14. KE JAKARTA AKU KAN KEMBALI
Anak2ku cuma setahun tinggal di Semarang.
Dengan terpaksa mereka kusuruh pindah kembali ke Jakarta, asalkan tidak tinggal di Pondok Cabe, itu perjanjianku dengan suamiku.
Walaupun di Semarang mereka sekolah di sekolah ternama, biarpun anak2ku pintar dan mempunyai IQ diatas rata2 namun kendala bahasa membuat anak2ku jatuh ke ranking terendah.
Selama ini aku memang tak mempermasalahkan ranking, tapi saat aku mendengar anak2ku berkeluh kesah tak mengerti bahasa Jawa, belum lagi ada pelajaran Jawa Halus, aku langsung mempertimbangkan kepindahan anak2ku.
Akhirnya barang2 diboyong kembali ke rumah di Pondok Cabe dalam 3 truk besar, maklum selama di Semarang setiap punya uang lebih aku dan suamiku hobby berburu barang2 antik ke pelosok, kadang berburu dipasar loak dikota manapun kami berada.
Jadilah barang2ku bertambah banyak, bila saat pindah ke Semarang hanya dalam 2 truk besar, saat kembali ke Jakarta, hanya dalam waktu setahun sudah bertambah 1 truk.
Jawa tengah memang sorganya barang2 antik. Kadang bila terlalu lelah untuk berburu ke Jogja dan Solo kami biasanya hanya menyusuri pasar loak di Semarang.
Kadang tanpa diduga suka kutemukan mangkok2 antik dengan harga murah.
Saat2 krisis moneter rasanya semua barang murah bagiku.
Aku bersyukur saat itu kantorku dipimpin oleh orang sekaliber Saifudin Hasan cs.
Saat banyak bank lain colaps dan dilanda Rush (penarikan uang besar2an oleh nasabah), banyak pula perusahaan yang pegawainya hanya menerima ¾ gaji atau bahkan melakukan pengurangan pegawai, hanya BNI yang melaju dengan tenang, kami bahkan malah untuk pertama kali dalam karirku menerima bonus sampai 4 kali gaji.
Aku ingat saat itu saking canggih dan bermutunya pimpinan kantorku, mereka kerap didapuk oleh pemerintah untuk menjadi pemimpin bank lain, seperti pak Freddy Saiya yang diam2 akhirnya kujadikan idola, dia didapuk menjadi Dirut bank BCA.
Untuk sementara anak2 tinggal dirumah dinas suamiku di jalan Abdul Muis Tanah Abang 2.
Kukuatkan batin, aku siap2 berdamai dengan ibu mertuaku.
Apabila aku diperbolehkan kembali ke Jakarta oleh kantorku akan kuanggap angin lalu semua hinaan2nya, akan kuanggap dia sebagai ibuku, bukan ibu mertuaku, janji dan nazarku dalam hati.
Kurapihkan rumahku di Pondok Cabe agar nyaman ditempati anak2.
Diputuskan bahwa aku yang akan ke Jakarta setiap jumat sore dan kembali minggu malam dan bukan suamiku yang ke Semarang.
Aku dibantu pak Wiyarso dan Asmoro mencari2 kost yang dekat kantor, akhirnya dapatlah kost di Karang Turi, dekat mushola dan mesjid.
Setiap subuh aku dibangunkan pembantu kost untuk sholat subuh berjamaah di mushola kecil depan rumah kost.
Terasa nyaman dibangunkan azan terlebih karena muazinnya bersuara merdu mendayu2 membuatku merinding dan membayangkan neraka.
Aku tak pernah lagi bolong2 saat mengerjakan sholat.
Ditemani pembantu kost dan belajar dari buku2 yang dibelikan Lilik, aku selalu sholat malam, tiap tengah malam sampai subuh menjelang.
Aku juga puasa tirakat, setiap hari, sampai aku bisa pindah dari Semarang, tekadku.
Tiga bulan kujalani tirakat puasa dan sholat malam, disamping kumanfaatkan semua teman yang kupunya di Kantor Besar, akhirnya 3 bulan kemudian aku disetujui pindah dan ditempatkan di Divisi PUS ( Penyeliaan Khusus Pegawai ), divisi yang memproses kasus2 pegawai.
Kekeluargaan di daerah dengan di Jakarta memang beda.
WlWalaupun didaerah juga ada persaingan terselubung diantara sesama pegawai, didaerah kurasakan kepedulian antar sesama sangat tinggi.
Bila ada yang sakit, kami berbondong2 saling mengunjungi.
Kadang vonis penyakit belum diterima sudah ada dering telpon dan kunjungan2 persahabatan.
Bila ada teman dari Jakarta yang datang ke Semarang, mereka pasti akan dijamu bak raja.
Sumpah.
Dijamu seperti raja !
Aku heran dan terkagum2, bercampur dengan rasa ironis.
Di Semarang beberapa kali aku pernah kedatangan tamu yang kebetulan teman, dari Jakarta, baik dari Wilayah 10 maupun dari Kantor Besar.
Aku pernah sampai melotot kesal saat disodori bon yang nilainya cukup tinggi, bukti biaya pembelian bensin dan hotel yang belum dibayar sementara si tamu sudah balik ke Jakarta.
Lho apa urusannya denganku?
Aku kan cuma menyampaikan permintaan peminjaman kendaraan ke bagian umum di Semarang, oleh bagian umum di beri driver dan kuserahkan ke temanku.
Rasanya tidak perlu diterangkan kepada temanku bahwa biaya agar ditanggung sendiri, aku terlalu sopan untuk menerangkannya, selain kupikir itu sudah etika berkunjung.
Aku segera pulang ke Jakarta menemui keluargaku, sementara itu kutinggalkan temanku dengan acara liburannya.
Saat hari senin aku masuk kantor, oleh driver aku disodori bon2 setumpukan.
Kadang malah dibayari dulu oleh si driver.
Ada pula teman yang jelas2 meminta oleh2 tertentu dan minta menginap di hotel tertentu saat berkunjung.
Whattttttt ?
Aku terperangah menyaksikan sikap bossy teman2ku.
Padahal.mereka di Jakarta cuma asisten, tp karena kenal dg seseorang dr Jakarta maka mereka dijamu dan bersikap seperti raja.
Munafik rasanya bila aku tidak keberatan.
Pantas saja sikap mereka yang didaerah cenderung tidak welcome pada pendatang dari Jakarta.
Sedikit banyak mereka terpengaruh dan tersinggung sikap2 bossy orang Jakarta.
Mungkin.
Ini hanya dugaanku.
Mungkin juga karena ada kesenjangan fasilitas Jakarta dan daerah.
Entahlah, belum ada penelitian terhadap hal ini.
Aku tidak bisa membayangkan seandainya teman2ku itu sudah menjadi pemimpin, mungkin aku yang harus jadi penunjuk jalannya sambil membawakan tas2 belanjaan mereka.
Masih kucing burik saja sudah bersikap seperti itu, aku ngedumel panjang pendek sambil membayar kwitansi hasil liburan mereka.
Mau minta ganti?
Ya tidak mungkinlah, aku sudah tahu pasti.
Aku juga bisa membayangkan berapa gaji mereka kira2 sebagai asisten.
Atau apakah karena mereka menganggap aku sebagai bos, bergelimang di kredit dan banyak uang, sehingga wajar bila aku yang membayari liburan mereka?
Inilah harga sebuah pertemanan menurutku.
Seandainya saja mereka tahu keadaanku.....
Aku salut pada kepedulian teman2ku yang dinas dan tinggal didaerah.
Setiap ada tamu datang dengan ramah mereka menjamu dengan sepenuh hati.
Ingin rasanya aku mengingatkan teman2ku di Semarang agar tidak terlalu berlebihan menjamu tamu dari Jakarta, kelak bila kalian ke Jakarta, tak akan ada sikap seperti ini di Jakarta.
Siapa elo memangnya?
Jakarta dan individualisme itu bersaudara erat.
Seandainya memang mau menjamu karena silaturahmi, silahkan saja, tapi jangan pernah berharap akan dibalas hal yang sama bila kelak di Jakarta.
Setiap aku ke daerah saat libur, berbekal pengalamanku di Semarang, aku tidak pernah mau dijamu teman2ku didaerah, seandainya aku dipaksa dibayari, aku berusaha untuk membayari dilain waktu.
Kadang saat aku jalan2 ke jogja mbak Asih seperti biasa memaksaku untuk memesankan hotel, tapi dengan penuh maaf dan beragam alasan aku menolak.
Silaturahmi kan bukan berarti menyusahkan teman.
Mudah2an sekarang mereka sudah tidak lagi terlalu mendewakan tamu dari Jakarta lagi, harapku.
Untuk yang dari Jakarta kuharap juga sudah merubah sikap.
Berliburlah bila mampu, jangan menjadi beban teman, walau itu atas nama persahabatan.
Divisi PUS, saat itu dipimpin oleh pak Tjuk, saat2 menjelang akhir bersatu dengan Divisi Hukum.
Memang saat itu sedang gencar2nya reorganisasi di BNI.
Seperti kebiasaan jelek kantorku, divisi2 dan unit kerap diubah, diganti nama pakai bahasa inggis biar kelihatan intelek, lain waktu kembali pakai nama bahasa indonesia, kembali lagi ke bahasa inggris, sistim penggajian juga diubah demi agar gaji menjadi besar dan mencukupi kebutuhan pegawainya, yang sayangnya lupa ditelaah bahwa itu akhirnya berdampak pada kecilnya uang pensiunan.
Selalu begitu.
Apa yang sudah baik dianggap kurang baik dan keren, diganti dengan yang baru yang seringkali malah lebih jelek dari semula.
Bukannya fokus pada inovasi produk dan peningkatan laba, seringkali malah berkutat pada nama bank, nama unit serta logo bank.
Mungkin perubahan kop surat, stempel, kop amplop dan papan nama serta tanda pengenal pegawai karena adanya perubahan nama unit dianggap hal yang kecil dan biasa, dan tidak diperhitungkan sebagai biaya. Aku tak tahu.
Rekan kerjaku yang baru di Divisi PUS ini alhamdulilah baik2 dan sangat membantu.
Dunia pekerjaannya juga sudah familier dengan bidangku, hukum.
Teman2 di unit baruku banyak yang sudah kenal denganku, karena dulu aku sempat di Divisi Internasional selama 2 tahun.
Ada teman di unitku, Opsumsi Rahmi atau Susi nama panggilannya.
Cantik dan baik hati.
Benar2 baik hati, tercermin dalam tindakan dan ucapannya.
Aku kadang membayangkan ingin seperti dia, cantik tapi tidak murahan, santun dan taat beribadah.
Ada juga anak muda baik yang bernama Imam, belahan jiwa Susi karena selalu kompak, saat bergurau maupun saat saling ledek.
Aku bersyukur dikelilingi anak2 muda yang baik.
Kulihat banyak orang2 pintar di divisiku, tapi tidak arogan dengan kepandaiannya, kembali aku teringat si Ceng Hong, manusia berwajah dan berhati iblis.
Ihhhh...aku merinding mengingatnya.
Karena kamar mandi Divisi PUS menjadi satu dengan Divisi Hukum, selama kekamar mandi akhirnya aku juga sering bertemu dengan anak2 Divisi Hukum, ternyata banyak juga teman2 yang sudah kukenal.
Ada satu orang aneh yang menarik perhatianku.
Saat aku sapa atau kuberi senyum, dia akan melengos mengalihkan tatapan matanya.
Kadang kutemui dia sedang berbicara sendiri didepan cermin.
Aku tidak tahu dia kelak juga akan menjadi temanku, teman cukup dekat untuk menyadari kelebihannya.
Namanya Susi Fauziah.
Sama2 bernama Susi, dengan penampilan dan watak yang 180 derajat berbeda.
Dunia yang aneh.
Hanya beberapa bulan aku di Divisi PUS, sebelum masa akhir Divisi PUSpun akhirnya datang.
Divisi PUS dan Divisi Hukum menjadi satu, yang tidak mendapat tempat akhirnya di mutasi ke cabang atau Divisi lain.
Karena belum berpengalaman di Cabang, aku diikutkan pelatihan pemimpin OM/CSM di Divisi Pelatihan di Slipi.
Saat pelatihan pimpinan aku bertemu lagi dengan Ifkar dan...Susi Fauziah anak Divisi Hukum.
Selesai pelatihan kami masing2 disebar ke cabang terdekat untuk magang, istilahnya OJT dikantorku, On The job Training istilah bulenya.
Aku magang di cabang Tanah Abang Bukit, selemparan tangan dari rumah dinas Lilik.
Saat itu cabang Tanah Abang Bukit masih berbentuk kantor cabang, belum diubah menjadi kantor layanan.
Bertemu dengan Isye temanku dulu, dipandu oleh mbak Yanti wakil pimpinannya, aku merasa nyaman dan terlindungi.
Kekeluargaan di kantor cabang Tanah Abang Bukit patut diacungi jempol.
Sayangnya waktu magang hanya 3 bulan saja, kami pun harus kembali ke base camp di Divisi Pelatihan di Slipi.
Saat menunggu penempatan adalah saatnya isu santer beredar.
Aku sempat dipanggil pemimpinnya, yang berwajah ganteng, sayangnya aku lupa namanya.
Saat itu posisi di cabang Serang sedang kosong. Setelah adegan curhat dan berbicara layaknya bapak dengan anak, aku ditawari posisi wakil pemimpin disana secara informal.
Serang tanah kelahiranku, aku senang sekali, tapi kenapa yang kubayangkan wajah2 kerabatku yang banyak tinggal di Serang, sedang mengantri meminta sumbangan ke kantor ya?
Imajinasiku memang tinggi.
Aku.menganggap itu pertanda jelek, maka akupun ragu2 dan meminta waktu untuk meminta pertimbangan suamiku.
Malamnya setelah berdiskusi dengan Lilik, terus terang dia bilang keberatan aku keluar kota lagi. “Sudah cukup keluarga kita tercerai berai” kata Lilik sambil melotot.
Besoknya kusampaikan hasil pembicaraan dengan suamiku, aku bahkan dengan memelas meminta “ tolong saya jadi apa sajalah pak, asal di Jakarta dan tidak di unit kredit. Tidak dapat posisi juga tidak apa2 kok.”
Untung saat itu aku sedang menjelma jadi wanita solehah, aku menuruti perintah Lilik.
Selang dua atau tiga bulan kemudian cabang Serang kudengar hampir bedol deso, semua pimpinannya diganti karena ulah pegawai yang memakai setoran BPIH haji untuk kepentingan pribadinya.
Alhamdulilah, nyaris saja aku terkena kasus.
Ini kali kedua aku nyaris terkena kasus.
Saat di Wilayah Senayan, saat masih menjadi analis aku memberi kredit , sedikit sih, hanya rp. 2 M yang dipergunakan untuk renovasi hotel Puri Mira di Ciawi yang ternyata hotel jam2an, occupancy ratenya memang hampir 120 %.
Keuntungan yang sangat menggiurkan memang, tapi semua itu jelas dilarang peraturan.
RM ku saat itu pak Arsyad Duski menolak mentah2, alasannya bukan segmen menengah karena terlalu kecil dan cukup diurusi cabang saja, maklum segmen yang kami pegang menengah, saat itu rp. 3 M keatas sampai rp. 30 M.
Sayangnya nenek pemilik hotel adalah menteri peranan wanita Mien Sugandi yang kerap disasak tinggi2 dan sedang dekat2nya dengan pak Harto, pemilik hotelnyapun ketua Kadin DKI, belum lagi anak pemilik hotel adalah bintang film yang sedang in, pemeran jin wanita cantik.
Pemimpin Wilayahku, saat itu pak Tjuk, dengan jelas dan tegas memberikan disposisi agar diproses dan diusulkan setuju.
Sebagai pecinta barang bekas aku masih tetap menyimpan disposisi lama dan kertas2 lama sebelum dicoret2 pemimpin yang tadinya akan dibuang RMku.
Berbekal hobbyku mengumpulkan kertas2 tak terpakai, aku selamat dari tuduhan kredit macet.
Kertas2 itulah bukti pembelaanku bahwa aku overmach karena ada paksaan dari pemimpin.
Memang macet, tapi itu lebih kr kondisi krisis moneter. Itu resminya.
Siapa sangka 6 bulan setelah diberikan kredit, dan ditambah grace periode 6 bulan, bulan ketujuh Indonesia diterpa krisis moneter besar2an?
Dikantorku memang seperti itu, koneksitas namanya, walau anak buah yang salah tetap saja bapak buah harus bertanggung jawab walau dia tidak tahu menahu.
Begitu juga sebaliknya.
Teman2ku sesama peserta pelatihan OM/CSM hampir semuanya sudah disalurkan ke berbagai cabang, kini hanya tinggal 9 orang yang belum mendapat tempat, termasuk aku, Nazriah dan..... Susi Fauziah.
Kami menempati ruang kosong apartemen wisma BNI dilantai 3 B, 1 unit ruangan berisi 2 kamar dan 1 ruang makan.
Sehabis absen pagi kami menonton TV seharian, aku bahkan sampai kenal dekat dengan Esmeralda, Isaura telenovela yang sedang in.
Teman2 lain bahkan ada yang hafal jadwal acara TV.
Tapi Susi lebih sering pergi hang out dengan Ifkar dan Sabudin, entah ke Bogor atau kemanalah.
Nazriah, mbak Erry panggilannya, yang aslinya bersifat ibu2 mengajakku mengikuti kursus memasak dan menjahit di Tanah Abang 3, nama kursusnya, kalau tidak salah Nila Chandra.
Biasanya sekitar jam 11 aku dan Nazriah menerobos lewat pintu belakang yang tembus keseberang Telkom, langsung naik mikrolet.
Beberapa kali ikut kursus memasak disitu, dengan biaya rp. 40 ribu per satu pembuatan kue, atau kadang lebih murah, tergantung jenis kuenya.
Makin mahal kue yang dibuat, makin besar biayanya.
Peserta tidak diberi brosur bahan2nya.
Sang pengajar hanya berceloteh sambil mengaduk adonan, setelah kue matang peserta diberi seiris kecil disertai sebuah photo, photo masakan yang diberi kursus.
Itu saja.
Beberapa kali saat kursus aku mencoba menulis bahan2nya, tapi kecepatan bicara sang pengajar seperti mitraliur, nyerocos tiada henti.
Konon dari desas desus, sang pengajar itu adalah anaknya Nila Chandra.
Entah berapa kali ikut kursus masak aku mulai bosan, lebih baik aku belajar dari buku.
Aku berhenti kursus masak, sementara Nazriah melanjutkannya dengan ikut kursus menjahit di Juliana, dibelakang Divisi Pelatihan.
Dulu belum ada absensi pulang, jadi kami bebas menghilang.
Keberadaan kami saat itu persis seperti Jaelangkung, datang tak diundang, pulang tak diantar.
Tiap hari aku cuma kerja sampai jam 11, selepas Esmeralda tayang pelan2 kami menghilang. Paling bapak2nya saja yang bertahan sampai sore, mungkin mereka pikir lebih baik tidur di wisma Slipi daripada dihujani pertanyaan istri.
Aku benar2 menjalankan tugasku sebagai istri dan ibu yang baik, ehm kurasa
Komentar
Posting Komentar