1. SAAT AKU MEMILIHMU

Dear Diary,
35  tahun yang lalu, untuk kesekian kali aku jatuh cinta.
Benar2 cinta, aku yakin.
Patokan aku jatuh cinta mudah saja, bila aku setiap saat ingat dia, selalu membayangkannya, berarti aku sedang jatuh cinta.
Gayanya urakan, suka humor dan punya segudang lelucon serta ehm...menurutku dia ganteng.
Ganteng dengan cara yg berbeda.
Dia Unik.
Dadanya bidang, tangan dan kakinya kekar, dan yang paling utama dia jauh lebih tinggi dari aku.
Syarat  tinggi badan yang kerap kulanggar saat berpacaran dengan cowok sebelumnya, karena rata2 cowok yang berpacaran denganku biasanya tingginya sama denganku, malah ada yang lebih pendek dariku.
Saat itu era 1980 an, cowok ganteng dan tinggi itu benar2 langka.
Sangat langka.
Mukjizat  banget menemukan cowok tinggi tegap.
Tinggiku 167 cm belum ditambah hak sepatu setinggi 7 cm yang biasa kupakai,
Kadang saat dapat pacar yg tingginya sama atau malah ada yg lebih pendek, aku kerap menjadi subyek penderita karena harus menunduk saat berciuman atau berciuman sambil duduk.  
Nasib percintaanku memang menyedihkan karena tinggi badanku.
Saat itu merupakan anugrah tak terkatakan mendapatkan cintanya.
Pemain bola PSSI Garuda !
Siapa yang tak bangga mempunyai pacar pemain PSSI yang pernah disekolahkan di Brasil.
Dimataku dia pacarku yang paling kekar dan enak buat berpelukan.
Saat berpelukan aku merasa benar2 terlindungi oleh tubuh kekarnya.
Aku bahkan rela berhimpitan naik bus, agar bisa lebih dekat dengannya.
Persyaratan utama pacarku harus kaya dan bermobil dengan senang hati kulanggar demi dia, karena dia tak punya motor apalagi mobil. 
Saat malam minggu karena tak punya mobil dia kadang meminjam mobil dari bos nya, bang Zein atau dari pamannya.
Aku tak peduli.
Naik mobil atau jalan kaki tak masalah lagi buatku.
Aku cinta dia, titik.
Saat  itu dia segalanya buatku.
Aku bahkan memimpikan masa depan bersamanya, hal yang tak pernah kulakukan selama ini.
Aku mengkhayalkan anak2 yang akan kupunya bersamanya nanti.
Aku ingin punya 11 anak.
Semua anak laki2, biar bisa diajak main bola dengan ayahnya.
Aku ingin semua anak2ku menjadi pemain PSSI seperti ayahnya.
Sayangnya hukum karma terjadi.
Aku yang biasanya mempermainkan laki2, malah dipermainkan olehnya.
Saat itu  sepulang kerja, aku sedang diatas bus Bogor menunggu bus berangkat saat kulihat di bawah bus sepasang kekasih tertawa2 bahagia, keduanya mengenakan seragam Bea Cukai.
Si laki2 menggandeng bahu kekasihnya sambil tertawa2.
Aku langsung berpikir, gayanya kok seperti pacarku?
Saat si laki2 menengok kekiri, astagfirulloaladzim, ternyata memang dia.
Reflek kupanggil “Jo !”
Singkatnya kami bertemu, dengan gaya cueknya dia memperkenalkan sang wanita, Vita namanya.
Cantik, mungil dan berkulit putih.
Teman satu kantor katanya.
Memangnya aku bodoh?
Mana ada teman sekantor menggandeng gandeng seperti itu !
Kami putus, aku patah hati dan menangis berhari2. 
Harga diriku benar2 jatuh, ternyata ini rasanya dibohongi laki2.
Ini yang pertama buatku, biasanya aku yang membohongi laki2.
Berhari2 aku menghindar darinya.
Dengan cara yg dulu kuanggap lucu, dia selalu mendatangiku, kadang dengan emosi.
Tapi aku tetap tak ingin berpikir untuk kembali, hatiku masih sakit membayangkan kejadian di terminal Cililitan.

Dear Diary,
Untungnya aku memiliki sahabat, Lilik namanya.
Sebenarnya Lilik adalah sahabat sang play boy pemain PSSI, bukan sahabatku.
Mereka teman 1 angkatan tahun 1981 di FHUi.
Lilik bahkan dulu kerap kumintai tolong mengantarkanku menemui sang play boy yang sedang latihan bola di Senayan atau mengabsen kuliah sang play boy sementara kami asyik berpacaran.
Dulu, berabad abad yang lalu, saat bahagia itu masih ada dan aku belum tersakiti pacar play boyku. 
Dalam diam Lilik mendengarkan ceritaku, tangisku dan mimpiku tentang sang play boy.
Aku juga cerita kalau dikantor aku kerap diteror melalui telpon, dimaki2 seorang wanita yang mengaku bernama Ratih, dan diancam agar tidak berhubungan dengan sang pemain bola.
Kadang pemimpin bagianku, ibu Marsida Jusman yang menerima telponku dan menerima teror.
Aku dipanggil dan dinasehati agar tidak mengganggu hubungan orang.
Aku bingung. Rasanya aku selalu mengutamakan bujangan jomblo, dan selalu menolak duda.
Untuk apa pula aku pacaran dengan orang yang sudah punya pasangan, pilihanku masih banyak, sangat banyak malahan.
Aku enggan bertanya pada sang play boy, siapa Ratih, kenapa dia menerorku padahal kami sudah putus.
Cuma Lilik yang mau mendengarkanku.
Semua tak percaya ceritaku tentang Ratih, cuma Lilik yang percaya.
Lilik bahkan bersedia mengantarkanku setiap pulang kuliah ke Cilodong, karena aku selalu menangis di bus teringat pemain bola play boy itu. 
Setiap hari bertemu, dalam sikap diam dan tidak menghakimi, aku lupa kalau Lilik laki2 dan aku wanita. Tidak ada wanita dengan hormon setinggi aku yang bisa bersahabat dengan laki2.
Suatu malam, Lilik dengan malu2 bilang” Rit, boleh gak aku minta tolong?”
“Minta tolong apa Lik? Mau pinjam duit? Bensinnya habis ya?” aku nyerocos bertanya, khawatir Lilik kehabisan bensin.
“itu, ehmmm....boleh minta cium gak?”
Aku kaget.
Kami bersahabat, sahabatku dan sahabat sang play boy malahan.
Kenapa harus pakai minta cium?
Kujawab, “ Boleh Lik. Mau cium pipi atau cium bibir?” iseng aku mengerjainya.
“Cium pipi saja Rit.”
“Pipi kanan atau pipi kiri Lik?” aku masih ingin mengerjainya.
“Pipi kanan aja Rit.” Jawab Lilik dengan malu2.
Kusodorkan pipi kananku “nih Lik, cium pipi gw sepuasnya” sambil mataku kupejamkan.
Semenit, dua menit, sepuluh menit kutunggu, pipiku tidak  ada yang cium.
Saat aku buka mataku, Lilik sudah terbirit2 pergi.
Semalaman aku tertawa senang, mentertawakan keluguan Lilik.
Itu pertama kalinya aku tertawa setelah berabad abad menangisi sang play boy terkutuk.
6 bulan kemudian baru Lilik berani mencium pipiku, 3 bulan sesudahnya baru Lilik berani mencium bibirku.
Itu juga setelah ku ultimatum, kalau tidak mau menciumku aku akan cari laki2 lain.

Dear Diary,
Aku ingat, sepulang kuliah di Rawamangun, saat itu Fakultas Hukum UI masih di Rawamangun, aku dan Lilik menonton film The Red Dawn yang dibintangi Jennifer Grey dan Lea Thompson, di bioskop Arion Rawamangun..
Tiba2 kacamata ku lepas gagangnya.
Rupanya bautnya copot.
Gawat.
Mataku saat itu minus 3, aku tak akan bisa menonton kalau tanpa kaca mata.
Dengan tenang Lilik minta batang korek api dan pisau Swiss army yang selalu kusimpan di  tasku.
Dari dulu aku perokok memang.
Aku juga selalu mengantongi pisau Swiss Army buat gaya2an.
Dirautnya batang korek api itu sehingga seukuran baut kaca mata, dan abrakadabra....kaca mataku kembali utuh dengan baut dari korek api.
Aku terkesima.
Aku benar2 terpesona dengan kecerdasan Lilik.
Dalam hati aku bersumpah “ Aku harus kawin dengan nih orang. Dia suamiku nanti. Aku tak akan pernah sengsara bila menikah dengan Lilik. Dia akan selalu memiliki jalan keluar bila kami kesusahan.”
Karena sebatang korek api, aku menentukan pilihan, Lilik yang akan jadi suamiku.
Dia pintar, nilainya selalu A, dia lebih muda dan tenaganya kuat karena penggemar olah raga tenis lapangan,dia pasti akan bisa menggendongku apabila aku pingsan.
Saat itu sampai sekarang malahan, aku memang suka pingsan kalau tercium bau ketiak.
Dia memenuhi kriteriaku, kaya, pintar dan tampan.
Tentu saja tampan menurut ukuranku.
Bonus buatku: hidungnya Lilik mancung sekali.
Anak2ku kelak harus berhidung mancung agar tidak dilecehkan, aku menetapkan cita2 baru.
Walau tingginya sama denganku dan tidak berdada bidang, siapa yang peduli pikirku, yang penting dia setia.
Aku bahkan rela pakai sandal tipis dan melupakan sepatu berhak tinggi idolaku saat sedang berjalan dengannya.
Dia tidak akan pernah bersikap seperti sang play boy pemain bola itu.
Dia tak akan pernah berselingkuh dariku.
Dalam keremangan bioskop Arion aku bertekad, “ Aku harus menikah dengan Lilik”
Alhamdulilah, tekadku tercapai.
Aku menikah dengannya, walau cuma selama 16 tahun.
Itupun aku tetap bersyukur aku pernah menjadi istrinya.
Dulu.

Komentar

Postingan Populer