Saat ini aku sedang tergila2 menulis. Semua yang kuingat, semua yang ada di diaryku kutulis ditambahi ingatan yang datang sesuai kejadian. Selain sebagai penjelasan kejadian yang kualami karena simpang siurnya cerita tentangku, aku takut kenanganku habis tergerus pikun.
Ini caraku mengingat memori yang kusadari pelan2 mulai menghilang.

Dear Diary,
Buku berjudul “Aku bersyukur ibuku pikun” karangan Irna Permanasari ini sangat bagus menurutku. 
Bagi yang sudah berusia tua, atau yang mempunyai orang tua, belilah buku ini, agar kita tidak perlu lagi meraba2 dalam gelap bila kerap kali lupa atau tak tahu harus berbuat apa kepada orang tua.

Isinya jelas dan menuangkan perasaan seorang anak yang harus merawat ibunya yang pelan2 menderita demensia. 
Bagus niatnya mereka2 yang merawat orang tua yang pikun, aku harus mencontoh niat2 seperti itu ; “ Kepikunan sang ibu adalah kesempatan emas yang diberikan Tuhan untuk tulus merawat dan menemani sang ibu dengan siraman perhatian, kesabaran dan kasih.”

Ada juga yang berniat “kepikunan sang ibu adalah pengurasan dan pembersihan batin yang luar biasa.”
Sungguh niat tulus yang harus dicontoh karena kebanyakan dari kita, bila merawat orang pikun dengan penuh ketidak sabaran dan marah2.

Ibuku sudah berusia 75 tahun sementara ayahku berusia 79 tahun Dear Diary.
Bila bukan kedua orang tuaku yang pikun, mungkin aku yang lebih dahulu pikun.
Aku rasanya bisa bersombong diri, bila kubilang buku ini bagus pasti bagus.
Percayalah.
Aku penggemar buku. Saat masih belum punya dana berlebih untuk membeli buku, setiap aku ke toilet untuk BAB aku selalu membekali diri dengan sebatang rokok dan sebuah buku, kalau tidak ada bahkan sepotong kertas koran yang bisa kubaca bila perlu.
Setelah punya cukup uang, selalu kucadangkan belanja buku dalam anggaran belanjaku, rp. 2 juta sebulannya, lebih mahal daripada uang untuk belanja bahan makanan yang hanya rp. 1.5 juta. 
Kelak bila anak2ku ada waktu, aku ingin berobat ke dokter penyakit syaraf, ingin kupastikan, apakah aku menderita pikun atau tidak.
Bila ternyata aku benar2 menderita pikun, aku akan wanti2 berpesan pada anak2ku bahwa aku ingin disebut sebagai penderita demensia dan bukannya pikun, karena lebih bergengsi.
Aku ingin, saat aku lewat tertatih tatih  tak mengenali siapapun, orang2 akan melihatku sambil berucap “kasihan ya bu Rita, dia kena penyakit Demensia, sudah gak kenali kita lagi.”
Orang pikun juga berhak untuk menjaga gengsi bukan?

Komentar

Postingan Populer