10. BIMBANG
Aku ikut ujian untuk menjadi Relationship Manager atau RM yang mengurusi kredit middle sampai 30 milyar.
Saat itu BNI dipimpin oleh Dirut Winarto.
Karena kekurangan tenaga kredit, diambil keputusan untuk merekrut tenaga2 kredit dari fakultas non ekonomi. Aku angkatan pertama.
Banyak Sarjana2 Hukum yang bahkan berasal dari tenaga Satpam.
Memang dasarnya mereka pintar, mereka lulus test masuk, termasuk aku.
Ujiannya sulit dan berat, tapi dengan segenap doa dari ibu dan suamiku, aku akhirnya lulus.
Karena pangkatku melonjak 2 tingkat akhirnya tahun pertama aku harus lalui sebagai analis kredit, baru tahun berikutnya sebagai Relationship Manager.
Sebetulnya keikut sertaanku pada test RM itu karena terpaksa.
Netty, temanku sesama di Administrasi Kredit dengan tampang mencemoohku bilang “Rit, lo lulusan dari UI ya? Gue yakin lo gak bakal bisa lulus test RM. Itukan susah. Mana bisa lo lulus.”
Aku bilang “ gue buktiin ya Net, kalau gue pasti lulus.”
Akhirnya memang aku lulus, tapi karena terpaksa, bukan karena aku suka kredit.
Aku 100 % produk hukum, pecinta hukum dan sangat mencintai keadilan.
Kredit ? Bahkan berhitungpun aku harus pakai kalkulator.
Tapi inilah hidup.
Pengetahuanku tentang ekonomi hanya sebatas beli sepatu dan...parfum.
Aku suka mengoleksi sepatu dan parfum, harga tidak menjadi masalah lagi.
Hobby yang sangat dibenci suamiku. Aku saat itu mengoleksi sepatu dan parfum sampai puluhan, setiap kali lihat sepatu dan parfum rasanya aku terusik oleh suara batinku, " belilah, nikmatilah hidup, toh itu uangmu."
Sabtu, 5 Juli 1997
Aku terpaksa ikut lomba gerak jalan dalam rangka HUT BNI.
Perhatian dari seseorang yang dulu pernah sama2 ikut teater 46 ternyata mampu membuyarkan konsentrasiku berlomba.
Tiba2 cinta datang lagi dalam hidupku.
Entahlah, aku bingung, kenapa hal ini terjadi lagi padaku.
Aku memang sudah menduga Lilik suamiku adalah bukan pelabuhan terakhirku, tapi tidak secepat ini datangnya.
Kejenuhanku, sikap pelit suamiku, sikap diamnya dan penolakan2nya akan semua hobby dan kesukaanku telah membuka peluang cinta yang baru.
Belum lagi sikap ibu mertuaku yang seperti menaburkan garam diatas luka.
Aneh rasanya.
Aku hampir tak bisa tidur setiap malam.
Mulanya kukira karena udara panas, tapi ternyata karena pikiranku yang melayang kepada dia.
Aku tak bisa menyebut namanya, maaf, karena dia aktif memberi komentar di FB ini.
Senyumnya yang dulu biasa saja menjadi berjuta lebih manis dimataku.
Hampir tiap malam aku tak bisa tidur, tak sabar ingin segera pagi menjelang agar aku bisa segera jumpa dan mendengar suaranya.
Setiap saat hatiku berdebar2 menunggu telpon darinya.
Inikah cinta yang dulu pernah kurasa?
Kemana cintaku dan cinta suamiku yang dulu begitu manis? Berbagai pikiran berkecamuk.
Ah, andai saja aku bisa dengan gampang pergi meninggalkan suamiku.
Andai saja tidak ada anak2 yang mengikatku dengan suamiku, sudah sejak 9 tahun yang lalu kutinggalkan suamiku.
Kali ini kuputuskan, akan kujalani hidup ini seperti biasa, sampai kami akhirnya berpisah.
Ini adalah saat2 menunggu untukku, menunggu ketegasan sikap suamiku.
Aku ingin menjual rumah di Pondok Cabe. Aku tak tahan melihat pembantuku yang dibajak, melihat kepura2an ibu mertuaku bahwa semua kemewahan ini adalah karena upaya anaknya semata.
“kalau gak nikah sama Lilik kamu gak mungkin punya rumah semewah ini”, itu dibisikan ibu mertuaku beberapa saat sesudah suamiku memproklamirkan bahwa dia akan beli mobil baru.
Tidakkah dia tahu bahwa untuk membangun rumah Depok dulu atau di Pondok Cabe ini aku meminjam berbagai fasilitas pinjaman dari kantor. Sampai ratusan juta malah.
Aku bosan.
Aku ingin menjauhi semua penghinaan yang tak ada habis2nya ini.
Kutawarkan suamiku untuk menjauh dari semuanya, karena sejak awal suamiku telah membohongiku.
Kadang suamiku menyetujui kadang menolak mentah2.
Aku bimbang melihat dia bimbang.
Suamiku berlarut2 mengambil sikap, sementara aku telah menemukan pelabuhan cerita2ku.
Aku siap seandainya suamiku mau melepaskanku.
Aku cuma ingin agar diizinkan untuk menikmati hidup dengan cinta dan kasih sayang dengan pria yang kucintai.
Aku tidak ingin apa2 dari suamiku, saat itu.
Aku sudah bosan berusaha tetap kurus dan langsing agar tetap dicintai suamiku.
Selagi masih ada pria lain yang bisa menerimaku apa adanya, aku berani tidak mendapatkan apa2.
Seandainya saja dia datang lebih dulu dari suamiku, sering aku dan dia berandai andai.
Sabtu,18 Oktober 1997
Ketika saat perpisahan tiba, ternyata semua berjalan sesuai harapanku.
Suamiku akhirnya bersedia menyerahkan semua asset untuk anak2 dan menceraikanku.
Bahagianya hatiku.
Aku bisa hidup dengan pria yang kucintai.
Sayangnya kenyataan tidak semudah rencanaku.
Arin, anak sulungku, saat itu berusia 9 tahun, saat disuruh memilih ikut aku atau suamiku, malah menangis dan berkata “Mas mau ikut bapak sama ibu. Mas gak mau bapak pergi!”.
Tanpa sadar ternyata kata2 yang diucapkan anakku adalah kata2 yang sama yang pernah kuucapkan dulu pada bapak dan ibuku saat mereka mau bercerai.
Ya Tuhan, ternyata ini kuulangi lagi pada anak2ku tersayang !
Kemana cita2ku yang dulu, bahwa aku tak akan pernah bercerai dan bahwa hanya maut yang memisahkanku dengan Lilik suamiku?!
Aku pasti bisa bahagia menikah dengan Lilik yang lain, tapi apakah anakku bisa?
Mereka pasti akan merasakan perasaan yang sama denganku, perasaan terasing, tak berharga, dan tidak dicintai orang tua serta disia2kan ibu tiri.
Aku tak ingin itu terjadi.
Kupeluk anak2ku, kami bertangis2an.
“Maafkan ibu anakku, ibu berjanji, sekarang ataupun nanti kalian tidak akan terpisahkan dari ibu dan bapakmu. Ibu tidak akan membiarkan kalian mempunyai nasib yang sama dengan ibu, menjadi anak tiri. Maafkan ibu nak..”
Malam ini aku bertekad bulat, mulai besok akan kucoba melupakan dia.
Aku pasti bisa ! Tidak ada yang tidak bisa kulakukan !
Aku harus bisa melupakannya dan melupakan cita2 kami.
Anak2ku adalah segalanya buatku.
Mereka lebih berhak dicintai daripada dia atau Lilik sekalipun.
Akan kucoba menepis cinta untuknya.
Mudah2an aku bisa, tekadku dalam hati.
Harapku kini, demi anak2 aku bisa mencintai suamiku kembali, seperti dulu aku pernah mencintainya.
Terlalu banyak pengorbanan dan penderitaan yang telah kami alami.
Mudah2an itu memudahkan usahaku untuk kembali mencintai suamiku, kuharap.
Selain kekurangan2nya aku sadar bahwa suamiku mempunyai banyak kelebihan yang mungkin tidak dimiliki dia yang lain.
Kesabarannya, nafsu seks nya yang memuaskan, namun yang terpenting adalah: dia bapak anak2ku.
Satu pegangan untukku mulai besok, aku harus mengutamakan kepentingan anak2, jangan sampai anak2ku mengalami nasib seperti aku dan menjadi anak tiri.
Aku harus lebih mencintai anak2ku, seandainya aku tidak bisa mencintai suamiku kembali.
Semalaman aku menangisi anak2ku dan suamiku.
Maafkan ibu anak2ku, maafkan aku suamiku.
Aku memang bukan ibu dan istri yang baik, tapi aku yakin, aku adalah wanita yang terbaik yang bisa menjadi ibu bagi anak2ku, karena aku bagian dari mereka, darahku ada pada mereka, aku yang telah berbagi nyawa dan melahirkan mereka dengan susah payah.
Berulang kali aku berdoa mudah2an aku bisa menjadi ibu dan istri yang baik, seperti cita2ku dulu.
Sabtu,18 Oktober 1997
Mampukah aku melupakannya sementara baru mendengar suaranya ditelpon saja aku sudah berdebar debar.
Seperti pagi ini.
Kembali dia menelpon hanya ingin mengucapkan rasa kangen dan tak sabarnya menunggu hari senin tiba.
Cuma itu.
Tapi kembali terasa ada perasaan hangat dan dibutuhkan, dicintai dan diperhatikan.
Duhhh betapa berat usaha untuk melupakannya.
Saat debar2 pesona dihatiku masih ada, bisakah aku melupakannya?
Tiba2 suara ribut anak2ku menyeruak, kembali menguatkan tekadku semula.
Aku pasti mampu !
Usaha untuk melupakannya ternyata sia2.
Aku makin terpuruk dalam hangatnya cinta dan dosa.
Usaha suamiku untuk mengingatkan dia agar menjauhiku ternyata makin mendekatkan dia.
Usaha gerilyanya makin mempesonaku.
Berkali kali aku berusaha, berjanji dan bertekad, tapi semua dikalahkan pesona dan rayuannya.
Dia tetap bertengger dibenakku.
Usaha melalui tauziah kepada kyaipun dilakukan suamiku.
Hari Sabtu, 8 November 1997 usai test BPP aku diajak suamiku menemui KH Basyarudin.
Aku diceramahi macam2.
Kepalaku sampai beruap saking panasnya isi ceramah. Kubayangkan setan2 dikepalaku pasti lari terbirit2 kepanasan.
Ah, dia masih berhasil mencuri hati.
Terakhir pada hari sabtu tanggal 15 November 1997 aku diajak suamiku diantar salah satu guru agama disekolah suamiku, menemui salah seorang kyai lagi didarah Sentul.
Rasanya usaha terakhir ini berhasil.
Sebab tiba2 saja aku ingin telpon kerumahnya.
Dia mengangkat telpon tapi menjawabnya dengan bisik2 dengan latar belakang suara perempuan menina bobokkan anak.
Ternyata aku telah dibohongi !
Hubungannya dengan istrinya tidak rusak apalagi bercerai.
Aku telah ditipu dengan baik dan meyakinkan.
Terima kasih Tuhan, KAU buka mataku. KAU ungkapkan kebodohanku dan kebohongannya walaupun telah terlambat.
Apapun itu aku bersyukur tidak sempat kehilangan keluargaku.
Sebagai RM baru aku ketar ketir akan ditempatkan didaerah terpencil, apalagi aku bukan RM yang pintar, aku tak pernah menikmati memproses kredit.
Saat menjadi analis mbak Dewi atau Arsyad Duski, walaupun pengetahuanku tidak bertambah baik tapi aku yakin akan dibimbing oleh teman2ku bila tetap diwilayah ini.
Sayangnya saat itu ada salah seorang RM lama, ME yang karena sesuatu hal dimutasi ke wilayah Semarang, tapi karena sesuatu hal pula dia menolaknya.
Segera kusambar kesempatan itu.
Kutawarkan bahwa aku bersedia menggantikan tempat ME ke Semarang.
Aku ingin menjauh dari dia. Aku ingin jauh dari ibu mertuaku. Aku ingin lari dari kenyataan.
Memang dasarnya pak Freddy Saiya itu baik, saat itu mantan Pemimpin Wilayahku itu sudah pindah menjadi pemimpin Divisi PBE dan menerima kabar mutasiku, tiba2 aku ditelpon.
Bayangkan ! Aku ditelpon pak Freddy yang kukira tidak menyukaiku.
Aku tergagap2 kagum, terharu dan sedih.
Dengan lugas pak Freddy bertanya apakah memang benar kepindahanku ke Semarang bukan karena dipaksa? Dia juga mengingatkan aku bahwa wilayah Semarang itu kolektibilitinya terbaik, jadi mungkin susah buat aku menyesuaikan diri, tapi bila aku berhasil itu karena aku belajar pada RM terbaik di Indonesia. Kenapa aku tidak di Jakarta atau Bandung saja, biar dekat dengan keluarga? Menurut pak Freddy sebaiknya aku di Jakarta saja, lebih mudah belajar dari orang2 yang sudah dikenal baik.
Pak Freddy bilang aku belum siap dan masih perlu banyak belajar karena aku non ekonomi.
Bertubi2 pertanyaan diajukan oleh pak Freddy.
Aku berterima kasih sekali pada perhatian pak Freddy.
Aku bilang aku memang ingin menjauh dari keluargaku.
Aku juga minta maaf sehingga pak Freddy marah soal SARA, kubilang.
Pak Freddy tertawa menggelegar, dia bilang “memang harus ada yang berani menegur saya Rita. Saya tidak selalu betul. Saya tahu maksud kamu baik kok.”
Sikap pak Freddy membuka pemahaman baru bagiku, bahwa seorang pemimpin belum tentu jelek seperti yang kita duga, itu semua tergantung orang2 disekelilingnya.
Saat akhir tahun 1997, kutinggalkan Jakarta berdua suamiku.
Kami naik kereta api Argo Muria yang masih bersih dan baru.
Setelah melapor ke wilayah Semarang, aku berlama2 di hotel, bercumbu dan saling bermimpi tentang masa depan anak2.
Sambil tidur2 an kami mencari kontrakan rumah melalui koran, mendatangi satu2 alamat.
Berdua kami berusaha merajut kembali tali cinta kami yang terkoyak.
Pelan2 kusadari, ternyata cintaku untuk suamiku tidak hilang seluruhnya.
Hanya bosan dan teronggok dikaki kursi.
Selamat datang kembali cinta.
Komentar
Posting Komentar