SEHARI BERSAMA WANITA PENGGODA IMAN
Kemarin hari minggu 12 Februari 2017, aku janjian akan jalan bareng dengan teman2ku, Tati Muntoro yang notaris dan profesor, Yanti Bunda Andhika yang auditor bank pemerintah serta Yustika Erliani yang dosen universitas Mercubuana.
Kalau melihat pekerjaan mereka kok tiba2 aku jadi minder ya, aku cuma pensiunan soalnya.
Tapi untungnya aku selalu optimis, dengan hati membuncah aku bilang pada diriku; aku lebih keren dari teman2ku, tanpa berbuat apa2pun aku toh dibayar pemerintah.
Hmmm....tenang, aku lebih keren, pengangguran berduit.
Sebagai wanita yang baru berusaha menjadi orang baik, aku disarankan sering2 beristigfar.
Sejak pagi aku berusaha beristigfar dalam hati.
Sambil masak ikan asin dan buat sambal bawang putih, sambil lihat orang2 yang mau ke gereja dibelakang rumah, bahkan saat kulihat tetangga sebelah rumah menjemur celana kolor bututnya didepan rumahku, aku tetap mengucapkan istigfar.
Kupikir aku bakalan lolos dari dosa bergosip kumpul2 hari ini karena aku akan tetap beristigfar. Harus !
Aku senang berteman dengan mereka karena walaupun mereka kaya tapi hatinya juga kaya.
Setiap aku ajukan usul untuk kegiatan sosial, mereka tak pernah menolaknya, “ boleh aja bu, saya juga ikut bu”, dan itu diucapkan tanpa berkedip padahal uang yang dibicarakan bukan sedikit untuk ukuranku.
Tahun lalu kegiatan ngerumpi kami sambil mengkhitankan anak2 yatim disekitar rumahku.
Pokoknya semua anak lelaki sudah buntung semua dikhitankan !
Kemarin mereka datang membawa ber dus2 baju bekas dan buku2 pelajaran bekas serta amplop entah berisi uang berapa aku tak berani mengintip karena buru2 kulem amplopnya, untuk disumbangkan pada pondok pesantren dikampungku, yang banyak berisi anak yatim.
Saat mereka datang aku belum sempat memakai jilbab, karena saat memakai jilbab yg kuanggap keren dengan motif batik, belum apa2 Tati dan Yanti sudah teriak histeris “ jangan pakai itu bu, kayak orang mau kondangan, saya malu bu !”, bahkan Tika kalau tidak salah malah sempat teriak “ saya gak mau bu, nanti saya dianggap pembantu ibu.”
Dalam hati aku istigfar, ya Allah berikan aku kekuatan iman, iblis2 mulai muncul, doaku.
Ya sudahlah, aku ganti jilbab dibantu Yanti yang memang agak genit, yang kalau memakai jilbab selalu disilang sana silang sini membentuk gaya cantik dan model2 rumit.
Baru mau berangkat saja sudah ribut sendiri, karena aku maunya pakai mobil tati dan Tati yang menyupiri, rasanya masih terasa deg2an jantungku saat disupiri Yanti berbulan2 yang lalu.
Aku juga tak mau duduk didepan, biarlah Tika saja yang duduk didepan, nyonya pemilik mobil biasanya kan duduk dibelakang, bukan di depan, hanya dalam hati sih aku beralasan begitu.
Sesuai kesepakatan kami akan makan di Mang Engking Cibinong, tapi setelah didatangi, Ops, ternyata judulnya bukan Mang Engking, tapi resto Mang Kabayan.
Ya sudahlah, toh awalannya sama2 Mang walau akhirannya beda.
Saat piring2 baru disajikan, Tati sudah ribut minta diambilkan photo kepada pelayannya.
HP dioper sana sini karena tati duduk diujung, kami siap2 berphoto, tiba2 Tati memberikan sebuah piring untukku.
Tanpa sadar aku bergaya dengan piring itu, kupikir Tati menyuruhku begaya dengan piring.
Semprul, ternyata Tati cuma mengedarkan piring untuk makan.
Dan tertawalah mereka, mentertawakan gayaku, akupun istigfar berulang2 dalam hati.
Syukurlah, aku masih tetap beristigfar, aku memang orang baik2 dan sabar, ujarku dalam hati.
Sebenarnya saat memilih tempat dudukpun aku sudah salah.
Yanti dan Tati ingin duduk lesehan, “ Gimana bu, ibu bisa duduk lesehan?” Yanti bertanya “pura2 perhatian” dugaku.
Aku malu mengakui asam uratku sedang kambuh, ku iyakan saja.
“ Gak apa2 kok yan, lesehan juga bisa kok, nanti ibu bisa gaya ikan duyung rebahan kalau pegal.” Kataku.
“ Ini susah bu duduknya, memangnya ibu bisa duduk seperti ini?” Tati ikut2an mengompori.
“ Bisa kok gampang, nanti kalau gak bisa ibu duduknya ngesot saja gesernya.”
Kembali aku istigfar, sambil berdoa agar kakiku tidak sakit lagi.
Saat pesan makanan kembali suasana riuh, cuma aku dan Tika yang menjadi cewek pendiam.
“ Mbak saya pesan nasi untuk 4 orang, gurame asam pedas, lalapan dan sambal dadakan, udang bakar madu,es teh tawar, teh manis, tumis kangkung, cumi goreng tepung, tahu isi udang, jeruk panas dan kelapa muda degan yang pakai batoknya ya.” Yanti memesan dengan suaranya yang pelan lemas.
“ Tunggu mbak, ini guramenya yang airnya bening apa yang ada bumbunya?” tanya Tati.
“ Ini yang ada bumbu pedasnya” kata pelayan resto dengan ketakutan, maklum Tati seperti biasa tanpa sadar bertanya dengan gaya pengelola layanan, galak dan keras suaranya.
“ Kalau begitu tambah lagi mbak, gurame special 1, yang bening ya.” Pesan Tati sambil mengacungkan jarinya.
“ eeeh....i..iya....bbu..” jawab si pelayan.
“ Jangan sampai salah, guramenya dua.” Tati mengulang pesanannya, tidak sadar kalau sang pelayan terbata bata ketakutan.
Saat pesanan datang, Tati melihat udang bakar madunya rupanya kecil2, seukuran jari kelingkingku yang suka buat ngupil, benar2 kecil.
“ Kok udangnya kecil banget, kisut begitu, bukannya ini udang galah? Bu Rita mana cukup udang segini ?” tanya Tati kejam.
Saat kulihat udangnya aku membenarkan Tati, bisa2 sekali suap habis, udang bakar madu seharga 72,500 perak itu hanya udang kisut sebanyak 8 buah berjejer dipiring besar.
“ Iii....yya bu...ini udang galah.” Jawab si pelayan tergagap gagap takut.
“ Ohhh...udangnya kedinginan kali makanya kisut ya. Kalau gitu udangnya tambah lagi mbak, pesan 1 porsi lagi.” Kata Tati coba2 humor saat menyadari pelayannya ketakutan.
Dalam hati aku mengucapkan istigfar kembali, sambil bersyukur tidak pernah menjadi pelayan resto dan menghadapi tamu2 secerewet kami.
Saat sedang asyik2nya makan, ternyata ada beberapa lalat berdatangan kemeja, membuat kami sibuk, sambil menggoyang2kan tangan sambil menyuap.
“ Tolong kipas anginnya diarahkan kesini saja mbak Yanti” kata Tati, posisi Yanti memang lebih dekat ke kipas angin dinding, badannyapun cukup tinggi, tidak mungkin pula Tati suruh Tika membenarkan posisi kipas angin yang tinggi, bisa2 dia loncat2an meraih kipas angin.
Ternyata Yanti tidak bisa mengarahkan, bahkan tombolnya dimanapun dia tidak tahu.
“ Panggil mas2nya saja suruh betulkan” kata Tati.
“Jangan Yanti yang manggil ah, dia suaranya lemes gitu, bisa2 tahun depan pelayannya baru datang” aku protes.
Saat pelayan datang dan membantu mengarahkan kipas angin, ternyata tetap salah padahal sudah dijelaskan oleh Yanti maksudnya.
“ Ternyata Yanti itu tidak bisa berkomunikasi dengan pelayan.” Kata Tati.
“ Iya, pantesan waktu ngajar layanan banyak yang pada gak ngarti, suaranya pelan.” Entah siapa yang menimpali aku lupa.
“ Yah saya kan pendiam bu, diam itu emas.” Kata Yanti.
“ Iya diam itu emas, berisik itu berlian.” Tati menimpali dengan antusias. “ Kayak aku nih eksplosif”
“ Eksplosif mah meledak Duar dong mbak Tat “ Yanti menegur sambil memperagakan roket dengan tangannya.
Entah kenapa aku tiba2 ingat saat September 2015 kemarin Jokowi memperagakan gerakan menggambarkan roket saat ngibul bahwa ekonomi baru akan meroket bukan Oktober 2015.
“ Maksudnya ekspresif Yan, Tati kan orangnya memang begitu, kita sama2 tahulah nafsunya Tati memang besar meledak ledak.” kataku sok bijak.
Selesai makan kukeluarkan cairan cuci tangan dibotol kecil.
“ Siapa yang mau pakai ini? Lihat, ibu sekarang keren kan cuci tangannya pakai Dettol gak pakai sabun lagi” kataku menyombong.
Ketiga orang temanku itu rasanya iri denganku, setiap aku pura2 menyombongkan diri mereka langsung berramai2 komplain, kalau sudah begini aku merasa seperti artis yang sering dihujat.
Banyak yang dibicarakan, dikomplain, saling bully yang dengan suka rela dan bahagia diterima.
Dari mulai masalah kredit yang sedang mendera mantan temanku, rejekinya Rudi Black yang tidak akan tertukar walau sandal jepit suka tertukar, aplikasi Meitu agar bisa berwajah seperti Barbie Indonesia, sampai aplikasi Waze.
“ Ah itu Tati pakai Waze tetap saja saat kita melayat kerumah alm. Shinta nyasar.” Kataku.
“ Itu bu Tati masih kangen sama ibu berarti, jadi dinyasar2in.” kata Tika membela Tati, aku maklum saja, karena dia kan numpang mobil Tati sementara mobilnya dirumah Tati.
“ Bukan bu, itu Waze kalau sinyalnya bagus enak bu. Saya sering pakai waze, tiba2 sinyalnya hilang, lha bingung banget ini belok atau lurus” seperti biasa Tati ngeyel.
“ Iya aku juga waktu kerumah mbak Tati tiba2 sinyal hilang, wazenya kayaknya bingung gak bergerak, aku panik, ini lurus atau belok sih.” Kata Tika.
“ Iya bener bu, aku waktu mau ke airport Halim pakai waze tiba2 sinyalnya hilang akhirnya aku malah masuk ke tol Tanjung Priok, buru2 aja aku telpon mbak Tati.” Kata Yanti.
“ Oke lah, jadi kalau kita jalan2 lagi terus kita nyasar, kita bisa salahkan waze karena sinyalnya hilang jadi gak bisa mengarahkan. Kita sepakat ya.” Akupun menyerah, lha wong aku lihat waze saja bingung.
“ Ini ibu mau mengumumkan, sekarang ibu jadi orang baik2, ibu sudah mulai ngaji, terus dari tadi setiap lihat kalian, ibu dalam hati tetap dzikir astagfirulloaladzim.” Kataku kalem.
“ Ibu kayak universtitas Moestopo beragama aja deh, cuma Moestopo saja yang beragama yang lainnya gak.” Kata Tika.
“ Iya ya, universitas lain gak ada yang bilang beragama, cuma Moestopo saja yang beragama” kata Tati.
“ Itu karena prof.Moestoponya sibuk belajar mempelajari macam2 agama, sampai akhir hayatnya, tinggal Islam yang baru mau dipelajari tapi keburu meninggal. Coba deh google.” Kata Tika dengan yakin, mungkin karena dia lihat modemku tidak ada sinyal makanya dia berani bilang begitu.
Akhirnya kupinjam HP Tati, ku Google, ternyata pencantuman kata “beragama” itu untuk membedakan dengan universitas lain yang beraliansi ke PKI. Yeeeee Tika salah ....
Seasyik2nya ngobrol, kewajiban sholat tetap berjalan.
Tatipun bergegas mengambil mukenanya dimobil, kuduga pasti mukena baru.
“ Enak mukenanya Tat, dingin. Pantes nawarin mukenanya, mau pamer ya mukena baru?”
Mukenanya memang bagus, dingin dan lebar, harganya pun murah, hanya 250 ribu ditemannya belinya katanya.
Aku buru2 pesan, juga Yanti, sambil lihat google melihat warna2 mukena yang ada.
“Ibu pilih warna apa ya kira2 ? Pink bagus gak ya? Eh atau peach aja deh.” Kataku yakin.
“ Peach itu warna kuning kan ya bu? Yang kayak tembok rumah ibu kan, biar kalau nempel di tembok gak kelihatan?” Tati membalas ledekanku tentang mukenanya.
Sialan, tembok kuning rumahku sekarang di bully.
Astagfirullohaladzim, kembali aku mengucap, bukannya karena aku marah diledek, tapi hanya karena aku ingin sering2 mengucap istigfar saja.
Ingat, aku kan wanita baik2 bukan ?!
“ Nanti tanggal 19 februari ke hajatannya bu Sri barengan ya? Ngumpul dirumahku saja” kata Tati.
“ Iya, nanti aku habis dari bandara aku jemput bu Rita ya bu.” Jawab Yanti.
“ Nanti ibu siapin nasi uduk deh Yan, biar kita sarapan nasi uduk dulu.” Kataku.
“ Gak usah bu, gak usah ngerepotin.” Kata Yanti.
“ Oh gak ngerepotin kok, ibu cuma siap2 saja, kalau kamu marah dijalan dan mau turunin ibu dijalan, kamu kan hutang budi sama ibu sudah makan nasi uduk ibu.” Jawabku kalem.
“Pakai baju apa? Sama an yuk pakai bajunya?” tanya Tati.
“ Ungu saja Tat, ibu punya baju lebaran warna ungu gak dipake2 habis gak kemana2.”kataku.
“ Ya gak usah teriak juga kali bu, sampai 1 restoran dengar semua kalau ibu punya baju lebaran belum dipake. Tuh lihat, bapak2 yang disana lihatin ibu.” Kata Tati.
“ Oh salah Tat, itu bapak2 lihatin Tati kok, dia pandangan membelok kearah kamu.” Jawabku.
Entah kenapa dia selalu komplain setiap aku koment, jangan2 dalam kehidupan sebelumnya dia adalah anak tiriku yang pernah kutindas mati2an.
“Aku punya baju ungu,” kata Yanti,” mbak Tika punya gak baju ungu?”
“ Saya sih gak masalah warna apa aja kok, nanti tinggal beli” katanya, dengan kata lain yang tersirat adalah “ duitku banyak kok, tenang saja”.
“ Kalau gak ada baju ungu, pakai BH ungu juga gak apa” kata Tati bijak.
“ Kayak jaman pakai batik dong, saya waktu masih baru kerja pernah ditegur gak pakai Korpri sama bos, saya bilang saja, daleman saya Korpri kok.” Waduh, ternyata Tika genit juga, pikirku.
“Kok Tika masih sempat pakai Korpri? Aku belum sempat pakai, padahal sudah bela2in beli sutra Korpri tahun 98an, eh tahu2 dihapuskan kebijakan pakai Korprinya.” Kata Tati sambil membayangkan sutra Korprinya yang entah dimana.
Melihat hidangan ikan gurame di meja, akhirnya sampai juga pembicaraan tentang ikan tongkolnya Jokowi.
“ Allah kalau mau mempermalukan umatnya gampang banget ya” kata Yanti.
“ Ihhh Jokowi mah gak malu kali Yan, dia gak bisa mikir kok.” Kataku.
“Itu lagian anaknya sampai bolak balik salah. Kata anakku, “kalau salah begitu saja dapat sepeda kalau aku yang ditanya pasti dapat banyak sepedanya ya bun?” “ kata Tati.
Tiba2 Yanti melirik saat aku sedang menulis2 coretan di kertas kecil.
“Kalau nulis tentang saya yang bagus2 ya bu. Terus kalau saat kita ceritain orang jangan ditulis nama orangnya bu. Tulis saja si nganu namanya.” Kata Yanti.
“ wah gak bisa, tergantung penulisnya. Lagian ibu gak mau bohong, dosa.” Kataku sombong.
Saat bertemu seperti ini memang sebagian besar berisi omong kosong, yang penting kami bisa saling tertawa, mentertawai salah seorang dari kami atau apapun yang terlintas dipikiran.
Saat bergosip pun sebetulnya bukan tanpa arti.
Seringnya kalau sedang bergosip tiba2 tercetus usulan untuk membantu orang tersebut, karena gosip yang kami dengar dia menderita bla bla bla.
Biasanya, menjelang akhir acara, setelah rahang sakit karena kebanyakan tertawa, barulah kami bicara tentang target selanjutnya.
Insya Allah, juni setelah lebaran, saat anak2 sekolah liburan, kami akan mengadakan khitanan massal lagi, dengan tambahan anggota Tika, makin entenglah terasa karena biayanya dibagi sama rata.
Pengumpulan data anak2 yang mau disunat akan dimintakan bantuan pak ustadz pengurus ponpes dibelakang mesjid belakang rumahku.
Aku keberatan rumahku dijadikan tempat sunatan massal lagi karena aku tidak punya pembantu, dirumah Yanti pun keberatan karena tidak mau dibilang pamer.
Akhirnya sunatan massal diputuskan dilakukan di masjid atau di pondok pesantren.
“ Sudah yuk ah, pulang, itu yang acara lamaran dibelakang kita saja sudah pulang” kata Tati.
Memang di resto itu kebetulan sedang ada acara lamaran.
“ Sudah selesai? Kita bukannya nunggu Tika dilamar baru pulang ya?” kataku.
Dan Tika pun hanya bisa tersenyum kecut dipojokan sana.
Bill diberikan dengan harga yang lumayan besar, untungnya di sharing sehingga ringan.
Memang kode etik saat kami makan2 adalah tidak ada acara traktir2an, semua di sharing, kecuali memang ada yang ulang tahun atau acara tertentu, tidak ada acara pinjam meminjam uang, eh kalau itu sih gak mungkin banget, mereka uangnya tidak berseri soalnya, sementara aku walaupun termiskin diantara mereka tak mungkin juga meminjam uang karena gengsiku setinggi langit,
“Kita ini sebenarnya cewek2 Gaje lho” kata Tati mengompori.
“ Gaje itu apa? Kayaknya ibu gak ganjen deh.”
“ Gak jelas maksudnya bu. Kita ini cewek2 gak jelas, pergi ketawa ketiwi dari gelap, terang, gelap, terang sampai gelap lagi baru pulang.”
Biarlah dibilang cewek gaje, yang penting aku sudah bisa tertawa selama 4 jam nonstop.
Kalau tidak begini, kapan aku bisa tertawa, bahkan lihat Jowoki ngibulpun aku sudah tak bisa tertawa lagi, hanya saat2seperti inilah aku bisa tertawa lepas.
4 jam terasa singkat, yang mengingatkanku bahwa waktu kumpul2 itu lama banget hanya pantatku dan sendi2 kakiku yang kaku, berteriak kesakitan.
Untung Tika bertindak sebagai anak baik2, dia menuntunku sampai aku menuruni tangga jembatan.
“ Hati2 ya bu” katanya.
“ Hati2? Sialan, memangnya ibu parah banget sakitnya apa disuruh hati2” balasku.
Dan diapun hanya meringis mendengar omelanku yang tidak sungguh2.
Semoga kita masih diberi waktu untuk berkumpul lagi dan berbuat lebih baik lagi buat mereka yang membutuhkan..
Astagfirullohaladzim, mereka benar2 wanita gak jelas, penggoda imanku.
Padahal tadinya aku tidak mau ikut ngerumpi, ternyata malah aku ikut2an.
Maafkan aku Tuhan, wanita penggoda iman itu memang teman2ku soalnya.
Komentar
Posting Komentar