PENGHAPUS MUSUH ABADIKU


Dear Diary,

Sudah beberapa hari ini berbagai photo benda masa lalu seliweran di FB.

Saat lihat photo penghapus papan tulis aku langsung terhenyak.

Itu musuh abadiku selama di SD dan SMP.

Dear Diary,

Seingatku selama di SD aku tidak pernah ditimpuk penghapus.

Hubunganku dengan penghapus papan tulis belum buruk buruk banget.

Aku sering menjadi korban karena tubuhku yang lebih tinggi dari murid lain.

Guru dengan se enak perutnya langsung menyuruhku untuk menghapus papan tulis.

"Itu siapa namanya anak perempuan yang duduk diujung ? yang badannya gede ?"


Ya Allah kejam banget guruku bilang badanku gede, padahal saat itu aku kurus cungkring karena kurang makan.

" Dita pak." sahutku sambil langsung berdiri.

" Iya Rita, ayo maju ke depan. Hapus papan tulisnya.

" Nama saya Dita pak."

" Iya.. cepat Rita...kamu hapus papan tulisnya."

Aku pun menghapus papan tulis dari ujung ke ujung.

Saat di SDN Karet Pasar 1 pagi rasanya cuma 3 anak yang bertubuh jangkung, aku, Dennis Londa dan Nelly Susana.

Aku cuma ingat ketiga nama itu karena seringnya disuruh menghapus.

Mereka juga sangat baik kepadaku sebagai anak baru pindahan dari Serang.


Dear Diary

Keseringan dipanggil Rita akhirnya saat Ijazah SD ku keluar kulihat namaku menjadi Rita dan bukan Dita.

Jadilah namaku menjadi Rita sampai sekarang.

Anehnya tempat aku lahir juga berubah di Tangerang bukan di Jakarta, padahal Tangerang dimanapun aku tidak tahu.


Apakah karena guru budeg itu salah dengar Serang jadi Tangerang?

Aku minta ibu menemui kepala sekolahku karena kata guruku harus orang tua yang mengurus ijazahku kalau ada kesalahan.

Ibuku menolak karena adikku Buyung baru saja lahir.

Jadi begitulah nasibku Dear Diary, namaku menjadi Rita sampai aku mati nanti

Eh seingatku ibu hanya sekali mengurus sekolahku, saat pendaftaran di SMAN 8 Bukit Duri, karena saat aku datang mengurus sendiri aku ditolak mentah2 oleh panitia SMAN 8 dan harus didampingin orang tua.

Bahkan saat aku pindah sekolah ke SMAN 1 Cibinong aku mengurusnya sendiri karena ibu beralasan sedang repot urus arisan kampungku.

Seharusnya aku bilang yatim piatu saja ya biar gak repot bolak balik.

Sayangnya dulu aku masih gadis jujur bukan jago  ngibul seperti sekarang jadi belum terpikir seperti itu..


Dear Diary,

Seumur2 aku tidak pernah mau duduk didepan.

Berdasarkan pengalaman anak yang duduk paling depan biasanya disuruh menghapus papan tulis.

Aku juga malas kena debu papan tulis yg beterbangan karena dekat papan tulis.

Pernah aku telat masuk kelas saat ajaran baru, kursi didepan masih kosong karena tidak ada yang mau menempati.

Terpaksalah aku duduk didepan.

Akibatnya banyak teman2 yang protes karena tulisan dipapan tulis tertutup oleh badanku.

" Rita..geser dong duduknya, tulisannya ketutupan nih jadinya."

Akupun bergeser kekiri.

"Rita..kok geser kesitu sih, gue jadi gak keliatan nih."

Akhirnya wali kelasku..entah siapa namanya...menyuruhku duduk dibelakang.

Sayangnya tugas menghapus papan tulis tetap saja sering dilimpahkan kepadaku.

Kalau ada guru baru aku sering melengkungkan tubuhku,  pura2 pendek dan sekalian menutupi dadaku yang mulai tumbuh.

Rasanya malu sekali kalau ada yang memandang dadaku.

Aku berusaha menghilang dari pandangan guru karena takut disuruh menghapus.

Saat itu saking jauhnya aku duduk, sering kali tidak bisa melihat tulisan dipapan tulis apalagi kalau teman yang menulis tulisannya kecil2.

Aku sering pinjam buku teman dan menyalinnya dirumah.

Saking tidak ada kerjaan kr boro2 bisa menulis baca saja tidak terlihat, aku sering ketiduran dimeja.

Nah mulai saat itulah hubunganku dengan penghapus memburuk karena sering ditimpuk guru dengan penghapus.

Kalau aku tertidur pasti ketahuan guru karena aku kalau tidur suka bermimpi dan mengigau sambil tanganku gebrak2 meja.

" Jangan ganggu...awas gue timpuk lo...sana...sana ...hush..hush"

Seringnya sih aku mimpi dikejar anjing karena setiap sekolah lewati rumah bu Marjo yang piara anjing.

"Plakkk..." penghapus hinggap dikepalaku.

Untungnya  sekeras apapun ditimpuk kepalaku belum pernah luka atau bocor, paling benjol saja, katanya teman2 sih aku beruntung cuma benjol karena rambutku lebat banget.


Karena seringnya ditimpuk penghapus saat tidur, aku bersiap siap dengan menaruh buku dikepalaku jadi saat ditimpuk tidak terlalu sakit lagi.


Dear Diary

Pernah agar aku tidak disuruh menghapus lagi, papan penghapus kusembunyikan.

Sayangnya aku lupa disembunyikan dimana.


Aku memang pelupa sejak kecil.

Apesnya aku yang disuruh meminjam di kelas lain, tambah apes lagi saat meminjam aku lupa nama guruku.

"Disuruh siapa kamu pinjam penghapus." kata guru disebelah kelasku.

" Disuruh guru sejarah pak."

" Siapa nama guru sejarahnya ?"

Jiah pakai tanya2 nama lagi pikirku sebal.

" Tidak tahu pak namanya."

" Sana balik kekelas, kamu tanya guru sejarah namanya siapa."

Setelah balik lagi, aku memang dipinjami penghapus sialan itu tapi oleh si guru galak kelas sebelah aku diberi tugas khusus menulis 1000 x dibuku tulis  "nama guru sejarah adalah bapak Soewarno."


Dear Diary,

Jadi begitulah hubunganku dengan penghapus, selalu bermusuhan.

Permusuhan berhenti saat aku masuk SMA karena sudah ada pembagian tugas menghapus.

Kadang saat ikut group nostalgia itu membahagiakan  kalau ingatannya indah, tapi  kalau yg hadir memory tentang penghapus papan tulis buatku malah kenangan buruk yang ada,  rasanya kepalaku tiba2 masih terasa benjol benjol walau kenangan itu sudah  berlalu puluhan tahun lamanya.

Ah..masa lalu yang tak pernah  berlalu..





Dear Diary,
Sudah beberapa hari ini berbagai photo benda masa lalu seliweran di FB.
Saat lihat photo penghapus papan tulis aku langsung terhenyak.
Itu musuh abadiku selama di SD dan SMP.
Dear Diary,
Seingatku selama di SD aku tidak pernah ditimpuk penghapus.
Hubunganku dengan penghapus papan tulis belum buruk buruk banget.
Aku sering menjadi korban karena tubuhku yang lebih tinggi dari murid lain.
Guru dengan se enak perutnya langsung menyuruhku untuk menghapus papan tulis.
"Itu siapa namanya anak perempuan yang duduk diujung ?"
" Dita pak." sahutku sambil langsung berdiri.
" Iya Rita, ayo maju ke depan. Hapus papan tulisnya.
" Nama saya Dita pak."
" Iya.. cepat Rita...kamu hapus papan tulisnya."
Aku pun menghapus papan tulis dari ujung ke ujung.
Saat di SDN Karet Pasar 1 pagi rasanya cuma 3 anak yang bertubuh jangkung, aku, Dennis Londa dan Nelly Susana.
Aku cuma ingat ketiga nama itu karena seringnya disuruh menghapus.
Mereka juga sangat baik kepadaku sebagai anak baru pindahan dari Serang.
Keseringan dipanggil Rita akhirnya saat Ijazah SD ku keluar kulihat namaku menjadi Rita dan bukan Dita.
Jadilah namaku menjadi Rita dan lahir di Tangerang sampai sekarang.
Anehnya tempat aku lahir juga berubah di Tangerang bukan di Jakarta, padahal Tangerang dimanapun aku tidak tahu.
Aku minta ibu menemui kepala sekolahku karena kata guruku harus orang tua yang mengurus ijazahku kalau ada kesalahan.
Ibuku menolak karena adikku Buyung baru saja lahir.
Seingatku ibu hanya sekali mengurus sekolahku, saat pendaftaran di SMAN 8 Bukit Duri, karena saat aku datang mengurus sendiri aku ditolak mentah2 oleh panitia SMAN 8.

Dear Diary,
Seumur2 aku tidak pernah mau duduk didepan.
Berdasarkan pengalaman anak yang duduk paling depan biasanya disuruh menghapus papan tulis.
Aku juga malas kena debu papan tulis yg beterbangan karena dekat papan tulis.
Pernah aku telat masuk kelas saat ajaran baru, kursi didepan masih kosong karena tidak ada yang mau menempati.
Terpaksalah aku duduk didepan.
Akibatnya banyak teman2 yang protes karena tulisan dipapan tulis tertutup oleh badanku.
" Rita..geser dong duduknya, tulisannya ketutupan nih jadinya."
Akupun bergeser kekiri.
"Rita..kok geser kesitu sih, gue jadi gak keliatan nih."
Akhirnya wali kelasku..entah siapa namanya...menyuruhku duduk dibelakang.
Sayangnya tugas menghapus papan tulis tetap saja sering dilimpahkan kepadaku.
Kalau ada guru baru aku sering melengkungkan tubuhku,  pura2 pendek dan sekalian menutupi dadaku yang mulai tumbuh.
Rasanya malu sekali kalau ada yang memandang dadaku.
Aku berusaha menghilang dari pandangan guru karena takut disuruh menghapus.
Saat itu saking jauhnya aku duduk, sering kali tidak bisa melihat tulisan dipapan tulis apalagi kalau teman yang menulis tulisannya kecil2.
Aku sering pinjam buku teman dan menyalinnya dirumah.
Saking tidak ada kerjaan kr boro2 bisa menulis baca saja tidak terlihat, aku sering ketiduran dimeja.
Nah mulai saat itulah hubunganku dengan penghapus memburuk karena sering ditimpuk guru dengan penghapus.
Kalau aku tertidur pasti ketahuan guru karena aku kalau tidur suka bermimpi dan mengigau sambil tanganku gebrak2 meja.
" Jangan ganggu...awas gue timpuk lo...sana...sana ...hush..hush"
Seringnya sih aku mimpi dikejar anjing karena setiap sekolah lewati rumah penuh anjing.
"Plakkk..." penghapus hinggap dikepalaku.
Untungnya  sekeras apapun ditimpuk kepalaku belum pernah luka atau bocor, paling benjol saja, katanya teman2 sih aku beruntung cuma benjol karena rambutku lebat banget.
Pernah agar aku tidak disuruh menghapus lagi, papan penghapus kusembunyikan.
Sayangnya aku lupa disembunyikan dimana.
Apesnya aku yang disuruh meminjam di kelas lain, apesnya lagi saat meminjam aku lupa nama guruku.
"Disuruh siapa kamu pinjam penghapus." kata guru disebelah kelasku.
" Disuruh guru sejarah pak."
" Siapa nama guru sejarahnya ?"
Jiah pakai tanya2 nama lagi pikirku.
" Tidak tahu pak namanya."
" Sana balik kekelas, kamu tanya guru sejarah namanya siapa."
Setelah balik lagi, aku memang dipinjami penghapus sialan itu tapi oleh si guru galak aku diberi tugas khusus menulis 1000 x dibuku tulis  "nama guru sejarah adalah bapak Soewarno."

Dear Diary,
Jadi begitulah hubunganku dengan penghapus, selalu bermusuhan.
Permusuhan berhenti saat aku masuk SMA karena sudah ada pembagian tugas menghapus.
Kadang ikut group nostalgia itu membahagiakan  kalau ingatan indah, tapi  kalau yg hadir memory tentang penghapus papan tulis buatku malah kenangan buruk yang ada,  rasanya kepalaku tiba2 masih terasa benjol benjol walau kenangan itu sudah  berlalu puluhan tahun lamanya.
Ah..masa lalu yang tak pernah  berlalu..

Komentar

Postingan Populer