IBUKUPUN TERTAWA BAHAGIA..
Hari rabu tanggal 6 Januari 2016 sepulang dari mengurus BPJS ibu dengan berbinar binar bilang bahwa saudara2nya mau datang hari Jumat besok.
Karena ingin mempertahankan reputasi jago masak mulailah ibu merancang ingin masak ini itu menyambut kedatangan saudara2nya.
Aku terbengong bengong.
Hah? Masak?Pasti diomelin ibu lagi deh gue !
Aku menjawab iya dan iya berulang kali layaknya anak penurut.
Selang beberapa jam, setelah ibu lupa dengan idenya, aku bilang pada ibu “ Bu, kayaknya Ida masih kangen sama Wiwi deh. Wiwi lagi ngapain ya? Kemarin belum puas curhat2an Wiwi sudah pulang. Kasihan dia sendirian, suaminya kan gak tiap hari pulang kerjanya.” Aku menampilkan wajah sedihku.
Seperti juga mantan2 suamiku, ibukupun terkecoh.
“Iya Da. Wiwi suruh kesini saja biar bantu2 ibu daripada dia sendirian. Kasihan.”
“Gak enak sama Yudi suaminya bu. Kita minta tolong terus.”
“Biar nanti ibu yang ngomong sama Yudi. Masak bantuin ibunya gak boleh sih?!” Ibu mulai emosi.
Alhamdulilah. Satu masalah terpecahkan. Kalau ada Wiwi pasti ibu melarangku masuk dapur. Slalu seperti itu. Biasanya ibu bilang “Sempit dapurnya. Kamu urus tanaman saja sana. Ajak ngomong tanamannya, bilang ibu dan ayah kabarnya baik2 saja.”
Aku tak bisa membaca raut wajah ibu, entah kesal entah memang dapurku sempit.
Aku memang sering mengajak ngobrol tanaman sejak membaca berita bahwa tanaman yang diajak bicara dan didengarkan musik akan lebih subur dibandingkan tanaman yang tidak diajak bicara. Kebiasaan berbicara dengan tanaman itu sangat dibenci ibuku sejak dulu aku SMA dulu.
Tapi apa iya dapur ukuran 7 m x 6.5 m sempit? Walau tidak seluas dapur di rumahku dulu rasanya masih terasa luas buatku. Buktinya aku seringkali malas membersihkan lantai dapur karena melelahkan.
Alhamdulilah Wiwi mau datang. Aku rela membelikan sepatu baru rasanya daripada disuruh mengambilkan tempat merica dan ketumbar yang seringkali ketukar dan salah ambil karena sama2 bulat bentuknya.
Lagipula pikiranku saat ini sedang konsen memikirkan pembangunan ruang kost2an yang tidak selesai2.
Kabar kedatangan saudara2 ibu jam 11 jumat pagi diterima ibu seperti orang jatuh cinta yang menang lotre. Bahagia berbunga2. Tersenyum dan tertawa tak henti2 dan berkali kali menyuruh membersihkan ruangan yang memang sedang berantakan karena direhab. Menyuruh Wiwi pastinya bukan aku. Inilah untungnya menjadi bukan anak kesayangan, hanya menjadi pilihan terakhir untuk disuruh suruh.
Kasihan adikku, maafkan aku Wi, kataku dalam hati.
Aku bingung juga melihat tingkah ibuku.
“Da ibu gak mau ke Taj Mahal, batal saja. Kasihan ayah, jalan saja sudah susah.” Tiba2 ibu membuka omongan.
“Lha nanti pasti sembuh kok bu kalau ayah lihat orang India. Pasti nanti banyak cewek cantik yang menari2 dijalan.” Aku menyahut asal jawab sambil menghitung pengeluaran hari ini.
“Ibu minta duitnya saja Da.”
Waduh. “Untuk apa bu?”
“Mau buat mudik ke Solo, ketemu Darmoko dia kan habis operasi jantung dan lihat kuburan bapak”. Jawab ibu sambil menerawang.
Sejak kapan ibuku akrab dengan oom Darmoko adik tirinya yang beda agama?
Belum sempat kujawab ibu sudah bilang “Nanti kalau saudara2 ibu datang ajak ke karaoke ya Da?”
“Ajak aja, gak masalah kok.” Kataku bossy.
“Jangan lupa ibu gak jadi pergi, minta duitnya saja.” Kembali ibu mengingatkanku.
Sekarang aku yakin seyakin yakinnya, bahwa dia ibuku.
Dari ibu ternyata darah dan kecintaanku akan uang berasal.
Ada tiga saudara ibu yang datang.
Mbak Nani adik bungsu ibu. Seharusnya aku memanggilnya bule atau tante, tapi aku ingat saat masih kelas 2 SD saat aku memanggilnya Tante aku dicubit.” Panggil mbak nani saja, nanti disangka tante2 sama orang2.” Kuingat jelas kuku tangan mbak Nani panjang2 dan runcing2.
Aku juga ingat seluruh pacar2 mbak Nani saat kami masih tinggal di kampung Jawa, Johar Baru.
Wajah mbak Nani memang lumayan manis, ditambah sikap ramahnya, jadilah mbak Nani mempunyai banyak peminat. Mbak Nani dulu kembang kampung Jawa kata ibuku.
Yang paling tampan adalah oom Kadir. Aku sering mengintip mereka berpacaran dari belakang kursi, dan saat ketahuan mbak Nani aku mengintipnya tak urung aku dicubiti. Saat kulihat mbak Nani dengan manja menarik narik rambut jambulnya oom Kadir, aku masih ingat bersumpah dalam hati “iiih orang pacaran ternyata main kusut2in rambut. Ida sumpah gak akan mau pacaran sama yg punya rambut jambul. Amit2.”
Sumpah yang menjadi nyata. Aku tak pernah punya pacar berjambul.
Pacarnya yang paling baik namanya oom Yono. Aku masih ingat jelas awal perkenalan mereka.
Oom Yono dengan celana ketatnya mengajak kenalan mbak Nani didepan penjara Salemba saat ada pasar malam. Aku dibelikan bubur kacang hijau saat itu agr tidak mengajak mbak Nani pulang. Mbak Nani lalu ikut undian dan memenangkan baskom plastik warna merah. Rasanya baru kemarin aku digandeng2 mbak Nani dan menjadi saksi bisu kenalan dan ciuman pertama mereka. Kelak mbak Nani menikah dengan oom Yono dan dikaruniai 3 anak setelah keguguran berkali kali.
Saudara ibu lainnya yang datang adalah sepupunya, mbak Siti.
Seharusnya aku memanggilnya tante, entah kenapa aku memanggilnya mbak.
Mungkin dulu nama tante adalah momok bagi wanita muda.
Tak banyak kenangan yang ada, hanya bahwa mbak Siti dulu tinggal di Tebet. Saat kecil bila keluarga kami akan berkunjung kerumah mbak Siti biasanya ibu memeriksa kuku dan gigiku dengan teliti layaknya dokter gigi, maklum keluarganya dianggap ibu keluarga kaya. Sebenarnya ibu diwaktu muda akrab dengan kakaknya mbak Siti, almarhum tante Nining yang suaminya menjadi atase di Libanon dan Irak.
Ada cerita miris tentang kebejatan almarhum presiden Soekarno dimasa jayanya terkait dengan tante Nining yang berulang ulang kudengar dari ibuku.
Saat itu presiden Soekarno berkunjung ke Mesir, dilayani oleh keluarga2 korps diplomatik disana.
Tante Nining berwajah cantik jelita dengan hidung mancung, berparas campuran mirip arab dan bule. Konon presiden Soekarno melalui ajudannya berkata dengan terus terang kepada suami tante Nining bahwa dia tertarik dengan tante Nining dan berniat menikahinya.
Tante Nining kebetulan mendengarnya dari balik pintu. Dia langsung kabur meninggalkan keluarganya, bersembunyi dari rumah kerumah. Setelah presiden Soekarno kembali ke Indonesia, berminggu2 kemudian dia baru pulang masih dalam keadaan ketakutan.
Tamu ketiga yang hadir adalah mbak Ing, namanya sebetulnya Rina, tapi karena saat kecil lidah cadelku dulu tak bisa mengucap R jadilah namanya kupanggil mbak Ing.
Mbak Ing dulu tinggal di komplek Departemen Kesehatan di Kramat Jati.
Setiap awal ajaran baru, sampai SMP aku masih mendapat limpahan baju2 seragam bekas dari mbak Ing dan adik2nya. Itu saja serasa mendapat karunia dari langit daripada aku harus memakai baju2 lama yang umumnya sudah tidak muat karena pertumbuhan badanku yang ajaib cepatnya, disamping sudah dekil, benar2 dekil.
Jaman dulu mana ada pulpen biasa, yang ada hanya pulpen Parker dengan isi tinta cair atau pensil. Biasanya agar dianggap pintar aku selalu mengantongi pulpen Parkerku di kantong kemeja didadaku. Bisa diduga pulpen Parkerku karena murah selalu bocor sehingga kantong kemejaku menjadi berbercak2 biru. Jadi setelah dicuci bersih, kemeja2 itupun disulap menjadi baru. Yah tidak semuanya sih, kadang ada yang ketiaknya tetap berwarna kuning walau telah direndam dan disikat berhari2 oleh ibuku.
Menjadi orang miskin memang harus mati rasa dan tidak punya malu menurutku.
Jadi Biasanya aku menganggap warna kuning di ketiakku itu sebagai dekoratif pakaianku.
Pasokan seragam bekas terhenti saat tubuhku tidak bisa menampung limpahan seragam bekas lagi karena tubuhku lebih besar ukurannya.
Ada beberapa kali lebaran aku diajak oleh mbak Ing atas perintah almarhum bu Lin ibunya untuk kepasar Kramat Jati membeli sepatu lebaran berpita dengan mbak Nani kecil namanya, masih saudara ibuku yang tinggal dirumah Kramat Jati.
Aku juga ingat sering mengintip mbak Ing pacaran dengan pacar yang kelak menjadi suaminya, oom Harry. Biasanya aku mengintip dari sela2 lobang angin diatas kamar. Gampang buat mengintipnya karena kalau aku menginap biasanya aku tidur di tempat tidur tingkat paling atas, tempat tidur tingkat yang terbuat dari besi.
Walau aku sering menginap aku tidak cukup dekat dengan mbak Ing, aku dekat dengan Eny, adik bungsunya malahan, karena setelah menikah dengan oom Harry, mbak Ing biasanya ditempatkan didaerah2, jadi jarang ketemu, maklumlah oom Harry lulusan Akabri AD.
Anehnya aku ternyata satu angkatan dengan adiknya oom Harry di FHUI, Menik panggilannya.
Wajah mbak Ing makin tirus rasanya, tawanya juga tidak sampai kemata kulihat.
Ada terasa tusukan tajam didadaku melihat satu lagi wanita yang tersia sia.
Betapa mati, jodoh, rejeki itu tidak bisa diduga. Siapa yang bisa menduga jodoh kita akan berakhir esok hari dan bahwa laki2 sempurna itu akan berubah?
Aku sang pelakupun tidak bisa menduga akhir cinta setengah matiku pun bisa berakhir sia2 hanya karena gara2 rumput saja. Rumput tetangga yang lebih hijau dari rumput rumahku.
Pilihan karaoke hanya di Inul Vista Bogor atau Master Piece nya Ahmad Dhani. Sebagai pendukung Maia yang tersia sia dan pembenci sikap arogan Ahmad Dhani, aku malas ke Master Piece walau jaraknya lebih dekat.
Akhirnya Inul memang pilihanku berkaraoke karena aku tak mau berkaraoke dipandangi wajah Ahmad Dhani tersenyum mengejekku.
Melihat 4 orang manula, aku menganggap diriku baru setengah manula, tertawa2 menyanyi dengan ngawur, atau bingung memilih makanan memang membuatku waspada. Sebentar lagi akupun seperti itu. Beruntung ibuku, masih ada yang seumuran yang masih hidup dan berbagi cerita, aku tak tahu nasibku kelak.
Jangan2 aku kelak tidak bisa karaoke diluaran lagi karena tak ada yang kuajak pergi bersama.
Ibu seperti biasa meminta dipilihkan lagu Changing Partner. Sayangnya mic yang dipegang ibu tombol on off nya rusak sehingga harus dipegang tombolnya agar bisa on terus. Jadilah saat ibu menyanyi dengan sendu, teringat almarhum bapak dugaku, suara ibu tidak keluar, ibu nampak komat kamit seperti sedang membaca doa diiringi musik.
Hari ini aku berperan menjadi wanita sabar dan baik hati.
Ibu meminta lagu yang ada kalimat ‘qisas qisas qisas” nya. Aku tentu saja bingung setengah mati mencarinya lha wong judulnya atau penyanyinya saja ibuku tidak tahu, bagaimana aku bisa mencari.
Sampai akhir acara berkaraoke, lagu ibuku tidak ketemu. Untung ibu tidak memaksaku mencari sampai ketemu.
Mbak Ing meminta lagu Dian Pisesha yang ada kalimat “ malam ini malam ini”, tentu sama dengan ibuku, judulnya tidak tahu.
Ketemu judul lagu Dian Pisesha yang ada malam ini-nya. Sayangnya saat mbak Ing menyanyi setelah menarik napas persiapan berkali kali, “bukan ini Da lagunya. Coba deh lagunya Christine Hakim saja”.
“Christine Hakim itu bintang film mbak. Dia gak bisa nyanyi makanya gak jadi penyanyi, suaranya jelek.” Aku menjawab disela sela suara Wiwi yang sedang menyanyikan lagu Pance Pondaag sambil merem melek.
“Christine Panjaitan kali mbak Ing?”
“Iya coba cari Christine Panjaitan”. Mbak Nani menengahi.
Kucari Christine Panjaitan. Kali ini mbak Nani, mbak Ing dan m bak Siti masih bingung karena judul lagunya masih belum ketemu. Akhirnya kupilih judul2 lagu yang nge top milik Christine Panjaitan.
Suara Christine Panjaitan yang melengking tinggi rupanya tidak bisa dicapai oleh semua nya. Jadilah lagu Christine Panjaitan versi ibu dan saudara2nya. Aku yakin Rinto Harahap tidak damai dialam sana mengetahui lagunya dibuat versi lain.
“Lagunya Meriam Belina kali mbak yang ada2 malam2nya, karangan Pance Pondaag.” Wiwi yang duduk disebelahku berbisik ditelingaku.
Kucari lagu2nya Meriam Belina dipandu Wiwi.
“iya ini Da lagunya. Oh bukan Dian Pisesha yang nyanyi ya?” mbak Ing menyetujui pilihan Wiwi.
Ya Tuhan, walau ada clue kalimat “malam ini malam ini” , betapa susahnya setengah mati mencarinya mengingat sebagian besar lagu menurutku ada kalimat malam ini-nya. Mungkin pengarang lagunya selalu mencipta lagu disaat malam hari dugaku.
Mbak Siti lain lagi. Dia minta lagu yang ada kata sayangnya banyak banget.
Aku ingat Rinto Harahap kalau mengarang lagu sering mengobral kata sayang, bahkan lagunya Iis Sugianto sampai ada 13 kata sayang disatu lagu. Aku lupa judul lagunya Iis Sugianto dimaksud.
Dua jam berkaraoke, menurutku sih bukan karaoke, karena waktunya lebih banyak dihabiskan buat mencari lagu dan berphoto2, akhirnya usai sudah.
Saat pulang jam 21. 30 malam, suasana sudah sepi. Wiwi kusuruh mencari charteran angkot. Pasti lebih murah, karena aku yakin Wiwi pandai menawar.
Saat sedang menawar angkot mbak Nani ikut membantu mengeruhkan suasana dengan menjelaskan alamat rumahku kepada supir angkot. “ itu pak di koramil. Dekat kok. Dari sini cuma lurus saja.”
Akhirnya dapatlah angkot dengan mudah gara2 disebutkan alamat tujuan adalah Koramil.
Sepanjang perjalanan supirnya dengan bingung bertanya “Koramil mana bu? Arahnya kemana?”
“Nanti saya kasih tahu pak. Lurus saja. Memangnya baru jadi supir ya, kok Koramil saja gak tahu?”
Aku pura2 bertanya, padahal dalam hati aku juga bingung, sejak kapan alamat rumahku di Koramil?
Aku ambil hikmahnya sajalah, berkat alamat rumahku dibilang di Koramil oleh mbak Nani, supirnya membawa mobil dengan pelan dan hati2.
Alhamdulilah sampai juga aku kerumah.
Saat ganti baju, ibu masuk kekamarku dan bilang “terima kasih Da. Ibu senang masih dikasih kesempatan nyanyi2 dengan saudara2 ibu, minggu kemarin dengan anak2. Terima kasih Da.”
Ujar ibu berulang2 sambil menitikkan air mata.
Waduh. Aku lupa masih belum pakai BH saking terpesonanya lihat ibu menangis, aku bilang “ gak apa2 bu. Lain kali kita pergi tapi jangan naik angkot ya. Nanti kalau dibawa lari supir angkot bisa geger keluarga kita.”
“Siapa yang mau bawa kabur isinya nenek2 semua.” Ibu tak tahu aku cuma meledek.
“Yah kita kan gak tahu bu, siapa tahu supir angkotnya nggak punya nenek dan ingin punya nenek.Besok kita susun acara ke Solo ya, mumpung ayah masih sehat.”
“Terima kasih Da” kata ibu sambil mengusap air mata meninggalkan aku dalam keadaan tanpa BH.
Ibu tidak tahu, aku yang lebih bersyukur masih diberi kesempatan membahagiakan ibu dan ayah.
Terlepas dari semua kekurangan ibu dan ayahku, mereka adalah orang tuaku.
Aku ingin menebus semua kesalahanku, kesusahan dan air mata yang tertumpah olehku dulu.
Mudah2an masih ada waktu, harapku.
Kabulkan aku Tuhan.
Komentar
Posting Komentar