KOK BANYAK BANGET SIH DOSAKU DEAR DIARY ?!


Dear Diary,

Sudah 2 hari ini, setelah rumah sepi dari anak2 kost, aku iseng mencat ulang pintu dan jendela rumahku, hanya 2 atau 3 jam sih, daripada aku tidur dipagi hari.
Memang beginilah kegiatan pensiunan, selalu mengada2kan pekerjaan yang sebetulnya bisa dilakukan oleh tukang.
Agar tidak terganggu, pintu pagar depan kututup dengan karpet merah 2 buah, kanan kiri, biarlah paling dianggap rumah kumuh, yang penting tidak terlihat dari luar.
Aku tak mau kegiatanku mencat dengan daster bututku terlihat dari luar, tetanggaku kan tahunya aku sudah jadi orang baik2, tertutup dari kepala sampai kaki.
“ Alhamdulilah bu haji sudah pakai baju muslim yang ngelengser sampai tanah, jalanan depan rumah jadi bersih bu.”
Salah satu tetanggaku bergurau tentang bajuku yang melambay lambay panjang.
Aku cuma tersenyum getir, bukan kelasku melayani orang seperti itu walau aku bisa saja menerangkan hadist tentang pakaian penyapu jalanan, kupikir percuma  saja, toh aku sudah dikenal sebagai orang yang pintar bicara, bahasa halus dari “pintar ngeles”.
Tiba2 ada suara “assalamualaikum....bu..kasihan bu....sedekah bu..” suara pengemis langgananku.
Pengemis itu favouritku, selalu datang setiap jam 9 – jam 10 an, kadang sendiri kadang berdua dengan temannya sebaya, wanita usia 40 an dan berjilbab.
Aku suka karena setiap setelah kuberi uang dia akan mendoakan aku panjang lebar dalam bahasa sunda sambil manggut2 sopan.
Walau aku tak terlalu mengerti bahasa sunda, pasti aku tebak artinya ucapan terima kasih.
Karena tanggung sedang pegang kuas dan belepotan cat, aku diamkan saja.
Tak lama kemudian kudengar gerutuan si pengemis kepada temannya “ dasar ibu gendut, di assalamualikum pura2 gak denger, padahal orangnya ada itu pintu rumahnya terbuka kok. Dasar pelit, sok keun manehna moal boga duit. “
Sialnya gerutuannya diucapkan dalam bahasa Indonesia campur sunda, yang tentu saja aku mengerti artinya.
Hatiku langsung mencelos sedih.
Kok bisa2nya dia menuduhku pelit, padahal setiap pagi kadang aku sengaja menunggu kehadirannya.
Aku langsung memasukkan pengemis itu dalam daftar black list ku.

Dear Diary,
Aku memang selalu bersifat frontal bila tidak menyukai sesuatu walau akhirnya akan menyesal.
Saat bulan puasa yang lalu Lisda anak yatim yang pernah kuceritakan menginap dirumahku itu akan pulang, aku kebetulan ketiduran.
Menunggu sang nenek menjemputnya rupanya membuatku mengantuk, maklum angin sepoi2 yang masuk melalui jendela kamar yang terbuka selalu berhasil menghasut mataku agar tidur.
Tiba2 aku terbangun karena mendengar suara2 yang masuk melalui jendela kamarku.
“ Dikasih berapa sama ibu ?” tanya sang nenek, mak Hindun.
“ Dikasih 70 ribu, yang 20 ribu buat naik ojek kata ibu.” Jawab Lisda.
“ Dibeliin baju lebaran gak sama ibu?”
“ Enggak, tapi ini dikasih baju bekas teh Dini banyak, bagus2 nek.” Kata Lisda.
“ Kok gak dibeliin baju lebaran sih ? Percuma saja nginep disini.” Kata mak Hindun.
Aku geram mendengarnya, ingin rasanya aku bangkit dari tidur.
“ Lha kan ibu sudah kasih 200 ribu waktu mak kesini kemarin, kan Dini yang masuk2in amplop, semuanya sama. Mungkin ibu pikir sudah cukup kali mak, kan sudah dibeliin sepatu baru, itu teman ibu juga kasih sarung dan mukena baru buat Lisda. Dini malah gak dapat mukena baru.” Kudengar Dini menjelaskan ke mak Hindun.
“ Oh itu buat beli baju baru? 200 ribu sih mana cukup Din.” Kata si mak Hindun.
Disela2 jendela, sambil mengintip mereka, aku ngedumel tak habis2nya.
Beramal pada mak Hindun itu seperti buah simalakama Dear Diary.
Bila melihat statusnya kadang kasihan, nenek tua 75 tahunan, tukang pijit yang harus mengurusi anak dengan 5 cucu.
Tapi bila melihat tingkahnya kadang membuat aku susah menelan makanan.
Dear Diary, pernah satu kali mak Hindun datang dan minta modal buat jualan.
Oke deh aku berikan, aku kebetulan baru dapat pesangon, sedang banyak uang saat itu.
Setelah kuberikan sejumlah uang, eh dia malah minta lagi.
“ Itu si Lisda mau ikut piknik sekalian ziarah, kan pengajian tempat emak ngaji mau ziarah ke Jogja, bayarnya 500 ribu. Kalau emak sih kan ada tabungan, jadi gak bayar lagi. Ini Lisda mau ikut juga, sampai nangis2 dia. Buat anak yatim dikorting, cuma bayar 300 ribu, emak gak punya uang sekarang, kalau ada uang skalian dibayarin aja atuh si Lisda, biar sekalian ikut piknik sama emak.”
Walau aku ada uang, tapi aku paling tidak suka diminta apalagi dipinjam.
“ Maaf mak, saya gak ada uang lagi, itu saya kasih modal buat emak juga karena saya kasihan saja, bukan karena saya lebih. Kalau gak mampu ya gak usah dipaksa mak, Dini juga gak pernah ikut piknik padahal dari sekolahannya, apalagi ini cuma dari pengajian, Lisda kan gak ikut pengajian.” Jawabku agak ketus.
Salahkah aku Dear Diary kalau sekarang aku selalu menutup pintu pagar rumahku dengan menjemur karpet sampai apa saja, yang penting pintu pagarku tertutup dari pandangan orang2 lewat terutama dari pandangan mak Hindun?
Aku tidak menutup pagar rumahku dengan apapun bila aku siap untuk memberi, yah sekedar jaga2 si mak Hindun lewat.
Lama2 gerah juga kalau bolak balik mak Hindun curhat minta dibelikan macam2.
Walau akhirnya aku berikan tapi aku terpaksa karena merasa gak nyaman.
Dan itu tidak akan menjadi catatan amalku karena diberikan dengan terpaksa.
Jahat ya aku Dear Diary ?
Eh jangan2 sekarang ini aku gak punya uang betulan mungkin balasan dari Tuhan ya Dear Diary, karena suka pura2 gak punya uang?!

Dear Diary,
Tapi jangan2 kalau sekarang aku terpuruk miskin mungkin karena karena dulu aku pernah menjadi rentenir ya?
Jujur aku selama beberapa tahun memang pernah menyandang predikat jadi rentenir.
Lha habisnya aku kesal Dear Diary, masak teman2ku selalu meminjam uang kalau tidak punya uang, padahal kan aku juga bukan orang kaya.
Ada yang bahkan baru 2 hari mengembalikan eh sudah pinjam lagi dengan jumlah yang sama, itu kan sama juga dengan tidak mengembalikan ya?
Saking kesalnya aku buat peraturan bahwa boleh meminjam tapi dikenakan bunga.
Aku lupa dulu kenakan bunga berapa.
Tetap saja mereka berbondong2 meminjam uangku, bahkan ada yang dengan memberi jaminan surat tanah dan mobil.
Jadilah aku memanaskan mobil orang sampai setiap 2 atau 3 hari sekali sampai si empunya mobil mengembalikan pinjamannya.
Walaupun bunga pinjaman langsung kuberikan untuk amal tapi aku yakin tetap saja kadang ada uang riba yang tanpa sadar terpakai olehku.
Ini yang membuatku selalu sial kayaknya Dear Diary.
Kupikir kegendutanku, kejelekan tubuhku saat ini nampaknya karena aku pernah jadi rentenir ya Dear Diary?
Sudah kerja di bank, jadi rentenir pula.
Ya Allah...betapa banyak dosa2ku.
Aku berhenti jadi rentenir hanya karena aku nyaris dijerumuskan teman bahkan sahabatku di kantor yang baru saja meninggal beberapa bulan yang lalu karena leukimia.
Dia meminjam uangku agak besar, 50 juta, biasanya kalau dia pinjam paling banyak 20 juta, tidak pernah lebih.
“ Rit gue pijam duit lo lagi deh, 50 juta, gue lagi ada perlu. Urusan keluarga Rit, adik gue dipenjara karena narkoba, emak gue nangis2 minta biar dia ditebus.” Katanya memelas.
“ Ah gak berani kalau segitu sih.” Kataku.
“ Gue jaminin Avanza gue deh,baru 6 bulan.”
Memang kulihat dia pakai Avanza baru, warna hijau kekuning2an.
“ Lo pegang deh mobil gue, nanti kalau sudah punya duit baru mobilnya gue ambil.”
“ Males ah, gue jadi musti manas2in mobil, lagian tempatnya sudah penuh, mau parkir dimana.”
“ Ayo dong Rit, gue perlu butuh banget nih.” Temanku mulai merengek.
“ Pasti itu mobil boleh leasing ya?” iseng aku bertanya.
Soalnya gak mungkin dia beli mobil cash lha bulan kemarin saja masih pinjam uangku.
“ Iya leasing. Lancar kok angsurannya. Nanti gue kasih bukti2 angsuran.”
Aku menuruti naluriku, walaupun temanku memaksa, aku tetap bilang tidak mau.
Akhirnya temanku meminjam uang dari temanku yang lain, dari Kantor Cabang Jakarta Kota bagian Kredit Macet.
2 Minggu kemudian kudengar ribut2 dikantor, bahwa mobil Avanza temanku diambil debt collector karena menunggak pembayaran 3 bulan, sementara temanku yang orang Kantor Cabang mencak2 karena dia diharuskan membayar angsuran sementara uang pinjamannya mulai susah ditagih karena temanku itu selalu menghilang sehabis absen.
Hampir saja aku terperosok dunia gelap debt collector karena ulah temanku.
Sejak saat itu, aku berhenti meminjamkan uang dalam jumlah besar dengan bunga, dan bahkan setelah uang2ku dikembalikan para peminjam, aku tidak pernah mau lagi meminjamkan uang.
Begitu drastis sikapku, langsung berhenti total.
Aku kecewa dengan sikap temanku itu.
Kalau aku mau menerima mobilnya, bukankah aku yang jadi korbannya?
Padahal aku kan sahabatnya?
Jadi intinya aku insaf jadi rentenir karena hampir ditipu sahabatku.

Dear Diary,
Ingatan karirku sebagai rentenir tiba2 saja menyeruak, selama ini aku bahkan lupa.
Kupikir dosaku sudah cukup banyak, sekarang malah ditambah lagi dosa karena pernah jadi rentenir, walau niatku semula hanya ingin membantu teman2ku yang butuh uang.
Mudah2an aku masih diberi waktu untuk menebus semua kesalahan2ku ya Dear Diary, soalnya kayaknya banyak banget kesalahan2ku....

Komentar

Postingan Populer