16. MAHALNYA KOMUNIKASI SUAMI ISTRI

Minggu, 3 Oktober 1999


Hari ini Dea dan kakaknya mas Arin ujian kenaikan tingkat karate dari ban biru di wisma Cempaka Putih, tempatku dulu test masuk BNI, ribuan tahun lalu.

Seperti biasa anak2 dengan ulah nakalnya saling ribut dan berkelahi, dan sepertI biasa pula aku marah2. 

Mempersiapkan snack  dan nasi kuning untuk 1 grup anak2 yang karate membuatku uring2an. Untung semua masakanku terasa pas dan tidak mengecewakan hasil testimoni suami dan ketiga pembantuku.

Saat pertandingan kulihat betapa Dea begitu tampil mempesona gerakan2nya dan mendapat aplaus penonton sampai lama. 

Badannya yang kecil, gempal, dengan mata bulat dan rambut ala Beatles benar2 mengagumkan. Gerakannya mantap dan nyata sepenuh tenaga, tidak seperti kakaknya yang gerakannya lemas tak bertenaga, nyaris seperti orang menari.

Dea si bandel yang selalu kupanggil bodoh, tolol dan sering kupukuli saking bandelnya, ternyata begitu membanggakan. 

Sebetulnya bukan cuma Dea yang kupanggil bodoh dan tolol, semua anakku kalau aku sedang marah selalu kupanggil seperti itu walau kutahu IQ mereka diatas rata2, diatas aku malah.

Aku bukan ibu yang baik, bila marah kata2 yg keluar selalu kasar, padahal kesalahan mereka masih bisa ditolerir.

Aku sampai menangis terharu melihat Dea diberi aplaus tepukan penonton sampai panjang.

Anakku sayang, anakku nakal.....

Dari Cempaka Putih aku dan Lilik naik angkutan umum karena mobil kami semua dipakai rombongan karate.

Kunikmati napak tilas jalan berdua naik bus dan angkot.

Rumahku terasa sepi saat tiba dirumah. 

Baru beberapa jam sudah kurindukan teriakan anak2, keributan2 yang dibuat dan tangisan2nya.

Dalam kesepian rumahku, aku ingin hari cepat pagi, ingin kusapa lembut, kusentuh dan kubimbing mereka semua, Dea, Arin dan Vani.

Aku berdoa, agar aku bisa menjadi istri yang baik, ibu yang penyabar dan jangan dijadikan orang yang pemarah.


Senin, 4 Oktober 1999


Kukira rumah tanggaku harmonis selama ini, ternyata tidak.

Rumah tanggaku tidak harmonis dan terancam bubar. Tidak ada komunikasi yang sehat sama sekali diantara kami.

Yang masih mengikat perkawinan ini hanya anak2 dan nafsu seks kami yang sama2 kuat.

Semua pembicaraan akan berakhir dengan pertengkaran.  

Lilik hanya bisa memojokkan dan menyalahkan, sementara aku hanya bisa marah2 dan membela diri.  

Contoh paling mudah adalah saat pergi dengan anak2 ke toko buku. 

Biasanya kami ke toko Gunung Agung di Kwitang, karena dilantai bawah ada resto ayam goreng kesukaan anak2, sesudah beli buku mereka biasanya makan disana sambil baca buku.

Setiap anak2 beli buku komik biasanya, suamiku langsung melarang, hanya boleh beli 1. 

Beli cuma satu? 

Perjalanan sejauh ini hanya beli 1 buku untuk tiap anak? 

Betapa sia2nya.

Aku tentu saja menolak. 

Aku ingin masing2 beli 5 buku, toh tidak setiap hari kami beli buku, hanya sebulan sekali. 

Kalau soal pilihan jenis buku yang dibeli aku setuju dengan suamiku, anak2 tidak boleh asal beli, tidak boleh ada kisah cinta, titik.

Saat beli makanan di resto dibawah, aku biasa mengizinkan anak2 memilih makanan sendiri, kupikir toh selama ini mereka menderita hanya memakan makanan yang kusuka, tak pernah makan ayam apalagi daging.

Lilik selalu bilang “ingat sunnah nabi Muhammad,’Makanlah sebelum lapar, berhentilah sebelum kenyang’, jadi jangan pilih yang jumbo, yang kecil saja. Jangan beli dua, beli satu saja.”

Jadi setiap anak2 minta tambah makan atau minum, aku dan Lilik pasti bertengkar, dia melarang anak2 tambah makanan dan minuman, sementara aku membolehkannya.

Pertengkaran biasanya usai bila aku sudah berkata “cukup pak, biar saja anak2 tambah, toh ini pakai duit gaji ibu, bukan duit gaji bapak.”

Kalau sudah begitu biasanya suamiku langsung diam. 

Saat itu memang gajiku sudah 5 atau 6 kali lipat gaji Lilik. 

Selalu seperti itu, bertengkar untuk semua hal.

Bila hari sabtu tiba, dimotori oleh mas Arin dan Dea, dibujuk rayuan Vani, biasanya hanya aku dan anak2 yang ke toko buku, kami naik bajaj apabila Lilik melihat kepergian kami, saling bertumpuk2 duduknya, dan kami akan taxi bila Lilik tidak melihat kepergian kami.

Mata2ku ketiga anak2ku, mereka akan mengintip posisi Lilik, apakah sedang mengajar atau tidak.

Kalau sedang mengajar kami baru pergi, sehingga kami bisa bebas naik taxi dan bukannya bajaj.

Bukannya aku takut pada suamiku, aku hanya malas bertengkar dan dinasehati agar hemat, aku juga kasihan bila anak2 ikut2an dimarahi Lilik.

Bila tak ada suamiku, kami biasanya berbelanja buku sebanyak mungkin, sepegal kakiku bisa menunggu anak2 beli buku, lalu kami akan makan sebanyak yang bisa ditelan.

Kusetujui semua permintaan anak2ku. 

Apa peduliku. 

Toh ini uangku.


Sabtu, 6 Nopember 1999.


Hampir 2 minggu lebih aku terserang batuk dan flu berat. 

Aku benar2 lebih sering terkapar ditempat tidur daripada berdiri. 

Tak ada kepedulian dari suamiku.

Bahkan pada hari liburpun kesibukan barunya telah muncul menggangguku. 

Berjam jam di bengkel, kebetulan didekat rumah disimpangan Pondok Cabe sudah ada pusat onderdil mobil dan bengkel2.

Lilik lebih banyak mengelus2 Kijang merahnya yang baru dibeli, mengusap2, memandikannya dan berbicara  berjam2 tentang accesories mobil di bengkel.

Disini, dikamar tidur, aku sendirian, pusing, batuk dan kesakitan tanpa teman. 

Di rumah jl Abdul Muispun dia selalu bersikap sama.

Pulang kerumah hanya untuk ganti baju, ganti celana , makan dan meniduriku.

Tuhan, haruskah aku mengingatkannya bahwa dia punya seorang istri yang labil dan butuh teman bicara? 

Haruskah aku mencari teman bicara karena suamiku tidak bisa diajak bicara?

Lama2 kurasakan Lilik makin tidak memuaskan, lahir batin.

Cepat atau lambat aku akan berteriak kehausan, haus akan kasih sayang, persahabatan dan seks.

Bisakah suamiku mengerti bahwa dia telah berubah banyak sejak kedatangan mobil merah itu?


Saat sakit, saat aku kesepian dan sendirian, dimanakah Lilik?

Dimanakah dia saat aku butuhkan seperti ini?

Perhatiannya hanya sebatas tanya “ayo pergi ke dokter bu, biar bapak antar.”

Atau sebatas membelikan obat, itupun harus disuruh.

Tidak pernah kudengar ucapan penuh perhatian, malah dengan menyakitkan dia bilang “makanya jaga kesehatan. 

Obat sekarang harganya mahal.”

Kalau tidak ada “kegiatan”, kalau nongkrong di bengkel atau ngobrol berjam2 dengan saudara2nya sampai mulutnya berbusa bisa dikategorikan sebagai kegiatan, maka perhatian utamanya adalah mobil, bukan aku atau anak2.

Mana dia tahu si bungsu dicakar sepupunya Alit atau si mas tidak hafal perkalian?

Rasanya capek aku berdoa dan berkeluh kesah padaNYA.  

Entah sampai kapan aku terperangkap dalam situasi ini hanya demi anak2.

Sikap si mas Arin yang cuek, Dea yang bandel, mengingatkanku bahwa mereka akan kesulitan beradaptasi dengan rumah tangga baru orang tuanya, seperti aku dulu

Aku tak ingin hal itu terjadi pada anak2ku, tapi aku juga bosan bertahan seperti ini.

Ya Tuhan, berilah jalan keluar terbaik untukku, untuk anak2ku terutama...


Senin 13 Desember 1999


Aku saat pelatihan OM CSM bertemu kembali dengan Ifkar.

Aku menjauh dan pura2 tidak kenal  karena teringat baju kesayanganku yang disobek Ifkar.


Selepas pelatihan karena belum ada tempat kami dimasukkan ke Tim Booz Allen and Hamilton setelah di tes bahasa Inggris.

Tim Booz ini adalah tim.konsultan yang disewa BNI untuk membenahi struktur organisasinya.

Bekerja di tim seharusnya ada kekompakan tim, sayangnya kekompakan itu tidak ada.

Ada 2 kubu, kubu orang sok pintar dan kubu manusia biasa saja menurutku.

Kubu sok pintar dimotori Ifkar, Sabudin, Susi, dan yang lainnya aku lupa namanya, sementara kubu manusia biasa dimotori Mauren, Nazriah, aku, Nunung, dll. 

Biasanya sepulang jadi agen rahasia, kami selalu menganggap diri sebagai Spy, menyamar ke berbagai bank, kami kembali ke kantor dan menginput hasilnya sampai selesai. 

Esoknya kembali kami menjadi Spy, seperti itu rutinitasnya. 

Kadang diselingi diskusi dan tanya jawab tentang hasilnya. Kuduga si bule tidak mau dibohongi mentah2 tentang hasilnya, mengingat gaya beberapa anggota tim memang bergaya bak penjahat, pakai topi dan kaca mata hitam saat jadi Spy.


Setelah sebulan lebih, tiba2 tim kami dikumpulkan, juga hadir pak Sahala, Jim, dan semua bule anak buahnya Jim. 

Tadinya kukira hanya diskusi biasa tentang hasilnya, ternyata tidak.

Kami ditanyai satu demi satu, karena data hasil inputan kami selama sebulan lebih hilang tak berbekas dikomputer kami yang me link ke komputer Jim.

Ada yang meretas dan sengaja menghilangkannya.

Pak Sahala marah2, dia merasa malu dan kecewa, Jim juga marah2.

Enaknya punya bos bule terasa saat marah seperti ini. Mungkin si Jim mengatai2 kami otak udang, bloon dll tapi kr bukan mother language kami wajarlah kalau kami kira Jim sedang menyanyikan lagu  rap. Hanya dari wajahnya saja kami menebak dia tidak sedang nge rap.

Aku jadi ingat temanku Nuni, istri Yosi sahabat Lilik saat di Depok.

Nuni jadi sekretaris orang Jepang diperusahaan Jepang.

Si Jepang hanya mengerti bahasa Inggris selain Jepang tentunya.

Nuni merdeka dan bahagia sekali saat sedang kesal dengan bosnya, biasanya bila koran Asahi Shimbun terlambat datang dimejanya. 

Dia dengan senyum manis dan membungkukkan badan akan nyerocos dalam bahasa Jawa mengata2i sang bos. “dengkulmu atos. Rai gedeg. Nek aku lanang wis tak pateni kowe. wong lanang kok koyo asu tenan polahe”

Sang bos pun akan menjawab “thank you, arigato “sambil membungkukkan badan kembali.

Saat melihat Jim marah2 entah kenapa aku langsung membayangkan Nuni sedang memaki2 bosnya.

Akhirnya aku, Mauren dan Nazriah menginput ulang semua hasil pekerjaan seluruh tim dilapangan.

Cuma kami bertiga yang mau, yang lain menghindar dengan berbagai2 alasan.

Walau kesal dengan ulah pengkhianat diantara kami, tak urung aku kagum juga dengan kepiawaian sang panjahat anggota tim kami dengan komputer, bisa menjebol komputer canggih si bule.

Seperti ibu2 lazimnya, keahlianku dibidang komputer hanya sebatas copy dan paste saja.

Dari telaah, penerawangan, bisik2 dan track record masa lalu, kami mengerucut pada satu nama, karena konon menurut desas desus saat pembuatan BPP di divisi PMR pun pernah datanya hilang semua dibobol salah satu teman kami satu tim.

Selama 3 hari berturut2 kami bertiga meng input, dan baru berhenti saat sudah jam 10 malam, karena rumah Nazriah jauh di Depok sana, sementara Mauren tidak terlalu mengkhawatirkan kondisinya biarpun harus pulang malam, karena Jim pasti menduga bahkan penjahatnya akan lebih takut dipelototi dan diteriaki Darling oleh Mauren. 

Mauren pasti aman, duga Jim.

Selama kami bertiga kerja lembur, Jim selalu mendampingi dan duduk disebelah kami sampai larut, kadang dia kembali ke Kempinski Hotel tempatnya tinggal dan kembali dengan membawa roti dan ice cream besar, kadang coklat.

Sementara kedua temanku dengan rakus memakan kue, coklat atau ice cream pemberian Jim, aku hanya bisa menelan ludah dan meratapi selera ku yang kampungan, yang tidak doyan roti, ice ceam apalagi coklat.


Kamis 15 Juni 2000


Hari terakhir menjadi counterpart tim Banking Service area core business strategy Booz Allen and Hamilton, hari kuterima piagam.

Kami bertiga, aku, Nazriah dan Mauren mendapat piagam yang isinya memuji2 setinggi langit kinerja kami, sementara itu kudengar ada beberapa orang anggota tim yang oleh Jim tidak diberikan piagam. 

Itu pemimpin yang berkelas menurutku, teguh pada prinsip.

Salut aku pada Jim dan pak Sahala Manik.

Kalau kerja ya dipuji walau hanya selembar piagam, kalau tidak kerja ya tidak usah diberikan piagam.


Jumat 16 Juni 2000


Saat kuterima SK mutasi ku menjadi anggota Tim Mikro Banking sebagai Task Force Member dengan level dan grade sama.

Cuma aku dari tim lama yang masuk tim Mikro Banking ini, semua sisanya menyebar.

Ifkar menjadi pemimpin di luar jawa, aku lupa dimana, Sabudin menjadi wakil di Pangkalan Bun, Nazriah di unit layanan, Nunung menjadi sekretaris, yang lainnya aku lupa penempatannya.

Saat yang sama kudengar teman2ku sudah menjadi kepala bagian, pemimpin cabang, aku malah menjadi anggota tim, warga kelas dua di kantorku.

Aku tidak iri, sepanjang aku di Jakarta aku bahagia.


Senin 19 Juni 2000


Saat pertama kali kulangkahkan kaki memasuki ruangan Tim  Mikro Banking di samping ruangan rapat Divisi PMR.

Ruang pojokan kecil terkesan sempit dipenuhi anggota2 tim yang semuanya mantan pemimpin cabang, kecuali beberapa.

Ada pak Rahman, pak Raharjo, pak Agus, pak Barkin, pak Rasjid, pak Sugeng  dan bu Erry,  semuanya mantan pemimpin. 

Yang bukan pemimpin hanya aku, Murti Purwaningsih, Azazi Hasan, Fernando Pinem, Edi Awaludin dan Arie Dewanto. 

Ruangan sempit rasanya menjadi lega saat kulihat wajah2 anggota timnya lumayan segar dan merangsang imajinasi. 

Azazi Hasan yang  bening tapi terkesan sombong, Arie Dewanto yang bening dan santun dan Barkin Hadikusumo, pemimpin tim ku.

Tim kami dibagi 2 kelompok, satu kelompok dipimpin Agus Ariyanto, satu kelompok lagi dipimpin oleh Barkin Hadikusumo. 

Untung aku dibawah pak Barkin, pria ganteng dan pendiam dengan tulisan “sok keren” terpampang didahinya, untung bukan dibawah kelompok pak Agus, saat itu aku belum menjadi pengagum pria botak, jadi aku bersyukur dibawah kelompok pak Barkin yang berambut lebat.

Perjalanan hidupku yang menjadi aneh, kejatuhan moriil dan materiku, azab dan sengsaraku dimulai saat aku melangkahkan kaki menjadi anggota tim Mikro Banking.

Saat aku mulai bertemu dengan pria itu.

Seandainya saja aku dibawah pimpinan pak Agus Ariyanto mungkin tak akan terjadi musibah ini, karena pak Agus tak menyukaiku dan malah sering meledekku dengan panggilan "gemblung".

Ya, hari kehancuran rumah tanggaku dimulai sejak hari aku melangkahkan kaki dan berada dibawah kepemimpinannya.

Komentar

Postingan Populer