3. APAPUN DILAKUKAN DEMI CINTA


Dear Diary,
Selama beberapa bulan terakhir aku tinggal di  mess BNI di jalan Jawa, Menteng.
Masa2 keemasan buatku karena dikelilingi oleh orang2 terbaik yang penah kukenal.
Ada mbak Sugiarti, aku biasa memanggilnya mbak Sugi dari divisi DNA.
Wanita cantik,putih,  tipe njawani yang lebih seperti induk semang buatku.
Memahami kekuranganku, mbak Sugi hanya membolehkanku membayar setengah harga biaya upah si mbok dan ongkos antar jemput.
Wajah cantiknya selalu bersembunyi dikamar, tak mau diganggu.
Akupun tahu diri tak berani mengganggunya.
Ada si mbok yang selalu menjadi tumpuanku, saat sedih, saat minta dikerok atau saat kelaparan minta dibuatkan minum atau makan.
Ada juga pak Slamet Santoso yang di unit Korpri BNI, laki2 paling baik, yang sering memberiku uang untuk bermalam minggu dengan Lilik.
Permintaannya hanya satu; agar aku mau menemaninya bila dibutuhkan.
Kebutuhannyapun  hanya satu; pergi kerumah Erni Gultom, temanku di DLN dulu, cewek batak cantik dan lembut  yang di gandrungi pak Slamet.
Kadang aku dan pak Slamet pergi naik taxi malam2 kerumah Erni.
Sudah kuhafalkan dialog pembuka nanti saat bertemu Erni, sudah kuhafalkan semua, sayangnya baru sampai depan rumah Erni, pak Slamet mengajakku pulang.”kita pulang saja Rita. Saya sudah bahagia lihat genteng rumahnya.”
Memang genteng rumah Erni warnanya hijau, baru diganti jadi kelihatan bagus.
Tapi kan pak Slamet bukan kontraktor, ngapain dia kagum dan puas lihat genteng rumahnya Erni pikirku.
Walau kubujuk dan kuberi semangat, pak Slamet tidak berani beranjak masuk kerumah Erni.
Selalu seperti itu.
Berkali kali malahan.
Aku cuma berhasil 1 kali  mempertemukan Erni dan pak Slamet nonton bersama di Thamrin theater 21, dulu bioskop paling megah di Jakarta, tempat artis2 terkenal menonton film.
Kubujuk Erni menonton film, aku terus terang bilang bahwa aku ditraktir pak Slamet.
Jadilah kami menonton film berempat, aku, Lilik, Erni dan pak Slamet.
Merupakan kebahagiaan tersendiri bisa melihat pak Slamet bahagia.
Aku sayang dia.
Kadang aku dapat tugas mulia dari mbak Sugi untuk memalak minta dibelikan pak Slamet  kue di jalan Sabang, kue Sakura Angpan atau apalah namanya, aku tak mau tahu karena aku tidak doyan.
Kue mahal yang katanya enak dan digandrungi mbak Sugi. 
Semua permintaan mbak Sugi selalu dipenuhi pak Slamet, kadang aku berpikir jangan2 pak Slamet itu secret admirer nya mbak Sugi sebenarnya, cinta tak sampai karena mbak Sugi terlalu cantik dan anggun di awang2.
Semua perkataan mbak Sugi adalah sabda bagi pak Slamet.
Eh sebenarnya  Mbak Sugi atau Erni Gultom ya cinta sejatinya pak Slamet  ?
Sampai sekarang aku tak tahu jawabnya.
Pak Slamet yang kost disebelah mess  putri BNI di jalan Jawa juga ikut antar jemput bersama sama mbak Sugi dan aku, dia benar2 dewa penolong, malaikat penyelamatku.
Bukan uang tujuanku membantu menjodohkan pak Slamet.
Aku cuma ingin melihat pak Slamet bahagia, dia orang baik, terbaik yang pernah kukenal.
Sehabis mengantar Erni pulang, aku selalu dihadiahi segepok uang didalam amplop.
Aku menangis melihatnya.
Betapa sangat berarti uang pemberian pak Slamet untuk biaya aku menikah dengan Lilik.
Besoknya aku juga diajak pak Slamet ke PRJ, Pekan Raya Jakarta yang saat itu masih diadakan di Monas.
Aku disuruh memilih baju batik untuk aku dan Lilik menikah nanti.
Cuma pak Slamet yang mampu berpikir sejauh itu, bahwa menikah perlu uang dan baju, sementara aku hanya memikirkan cinta.
Entah dimana pak Slamet sekarang.
Seandainya masih hidup, aku ingin pak Slamet tinggal denganku, mudah2an dia mau, akan kuurusi pak Slamet layaknya bapakku, bapak yang tidak pernah ada sejak aku Kelas 5 SD.
Terlalu besar jasa pak Slamet untuk diabaikan.

Dear Diary,
Karena peraturan di BNI bahwa mess jalan Jawa hanya untuk pegawai yang belum menikah, akupun terpaksa pindah tepat sebulan setelah menikah.
Kami kost 1 kamar di Manggarai Selatan, di perumahan Garuda.
Kamarnya cukup besar dan sanggup menampung barang2ku yang cukup banyak.
Sebetulnya suasananya enak.
Sayangnya pemilik rumah memelihara anjing, hewan yang sangat kutakuti.
Setiap masuk rumah, aku selalu menunggu didepan rumah, menunggu penghuni lain masuk dan aku bisa ikut  masuk.
Bila sudah masuk kamar, aku tidak berani keluar lagi.
Tapi karena takut anjing, jadilah kami sepasang pengantin baru yang sangat mesra.
Mandi bersama, makan bersama, bila aku pup atau pipis Lilik akan setia menunggu didepan pintu kamar mandi.
Pemilik kost sampai terkagum kagum melihat kemesraan kami.
Yang dia tidak tahu itu semua karena keterpaksaan sebetulnya.
Karena anjing galak miliknya.

Karena kasihan melihatku ketakutan, Lilikpun mencari kost baru, kali ini di Manggarai Utara, diperumahan PJKA.
Ibu kost yang baik, kamar yang luas dan murah, sebetulnya aku nyaman disana, sayangnya anak sulung pemilik kost dan keponakannya sering merecokiku dengan meminjam uang tanpa mau membayar.
Akhirnya akupun pindah ketempat lain, sama2 di Manggarai Utara, dekat jalan raya, luas kamarnya selain murah.
Tentu saja murah karena kost itu milik teman kuliahku, mas Tri Supono yang kerja di Dishub Abdul Muis.
Aku seringkali pergi naik becak berdua dengan mas Tri belajar Hukum Laut-nya pak Zen Purba sebelum digantikan bu Chandra Motik, yang rajin memberi tugas kelompok.
Harga teman katanya mas Tri.
Kami mulai mencicil barang2 dan perabot rumah tangga walau Lilik masih belum kerja.
Dia diusir dari rumahnya untuk beberapa lama.
Saat makan adalah saat kami bisa mesra bersama.
Seringkali kami makan berdua, benar2 berdua !
Kami kadang hanya mampu membeli sebungkus nasi di warung tegal, dibagi 2, dengan tenang makan berdua.
Sumber penghasilan hanya dari gajiku sebagai teller saja, karenanya kami harus benar2 irit.
Untuk sementara aku berhenti memberi uang gaji ke ibu, toh aku sedang diasingkan, jadi ngapain pula aku berikan.
Aku dan Lilik lebih mengutamakan membeli perabotan daripada untuk makan.
Uang saku yang biasanya diperoleh Lilik dari orang tuanya kini tak adalagi.
Aku bersyukur  Lilik penuh imajinasi.
Kamar kost tempat kami tinggal penuh kreasi dan imajinasi Lilik, dihias dg gaya Jepang.
Banyak teman yang datang terkagum2 melihat ruang tamuku dan ingin menirunya.
Satu kesamaan kami yg baru kutemui : kami sama2 suka keindahan dan penuh kreatifitas menghias rumah.
Saat makan, dia sarankan agar aku setiap kali makan sesuap nasi harus dibarengi minum air yang banyak.
Dia bilang bahwa itu bisa buat aku tambah langsing, dan penyakit sembelitku bisa hilang, karena bisa lancar BAB.
Aku percaya saja karena aku tahu Lilik pintar.
Dia selalu tahu jawab semua pertanyaanku.
Itu yang sangat kusuka dari Lilik.
Otaknya dan hidung mancungnya !

Keadaan pas2an ini hanya berlangsung 6 bulan saja Dear Diary.
Untungnya Lilik anak kesayangan bapaknya, dia anak lelaki pertama yang dimiliki, anak yang ditunggu2 setelah mempunyai 2 anak perempuan.
Tak berapa lama dihukum keluarganya, Lilikpun dipanggil bapaknya untuk bekerja menjadi pengurus gedung PGRI di jalan Tanah Abang 3, saat itu bapaknya menjadi pengurus PGRI, entah Sekjen entah wakil  ketua PGRI, aku lupa.
Kupikir semuanya sudah damai.
Tapi saat lebaran datang dan kami akan berkunjung kerumahnya, dengan sedih kami hanya bisa berdiri diluar gerbang rumahnya yang megah di Pondok Pinang.
Alasannya keluarganya ada di  rumah Tanah Abang.
Saat kami kerumahnya di Tanah Abang 2, ternyata keluarganya juga tidak ada disana, alasannya ada di Pondok Pinang.
Lebaran kerumahkupun sama.
Hanya rumah sepi terkunci yang kutemui.
Kedua orang tua kami, orang tuaku dan orang tua Lilik, sama2 tidak menerima kehadiran kami.
Akhirnya lebaran tahun 1987 itu kuhabiskan dikamar kost, sambil belajar sambil bercumbu sampai lelah, karena musim ujian sudah mulai tiba.

Dear Diary,
Mempunyai suami teman kuliah yang pandai ternyata tidak ada artinya untukku.
Saat ujian, Lilik sengaja mengambil banyak mata pelajaran yang sama agar bisa kuliah bersama, aku tetap saja hanya dapat nilai B malah kadang hanya C saking kurangnya belajar, sementara Lilik selalu mendapat nilai A.
Lilik yang duduk disebelahku saat ujian, walau sudah dimintai tolong dengan wajah memelas tidak mau memberikan contekan.
Aku benci Lilik saat itu.
Aku tidak sadar bahwa itu ciri2 orang pelit, karena saat itu kami belum punya uang, kupikir Lilik cuma pelit memberi contekan saja.
Aku berusaha melebihi nilai Lilik dengan caraku sendiri.
Karena seringkali terlambat mengumpulkan paper, aku terpaksa menghadap dosen sendirian.
Saat ditegur aku bilang apa adanya.
Entah karena kasihan melihat wajahku yang memelas, aku kadang diberi nilai fantastis, padahal aku tidak pernah merayu, hanya berkata apa adanya.
Itu yang dilakukan dosen baik seperti pak Isaac dan pak Harmaily Ibrahim.
Pernah satu kali aku menyampaikan paper hukum pidana kepada dosenku, profesor hukum pidana terkenal di Indonesia, LL namanya.
Dia mau  menerima paperku asal diberikan di Art and Curio, Cikini, sejenis rumah makan remang2 kelas atas.
Saat aku datang sendiri, ternyata sang profesor sedang bersama temanku, JB Lumenta.
Dalam keremangan suasana di Art and Curio, mereka bilang mereka sengaja menungguku dan ingin mengajakku ke Puncak.
Paper bisa kuserahkan di Puncak.
Tiba2 Lilik datang menerobos masuk dan menyeretku pulang dengan paksa sampai aku tersaruk saruk.
Rupanya Lilik sengaja mengikutiku diam2 karena sudah mendengar track record JB Lumenta yg sering menjerumuskan teman2 wanitanya untuk disodorkan pada sang profesor.
Aku tetap dapat nilai tinggi karena paperku sengaja diserahkan dirumah sang profesor didepan istrinya.
Buah simalakam buat dia dan selamatlah aku.
Sejak itu, untuk selanjutnya kusingkirkan niatku mendalami hukum pidana, karena pasti akan bersinggungan dengan sang profesor, aku memilih hukum perdata.
Ternyata tak ada nikmatnya mempunyai suami yang satu kuliah bila sang suami ternyata pelit memberi contekkan dan sama sekali tak mau membantu membuatkan paper.

Dear Diary,
Dengan adanya tambahan penghasilan, aku bisa memasak dan tidak perlu membeli makanan di warung tegal lagi.
Aku berusaha jadi istri yang baik.
Sayangnya karena ruangannya cuma 1, asap dari kompor dan bau2 masakan bercampur baur didalam ruangan dan tidak mau keluar walau sudah dipasang kipas angin.
Akhirnya niatku menjadi istri yang baik dengan memasak sendiri harus kutunda.
Selain masakanku seringkali gosong dan tak berbentuk, aku jadi harus sering keramas kr rambutku berbau masakan dan asap.
Membeli makanan matangpun ternyata lebih murah daripada memasak sendiri yang belum tentu bisa dimakan.
Saat  Lilik  bilang agar aku tidak usah memasak lagi, akupun menjerit jerit kesenangan.
Aku benci memasak.
Aku tak pernah bisa memasak walau sudah berkali kali mencoba.
Lilik memang suami yang baik.
Walau masakanku mentah dan terkadang gosong, Lilik tetap bilang enak dengan wajah jujurnya.
Dia tetap makan dengan lahap, padahal aku sendiri muntah dan mual saat memakannya.
Sering saat Lilik tidur kupandangi wajah gantengnya, bersyukur mempunyai suami sebaik dia.
Kupandangi hidung mancungnya dan berharap ada anak2 yang mewarisinya.
Dalam keterbatasan uang, keterbatasan kemampuan memasak, ada karunia yang datang.
Kesadaran bahwa ternyata aku mencintai Lilik sedalam lautan.
Cinta dalam kondisi serba kekurangan, kelaparan bersama, kelelahan belajar bersama mampu membuat aku makin mencintainya.
Aku si gadis materialistis, ternyata sanggup menerima keadaan serba kekurangan ini.
Aku sadar, itu karena aku mencintainya.
Sangat mencintainya.
Saat itu.

Komentar

Postingan Populer