MAJU KENA MUNDUR KENA
Dear Diary,
Baru sekali aku bersyukur berulang2 saat menonton episode 119, episode terakhir film drama korea The Womens Room.
Aku bersyukur film itu sudah habis dan aku tidak perlu menonton lagi.
Kenapa aku tidak berhenti menonton saja kalau tidak suka?
Tidak, itu bukan gayaku.
Aku harus menonton sampai habis sejelek apapun film itu karena sudah kadung menonton.
Awalnya sih bagus menurutku, kisah tentang gadis cantik kecil mungil, kaya raya, baik hati dan tidak sombong, kayaknya sih kalau dari ciri2nya dia mirip temanku Tati Muntoro , sayangnya Tati orang Sulawesi.
Park Eun Hye memerankan Min Kyung Chae yang cantik, lugu dan sabar, benar2 menimbulkan iba di episode awal.
Sayangnya cerita berkembang, Min Kyung Chae bukan lagi si lugu malah berkembang jadi gadis blo’on dan penuh dendam.
Karena aku tidak suka gadis blo’on, aku malas menonton kelanjutannya.
Ku coba cari sinopsis lengkapnya agar aku tahu cerita sampai akhir tanpa harus menontonnya.
Aku memang biasa seperti itu, bila satu film seri jelek menurutku, aku akan menuntaskannya melalui bacaan sinopsisnya.
Sayangnya para pembuat sinopsis drama korea ini juga nampaknya keburu bosan membuat sinopsisnya, tak kutemui satupun blog yang memuat sinopsis utuhnya.
Jadilah aku terpaksa menonton sampai episode terakhir film The Womens Room itu.
Aku punya prinsip harus menuntaskan apa yang telah kumulai.
Dear Diary,
Keadaan “ terpaksa tapi harus dilanjutkan “ ini seringkali kualami.
Contohnya saat aku harus mengkritisi penampilan teman2ku.
Bila ada yang berganti penampilan mereka biasanya sembunyi2 menemuiku dan menanyakan pendapatku, “ Bu Rita, rambut saya dipotong model ini cocok gak?” atau “ Bu saya pakai model baju seperti ini gak gemuk ya ?”
Biasanya aku menjawab apa adanya, sesuai perasaanku, bukan pengetahuanku, dan biasanya itu menyakitkan, karena kalau jelek pasti akan kukatakan jelek dengan ditambahi embel2 yang tanpa sadar kukatakan.
“ Jelek ah pakai model seperti itu, jadi kelihatan tambah besar dadanya. Dolly Parton kalah deh ” atau “ Make up nya tebal banget sih kayak pemain kabuki dari Jepang.”
Kalau dipikir2 pantas saja teman2 dekatku tidak pernah meminta pendapatku tentang penampilannya, jangan2 mereka takut dikomentari.
Dear Diary
Eh kalau dipikir2 pantas dan sewajarnyalah kalau almarhum mantan ibu mertuaku, ibunya si semprul tidak menyukaiku, pasti gara2 komentarku tentang rambutnya dulu.
Saat ditanyakan komentarku tentang rambut barunya, aku dengan polosnya menjawab “ Bagus bu rambutnya, kayak orang kota.”
Padahal maksudku seperti orang modern, itu karena penampilannya biasanya kan sederhana cuma diikat saja rambutnya.
Sumpah, aku tidak beraksud menghina, wong beliau kaya raya mana berani aku bilang seperti orang kampung.
Untuk menghindari dosa biasanya aku hanya mengacungkan jempolku saat melihat teman dengan penampilan baru, tak berani komentar macam2.
Mereka menganggapku jujur dalam berkomentar, padahal apanya yang jujur lha aku sering banget membohongi suami2ku, membohongi anak2ku, walau aku sering berdalih bohong untuk kebaikan.
Kebaikan apanya?
Bohong ya bohong.
Dear Diary
Pernah disuatu masa, di kelas 3 SMP, aku dianggap pandai melukis gara2 lukisanku aneh, bergambar telapak tangan.
Selama setahun aku selalu deg2an setiap guru menggambar masuk kekelas.
Masak aku harus gambar telapak tangan dan telapak kaki terus sih?
Melukis wajah manusia saja aku tidak pernah mirip walau sudah dibantu dengan garis2, selalu hidungnya terlihat pesek, padahal modelnya hidungnya mancung.
Biasanya aku membela diri dan bilang bahwa aku mengikuti aliran ekpresionisme seperti Affandi jadi walau jelek gambarku bisa dimaklumi.
Aku ingin mengaku pada pak guru Dear Diary bahwa saat itu adalah kecelakaan, tapi aku tidak tega membuyarkan kebanggaan guruku yang kalau bercerita selalu diulang2, betapa hebat dan tenangnya aku saat melihat kertas lomba lukisku jatuh kelantai, dan memberi cap tangan sehingga jadi juara karena paling orisinal, betapa aku terlihat dingin saat menangani situasi kepepet.
Pak guru bercerita dengan menggebu2, dengan ludah muncrat kesana kemari dengan penuh kagum, sementara teman2ku malah terkantuk2 mendengarnya.
Mana aku tega bersikap jujur bahwa aku bukannya bersikap tenang tapi pasrah.
Maka jadilah aku tersiksa dalam posisi maju kena mundur kena selama setahun karena dianggap pintar melukis.
Baru kusadari umurku pasti dikorting banyak karena selalu ketakutan dan mendebarkan, menunggu guru kesenianku mengajar.
Komentar
Posting Komentar