17. AKU DIPANGGIL TEJI. ARRRGHHH
Senin 19 Juni 2000 akan selalu kuingat.
Saat pertama kumasuki ruangan sempit tim Mikro Banking itu aku sangat berharap banyak.
Aku yang sedang haus ilmu berharap mendapat limpahan ilmu agama dari teman2 baruku pegawai muslim yang rata2 sudah bergelar haji atau hajjah.
Azazi Hasan, anak muda yang berkulit putih mengkilat, cowok perlente dan agak sombong itu kerap kupergoki sering menelpon atau menerima telpon dari berbagai wanita berbeda sambil mendesah desah.
Walau Azasi Hasan masih single dan sudah haji tetap saja cap sebagai “bukan sumber ilmu agama” , “berbahaya” sudah kuterakan dikamusku.
Edy atau Edo panggilannya juga kulihat jarang sholat, dan gawatnya dia berteman akrab dengan Azasi. Semua teman2 baruku kulihat rajin sholat, kecuali kedua orang tadi.
Tapi yang nampak soleh dan relijius tentunya pak Rahman dan pak Sugeng.
Aku banyak bertanya pada pak Rahman dan pak Sugeng.
Sayangnya pak Rahman agak cepat emosi sehingga aku tak nyaman saat bertanya2, sementara pak Sugeng selalu sabar namun cerewet menasehati bila ada tindakanku yang keliwatan.
Dengan segera secara sepihak pak Sugeng kujadikan patokan moralku dikantor.
Karena ruangan terlalu sempit tim Mikro Banking dipindahkan ke lantai 32, dibawah ruang makan direksi BNI, ruang luas bekas Habibie Center.
Saat itu proyek Mikro Banking memang proyek anak emasnya Direksi, pimpinannya pun khusus orang2 pintar, pak Barkin Hadikusumo dan pak Agus Ariyanto, yang konon terkenal kepandaiannya.
Jadi saat salah seorang direksi, pak Mohammad Arsyad datang keruangan dan melihat ruangan sempit itu, beliau langsung usulkan agar pindah ruangan. Kupikir seperti lazimnya pemimpin, itu cuma basa basi, ternyata memang betul langsung pindah ke lantai 32.
Dari bisik2 baru kutahu bahwa proyek Mikro Banking itu anak emas nya direksi karena sejak krisis moneter 1998, BNI akan fokus ke ritel dan mikro yang selama ini dikuasai BRI.
Ehmmm......hidungku kembang kempis bangga.
Aku anggota tim Mikro Banking.
Tim yang penting.
Yes ! Yes !
Seperti biasa walau rumahku dekat aku selalu datang pagi, karena aku nebeng suamiku yang mengantarkan anak2ku sekolah, daripada harus naik angkot aku lebih nyaman datang pagi tapi naik mobil pribadi.
Waktu sepi biasa kuisi dengan membaca buku2 roman terbitan Harlequin.
Saat itu aku sedang tergila2 novel Harlequin.
Biasanya saat aku datang, pak Barkin selalu lebih dulu hadir dengan kemeja putih dan dasi gratisan warna biru tua dari BNI.
Walau ganteng dan rapi tapi kesannya murahan dan pelit, kesimpulanku dalam hati melihat penampilan bos baruku.
Pakai dasi gratisan bukankah itu pelit?
Kalau dia di kantor Cabang sih aku masih bisa mentolerir, memang wajib pakai dasi gratisan itu, lha ini kan Jakarta, tempat segala sesuatu dilihat dari penampilan.
Iiihhhhh ....pasti bos ku ini raja pelit seperti suamiku, dugaku.
Sebagai pegawai yang baik aku selalu lebih dulu mengucapkan salam “ selamat pagi pak”.
Dia cuma mengangkat mukanya dan menganggukan kepalanya yang berat itu, lalu melanjutkan membaca buku.
Besok paginya kucoba memberi salam secara islam “assalamualaikum pak”.
Dia cuma mendengus “hmmmm....”, suaranya mirip sapi melenguh ditelingaku, lalu kembali melanjutkan membaca.
Dua kali batas kesopananku, hari ketiga aku tak pernah memberi salam lagi.
Setiap masuk ruangan, aku langsung ke mejaku walau harus melewati kursi tamu tempatnya duduk.
Seminggu berturut2 aku datang tanpa memberi salam, jujur saja aku memang paling malas berbasa basi.
Siapa juga elo, pikirku
Harga diriku walau cuma bawahan terlalu tinggi untuk disepelekan.
Menyakitkan sekali rasanya, bila hanya menjawab salam saja tidak mau.
Bagaimana bawahan bisa menghargai atasan kalau atasan sendiri tidak bisa dihargai sikapnya?
Itu prinsipku sejak dulu.
Dulu saat masih jadi kroco mumet di Wilayah 10 Senayan, aku pernah datang pagi dan sama2 1 lift dengan WPC, Wakil Pemimpin Wilayah 10. Dengan sopan kusapa sang wakil pemimpin yang maha mulia, pak Torang Nainggolan namanya.
“Selamat pagi pak”, pak Torang jangankan menjawab, dia hanya menengok kearahku dan langsung pencet tombol lift.
Apesnya karena mungkin jam berangkatnya sama, aku selalu datang bersamaan dengan pak Torang.
Aku sang kroco mumet enggan dipermalukan dua kali, jadilah aku tetap diam tanpa mengucapkan salam selamat pagi.
Sebulan kemudian secara bergurau pemimpin bagianku pak Nelson bilang “ Rita, kamu kalau ketemu wakil pemimpin gak pernah ucapkan selamat pagi ya?”
“Kata siapa pak?”
“Itu ada wakil pemimpin tanya ‘ itu pegawai wanita anak buah kamu yang anak baru itu gak pernah ucapin selamat pagi kesaya siapa namanya...’, saya langsung tahu pasti kamu, kan yang anak baru perempuan cuma kamu.”
“Tadinya saya ucapkan selamat pagi pak di lift, tapi pak Torangnya gak jawab, ya sudah saya gak ucapin selamat pagi lagi. Kan malu kalau saya ditolak lagi”
Untuk selanjutnya, setiap turun dari mobil, diparkiran aku selalu celingukan, mencari2 mobil dinas pak Torang, kalau pas dia datang aku lebih baik mengalah.
Begitupun saat ini.
Setelah seminggu aku bersikap tak peduli dan tak mau memberi salam, saat aku datang pagi seperti biasa aku langsung duduk dimeja, nyalakan komputerku dan siap2 untuk akses internet mencari berita gosip.
Tiba2, jreng, sang bos berdiri didepanku.
Dia tanya “lho Rita kok sekarang gak pernah ucapin selamat pagi lagi ke saya?”
Wah lugas juga bosku, kupikir.
“Malas pak. Saya dua kali ucapkan salam oleh bapak gak pernah dijawab. Mubazir kan pak suara saya” jawabku sekenanya.
“oooh..” Cuma itu jawabnya, lalu berbalik ke kursinya membaca lagi.
Besok paginya saat aku datang bosku mengucapkan selamat pagi kepadaku.
Sebagai bawahan yang baik walau ucapan selamat paginya diucapkan dengan wajah masam kepadaku aku menjawab dengan sopan.
Kuperhatikan sejak saat itu sang bos selalu mengucapkan selamat pagi lebih dulu kepada setiap pegawai yang baru datang.
Tim Mikro banking yang dibentuk, saat itu, rasanya hanya tempat penampungan atau pembuangan pegawai saja. Sebagian besar penghuni tim ku juga beranggapan seperti itu, biasanya pegawainya sudah sedang diproses kasus atau menunggu diputus, tapi ada juga yang memang belum dapat tempat atau yang hanya menunggu pensiun.
Sejujur nya aku tak tahu pasti, siapa2 saja yang berkasus.
Tapi yang jelas, penempatan bosku pak Barkin sebagai ketua tim ku itu karena dia berkasus, kasus perselingkuhan dengan analis kreditnya, saat dia menjabat pemimpin cabang Gresik.
Sudah kuduga, matanya bukan mata orang baik2, matanya seolah2 “berbicara dan berbinar2” saat melihat wanita, jelek atau cantik, tua atau muda.
Sebetulnya pegawai yang ditempatkan di tim, anak emas atau bukan, itu hanyalah warga negara kelas dua.
Saat itu tim Mikro Banking berada dibawah Divisi Perencaan.
Setiap kebutuhan kantor, kami minta tersendiri ke bagian umum.
Setiap ada kegiatan kami yang di tim jarang diikutkan, seandainya diikutkan biasanya pada detik2 terakhir.
Bukan aku saja yang merasa jadi anggota tim adalah warga negara kelas dua, tapi semuanya juga bicara seperti itu, terutama saat kumpul2 dengan sesama anggota tim.
Seperti biasa aku orang yang paling tak peduli, kelas dua atau kelas berapa, yang penting kerja dan digaji.
Ada tiga wanita di tim Mikro Banking, bu Erry Sutiyarti, aku dan Murti.
Karena bu Erry sudah termasuk bos, jadilah aku dan Murti yang kebagian seksi repot.
Aku saat itu masih Manager, pangkat yg tak pernah naik sejak tahun 1996.
Dari mulai mengantarkan absensi harian yang ditulis tangan, bon barang2 dan lapor kalau ada kerusakan atau aqua habis serta bon mobil kalau ada anggota tim yang ingin keluar kantor.
Bolak balik dari dan ke bagian umum biasanya dilakukan oleh Murti dan aku, aku tidak keberatan...asyikkk bisa cuci mata, pikirku.
Murti senang mendapat tugas itu, aku apalagi, sangat sangat senang.
Bukan aku ingin menyalahkan seseorang kalau akhirnya kisah hidupku jadi amburadul dan jatuh itu karena bu Erry menurutku..
Memang semua berawal dari tantangan2 bu Erry kepadaku.
Dia bilang “ Rit lo kan dari Banten, bisa gak nundukkin pak Barkin. Dia kan play boy Rit.”
“Memangnya untuk apa? Cowok pelit medit gitu.Gak ada kerjaan banget ”
“Gak. Cuma iseng mau tahu saja, hebatan Banten atau Jogja” jawab bu Erry memanas2i.
Aku tak punya ilmu apa2, yang kupunya cuma ilmu kebal saja, itupun boleh beli bukan anugrah.
Bahkan susuk yang dulu dipasangpun sudah dicopot semua sebelum aku mengenakan jilbab tanggal 9 November 1998.
“ Gue gak punya ilmu apa2 mbak. Kita kerjain saja mendingan, gayanya selangit, sok kepinteran, nyebelin banget, seperti yang paling ganteng dan pinter sedunia.”
“Iya kelihatannya sombong banget ya Rit, kayak orang baik2. Padahal semua orang tahu dia play boy. Tapi kalau soal pinter dia memang pinter kok Rit, sudah terkenal se BNI. Dia ambil S2 nya di Amerika. Ilmu agamanya juga kuat kr dia anaknya pendiri Muhamadiah, Ki Bagus Hadikusumo.” kata bu Erry memberi penjelasan sambil ikutan kesal.
Belum lama kami ngerumpi aku dipanggil sang bos.
“Kerjain Rit..ayo kerjain. Buktiin orang Banten lebih hebat dari orang Jogja.” bisik bu Erry sebelum aku pergi.
“Ada apa pak?” tanyaku sopan.
“Ini Rita bisa tolong rautkan pensil saya? Pensil saya sudah pendek” sang bos meminta dengan sopan, yang diucapkan dengan logat jawa medoknya.
Aku mulai emosi.
Sial, capek2 aku kuliah di FHUI cuma disuruh rautkan pensil.
Memangnya dia gak bisa rautkan sendiri apa ?
Aku kan bukan pelayannya.
“Pak, lebih baik bapak saya ajarkan saja merautnya, jadi nanti kalau gak ada saya bapak bisa raut sendiri. Gampang kok pak. Ayo sini saya ajarkan.”
Sang bospun beranjak ketempat rautan pensil besar berwarna biru yang terletak dimeja lain.
“Nih, masukan pensil bapak kelobang ini, terus bapak putar. Jangan berhenti, putar terus. Nanti kalau sudah tajam dia berhenti sendiri kok.” Aku mengajarkan, lalu kutinggal.
Aku tidak bilang pada si bos bahwa diputarnya tidak perlu lama2, asal sudah runcing segera di cabut.
Tiba2 sang bos menghampiri mejaku.” Lho Rit kok pensil saya jadi pendek begini?”Diapun menunjukkan pensil barunya yang tinggal sepotong kecil.
“Kok bisa begitu ya? Bapak putarnya betulkan?” aku pura2 bingung memandangi pensil buntung itu dan balik bertanya.
Seandainya bu Erry tidak tertawa mengakak dan membuka rahasia persekongkolan kami, mungkin tak akan terjadi apa2, aku yakin.
Sang bos pun tidak akan menganggapku kurang ajar dan "perlu diperhatikan" lebih lanjut.
Sialnya bu Erry sambil tertawa bilang “ Wah pak Barkin dikerjain Rita. Dia sengaja pak. Ternyata orang Banten ilmunya lebih tinggi dari orang Jogja”
Kulihat pak Barkin menghampiriku sambil geleng2 kepala, setelah dekat dia berbisik pelan “dasar Teji”.
Aku mangkel dibilang Teji, mentang2 badanku tinggi besar.
Lain sang bos, lain pula pak Agus bos lainnya.
Oleh pak Agus aku malah sering dibilang “cah gemblung”.
Ada apa sih dengan bos2ku, apakah tidak ada julukan yang lebih indah buatku?
Dendamku karena dipanggil Teji makin membara rasanya.
Sayangnya sang bos terlalu santun dan baik untuk dibenci, jadi aku hanya sebatas kesal saja.
Beberapa hari kemudian aku dipanggil lagi, melalui teriakan tentunya, karena kami kedua tim berada disatu ruangan besar tanpa penyekat.
“Ritaaaaa...kesini.”
“Ada apa pak?”
“Ini telponnya kok mati ya? Gak ada suara2?”
Aku pun mengangkat telpon, memang tidak ada dengung nada panggil, berarti memang rusak.
Segera kuputar nomor telpon rumahku setelah beberapa lama akupun bicara dengan udara kosong ditelpon “Hallo Bapak? Ini dari ibu. Gak, cuma mau kasih tahu, nanti jemputnya jam 5 pas ya, ajak anak2 semua, ibu kan hari ini gak masak, kita makan diluar aja. Jangan lupa anak2 suruh mandi dulu. Oke, assalamualaikum.” Kutaruh telpon.
“Itu bisa kok pak. Telponnya gak rusak.” Kataku.
“Oh ya sudah. Terima kasih ya.” Dia menjawab sambil memandangi telpon.
Akupun kembali ke meja sambil menahan tawa.
Kuceritakan pada bu Erry dan teman yang lainnya.
Beberapa lama kemudian aku dipanggil lagi.
“Lho kok ini rusak lagi telponnya Rita?”
Bu Erry tak bisa menahan tawa melihat mimik wajah sang bos penuh tanya saat mengucapkannya.
“ha ha ha ha...pak Barkin dikerjain lagi sama Rita. Telponnya memang mati pak.”
Bu Erry memang ember, padahal sudah kuwanti wanti agar jangan buka rahasia dulu.
Sang bos menghampiriku.
Buru2 sebelum dimarahi aku berkilah “ habis bapak telpon rusak lapornya ke saya, memang saya teknisi. Kan bapak punya extension bagian umum, lapor saja langsung pak”
Sang bos tak jadi marah, dia segera kembali kemejanya sambil geleng2 kepala.
Cuma kusadari sejak saat itu, dia memperhatikanku, memperhatikan punggung dan bokongku sih sebenarnya, karena dudukku agak membelakangi dia.
Kalau tidak ada orang dia kerap memanggil namaku dengan Teji, bukan Rita.
Buatku itu panggilan menghina pastinya karena terkait dengan tubuhku yang tinggi besar.
Saat makan siang, biasanya aku makan didalam ruangan, jarang keluar, aku memang paling anti kena matahari.
Aku hanya menyuruh petugas cleaning service bernama Iwan yang rajin dan jujurnya selangit.
Makanan pesananku terbatas karena memang tidak doyan daging dan ayam. Jadi biasanya aku membeli gado2, ketoprak, nasi dan kembung bakar, atau nasi dan udang. Itu saja yang selalu kupesan, dari itu ke itu.
Sang bos mulai ikut2an memesan makanan dan makan bersama aku dan Murti, padahal biasanya dia makan diluar.
Kalau sang bos memesan makanan yang ada kerupuknya, karena aku suka kerupuk biasanya aku suka bilang “pak, bapak kan sudah tua, nanti batuk kalau makan kerupuk. Kerupuknya buat saya saja ya pak, saya sayang sama bapak, kalau batuk nanti gimana?” sambil kuambil semua kerupuk tanpa menunggu persetujuannya.
Tentu saja itu cuma main2 kok.
Besok2nya mungkin daripada dibilang tua sang bos selalu menyingkirkan semua kerupuk dipiringnya dan diberikan kepadaku.
Hampir setiap hari sang bos ikut makan bersama kami, kecuali hari jumat karena sesudah sholat jumat dia langsung makan diluar.
Pernah sang bos saat makan bertanya “kamu kok pesan makannya itu2 saja?”
Sambil lalu kujawab “gak doyan makan macam2 pak. Lagian suami saya kasih uangnya cuma rp. 20 ribu buat makan.”
Mulailah tanpa kusadari bila sang bos bepergian dia selalu membawakan oleh2, tapi bukan cuma buat aku, dia juga bawa buat Murti.
Kukira tadinya dia malah naksir Murti, karena Murti kan saat itu masih single.
Kamar mandi dan kamar rias Mikro Banking menjadi satu untuk pria dan wanita.
Pernah saat aku sedang habis ambil air wudhu sang bos masuk.
Hari itu dia terlihat rapi dimataku.
Baju putih atau kotak2nya berganti dengan kemeja biru lengan panjang.
Aku suka melihat laki2 memakai kemeja warna biru.
Suamiku mempunyai kemeja warna biru sampai beberapa buah.
Seperti biasanya aku berkomentar “ wah pak Barkin hari ini keren banget. Cocok pak kemejanya. Kalau begini terus saya bisa jatuh cinta sama bapak” sambil tertawa jahil akupun berlalu.
Rupanya sang play boy menganggapku serius dengan pernyataanku.
Dia sms ke HP ku “Teji serius?” Giliran aku yang bingung apa maksud SMSnya. Kudiamkan saja sampai berhari2 tak pernah kujawab.
Aku memang suka bercanda, kadang cerita2 kami sesama teman di tim suka menyerempet2 yang porno2, apalagi mayoritas kami laki2 semua.
Aku terbiasa berkata terus terang, itu mungkin kejelekanku.
Aku ingat dulu di Wilayah Senayan, teman2 dekatku bila berganti model rambut atau kacamata selalu meminta komentarku, padahal bila berkomentar aku selalu apa adanya.
Kalau jelek ya dibilang jelek, kalau bagus ya dibilang bagus.
Kurnia Amuntayani, Nia panggilannya, temanku itu bilang”Mbak Rita komentarnya memang nyelekit sih, tapi jujur. Kalau gak cocok ya bilang gak cocok. Lebih bagus begitu mbak.” Buru2 Nia menambahkan, mungkin takut aku tersinggung “ Saya sih sukanya yang seperti itu mbak.”
Kalau semua pujianku dianggap merayu atau jatuh cinta bisa2 dunia kiamat buatku.
Memangnya aku secantik apa? Aku juga tahu diri, usiaku sudah 40 tahun, gak mungkin menarik lagi.
Toh saat teman2ku tidak dalam kondisi bagus, entah kumal atau murung aku juga selalu berkomentar atau menegur, biasanya Arie yang selalu berwajah ngantuk yang kena teguranku “Kok kucel amat Ri, kayak orang kurang tidur? Biar kamu gantengnya selangit, kalau kucel gitu pasti nilainya kurang Ri.”
“ iya ini mbak, aku pacarannya terlalu malam habis dari luar kota, jadi masih ngantuk.”
Karena dianggap tua, aku kerap jadi pusat curhatan Azasi atau Arie.
Aku juga heran kenapa mereka tidak curhat ke bu Erry yang jelas2 lebih tua dariku, tapi malah curhat ke aku.
Sementara Murti walau dekat tapi tidak pernah curhat, walau suka ceplas ceplos dia agak tertutup.
Aku menyesali mulut emberku, menganggap semua orang temanku, sama2 guyon, padahal tidak semua orang suka guyon seperti itu.
Semua yang terjadi dikantor selalu kubicarakan dengan suamiku, semuanya.
Jadi Lilik tahu pasti sikapku terhadap teman2ku.
"Awas jangan sampai jatuh cinta sama pak Barkin." Lilik menasehatiku.
"Gak mungkinlah. Dia kan pelit. Dasinya saja yg gratisan. Masak dari orang pelit ke orang pelit lagi." jawabku asal2an.
Ada satu pendatang baru masuk ke tim Mikro Banking, namanya Sugiarto, biasa dipanggil Toto.
Karena keluarganya jauh di Sumatra, sama dengan pak Raharjo yang keluarganya juga nun jauh di Jogja, jadilah kedua pria itu bahan omprengan aku dan Murti bila hendak jalan2, siang atau malam.
Pernah kami, aku, Murti dan pak Raharjo berburu TV bekas ke Ancol.
Ternyata barang2 elektronik bekas dari luar negeri yang di impor oleh Indonesia, bukan cuma baju bekas.
Dalam 1 gudang besar dan luas, pembeli dipersilahkan memilih barang2 elektronik bekas, tawar menawar harga, lalu nanti diperbaiki menjadi baru oleh mereka baru dikirim ke pembeli.
Dari mulai TV, kulkas sampai kipas angin.
Lain waktu kami juga sempat mencari mobil bekas untuk Murti.
Dia ingin Toyota Starlet.
Jadilah kami keliling2 Jakarta mencari Starlet sampai ke Rawamangun segala, untungnya aku pernah kuliah di Rawamangun, jadi tahu daerah Rawamangun.
Aku sering jalan bareng dengan Murti.
Bila bepergian berdua dengan Murti, dia selalu menjadi sensorku.
Bila ingin masuk lift di mall, Murti biasanya masuk lebih dulu, kalau lift nya bau ketiak, Murti akan keluar lagi, tapi kalau lift nya tidak bau ketiak biasanya dia akan memberi kode “ ayo masuk mbak, masih cukup kok” sambil cengengesan, seolah2 aku sebesar ikan Paus sehingga tak muat di lift.
Bila saat sholat tiba dan aku masih duduk di bangku, pak Sugeng akan memarahiku, ”Rita, ayo sholat dulu, nanti kerjaannya dilanjutkan lagi."
Kami punya ruang mushola tersendiri.
Biasanya yang jadi imam sholat adalah pak Barkin atau Pak Sugeng. Kadang pak Rasyid.
Tapi kalau imamnya pak Rasyid aku jarang mau, karena pak Rasyid saat berbicara susah dimengerti, logat madura nya sangat kental, aku khawatir saat jadi imam pengucapan doanya tak dimengerti malaikat.
Jadilah imam sholatku kalau tidak sang bos pasti pak Sugeng.
Pernah saat sang bos jadi imam, selesai sholat aku bilang “pak, maaf deh, tadi saat sholat dhuhur kok 5 rakaat ya? Bapak lupa ya? Memang kalau sudah tua suka lupa pak. Ayah saya juga suka lupa rakaat”
Kutinggalkan sang bos sambil berdoa mudah2an sang bos tidak lupa lagi.
Saat sholat ashar dan sang bos jadi imam kembali, sebelum sholat aku pesan wanti2 “Pak nanti sholat ashar 4 rakaat, jangan dilebihin seperti tadi ya.”
Aku tak tahu kalau sikapku dianggap kurang ajar oleh sang bos dan perlu ditundukkan.
Kelak aku baru tahu kalau sang bos merasa tertantang karena dianggap sudah tua olehku.
Memangnya mengingatkan rakaat yang lebih itu salah?
Besoknya mulai berdatangan puisi2 yang tak bermutu menurutku sebagai penggemar puisi.
Cuma di sepotong kertas, dengan tulisan tangan yang meliuk2 indah, sayangnya puisi yang kubaca tak menarik.
Kadang juga coret2an sketsa wajahku, yang menurutku sih gak mirip banget.
Setelah kubaca, potongan kertas itu kubawa pulang dan kutunjukkan pada suamiku “nih ibu dapat puisi dari penggemar ibu. Makanya bapak harus lebih sayang ya?!” ucapku manja.
Saat kusebutkan nama si pengirim puisi, suamiku malah bertanya tak yakin “ibu yakin ini tulisannya pak Barkin? Kan gak ada namanya? Lagian dia kan ganteng bu, masak mau sama ibu sih?”
Aku benar2 down mendengar komentar suamiku.
Jadi suamiku sendiri menganggapku jelek?
Rasanya ini tantangan buatku.
Jawaban yang salah, menjadi tantangan akhirnya.
Komentar
Posting Komentar