9. HADIRNYA SI BUNGSU .....


Aku tak pernah ingin punya 3 anak, terlalu banyak buatku, apalagi sebagai pengagum semboyan Keluarga Berencana “2 anak saja cukup” aku selalu menginginkan 2 anak saja. 
Pikiran kotorku berencana, bila terjadi apa2 dengan pernikahanku, maka masing2 akan mendapat 1 orang anak, untukku dan untuk suamiku. Pembagian yang adil.
Tapi karena dengan 2 anak yang kumilikipun aku serasa masih pengantin baru karena anak2 jarang ada dirumah dan kerap diajak kerumah mertuaku, akhirnya aku setuju menambah 1 anak lagi, setelah itu aku  ingin di tubektomi atau di steril saja. Sayangnya cita2 hanya tinggal cita2.

Saat itu aku masih tinggal di Depok. 
Sore itu suamiku pulang dengan wajah sumringah. Dapat uang banyak? Aku bertanya2 dalam hati.
Ternyata  suamiku dibelikan sebidang tanah seukuran 410 m2 di Pondok Cabe, tepat disebelah rumah kakak sulungnya.
Saat itupun aku sudah merasa tidak percaya, masak sih ibu mertuaku setuju memberikan suamiku tanah? Bukannya dia tidak suka aku? 
“Bapak yakin dikasih tanah bukannya disuruh beli?”
“Yakin bu. Benar kok bapak dikasih nyokap. Nyokap bilang buat nemanin mbak Susi karena dia kan sendirian di Pondok Cabe. Mbak Nuni juga dikasih tanah luasnya sama 410 m2.”
“Ibu kok gak yakin pak. Jangan2 kita disuruh beli. Kita kan gak butuh tanah pak. Seandainya kita beli tanahpun kalau bisa jangan dekat2 saudara, nanti jadi suka ribut.”
“Bapak gak sangka ternyata sikap ibu seperti  ini sama keluarga bapak. Keluarga bapak sudah baik selama ini dengan ibu, kenapa sih ibu gak bisa berubah? Curiga terus sama keluarga bapak.”
Apa? Curiga?
 Jadi dia pikir selama ini aku halusinasi  mendengar ibunya berbisik2 padaku dan bilang aku cuma anak supir yang gak sebanding dengan keluarganya? 
Aku cuma mimpi kalau aku beberapa kali dinasehati agar berpisah saja dr Lilik? 
Suamiku jarang marah dan ketus seperti itu. 
Aku tak tega memadamkan kebahagiaan dari wajahnya.
“ya terserah bapak sajalah. Asal jangan beli ya, kalau dikasih sih ibu setuju2 saja namanya juga dikasih.”
Saat tanda tangan pembelian tanah aku tak pernah tahu, harganya pun aku tak tahu pasti, kalau tidak salah rp. 53 atau 56  juta. Yang kuyakin semuanya berjalan lancar, karena wajah suamiku selalu berseri seri. Aku tak tahu karena aku tidak ikut ke notaris.
Kupikir suasana damai2 saja.
Saat aku kerumah mertuaku, tiba2 saja ibu mertua bilang “ rumahnya di Depok sudah ditawarin belum Rita? Mau dijual berapa memangnya?”
Aku gelagapan. 
Tak pernah terbersit dalam pikiran untuk menjual rumahku, rumah yang ku cat sendiri daun jendela dan pintunya, rumah yang penuh keringatku dan suamiku.
“Kalau gak buru2 dijual ibu rugi dong. Kalau uangnya ibu taruh di Bank sudah berbunga berapa itu ?”
“Oh saya gak tahu bu. Itu urusannya mas Lilik.” Kulempar semua masalah ke suamiku, toh dia yang menerima tanahnya bukan aku.
“Cepat2lah dijual. Gak usah mahal2 biar cepat laku.”
Sesampainya dirumah, pertengkaranpun meledak. 
Suamiku bilang dia baru tahu kalau ternyata tanah itu bukan diberikan gratis oleh ibunya tapi cuma ditalangi saja, pembayarannya dari hasil penjualan rumah di Depok.
Aku menangis sejadi2nya. 
Menangisi kebodohan suamiku dan kelicikan ibu mertuaku.
Aku sudah kerasan tinggal di Depok dengan banyaknya fasilitas dari mulai kolam renang, puskesmas dan toko2.
Rencanaku dan suamiku semula adalah anak2 harus kuliah di UI. Kami memang UI minded.
Kelak mereka tinggal jalan kaki ke kampus karena jaraknya dekat rumah.
Untuk apa aku pindah ke Pondok Cabe? 
Lokasinya sepi ditengah padang rumput, jauh dari kantorku di Senayan, jauh dari rumah orang tuaku di Cilodong. 
Pokoknya Pondok Cabe menurutku macet dan jauh dari peradaban dunia.
Mimpiku buyar, bahkan setitik  harapan yang kupunya dan kudoakan agar mudah2an ibu mertuaku akan berubah dan hubunganku menjadi baik, sekarang perlahan tapi pasti menghilang.
Aku terperangkap, suamiku kurasa juga merasa terjebak.

Aku mempunyai rencana tersendiri. Dengan terpaksa dan ogah2an kupasarkan rumahku.
Saat itu anak sulungku sudah disekolahkan di SD Bakti Mulia 400 di Pondok Indah, sekolah mewah yang muridnya sepenuhnya adalah anak2 orang kaya.
Saat pertama kali dengar anakku disekolahkan disitu memang ada rasa bangga ternyata anakku benar2 disayang kakek neneknya dan disekolahkan di sekolah elite, ada rasa sedih juga kenapa bukan kami orang tuanya yang menyekolahkan anakku, tapi aku tidak sepenuhnya menolak saat suamiku memaksa agar Arin tinggal dengan mertuaku dan sekolah disana.
Kupikir itu bisa merubah sikap ibu mertuaku sehingga bisa menerimaku.
Aku dan suamiku hanya mampu membayar uang SPP Arin dengan tidak teratur saking mahalnya uang SPP tsb, akhirnya jelas, selalu ditomboki oleh mertuaku.
Aku ingin anakku disekolahkan di Depok, itu rencanaku. 
Diam2 kudatangi sekolah anakku. 
Aku hanya bisa datang saat pengantarnya, biasanya saudara iparku, sudah pergi.
Sekolah berpintu gerbang besi itu tidak bisa sembarang dimasuki.
Saat aku celingukan mencari2 anakku, aku tak tahu kelasnya memang, tiba2 aku ditanya2 Satpam dan akhirnya diajak kekantor kepala sekolahnya. Rupanya aku dicurigai sebagai penculik anak.
KTP ku diminta. 
Untung di KTP ku sudah tercantum gelarku, lumayan bergigi untuk menakut2i Satpam. Aku bilang bahwa aku ingin bertemu dengan anakku Rintoadi Putrojati, masih tak percaya anakku dipanggil, ceritaku di konfrontir, syukurlah, walau jarang bertemu, anakku tetap lari menghampiriku dan memanggilku ibu.
KTP ku dikembalikan. Setelah bercerita sedikit, aku dibolehkan mendampingi anakku.
Jadilah setiap sabtu aku menjenguk anakku tanpa setahu siapapun. 
Pelan2 kuraih kembali anak sulungku.

Perkembangan suasana ternyata tidak berpihak kepadaku.
Setiap kali bertemu, saat sepi atau saat ramai, ibu mertuaku selalu menyindirku agar buru2 menjual rumahku. Berkali2 dia mengingatkan besarnya bunga yang seharusnya dia terima bila uang tsb ditaruh di Bank.
Tiba2 ada kabar duka menyeruak. Adik iparku, Har, yang saat itu tinggal di Pondok Bahar Tanggerang, pembantunya bunuh diri minum Baygon. 
Dia berencana pindah dari rumahnya dan tinggal di Pondok Cabe.
Akhirnya disepakati bahwa Lilik mengurangi bagian tanahnya 100 m2, dan mbak Nuni juga 100 m2. Pemecahan sertifikat dibiayai oleh adik iparku yang bekerja di BPN secara gratis.
Kembali aku tak tahu menahu. Aku tahu setelah semuanya terjadi.
Seandainya dari awal aku tahu, aku lebih memilih menyerahkan tanah itu seutuhnya untuk adik iparku, toh belum dibayar.
Aku bisa tinggal dengan tenang di Depok seperti mimpiku.
Lilik tak bercerita apa2 sampai saat akhirnya rumah Depok itu laku seharga 98 juta, dan aku terheran2 karena saat membangun tanah di Pondok Cabe kapling tanah ternyata di bagi 3.
Pembangunan rumah di Pondok Cabe dilakukan serentak, 3 rumah sekaligus dengan biaya masing2. 
Rumah kami, rumah Har dan mbak Nuni.
Untuk sementara aku sekeluarga menumpang tinggal dirumah mbak Susi, disebelah rumah yang sedang dibangun sambil mengawasi pembangunan rumah.
Seperti dugaanku, bila dekat saudara malah akan menimbulkan bibit2 permusuhan ternyata benar.
Bermula saat  malam2 adik iparku membakar sampah di pohon kelapa yang baru kubeli dan kutanam. Pohon kelapaku terbakar, untung aku masih belum tidur.
Jangan sentuh tanamanku, itu mottoku sejak dulu sebagai pecinta tanaman.
Belum lagi adanya kecurigaan adik iparku terhadap suamiku, bahwa suamiku korupsi uang pembangunan rumahnya.
Aku benar2 marah. 
Sejak awal sudah kularang suamiku ikut campur dalam pembangunan rumah yang lain. Tapi karena pada dasarnya suamiku baik, ditambah lagi hobbynya adalah selalu tentang rumah, dia tidak bisa kularang. Alasannya  sangat telak  “bapak kan yang paling punya banyak waktu luang. Apa salahnya membantu saudara sekedar mengawasi, mereka juga kan baik dengan anak2 kita?”
Alasan yang tidak bisa kubantah. 
Tapi aku selalu punya naluri, berkaitan dengan uang, jangan pernah ikut campur.
Saat itu sempat ribut besar. 
Suamiku yang tidak pernah marahpun rupanya sakit hati dituduh korup.
Saat itu bahkan sampai saat ini, aku berani bersumpah bahwa dia  orang yang lurus.
Dia memang tidak pernah sholat dan berzakat. 
Tapi aturan moralnya jelas seperti buku yang terbuka: jangan mengambil milik orang lain !
Pertengkaran akhirnya dilerai, kami disidang oleh keluarga suami.
Kami didamaikan, tapi sakit hatiku tetap ada.
Sejak lama memang apabila terjadi satu masalah, kami biasa disidang, ngobrol2 sesama keluarga, dan diambil keputusan, tentu saja setelah dinasehati orang tuanya.

Saat rumah di Pondok Cabe itu jadi, karena kekurangan uang kembali aku pinjam dari kantor. 
Segala macam pinjaman kuambil sampai segala fasilitas yang ada tak bisa lagi kuambil.
Saat rumah selesai, aku sempat terpana. 
Rumahku benar2 terlihat mewah.
Suamiku memang pintar mendesign rumah serta ruangan2 didalamnya.
Rumahku di Depok dengan segala keterbatasan biaya tetap terlihat unik dan indah, tapi tetap saja  tidak sebanding dengan rumah di Pondok Cabe ini.
Bangunan rumah seluas 220 m2 diatas tanah seluas 310 m, bertingkat 2 dan berkamar 5 serta berkamar mandi 2 dengan sisa tanah cukup luas untuk berkebun, kurang lebih masih tersisa 200 m2, depan dan belakang.
Dengan penuh nafsu kutanami 5 buah pohon kelapa, 1 pohon durian, 2 pohon rambutan, 1 pohon melinjo dan 1 pohon nangka. Sisanya kutanami rumput dan bunga2an serta tebing buatan berisi air mancur.
Dari luar rumahku terlihat yang termewah, padahal isinya kosong dan diisi hanya barang2 biasa.
Tak heran selama tinggal di Pondok Cabe rumahku kerap didatangi maling dan penipu sampai berkali2, sementara ke 4 rumah lainnya tidak pernah kemalingan.
Pernah dua minggu berturut2 rumahku dimasuki maling. 
Kurasa sang maling pasti kecewa melihat isi rumahku kosong melompong.
Penipu juga pernah datang menipu pembantuku. 
Pertama kali pura2 disuruh mengambil tabung gas kosong, katanya sudah langganan.
Yang kedua kali mengaku dari kantor disuruh mengambil komputer dan printer.
Dalam setahun pernah sampai 5 kali rumahku disambangi pencuri, padahal pagar tembok belakang sudah kutambah tingginya menjadi hampir 3 meter, ditambah kawat berduri dan pecahan beling serta alarm dan lampu sorot.
Saat itu aku dan suamiku sholat hanya saat hari raya. 
Zakat yang dibayar pun hanya zakat fitrah.
Kami berdua sama2 tak mengerti agama.
Kalau dulu kami dekat dengan agama pasti aku langsung tahu bahwa hal itu terjadi karena kami tak pernah berzakat selain zakat fitrah.
Pernah saat itu 2 hari menjelang hari raya Iedul Fitri aku dan suamiku belanja pernik2 untuk lebaran dari mulai baju sampai sepatu dan makanan2. 
Karena terlalu lelah, tas2 belanja kutaruh diruang makan. Esok paginya saat aku bangun, ruang makan yang tadinya penuh dengan tas2 belanja bersih sebersih2nya. Yang ada malah piring dan gelas bekas makan si pencuri, se olah2 mentertawakanku, "tolong cuci bersih ya, terima kasih sudah dikasih baju lebaran.”
Untung masih ada 1 hari lagi, buru2 kami belanja lebaran semampu kami. 
Selamatlah,  anak2  bisa  pakai baju lebaran akhirnya.

23 Juni 1994, anakku yang bungsu lahir.
Kuberi nama Langen Ayu Vanya, si cantik anugerah kesayanganku artinya.
Putih, botak dan alhamdulilah berhidung mancung.
Seperti kakak2nya si bungsu juga dilahirkan di RS YPK di Menteng, ditangani oleh Dr. Nadir Chan, juga dengan cara yang sama, di vacuum seperti kakak2nya.
Dari semula dia masih muda dan kepalanya masih berambut lebat sampai mulai agak botak, aku selalu konsultasi ke Dr. Nadir Chan. Aku suka berobat di RS YPK.
RS YPK  saat kulihat suster2nya tidak judes dan perhatian dengan pasien.
Yang terpenting mungkin karena disana aku banyak bertemu dengan artis2 terkenal yang akan melahirkan. 
Hebatnya aku, setiap bertemu dengan wanita cantik dan keren, naluriku bilang bahwa itu artis pasti. Masalahnya aku pelupa, aku lupa nama sang artis.
Pernah saat aku sedang jalan2 dengan temanku di Ratu Plaza, saat itu Ratu Plaza terkenal dan “wah” karena dianggap pertokoan mewah. 
Saat sedang jalan disana entah mau beli apa aku lupa, aku bertemu dengan MH istri penyanyi rock I.
Sambil menelengkan kepala aku berpikir “nih pasti artis, cantik dan keren, tapi siapa ya?”
Apesnya MH karena merasa dipandangi dia tidak nyaman mungkin. 
Dia bilang “ Maaf ya saya tidak mau tanda tangan.Saya tidak mau diganggu.”
Aku bingung dan langsung merasa seperti orang bodoh dikatakan seperti itu, belum lagi orang2 jadi memandangiku. Sampai sang artis berlalu, aku masih belum tahu namanya.
Beberapa hari kemudian, kulihat wajahnya dikoran. 
Sejak saat itu setiap mendengar namanya aku merubah diri jadi tuli dan buta 100 %.
Sama2 berbaring dengan Soraya Perucha saat menunggu kelahiran Arin, atau dengan Camelia Malik saat melahirkan Dea membuat semangatku berkobar. 
Aku harus lebih kuat dari mereka.
Aku berusaha kuat walau akhirnya kalah dan divacuum.
Kalimat pertama yang kutanyakan pada Dr. Nadir Chan setelah melahirkan adalah bukan “anak saya cacat gak dok?”  tapi  “anak saya putih gak dok? Hidungnya mancung gak dok?”.
Selalu itu, sampai sang dokter merasa aneh, karena pertanyaanku berbeda dengan ibu2 yang lain.
Tentu saja Dr. Nadir Chan tidak akan mengerti betapa aku takut anakku berkulit hitam seperti bapaknya dan berhidung pesek seperti aku.

Saat pertama kali melihat wajah putri bungsuku aku sempat merasa shock dan dihantui almarhum pak Husodo temanku sewaktu di unit Administrasi Kredit. 
Laki2 baik dan santun yang selalu mau membantuku mencari surat2 di ruang arsip. 
Selain pak Sitinjak hanya pak Husodo yang rajin membantuku. 
Wajahnya si bungsu mirip sekali dengan wajah almarhum pak Husodo.
Aku sempat tak berani menggendongnya karena ketakutan, tapi untungnya suamiku membesarkan hatiku “ gak ada mirip2nya kok. Dia mirip ibu putihnya, hidungnya mirip bapak. Kalau botak kan semua anak bayi pasti botak, gak semua anak bayi seperti Dea sudah lebat rambutnya.”
Kebetulan suamiku kenal dengan pak Husodo. Tentu saja dia tidak bakal mencurigaiku, pak Husodo kan sudah berumur dan bukam typeku.
Saat itu dikantor, aku dari lantai 1 ingin naik ke lantai 4. Seperti biasa aku jalan sambil asyik membaca dokumen yang kubawa. Rupanya pak Husodo juga berbuat sama saat keluar dari lift.
Kepala kami bertumbukan, kebetulan tingginya sama denganku.
Astagfirulloaladzim, aku kaget sejadi2nya sampai lupa bilang amit2 jabang bayi. 
Bukannya wajahnya pak Husodo buruk, tapi aneh saja kalau wajah bayiku berbeda lagi dengan wajahku atau suamiku.
Selama beberapa hari aku terbayang2 wajah pak Husodo, bahkan selama berbulan2 menjelang melahirkan aku merasa khawatir anakku mirip dengan pak Husodo.  
Tapi saat kuceritakan pada suamiku, dia malah bilang itu takhayul.
Ternyata keajaiban itu terjadi. 
Wajah anakku sangat mirip dengan wajah pak Husodo.
Untungnya makin besar wajahnya tak lagi mirip, dia lebih mirip bapaknya dengan kulit putih.

Saat putri bungsuku hadir, kedua kakaknya sedang diajak jalan2 ke Ciater, jadi mereka tidak menyaksikan adiknya lahir.
Kelahiran putri bungsuku merupakan kado terindah untukku. Dia milikku seutuhnya. 
Tak akan pernah kupinjamkan kepada siapapun walau cuma sehari.
Kedatangan malaikat kecilku membuka pintu rejekiku seperti turun dari langit.
Pindah kerumah baru, mobil2 baru, juga tabungan yang makin banyak. 
Sayangnya ada 1 kerikil lagi dalam hubunganku dengan ibu mertua.
Aku punya pembantu bernama Erna. 
Susah payah kuajari dia masak,tentu saja hanya teori yang kubaca dari buku, saat dia sudah begitu pintar, dia dibajak ibu mertuaku dan bekerja dirumah kakak iparku. 
Sesuai pengakuan Erna, saat dia pulang kampung, dia diberi tahu ibu mertuaku agar tidak usah bekerja lagi dirumahku, tapi dirumah kakak iparku dengan gaji lebih tinggi.
Pengakuan Erna didorong rasa bersalah dan baru kudengar saat aku sudah bercerai.
Selama ini pindahnya Erna selalu menjadi teka teki untukku dan suamiku, kenapa Erna seolah2 sengaja tidak buru2 pulang sehingga aku keburu dapat pembantu baru.
Sakit rasanya melihat pembantuku dibajak mentah2.
Kali kedua aku punya pembantu sepasang suami istri, pak Tardi namanya. Sang istri jadi pembantu sementara sang suami mengurus kebunku.
Mereka dibajak pula. 
Saat aku menerima surat permintaan maaf dari pembantuku, hatiku sakit sesakit2nya.
Aku punya 3 anak yang masih kecil2, sementara kakak iparku belum punya anak.
Betapa teganya mengorbankan anak2ku yang masih kecil2 demi kepentingan kakak iparku.
Aku tak tahu apakah kakak iparku tahu soal bajak membajak ini, tapi orang bodohpun pasti akan merasa aneh bila pembantu adiknya tiba2 beralih ke dia sementara adiknya masih kesulitan mencari pembantu.
Keluhanku soal pembantu hanya ditanggapi dingin oleh suamiku.
Memang setiap amarahku tak pernah bertahan lama karena suamiku tidak pernah menanggapiku.
Ini sakit yang sesakit2nya buatku.

Sakit karena pembantuku dibajak padahal aku butuh untuk mengurusi 3 anak2ku yang masih kecil2, sakit karena suamiku pura2 buta tuli melihat pembantuku dibajak.
Aku merasa sendiri, betul2 sendirian. Makin jauh rasanya hatiku untuk meraih kembali hati Lilik. 

Sudah banyak pertanda dari Tuhan bahwa pernikahanku akan berakhir, tapi aku membutakan diri.
Saat sang play boy tiba2 menelponku dan mengaku bernama Andi, aku kaget.
Ternyata dia melacak jejakku selama 4 tahun ini. 
Dia selalu bertanya adakah yang kenal Rita disetiap kantor Cabang yang dia datangi.
Aku merasa tersanjung juga dicari2 seorang play boy.
Aku sudah mempunyai 3 anak. 
Saat itu.aku di bagian pemeriksa internal.
Untuk menghindari hal2 lama, kuajak temanku Elly untuk menemaniku makan di restoran di musium Satria Mandala di jl Gatot Subroto.
Matanya masih memancarkan kerinduan, tapi mataku malah memancarkan kegalauan.
Ingin aku bercerita banyak, untungnya kehadiran temannya dan temanku menghalangi tindakanku.
Kami berpisah baik2 tanpa janji temu.
Siapa peduli, pikirku.
Yang kupikirkan adalah kelangsungan pernikahanku.
Aku tak nyaman dengan suamiku lagi.
Terlalu banyak tindakan2 ibu mertuaku yang membuatku yakin, kami pasti berpisah.
Perlahan tapi pasti ibu mertuaku menimbulkan kembali rasa tidak aman dan tidak nyamanku.
Aku bukan pemaaf. Aku seorang pendendam.
Kucoba mengalihkan rasa sakitku pada putri  bungsuku. 
Rasanya dunia hanya milik kami berdua. 
Arin dan Dea sudah setengah langkah berada dikeluarga suamiku. Hanya putri bungsuku saja yang selalu menemaniku dirumah saat aku libur.
Kadang aku bercerita tentang semua perlakuan yang kuterima, betapa sulitnya menyesuaikan diri pada keluarga borjuis ini, betapa besarnya jurang keluargaku dan keluarga suamiku, betapa sakitnya hati ini. Putri bungsuku mendengarkan semua ceritaku, dengan air liur mengalir dan suara “ auuuu....auuuu”  setiap aku bercerita, seolah2 menjawab “ aku tahu ibu, aku tahu..”
Cuma aku dan putri bungsuku serta para pembantu yang ada dirumah.
Arin, Dea dan suamiku saat2 libur jarang berada dirumah. Butuh usaha sangat keras menyuruh kedua anak2ku dan suamiku untuk tetap dirumah.
Saat itu tahun 1995, 8 tahun usia pernikahan kami, tapi orang tua kedua belah pihak masih tidak saling kenal.
Aku sudah berhenti berharap.
Aneh tapi nyata, inilah pernikahanku.

Komentar

Postingan Populer