2. ATAS NAMA CINTA
Dear Diary,
Tiga tahun aku berteman, bersahabat atau berpacaran dengan Lilik.
Kadang aku cuma berteman dengan Lilik.
Biasanya itu saat aku iseng berpacaran dengan yang lain.
Lilik tetap berteman denganku, kadang mengantarkan ketempat aku janjian bertemu dengan pacarku, kadang hanya menjemputku.
Dia tidak pernah berkomentar tentang pacar2ku tanpa ditanya.
Persis seperti dulu saat aku dengan sang play boy.
Ibuku sampai bingung dan bertanya “ pacarmu sebenarnya siapa sih? Juana, Taufik, Ifkar atau Lilik ? Gak enak dilihat orang kampung ganti2 terus Da !”
Kadang aku bersahabat, biasanya itu terjadi saat aku bosan berpacaran dan butuh sandaran bahu untuk menangisi nasib.
Sebagai anak tertua, selalu ada masalah dan beban yang harus kusandang sebagai si sulung dari keluarga pas2an.
Uang sekolah adik2ku, biaya makan sehari hari, rumah rusak dan perlu perbaikan, sampai mengurusi niat ayah yg ingin investasi kambing dan empang dikampung.
Rasanya semua perlu uang, dan semua ditimpakan kepadaku, menjadi tanggung jawabku.
Rasanya kepalaku ingin meledak.
Aku ingin seperti wanita lain, gajian beli baju baru, sepatu atau tas.
Tak ada yang mampu kubeli untuk diriku sendiri.
Semua gaji kuserahkan ke orang tuaku, aku hanya mengambil seledar untuk ongkos, aki bawa bekal dari rumah agar irit.
Hanya Lilik tempatku bertanya dan berdiskusi.
Selalu ada jawab dan jalan keluar bila berdiskusi dengannya.
Kebijaksanaan dan pandangannya melebihi usianya yang 2 tahun dibawahku.
Kadang saat aku sedang tak punya pacar dan sedang berduaan dengannya, aku sering iseng bertanya “ Lik, kita ini pacaran enggak sih?”
Dia jawab dengan yakin.” Pacaran dong. Kan setiap malam aku antar Rita pulang. Kalau bukan pacar ngapain aku antar Rita?”
Benar juga sih argumennya.
“Tapi kenapa gw gak pernah dicium Lik? Kalau orang pacaran kan harusnya berciuman.?”
Selama ini kalau berbicara dengan Lilik aku selalu ber- gw - dan elo, sementara Lilik selalu dengan santun ber- aku- dan kamu.
“Enggak juga Rit. Nanti ciumannya kalau kita sudah menikah saja.”
Astaga.
Aku kaget setengah mati.
Rasanya seperti beli kucing dalam karung.
Bagaimana kalau setelah menikah ciumannya tidak enak?
Seksnya hambar?
Aku tidak mau itu.
“ Gak bisa Lik. Gw gak mau kawin sama elo. Gw harus yakin dulu ciumannya enak atau enggak, .
seksnya enak atau enggak.”
Dengan sembarang aku berucap.
Lilik hanya melongo sampai lebar memandangku saking shocknya.
Dear Diary,
Tahu enggak bahwa pertama kali Lilik berciuman, itu denganku.
Pertama kali Lilik berhubungan intim itu pastinya hanya denganku, kami sama2 baru dan saling mengeksplorasi, karena aku yakin Lilik pilihanku.
Aku yang mengajarkan trik2 berciuman yang baik dan enak.
Kulakukan ini untuk keuntunganku tentunya.
Kalau Lilik enak ciumannya pasti aku yang akan diuntungkan.
Itu pertimbanganku.
Yang tidak kupertimbangkan adalah sikap orang tuaku dan orang tuanya, kondisi keuangan keluargaku dan keluarganya yang bagai bumi dengan langit.
Saat aku datang kerumahnya, saat Lilik sedang kekamarnya, ibunya jelas dan tegas bilang “jangan ganggu Lilik lagi ya. Lilik sudah ada calon, anaknya teman ibu. Tolong jangan kejar2 Lilik lagi.”
Apa ?
Aku dianggap mengejar2 Lilik ?
Akupun pulang dan meradang.
Kami ribut.
Sebetulnya sih cuma aku yang ribut, Lilik cuma diam mendengarkan.
Dia bilang “memang sih ibuku sudah bilang, sudah jodohin aku dengan anaknya tante siapa aku lupa.
Aku juga sudah bilang ke ibu kalau aku sudah punya pacar. Nanti juga ibuku mengerti kok. Perasaan cinta kan gak bisa dipaksakan Rit.”
Walau argumentasinya benar tapi aku tak mau tahu.
Aku tetap minta putus.
Ku usir dia dari rumah.
Keesokan paginya, sambil nyanyi2 aku menyapu rumah.
Saat aku buka pintu rumah ingin menyapu teras, kulihat Lilik sudah mulai membiru dan menggigil kedinginan.
Rupanya dia semalam duduk didepan pintu rumahku dan tak mau pulang.
Aku terenyuh melihat keteguhannya.
Akhirnya kami berbaikan kembali.
Aku tidak tahu Dear Diary, kenapa Lilik gemar mengantarkan aku pulang kuliah, padahal rumahku jauh, dan belum ada tol Jagorawi saat itu.
Belum lagi sambutan ibuku setiap saat melihat Lilik.
Ibu bahkan sering bilang kalau Lilik pengguna narkoba.
Kata ibuku “cari pacar yang betul kenapa sih? Anak kemarin sore, pengguna narkoba kok dipacari, kayak gak ada laki2 lain saja.”
“Siapa bilang Lilik pakai narkoba. Merokok aja dia gak suka kok.” Aku protes dan membela Lilik.
“Itu kalau gak pakai narkoba kenapa matanya kriyep2 kayak orang ngantuk?”
“Siapa yang gak ngantuk kalau pulang kuliah jam 11 malam terus? Masih harus ngantar ke Cilodong lagi. Seharusnya ibu terima kasih sama Lilik, jadi ada yang selalu antar anaknya pulang, gak perlu naik bus.”
Ibuku hanya menjawab dengan membanting alat dapur yang berkerontangan.
Jadilah setiap Lilik datang ibuku akan membanting pintu kamar.
Saat Lilik mengucap selamat malam atau permisi pulang ibuku akan menjawab dengan mengeluarkan kentut yang keras.....duuutt....bunyinya.
Itu keahlian yang susah ditiru, kentut saat mendengar kata assalamualaikum.
Cuma ibuku yang bisa.
Dear Diary,
Sebetulnya, hubunganku dengan Lilik aman2 saja walau ditentang kedua belah pihak.
Aku benar2 menikmati peranku sebagai cewek kutu loncat.
Sayangnya tiba2 kudengar dari istri tetangganya sang play boy mantan pacarku, yang kebetulan istri temanku Kadarudin, bahwa sang play boy akan menikah dengan janda yang mengajar senam di Joanna Drew Ratu Plaza yang usianya 9 tahun jauh lebih tua, namanya Merry.
Aku tak mempermasalahkan detilnya.
Yang kutahu sang play boy akan menikah agustus 1987.
Aku tak boleh kalah.
Saat sedang berduaan dengan Lilik aku langsung bilang “ Kawin yuk Lik, biar kita bisa berbuat macam2 tanpa takut dosa.”
Lebay banget alasanku ingin kawin.
Tapi setidaknya ada satu bagian yang benar, aku takut dosa.
Kami terlalu jauh selama ini.
“Ayo kita kawin. Minta KTP nya deh, biar aku urus ke KUA.”
Langsung saja Lilik menyambar tasku dan mengambil KTPku dari dalam tas.
Malam minggu 25 Juli 1987, Lilik datang kerumahku dan dia menghadap ayah dan ibu yang sedang minum kopi dipavilyun.
Dengan santun dan tegas Lilik bilang “ Ibu,ayah, rencananya hari Jumat besok, tanggal 31 Juli, saya dan Rita akan menikah dirumah teman, pak Kadarudin namanya. Diijinkan atau tidak, kami akan menikah. Kalau bisa tolong minta restu dari ibu dan ayah.”
Aku yang duduk disebelah Lilik cuma bisa terpana melihat ketegasan Lilik.
Anak sekecil itu berani menghadapi ibuku yang segarang macan kelaparan?
Aku tiba2 bingung, sudah betulkah pilihanku?
Usiaku masih 27 tahun, aku masih merasa muda dan banyak pilihan.
Sayangnya aku memang harus segera menikah karena tidak mau didahului sang play boy.
Walau 2 adikku Wiwi dan Bambang, sudah menikah mendahuluiku
Sudah betulkah pilihanku?
Apakah Lilik memang pilihan yg tepat untukku?
Tiba2 aku dilanda keraguan.
Dear Diary,
Surat izin menikah, dll sudah dibuat oleh Lilik. Semuanya sudah lengkap.
Hari Jumat 31 Juli 1987 aku akan menikah dengan Lilik.
Tapi aku tetap ragu.
Aku minta waktu lagi untuk berpikir.
Sampai hari Rabu aku masih ragu2, apalagi saat itu aku sedang dekat dengan pemain bola dari PSM Ujung pandang, Taufik Risnyeppo.
Aku juga belum sempat memutuskan hubunganku dengan Ifkar Hajar.
Hari Rabu sore, tiba2 Mbak Ning istrinya bang Kadarudin telpon kekantor dan cerita kalau sang play boy sudah menyebarkan undangan ke para tetangganya.
Tiba2 aku yakin dengan langkahku.
Ku telpon Taufik dan bilang kalau hari Jumat aku akan menikah dengan Lilik yang dulu pernah berkelahi dengannya dipelataran parkir BNI cabang Kramat.
Giliran memutuskan Ifkar agak susah karena sayangnya Ifkar tidak mau mengerti.
Malam2 dia datang ke asrama putri BNI di jalan Jawa, mencoba untuk merubah niatku, dari mulai merayu sampai marah2 dan teriak2 berusaha memelukku erat2 sampai merobek bajuku.
Aku marah dan tidak bergeming dengan keputusanku.
Pilihan apa yang kupunya saat berpacaran dengannya?
Sesama pegawai BNI tidak bisa menikah kecuali salah satu keluar, dan aku tidak mau keluar karena aku masih perlu duit.
Lagipula alasanku berpacaran dengannya cuma karena aku ingin mencoba pria berciuman dengan pria berkumis saja.
Itu saja kok.
Untung di asrama saat itu si mbok pembantuku belum tidur dan melerai pertengkaranku.
Dengan garang bersenjatakan sapu duk dia usir Ifkar. Akupun selamat dari amukan Ifkar.
Memang si mbok menyayangiku karena sering jadi tempat curhatku selain Lilik.
Cuma si mbok yang tahu aku akan menikah tanggal 31 Juli besok.
Hari Jumat pagi2, Lilik menjemputku dan membawaku ke salon Wati di Pramuka.
Dengan memakai kebaya putih, bersanggul dan memakai make up, aku siap jadi temanten hari ini.
Lilik memakai batik yang dibelikan oleh pak Slamet Santoso, temanku, malaikat pelindungku yang selalu memberiku bantuan keuangan bila aku kekurangan.
Aku ingat sepatunya cuma pakai sepatu kets putih dekil yang biasa dipakai kuliah.
Jam 9 pagi, dirumah temanku Kadarudin, aku menikah dengan Lilik, dengan wali pak Ramli temanku dari DLN.
Pernikahanku hanya dihadiri oleh teman2 terdekatku, sesama teler dari cabang Jakarta Kota dan DLN.
Tidak sampai 10 orang yang hadir.
Bang Kadarudin menyediakan nasi uduk dan kue2 sebagai hidangan sesudah akad nikah.
Saat ijab kabul Aku menangis, Lilik pun menangis.
Kami menangisi ketiadaan orang tua, ketiadaan restu.
Walau alasanku menikah hanya karena tidak ingin didahului menikah oleh sang play boy terkutuk, aku menikah atas nama cinta.
Aku yakin Lilik pelabuhan terakhirku dari jaring dosa.
Aku bisa menghilangkan ketergantunganku pada obat2an, pada minuman keras, semua karena Lilik.
Aku juga sudah mulai berhenti merokok, setidak tidaknya aku merokok hanya saat tidak ada Lilik dan itupun di WC saja.
Aku yakin Lilik bisa menjadi imamku nanti walau Lilik tidak pernah sholat.
Walau sampai menikah Lilik tidak pernah enak saat berciuman, aku yakin bisa bahagia dengannya.
Aku toh bisa berbuat yang lain selain berciuman dengannya, pikirku optimis.
Dear Diary,
Sejujurnya Atas nama cinta aku menikah dengan Lilik.
Bermodalkan cinta dan janji aku akan berusaha bersikap setia dan jujur, aku melangkah menjadi istrinya, menerimanya apa adanya.
Menjadi jujur itu hal yang mudah karena aku selalu berbicara dan bersikap apa adanya.
Aku pasti bisa.
Menjadi setia itu yang susah, karena aku selalu menduakan cinta, tapi aku akan berusaha.
Itu janji yang kuberikan pada Lilik dihari pernikahan kami.
Pernikahan tanpa restu, hanya bermodalkan cinta.
Cinta Lilik dan cintaku.
Saat itu, jumat 31 Juli 1987, 32 tahun yang lalu.
Komentar
Posting Komentar