13. MENUJU JALAN LURUS



Minggu 16 Agustus 1998.
Berdua dengan suamiku pergi ketempat lokalisasi Sunan Kuning.
Trenyuh hatiku melihat mereka. Bibir bergincu merah, ber make up tebal menunggu tamu2 yang belum tentu datang, duduk didepan rumah2 petak atau warung2 kecil.
Ada kesamaan denganku, pikirku, hanya tujuan mereka lebih mulia daripada aku.
Mereka berlumpur dosa demi sesuap nasi, demi anak dan orang tua. Sedang aku, semua hanya untuk kesenangan semata.
Untung ada suamiku yang bisa menghentikan langkahku, untung ada si bungsu yang selalu membayangiku setiap aku ingin mengulang dosa.
Andai tidak ada keluargaku, mungkin aku akan bernasib sama dengan mereka.  
Sepanjang lokalisasi aku mengucap syukur  berulang ulang masih ditunjukkan jalan yang lurus.
Aku memang pengumbar janji, kali ini aku berjanji lagi, demi Lilik suamiku, demi Arin, Dea dan Vani akan kuluruskan langkahku.
Sudah terlalu banyak pengorbanan mereka untukku, berulang2 kuucapkan mantera itu.

Kamis, 10 September 1998
Hampir terulang kembali kesalahan yang dulu.
Suamiku nampak kecewa sekali saat aku cerita bahwa rasanya aku jatuh cinta pada seseorang dikantorku karena mata redupnya, seolah2 membuaiku.
Aku memang selalu jujur pada suamiku, pahit atau manis aku selalu berterus terang.
Tiba2 aku terpikirkan, bila memakai busana muslimah mungkin aku bisa menahan diri dan malu pada busanaku walau hanya sekedar untuk mengagumi, apalagi sampai jatuh cinta.
Kuutarakan pada suamiku. Dia langsung setuju.
Kejadian ini makin membulatkan tekadku untuk segera memakai busana muslimah.
Maafkan Lik, aku bukan istri yang baik memang.
Tapi aku akan tetap berusaha. Mungkin aku akan berhasil bila mengenakan busana muslimah, lagi2 aku berjanji dalam hati.

Senin 14 September 1998.
Jalanku mulai lurus kembali.
Tidak ada gunanya bersahabat dengan Ardi atau Asmoro kalau memang tidak ingin jalanku menuju lurus terganggu. 
Aku bicara terus terang dengan Asmoro, bahwa mulai saat ini aku aku hanya akan menganggap mereka sebagai teman kantor. 
Walau tetap bersahabat aku tidak mau lagi diajak karoke atau minum2. Dulu kuakui mereka mempunyai tempat tersendiri sebagai sahabat dihatiku, tempat berbagi penderitaan dan hobby, tapi tampaknya ungkapan “ sesama buaya dilarang saling memangsa” tidak dipatuhi Ardi dengan baik manakala saat mabuk dia datang malam2 kerumahku.
Saat aku cerita kepada keduanya bahwa aku akan memakai busana muslimah, sikap mereka malah tidak mendukung. Aku kecewa, kupikir sahabat akan selalu mendukung.

Selasa 22 September 1998.
Suprise mendengar suamiku pulang hari ini. 
Aku berusaha perhatian dan mesra terhadapnya, namun lagi2 kecewa yang kualami.
Ternyata dia pulang hanya untuk esek2 STNK mobil di Jakarta dan bukan untukku.
Untung dia cepat menyadari kekeliruannya.
Ah Lilik, kenapa matamu buta melihat kerinduan dan kemesraan sikapku?
Aku banyak bercerita tentang persiapan2ku mengenakan busana muslimah.
Semua rok2 panjangku yang terbelah entah disamping atau dibelakang sudah kujahit ulang. 
Sudah kubeli perhiasan2 untuk jilbabku, titip dengan Abdus Shomad analisku yang selalu pulang ke Bandung. Aku juga sudah punya persediaan bermacam2 jilbab sesuai warna bajuku.
Jilbab model yang dipakai Neno Warisman bahkan kubeli beberapa dengan warna berbeda.
Suamiku mengangguk2 setuju, dan bahagia.
Tentu saja dia bahagia, sepanjang bukan dia yang membayar.
Ada yang tidak pernah berubah ternyata, aku mengeluh dalam diam.

Selasa 29 September 1998.
Semalaman aku menangis sedih mengingat semua ulahku.
Aku tak pernah menghargai suamiku hanya karena ulah ibu mertuaku yang tidak setuju pernikahanku. 
Hanya karena ibu mertuaku, suamiku menjadi korban padahal dia tidak tahu tentang ucapan2 ibu mertuaku, kr tidak kuberitahu. 
Aku sudah bersikap tidak adil terhadap Lilik si semprul.
Aku selalu mencari2 kejelekan Lilik sebagai suami.
Teguran pak Wiyarso menyadarkanku, betapa jeleknya sikapku.
Duh Tuhan, betapa jahatnya aku, betapa inginnya aku bersikap lebih baik lagi pada suamiku.

Rabu, 30 September 1998.
Makan siang bersama bertiga dengan Lilik dan pak Wiyarso.
Seperti hari kemarin doaku adalah sama, “ Ya Tuhan, jagalah mataku, mulutku, tanganku, telingaku dari kejahatan. Jadikanlah aku istri yang solehah. Berilah suamiku rejeki yang berlimpah. Karuniailah aku keturunan yang soleh dan solehah yang bisa menyenangkan hati orang tua.”

Minggu 4 Oktober 1998
Arin si sulung ulang tahun yang ke 10, dia minta dibelikan akuarium yang besar, tapi hanya dibelikan akuarium yang kecil. Dasar orang pelit, aku mengomel. Apa susahnya membelikan yang besar buat anak, toh dia sedang ulang tahun.
Lilik cuma tersenyum dibilang pelit.  “Kita kan mau pindahan, nanti susah pindahannya.”
Betul juga sih. Suamiku memang pintar, pertimbangannya matang.
Malamnya kembali antar suamiku ke stasiun, pekerjaan yang paling kubenci.
Sedih rasanya melihat Lilik pulang ke Jakarta dengan seransel pakaian bersih dipunggungnya, meninggalkan anak2 dan aku.
Inilah hasil perbuatanku. Ingin pindah ke Semarang hanya karena ingin menjauh dari ibu mertuaku dan dari si kampret itu.
Aku menyesali kepindahanku ke Semarang.

Senin 5 oktober 1998.
Hari ini aku jauh lebih relijius dari hari kemarin.
Izinkanlah aku jadi wanita baik2 Tuhan...
Aku mulai menghafal doa2 pendek.

Selasa 6 Oktober 1998.
Hari pertama belajar mengaji di mushola dengan pak Nurul Yakin, yang di rekomendasikan oleh mbak Asih, dia adalah pemilik pesantren  dekat kantor.
Selesai mengaji sebelum jam masuk kantor, sempat berbincang2 dengan pemimpin bagianku, si Ceng Hong julukanku untuknya, mbak Maria dan mbak Panca, membicarakan rencanaku untuk mengenakan busana muslimah.
Ditengah2 obrolan, si Ceng Hong bilang “alah, dilokasi sunan Kuning juga ada wanita tuna susila yang pakai jilbab tapi tetap saja melacur. Sekali pelacur ya tetap saja jiwanya pelacur.”
Sedih dan terpukul rasanya aku mendengar hal itu.
Malamnya telpon Lilik dan mengadukan semuanya. Atas usul Lilik, aku akan menggugat si Ceng Hong.

Rabu, 7 Oktober 1998.
Saat istirahat siang dengan diantar Asmoro aku pergi ke LBH Trisula, bertemu dengan pak Victor dan Pamudji.
Setelah berkonsultasi, disepakati mengirim surat ke Pemimpin Wilayah.
Bila dalam waktu 3 hari tidak ada permintaan maaf dari si Ceng Hong, maka LBH Trisula akan mengirimkan somasi dengan CC kekantor besar divisi PBN.
Sesampainya di kantor, surat pengaduan langsung kuantar ke unit KIW.
Setelah si Ceng Hong diinterogasi Pemimpin Wilayah, giliranku di interogasi. 
Kali ini Pemimpinku sudah ganti dengan orang yg santun.
Kuadukan semua sakit hatiku terhadap si Ceng Hong, akhirnya disepakati si Ceng Hong harus minta maaf didepan semua orang yang mendengar ucapannya.

Kamis 8 Oktober 1998.
Aku bicara dari hati ke hati dengan Lilik dan mengusulkan untuk mengundurkan diri dari BNI. Aku merasa ini bukan duniaku, aku tak suka kredit, aku juga tak tahan ditekan dan dipermalukan si Ceng Hong terus menerus. 
Suamiku keberatan karena masalah ekonomi akhir2 ini. 
Dia tak tahu alasanku sesungguhnya selain faktor kredit.
Aku mulai meragukan kemampuanku untuk bisa setia walau kelak sudah memakai busana muslimah nantinya bila aku tetap harus bekerja di kantor.
Akhirnya, seperti sudah diduga, tak ada kata sepakat.
Kami berlalu dalam diam.

Selasa 20 Oktober 1998.
Rindu yang menggebu. Ku telpon suamiku, pulanglah Lik.
Aku rindu....
Dengan penuh rindu kutunggu suamiku di stasiun kereta Tawang.
Dari jauh kulihat suamiku melambai2kan tangan sambil berlari2 menghampiriku, persis film Indonesia yang pernah kulihat.
Dia tak lupa wajahku, padahal aku masih mencari2 sebentuk wajah diantara kerumunan, yang mana suamiku?

Senin, 9 November 1998.
Hari pertama menggunakan jilbab dan busana muslimah setelah sebulan penuh mempersiapkan baju2 dan jilbab serta pernak perniknya.
Kupilih jilbab dengan warna2 netral dan dominan sehingga gampang dipadu padankan dengan baju2ku. Jalanku tertatih tatih, tak bebas melangkah karena rok panjangku terlalu sempit.
Sudah kuduga pasti akan sempit dan susah melangkah, karena itu sesungguhnya hanya rok panjang yang kujahit sehingga tertutup.
Biasanya memang rok panjangku semuanya terbelah entah dikanan,kiri atau didepan dan belakang, tergantung selera sipenjahit saat membuatnya, aku tak pernah protes dan tak pernah rewel soal model, kupikir biarlah mau dibelah dimana rokku untuk memperlihatkan betis putihku, itu toh termasuk amal, menurut pikiran awamku. 
Kadang bajuku terbelah rendah didada.
Aku kerap tak peduli. 
Kupikir ini kelebihanku, toh tidak semua wanita bisa mempunyai dada besar sepertiku.
Saat mempersiapkan busana muslimahku,  semua sobekan2 yg kubuat dengan sengaja dibajuku selama ini kujahit rapat2, jadilah aku menjelma seperti sedang balap karung, berjalan selangkah2.
Kadang aku merasa seperti duyung, megap2 tak bisa nafas karena terlalu kencang menjepit jilbab dibagian leherku.
Banyak teman2 RM yang menyalamiku, menyemangatiku karena berbusana muslimah, sementara diujung sana ruangan, kedua sahabatku, Ardi dan Asmoro malah tersenyum2 dikulum dan mentertawaiku saat aku melihatnya. 
Sabar, sabar, ini adalah ujian, ucapku dalam hati.
Diledek dan dijauhi 2 cowok ganteng itu termasuk ujian menurutku.


Hari ini kupakai jilbabku yang sewarna dengan bajuku, kuning pupus.
Terasa gerah seluruh tubuhku. 
Kepalaku pusing karena rambutku diikat erat dan tertutup, gatal2 serasa ribuan kutu merayap dikepalaku, belum lagi leherku terasa tercekik peniti penutup jilbab.
Kembali aku merasa menjelma menjadi putri duyung. Eh atau lontong ya?
Soalnya saat berkaca, kulihat tubuhku seperti lontong, terbungkus rapat, erat, sama sekali tak ada manis2nya kulihat.
Biarlah, aku melakukan ini agar terhindar dari semua godaan, dalam hati aku menghibur diri.
Demi Lilik, demi anak2ku, demi semua keburukan yang telah kulakukan agar tidak terulang kembali.
Hari ini, aku berusaha terlahir kembali, menjadi wanita muslimah, istri dan ibu yang baik.
Duhhh....tapi kenapa gerah sekali pakai jilbab ya? 
Susah sekali mau jadi orang baik2, aku mencoba untuk tidak menggerutu.

Hari Senin, 23 Nopember 1998.
Hari ini hari ke 14 aku mengenakan busana muslimah.
Ada selubung yang melarangku untuk berbicara jorok dan porno, tertawa keras atau melirik pria lain.
Hari ke 14 aku berhasil jadi wanita baik2.
Berbeda dengan dulu, niatku bekerja kini adalah untuk ibadah.
Niatku itu bahkan kucanangkan di......tempat tidur.
Ada rasa bahagia yang aneh bisa membuat puas suamiku.
Bahkan saat2 seperti ini, dengan uang pas2an setelah kupakai untuk meng up grade habis semua  baju2ku, aku masih bisa pasrah bahwa Tuhan akan  menyelamatkan keluargaku dari kelaparan.
Tidak ada niat lagi membanding2kan suamiku  dengan yang berlebih.
Lilik adalah yang terbaik kini.
Ijinkan aku Tuhan, aku ingin Lilik jadi pelabuhan terakhirku, dengan tulus aku berdoa dan meminta, hal yang jarang kulakukan.

Komentar

Postingan Populer