12. SELAMAT DATANG PENDERITAAN

12.   SELAMAT DATANG PENDERITAAN



Selama liburan akhir tahun aku dan suamiku mencari rumah kontrakan di Semarang.
Aku bertekad ingin memboyong anak2ku ke Semarang, menjauh dari rumah Pondok Cabe.
Dalam waktu singkat aku menemukan rumah kontrakan di daerah Jatingaleh.
Rumah besar dengan halaman luas dan garasi untuk 2 mobil.
Tentu saja besar ternyata rumah tsb adalah rumah milik seorang Brigjen yang sudah almarhum.
Pemandangannya indah, seperti di Puncak Pass.
Bila kubuka pintu kamar makan disaat malam hari, pemandangan yang ada dibawahnya penuh dengan kerlap kerlip lampu, pemandangan di bundaran Coca Cola, mirip sekali dengan pemandangan dari  Puncak Pass.
Kalau siang hari hanya kehijauan yang tampak.
Aku memang beli view, bukan rumahnya yang memang agak tidak terurus.
Di Semaranglah baru aku tahu betapa berbedanya kehidupan di Jakarta  dengan daerah.
Aku baru mengerti kenapa gaji pegawai disatu daerah berbeda bahkan sangat jauh kadang dengan di Jakarta.
Rumah kontrakanku di Semarang kira2 15 menit dari kantorku di jalan Mataram.
Tapi aku bisa irit dengan bensin karena jalanannya tidak macet.
Oke, aku bisa berhemat uang saat membeli bensin.
Bahan makananpun lebih murah asal tahu trik cara membelinya.
Aku tidak bisa berbahasa Jawa, juga pembantuku Mamik.
Setiap kami kepasar Jangli atau Banyumanik untuk belanja, membeli tempe misalnya, harganya selalu berbeda dengan pembeli yang penduduk asli dan berbahasa jawa.
Sambil tertawa2 saat kami berlalu, sialnya si penjual kadang membual kepada sesamanya “biarlah, sama orang Jakarta ini. Mereka kan kaya2 semua” ucapnya dalam bahasa Jawa.
Walaupun aku tidak bisa berbahasa Jawa tapi dibesarkan oleh mbah Pon yang setiap hari bicara bahasa Jawa aku pastinya mengerti bahasa Jawa.
Saat ibu mertuaku menggosipkan aku dalam bahasa Jawa dengan saudara perempuannya, aku juga mengerti, sangat mengerti malah, hanya saja aku pura2 tidak mengerti bahasa Jawa.
Kadang sakit hati dan sakit telingaku mendengar aku diolok2 didepan mataku, tapi ada juga rasa puas bisa membodohi orang2 dan pura2 tidak mengerti bahasa Jawa.
Jadi singkat cerita, akhirnya kami membeli barang setelah tahu harganya.
Amanlah dapurku tidak dibohongi lagi.
Semua memang serba murah.
Sorga bagi yang gemar membeli di pasar tradisionil dan memasak sendiri.
Anak2 ku, Arin dan Dea, kusekolahkan di SD Hidayatullah di Banyumanik, sekolah islam terbaik di Semarang.
Sementara si bungsu disekolahkan di TK milik tentara di Jatingaleh.
Setiap hari mereka diantar jemput oleh supirku Rudi, kakaknya Mamik pembantuku.
Kuboyong semua barang2ku di Pondok Cabe.
Kupasarkan rumah Pondok Cabe diam2.
Sayangnya menjual rumah itu ternyata susah ditambah lagi saat itu suasana di Indonesia sedang dilanda krisis moneter.
Anakku si bungsu yang saat itu baru berusia 4 tahun masih menyusu ASI ditambah susu kaleng.
Suasana di Semarang rasanya gampang panik, atau memang karena suasana krisis moneter yang menuntut seperti itu.
Bila mendengar harga gula pasir akan naik dan hilang dipasaran, para RM biasanya dimotori mbak Asih berebut membeli gula pasir.
Aku bahkan membeli gula pasir sekarung besar ukuran 50 kg.
Setelah dibeli akupun bingung, karena sebagai  penderita diabetes aku mengurangi konsumsi gula.
Saat harga beras diisukan naik dan akan menghilang, kami para RM juga membeli beras karungan.
Untungnya rumah kontrakanku mempunyai paviliun, yang bisa kuisi dengan persediaan, dari mulai berkarung2 beras, gula pasir, jeruk, bawang putih.
Bawang putih yang saat itu langka, kubeli sampai berkilo2, padahal aku jarang memasak.
Saat krismon seperti itu membeli susu bayi sangat dibatasi, 1 orang hanya bisa membeli 2 kaleng maksimal.
Maka saat dipasar swalayan aku pura2 berpisah dengan suamiku dan berpencar saat masuk ke pasar swalayan untuk membeli susu, alhamdulilah kami bisa membeli 4 kaleng.
Tidak semua pasar swalayan mempunyai susu yang diinginkan anakku, SGM 2.
Susah sekali.
Bila hari libur kadang kami ke Solo atau Jogja hanya untuk keluar masuk pasar swalayan membeli susu untuk si bungsu.
Ketentuan di Solo dan Jogja juga sama, dibatasi hanya boleh membeli 2 kaleng susu.
Suamiku pulang setiap kamis malam, dan minggu malam jam 7 suamiku biasanya pulang ke Jakarta.
Berpisah dengan suami akhirnya menimbulkan rasa rindu dan kebutuhan untuk bertemu dan rasa saling menyayangi kembali.
Saat itu rejeki kami juga sedang menanjak.
Setiap pulang ke Semarang suamiku kerap membawa mobil bekas, biasanya yg digandrungi di Semarang adalah jenis2 jip seperti Feroza, Taft, Toyota Kijang dan bukan jenis sedan, karena Semarang kerap banjir karena rob atau air laut pasang.
Biasanya sehari dua hari mobil itu sudah terjual.
Lumayan untungnya, biasanya ada selisih rp. 2 juta-an untuk 1 mobil.
Walaupun saat ini hubunganku dengan suamiku baik2 saja, mulai merekah kembali malahan, tapi masa kedepannya aku sudah pasrah.
Aku tak berani menelpon kerumah dinasnya, kadang yang jawab suara wanita tak dikenal.
Sampai bertengkarpun suamiku tak mengakui dan bahkan bersumpah bahwa tidak ada wanita yang berani masuk kerumah dinasnya.
Sebetulnya aku percaya kesetiaan suamiku.
Sayangnya aku mulai dibakar api cemburu dan curiga saat rabu siang itu iseng kutelpon suamiku dan diangkat oleh ibu mertuaku.
Setelah berbasa basi menanyakan kabar langsung aku tanya “kemarin saya pernah telpon kesini tapi yang angkat suara cewek bu, siapa ya? Apa ada pembantu  baru?”
“oh itu memang ibu suruh urus Lilik, semua keperluan dari mulai baju sampai makanan dia yang urus, kasihan kan Lilik terlantar, gak ada yang urus. Anaknya baik kok, cantik lagi. Arin sama adik2nya pasti suka kalau dia jadi ibunya.”. Setelah berbasa basi sejenak, kumatikan telpon.
Masih saja tak ada damai diantara kami, padahal usia perkawinanku sudah memasuki usia 11 tahun.
Masak sih tidak ada hal baik pada diriku yang bisa diterima?
Terlalu jauh langkah yang diambil ibu mertuaku, menyediakan penggantiku mengurus suamiku.
Memangnya selama ini aku tidak mengurus anaknya? Setiap kamis malam dia pulang pasti membawa 1 ransel tas berisi pakaian kotor, untuk diisi kembali pakaian bersih.
Sejak saat itu aku tak pernah berani menelpon kerumah dinas.
Biarlah suamiku memilih jalannya, aku sudah pasrah.
Aku tak sanggup dibakar kecemburuan terus menerus.
Agar tidak mati dibakar rasa curiga, kuanggap saja orang yang mengurusi suamiku di Jakarta adalah pembantu yang disetujui oleh ibu mertuaku, aku menghibur diri.
Campur aduk perasaanku.
Rindu dan sayang yang telah mulai bangkit kembali dimatikan dengan berita wanita lain yang disiapkan ibu metuaku.
Sampai kapan ini berakhir, kadang aku bertanya sambil menangis bila sudah tidak tahan lagi.Kadang aku ingin bertanya pada suamiku, dia pasti akan menjawab dengan jujur. Tapi aku malah takut mendengar jawabannya. Aku takut tempatku memang telah disiapkan penggantinya.

RM baru yang ditempat di Semarang bersamaan denganku ada 3 orang, aku, Ardiyanto dan Asmoro Hadi.
Kedua temanku dari binar2 matanya jelas2 play boy cap Kapak.
Jadi setelah pertemuan awal, kami makan siang bersama, kami sepakat berjanji untuk tidak saling tertarik. “ Sesama buaya dilarang saling memangsa”, itu motto kami.
Biasanya aku lebih akrab dengan Asmoro, karena Ardiyanto walau sudah ada kesepakatan seperti itu tetap saja suka ambil kesempatan dalam kesempitan.
Berbeda dengan Asmoro, berteman ya berteman, titik.
Pernah satu ketika, saat itu minggu malam, aku mengantarkan suamiku ke stasiun Tawang, biasa dia naik kereta jam 7 malam.
Di stasiun aku bertemu dengan Ardiyanto sedang mengantarkan perempuan, kupikir pembantunya.
Kebetulan Ardiyanto kenal dengan suamiku walau tidak cukup akrab.
Setelah berhai-hai dengan suamiku aku memuji Ardiyanto “jiahhhh...baik banget lho ardiiiii, pakai nganterin pembantu segala. Majikan yang baik dan bijaksana lhoo.”
Ardi segera mendekatiku dan berbisik “ sialan lo Rit, ini istri gue.”
Gantian aku yang shock.
Ardiyanto temanku si ganteng dengan kumis baplang seperti pak Raden istrinya  ternyata mirip pembantu?
Aku buru2 minta maaf dan menghampiri istrinya berbasa basi.
Suamiku cerita bahwa dia tertawa sampai berhari2 setiap mengingat kejadian itu.
Kata suamiku, baru sekali itu dia melihat aku tidak bisa berkelit katanya, biasanya aku selalu jago berkelit.
Kalau suamiku tidak di Semarang, kami sering pergi bertiga, kadang dengan mobil Ardiyanto kadang pakai mobil Asmoro.
Kami bertiga hobby menyanyi dan minum bir.
Biasanya dimana ada karaoke baru dibuka di kota Semarang, tempat itu selalu kami datangi hanya untuk menyanyi dan minum bir walau tidak sampai mabuk. Selalu ada orang waras diantara kami bertiga yang mengingatkan agar tidak minum berlebihan karena besok harus kerja, biasanya orang waras itu adalah Asmoro.
Kadang aku ditinggal berdua dengan Asmoro karena Ardi menggerayangi setiap sudut bar mencari wanita berwajah cantik.
Sering aku dan Asmoro geleng2 kepala melihat gaya rayuan Ardiyanto merayu wanita buruannya, herannya si pelit itu selalu saja mendapatkannya.
Betapa banyaknya wanita bodoh bertebaran yang tertarik dengan wajah gantengnya. 
Aku merasa heran.
Bergaul dengan 2 laki2 yang menurut ukuranku ganteng, tapi tidak membuatku terpesona, malahan merasa seperti bergaul dengan anak kecil saja.
Kadang memang aku merasa kagum,” nih cowok badannya kekar banget, bisa buat gelayutan”, tapi cuma itu.
Pernah suatu malam kami bertiga pergi ke hotel Rinjani untuk berkaraoke dan sekedar minum2.
Saat baru mau masuk pelataran kulihat ada mobil hardtop antik milik pemimpin wilayahku yang kalau marah sangat ganas dan nyelekit kata2nya.
Ardi buru2 putar balik dengan panik.
Kami semua yakin dipelataran parkir itu tidak ada orang BNI, tapi rupanya perkiraanku salah.
Saat rapat mingguan, sang pemimpin ber proloog ” ayo kita buru2 rapat, biar cepat buka puasa dan malamnya pergi karaoke”.
Entah dari siapa dia tahu hal itu.
Yang kutahu pasti dia menyindir kami.
Aku memang selalu berpuasa senin kamis secara rutin, dan kami bertiga gemar karaoke.
Siapa lagi yang disindirnya?
Saat itu kami bertiga hanya menunduk pura2 tak tahu.
Sejak saat itu, ritual proloog menjelang rapat selalu seperti itu, persis sama titik komanya, ” ayo kita buru2 rapat, biar cepat buka puasa dan malamnya pergi karaoke”.
Pernah saat tidak ada sang pemimpin, seluruh RM berinisiatif mencari2 speaker kecil atau apalah diseluruh ruangan kami, siapa tahu sang pemimpin menyadap pembicaraan kami para RM, soalnya dia selalu tahu apa yang dibicarakan para RM.
Pelayan, pak Margono sudah pasti jadi orang pertama yang dicurigai, tapi saat pak Margono tidak adapun semua isi pembicaraan diketahui sang pemimpin.
Heran.
Apakah salah satu RM atau orang di Administrasi Kredit yang jadi pengkhianatnya?
Hasil pencarian diseluruh ruangannya : Nihil.
 

Di wilayah Semarang mejaku duduk pas didepan pintu menuju mushola dan kamar mandi.
Tempat basah menurutku, karena strategis kalau ingin buru2 kekamar mandi.
Setiap ada yang mau sholat, laki2 atau perempuan, selalu mengajakku sholat.
Lama2 aku merasa jadi satu2nya iblis dalam ruangan itu.
Karena malu dan malas selalu disuruh sholat, akupun akhirnya sholat.
Kulihat Ardi dan Asmoropun ikut sholat. Ya sudahlah, akupun sholat.
Kalau tidak diajak sholat ya aku tidak sholat.
Ada 2 orang yang mempengaruhi kesadaran beragamaku, mbak Asih Trijatati dan mas Wiyarso.
Mbak Asih kerap mengajakku ke panti asuhan dan membujukku menyumbang.
Orangnya jarang senyum, pendiam tapi gemar menolong.
Aku yang produk Jakarta merasa aneh melihat mbak Asih lintang pukang menolong orang lain, dari mulai membantu masuk sekolah sampai membantu uang. Aneh saja membantu kok sampai sepenuh hati dan berkorban segalanya.
Aku bahkan sempat terbantu saat Rudi supirku ingin mengikuti ujian paket C atau apalah namanya untuk ujian kesetaraan SMP, buat mereka2 yang tidak bersekolah SMP tapi ingin mengikuti ujian SMP. Saat ujian, Lilik yang mengikuti ujian, alhamdulilah lolos. Nilainya 100, benar2 sempurna.
Saat diberi tahu nilainya 100 aku tak merasa heran, sarjana hukum UI ikut ujian SMP tentu saja dapat nilai 100.
Mbak Asih kerap juga menjembatani hubunganku dengan pemimpin bagianku yang nyeleneh.
Baru sekali aku membenci seseorang, tulus membenci.
Sangat membencinya malah.
Kalimatnya menyakitkan saat mengomeliku.
Memang dia mau mengajariku ulang tentang kredit, tapi diseling2 pengajarannya dia menyamakan kebodohanku dengan kepandaian anaknya yang idiot, maaf, agak menderita keterbelakangan, rasanya sakit sekali.
Aku jadi makin malas mempelajari kredit.
Sementara mas Wiyarso adalah si peneduhku, pelurus jalanku.
Aku dan suamiku kerap pergi kerumahnya, bertemu dengan istri dan anak2nya yang banyak.
Mas Wiyarso juga yang mengajakku belajar agama, menasehatiku dan mengajakku belajar aliran Satya, yang bisa membuat kita kebal..
Setiap senin atau kamis sore aku belajar Satya, sampai akhirnya aku khatam dan selesai ujian.
Memang terbukti keampuhannya.
Saat itu sepulang dari Jakarta, keluar dari stasiun tawang masih jam 3 pagi.
Saat aku sedang naik becak menuju ke Karang Turi, aku sudah pindah dari Jatingaleh dan anak2 sudah kembali tinggal di jakarta, aku dihadang 3 laki2 berjaket dan salah satunya mengacungkan pisau.
Belum sempat aku bereaksi, saat ,mereka mendekat ingin meraih tas ku tiba2 saja mereka terpental jauh. Aku juga bingung.
Kupikir tukang becaknya ahli, ternyata tukang becaknya pun bingung.
Kejadian kedua saat aku diatas mikrolet 08 jurusan Tanah Abang - Kota, kali ini aku sudah di Jakarta, kebetulan aku duduk didekat pintu.
Tiba2 saja tas ku dijambret pengamen, sambil turun dari mikrolet sehabis menyanyi.
Sang pengamen seolah2 dihempaskan ke trotoar, untung tidak ada kendaraan dibelakangnya.
Tak ayal aku merasa ngeri kalau2 sampai jatuh korban.
Mbak Asih dan mas Wiyarso, dua orang baik yang saling bertolak belakang, dengan caranya masing2 telah membuka kesadaran beragamaku.
Aku juga dekat dengan mbak Maria dan pak Taufik, analis mbak Asih.
Setiap ada kerusakan kitchen set atau rehab kursi makan, aku selalu minta tolong suaminya mbak Maria. Kami juga suka pergi bersama dengan suaminya mbak Maria, sebenarnya sih aku yang nebeng mereka.
Dengan pak Taufik aku dekat karena ternyata kakaknya punya panti asuhan di Tegal dan agak dekat pemandian air panas Guci. Aku merayakan khitanan anakku di panti asuhan mereka, bersama dengan puluhan anak panti asuhan yang sekalian kusuruh sunat massal.
Aku ingin anak2ku mengenal arti kata “yatim piatu” dan orang tak punya.

Aku merasa tak cocok di Semarang.
Aku merasa di dholimi oleh pemimpin bagianku, orang yang kubenci.
Orang2 dikantor Semarang ini baik2, sikap antar sesama juga baik dan akrab, hanya saja kulihat dibelakang juga ada yang suka saling menggunjing.
Apa yang baik dimuka ternyata dibelakang kita belum tentu baik.
Saling koment dibelakang, sama seperti di Jakarta atau dimana mana.
Hanya saja di Jakarta wajah kita tidak perlu nampak baik bila kita memang tidak suka.
Di Jakarta tidak suka ya tidak suka, titik.
Selama ini aku cuma pura2 tidak mengerti bahasa Jawa, tapi aku 100 % mengerti kata demi kata yang diucapkan.
Kadang aku berpikir biarlah, asal jangan aku saja yang di jelek2an.
Tapi tak urung aku kecewa dengan kepura2an yang ada.
Seperti ada rasa gatal dipunggung yang tidak bisa digaruk.
Mudah2an ini hanya salah tangkap.

Senin, 10 Agustus 1998
Hari ini terasa berat untukku.
Setelah sebulan lebih selalu bersama dengan suamiku, hari ini dia harus kembali ke Jakarta lagi, meninggalkan aku dan anak2 lagi.
Dea hari ini kembali bikin ulah, dia memakai uang untuk  beli buku di sekolah rp. 50 ribu, dan dibuat beli makanan serta dibagi bagikan ke Arin serta Vani sebagai uang tutup mulut.
Aku tak pernah bisa mentolerir penyalah gunaan uang sekolah. Selalu terbayang wajah Bambang adikku yang putus sekolah karena memakai dan menyalah gunakan uang sekolah.
Aku tak ingin anak2ku seperti itu.
Aku ingin anak2ku jujur dan bisa bersekolah setinggi langit.
Kuhukum Dea dengan berdiri diatas kursi, sambil kucubiti dan kupukuli.
Aku menangis sambil memukuli Dea.
Aku bahkan menjedutkan kepalanya ke tembok sampai hidungnya keluar darah.
Supirku yang semula hanya melarangku dengan ucapan2 sekarang setelah melihat darah mengalir diwajahnya Dea langsung menarikku dengan keras dan memegangi tanganku, sementara Dea dibawa pergi oleh Mamik.
Aku menangis keras.
Dalam hati aku ingin berhenti memukulnya, tapi tanganku tetap saja melayang memukulinya.
Aku benci dibohongi, aku benci dihina ibu mertuaku, aku benci terlahir jadi anak supir, aku benci suamiku karena membuat aku mengurus anak2ku sendirian, aku benci pemimpin bagianku, aku benci seluruh dunia ini.
Secepat aku marah, secepat itu pula aku menyesalinya.
Aku sayang Dea, anakku yang tercantik.
Mata bulat besarnya memandangiku balik setiap aku memarahinya, seolah2 menantangku.
Itu yang membuatku makin marah dan marah lagi.
Bukan maksud anakku memelototiku, tapi memang matanya bulat besar.
Aku sadar itu.
Tapi saat aku marah dan memandang matanya aku tiba2 sadar, aku memandang mata sang play boy dari jaman batu dahulu.
Ya Allah, anakku tidak bersalah, dia cuma mirip. Mungkin dulu aku terlalu mendambakan sang play boy, bukankah si bungsu juga mirip pak Husodo temanku padahal aku cuma berteman baik?
Aku sangat menyesali kegaranganku dan kemarahanku pada Dea.
Dea yang biasa menemaniku saat aku bangun malam tak bisa tidur karena tiba2 rindu suamiku.
Dea yang menemaniku bangun sambil menonton siaran sepak bola di TV.
Pernah saat itu sedang ada perebutan piala dunia sepak bola tahun 1998.
Aku terbangun karena ada suara2 kecil.
Kupikir ada maling.
Aku bangun sambil membawa pipa besi yang selalu kutaruh diatas lemari pakaian.
Sambil mengendap endap kucari sumber suara, ternyata kulihat Dea sedang menonton siaran langsung pertandingan sepakbola antara Italia dan Kamerun.
Pelan2 kuhampiri Dea.”Sedang apa De malam2 begini?”
“Dea lagi lihat Itali lawan Kamerun tanding bu. Sudah 2 nol Itali menang bu, sebentar lagi mau habis kok” Buru2 Dea mengelak takut disuruh tidur.
“Ibu besok kalau ketoko buku Dea beliin poster Del Piero ya bu?”
“Del Piero itu siapa?”
“Itu pemain  bola bu, namanya Allesandro Del Piero. Ganteng bu. Dia pemain Juventus. Ibu pasti suka deh, ibu kan suka  lihat orang ganteng kata bapak.“
Zzzzzzz....ingin rasanya mencekik leher suamiku.
“Oh itu makanya kamu senang nonton Italia tanding ? Goalnya dia yang masukin semua?”
“Bukan bu, dia cuma kasih umpan. Kan gak semua pemain bola bikin goal.”
Sambil menonton Dea bercerita tentang nama2 pemainnya, entah betul entah salah aku tak tahu, siapa yg sedang melakukan apa dengan istilah2 yg pernah kudengar diucapkan oleh si play boy.
Aku tercenung mendengarkan Dea bicara.
Anak usia 7 tahun sudah fasih bicara tentang bola !
Benar2 khas sang play boy.
Suamiku tak suka bola, aku juga tidak suka bola, aku hanya suka penampilan pemainnya.
Aku  kadang tidak bisa mengerti melihat satu bola diperebutkan 22 orang pemain, setelah bola diperoleh malah dibuang kembali.
Itu kan cuma buang2 waktu saja.
Dulu saat aku sering mengeluh tentang bola pada sang play boy dia biasanya tertawa keras sambil mengusap usap kepalaku.
Ingat sang play boy aku langsung memperhatikan anakku.
Matanya.
Alis hitamnya.
Hobby nya.
Semua sama.
Itulah yang kadang membuatku tidak bisa berhenti saat memukuli Dea, semuanya mengingatkanku pada wajah yang kubenci, wajah sang play boy.
Anakku menjadi pelampiasan rasa benciku pada sang play boy, padahal dia bukan apa2 dan bukan siapa2, pelampiasan benciku pada keadaan rumah tanggaku, pada mertuaku, pada kantorku.
Maaf kan ibu nak....
Setiap habis memukuli anakku aku selalu berjanji tidak akan pernah memukul lagi, walaupun anakku berbuat salah.
Janji yang kusadari tak mungkin kutepati, betapapun aku berusaha menghadapi ulah anak2ku yang super nakal, terutama ulah Dea.
Arin yang laki2 tak pernah suka bermain bola, Dea yang kuingin jadi anak wanita yang lembut malah bermain bola, karate, dan....suka memukuli teman2 Arin bila mereka menyakiti Arin.
Bagaimana aku tidak marah melihat anak wanita berulah seperti pria dengan semua hobbynya, sementara sang kakak yang laki2 malah begitu lembut dan penakut.
Semalaman aku tertidur sambil memeluk dan menciumi Dea.
Kemarahanku mudah surut, tapi secepat itu pula kemarahanku akan bangkit bila melihat kenakalan anak2ku.
Aku ingin anak2 yang tertib, bangun pagi dan sholat.
Hal yang mustahil rasanya, bila setiap pagi anakku malas bangun, malas mandi dan malas sholat.
Aku dan suamiku tidak pernah sholat bila dirumah, bagaimana mungkin anak2ku akan sholat?
Satu hal penting yang aku lupa saat mendidik anak2ku, menjadi contoh dan panutan.

Rabu, 12 Agustus 1998.
Dia telpon kekantor. Sengaja kuganti nomor Hpku. Aku tak berdebar2 lagi.
Makin yakin aku, dia telah berlalu.
Masa lalu yang tak ingin kuingat lagi, saat aku dibodohi perasaan cinta.
Ampuni aku Tuhan, doaku malam ini.

Kamis 14 Agustus 1998.
Selesai kurus bahasa Inggris yang diadakan kantorku, aku bersama anak2 dan semua pembantuku menjemput suamiku di stasiun Tawang.
Tak sabar rasanya ingin membagi semua cerita dengannya, tentang kunci mobil yang selalu hilang, tentang si bungsu yang tidak mau tidur bila tidak dinyanyikan lagu My Bonny, tentang si bungsu yang selalu menangis setiap kuceritakan tentang kisah My Bonny, kisah ngawur yang kukarang2 sendiri, tentang seorang anak kecil yang kehilangan bonekanya dilaut, nama bonekanya Bonny, padahal boneka itu hadiah dari ibunya sebelum meninggal.
Akan kuceritakan semua godaan yang kualami selama dia tak ada disisiku 4 hari ini.
Aku rindu suamiku.

Komentar

Postingan Populer