7. SI CANTIK AKHIRNYA HADIR ....
29 Juni 1991 putri cantikku hadir kedunia kejam ini.
Bayi cantikku kuberi nama Lintang Ayu Kencana.
Lintang, karena saat aku duduk2 diteras menunggu Lilik pulang kantor, kulihat bintang jatuh.
Buru2 kuucapkan keinginanku agar anakku yang lahir pintar sepintar2nya.
Aku lupa meminta agar bila wanita, bayiku kelak dikaruniai tubuh langsing.
Saat kehamilanku memasuki usia 9 bulan bayiku masih dalam keadaan melintang, posisi tangan dibawah.
Akhirnya detik2 terakhir, oleh Dr. Nadir Chan perutku di putar atau entah diapakan agar posisi bayinya normal.
Syukurlah detik2 terakhir posisi bayiku menjadi normal.
Kembali aku melahirkan dengan di Vacuum karena sudah tak kuat mengejan.
Dengan yakin kuberi nama dia Lintang.
Tadinya aku ingin memberi nama Larania Kenanga, karena dia adalah kenangan yang menyakitkan.
Tapi aku berubah pikiran karena khawatir kelak dia akan selalu dipenuhi kenangan menyakitkan.
Bayi mungil bulat berambut lebat, bermata bulat beralis tebal berbulu mata hitam lentik itu punyaku.
Aku bahagia tapi juga panik saat lihat hidungnya.
Hidungnya sekilas tampak mancung, tapi karena pipinya bulat hidungnya tertutup pipi.
Pesek kah hidung anakku kelak?
Aku benar2 panik, aku tak ingin anakku berhidung pesek.
Setiap pagi kutariki ujung hidungnya biar mancung, kadang sampai anakku megap2.
Seringkali hal itu menjadi bahan pertengkaran antara aku dan si semprul.
“Sudahlah Rit, gak usah ditarik2 lagi, bisa mati kehabisan nafas nanti itu si Dea”
Ya, kami memanggilnya Dea, kebalikan dari Ade, maksudku karena dia adalah seorang adik buat Arin anak sulungku.
Biasanya aku tetap ngeyel.
“ Masih belum berubah hidungnya. Harus tetap ditariki biar mancung. Batasnya Cuma sampai 3 bulan soalnya Lik, kalau lebih dari 3 bulan gak manjur lagi biar ditariki tiap hari. Lagian kayaknya belum pernah ada bayi meninggal gara2 hidungnya ditariki ibunya biar mancung”
Entah dalil darimana aku lupa, kalau bayi agar mancung harus ditariki hidungnya.
Aku tak bisa tanya ibuku, karena dia lagi2 tak hadir saat aku melahirkan, seperti saat aku melahirkan anak pertamaku.
Yang jelas aku yakin, anakku harus berhidung mancung.
Aku tak ingin anakku mempunyai hidung minimalis dan putus pacaran hanya gara2 hidungnya pesek.
Aku ingat sekali, dulu pernah berpacaran dengan anak se fakultas hukum sore, namanya Bambang.
Anaknya pandai banget dengan gaya berjalan seperti koboy cuek, tangannya selalu masuk kesaku
Tapi karena aku punya adik yang selalu berkelahi denganku bernama Bambang, jadi saat sedang ber mesraan dengan Bambang, aku suka tiba2 jijik karena tiba2 terbayang wajah adikku.
Kusiasati memanggilnya dengan nama “Yang”, karena kebetulan bentuk kepalanya peyang.
Bambang berbunga2 dipanggil “Yang” olehku, dia pikir itu singkatan kata “Sayang”.
Aku tersenyum mendengarnya.
Ternyata dengan malu2 dia juga mengakui bahwa selama ini dia punya panggilan sayang juga buatku, dia memanggilku “My Sepek” katanya.
Kok rasanya tidak seromantis nama panggilan “Yang” untuknya?
Aku mulai curiga.
Dengan manja kutanya, apa artinya “My Sepek” itu?, dia bilang artinya “ Si pesek milikku”
Aku hanya bisa tersenyum kecut dan kecewa.
Malam minggu berikutnya setiap si peyang datang aku malah menginap dirumah tanteku, mbak Nani di Cijantung.
Dibayar jutaan juga aku pasti emoh dipanggil My Sepek, walau dipanggil penuh sayang.
“My Sepek dengkulmu atos”, kerap aku memaki maki bila teringat pacarku yang menyebalkan itu.
Bisa dibayangkan bukan kalau aku sangat serius menariki hidung anakku agar tidak pesek?
Saat aku melahirkan Dea, baru sebulan aku sudah dipanggil untuk masuk kantor oleh pak Satori karena dia kekurangan tenaga, sementara dikantor sudah mulai memakai PC Boss.
Apabila PLN mati lampu sementara kantor kami saat itu tidak mempunyai UPS, terpaksa transaksi dilakukan secara manual dan akan di enter kedalam komputer setelah menyala jam berapapun.
Bayangkan bila lisrik baru menyala malam hari? Pernah aku mengenter transaksi sampai jam 12 malam dengan baju basah karena air susuku mengalir padahal aku tak sempat pulang.
Sering juga kami, aku dan mbak Adeliana seniorku, mencari2 rumah pak Igoed dari Teknologi untuk membetulkan komputer kami.
Untungnya pak Igoed selalu ringan tangan membantu jam berapapun.
Tak pernah terpikirkan olehku untuk komplain macam2, saat itu aku masih pegawai yang baik.
Punya bos sebaik pak Satori, tak mungkin aku mampu menolak untuk masuk kantor.
Aku malah bahagia karena merasa dibutuhkan.
Untung rumahku di Beji Timur Depok dekat dengan kantor, jadi aku kerap pulang untuk menyusui sambil menunggu lampu menyala.
Kelahiran Dea membawa perubahan ekonomi buatku.
Aku yang tak pernah naik pangkat setelah 8 tahun bekerja akhirnya naik pangkat, dari semula golongan 3 B menjadi 3 A.
Setahun kemudian ada penyesuaian pangkat lagi karena aku sudah sarjana.
Alhamdulilah, itu semua rejeki anak2ku.
Semua keuangan dipegang oleh si semprul, karena aku tak mampu mengelola keuangan dengan baik.
Selalu ada yang ingin kubeli walau itu tak perlu.
Biarlah, aku toh tak suka belanja.
Untuk kekantor aku tak perlu banyak pengeluaran karena kami memakai seragam.
Hubunganku dengan saudara2nya si semprul juga mulai membaik.
Kami kerap piknik bersama, kadang dibayari kakak sulungnya, mbak Susi, kadang kami ikut iuran.
Kakaknya si semprul yang nomor 2, mbak Nunik namanya, yang tercantik diantara keluarganya, kerap membelikan Dea baju2 lucu dan mahal yang tidak pernah akan bisa kubeli.
Dea juga kerap diajak kemana2 tapi aku tak pernah merasa curiga, karena aku tahu mbak Nunik memang menyayangi Dea, motivasinya memang ada, kerinduan terhadap anak, yang dulu belum dimiliki.
Bukannya tak mampu membeli baju2 cantik untuk Dea, tapi karena si semprul tak akan membolehkannya.
Lagipula keuangan dipegang si semprul, jadi kalau mau beli apa2 harus lapor dulu.
Kadang aku merasa iri pada mbak Nunik karena bisa membelikan anakku baju2 mahal dan indah, sementara aku ibunya tapi malah tak bisa membelikannya, yang ironisnya bukan tak mampu.
Kesepakatan dengan si semprul mengenai keuangan malah kini menjeratku.
Sikap hemat dan irit si semprul malah menjadi bumerang buatku.
Pernah aku disindir adiknya si semprul, namanya Har; “mbak Rita, mas Lilik dibeliin celana dong, itu celananya sudah tipis. Jangan beli buat dirinya sendiri aja dong.”
Dug, gubraakkk...hatiku terhempas jatuh.
Memang kulihat celananya sudah tipis dan mengkilat karena kerap disetrika, lengkap dengan sepatu butut yang diinjak ujungnya.
Aku jawab “ Bukannya gak dibeliin Har, itu banyak aku beliin yang baru tapi memang gak mau dipakai kok. Alasannya biar tidak mencolok dan menjadi jurang perbedaan dengan guru2 yang lainnya. Sepatu saja sudah dibuang berkali2 ketempat sampah, tahu2 sudah dicuci bersih, katanya sepatunya enak buat setir mobil”
Sesampai dikamar, kukeluarkan semua celana dan baju2 si semprul yang tidak pernah dipakai.
Aku kasih ultimatum; “Lik, aku ditegur Har celana kamu butut, disangkanya aku gak pernah beliin buat kamu. Besok kalau celana2 dan baju ini tidak dipakai, aku kasih ke Buyung semua. Kebetulan dia gak punya baju bagus.”
Buyung adalah adikku yg paling bandel.
Besoknya kulihat si semprul berpakaian rapih dan keren, memakai baju lama yang tak pernah dipakai sejak dibelikan. “Tuh kan, ganteng jadinya. Kamu tuh ganteng Lik dasarnya. Jangan bikin malu aku lagi ya. Ini baju2 bututnya aku buat kain pel saja, kebetulan kain pel nya sudah pada rusak.”
Dipelototi si semprul, buru2 kukumpulkan celana2 tipisnya dan kumasukan kelemari kumpulan kain2 pel.
Diperjalanan ke rumah orang tuanya, aku minta mobil agar dipinggirkan sebentar, kudekati tempat sampah, kubuang sepatu bututnya.
Mudah2an ada pemulung yang mau memakainya.
Berakhir sudah episode memakai baju dan sepatu butut.
Si semprul sudah mau kudandani setelah kupuji habis2an.
Aku toh ingin jalan dengan cowok ganteng dan keren, itu alasanku.
So far mereka pada dasarnya memang orang baik.
Kalau dipikir2 akulah sebenarnya yang tidak baik karena terlalu terbawa perasaan.
Adanya saudara2 si semprul kerap membantu kesulitanku mengurus anak2.
Saat anakku Arin sakit atau saat dia dioperasi amandel, yang paling sibuk adalah saudara2nya si semprul terutama Har, karena Arin keponakan kesayangannya.
Tugasku sebagai ibu rasanya hanya menangisi anak2ku yang sakit dan membayar biayanya saja, sisa semua kerepotan sudah ditangani saudara2 si semprul yang menyayangi anak2ku.
Tapi kenapa rasa tersingkirkan ini selalu ada saat didepan ibu mertuaku?
Seringkali kupergoki ibu mertuaku sedang memandangiku dengan sinis memang, tapi selalu kutepis, “ah, mungkin ini hanya perasaanku saja”.
Hubungan kami toh sudah membaik, pikirku.
Tapi aku tetap saja merasa tersingkirkan dan tidak diakui terutama saat menjelang lebaran.
Setiap lebaran mertuaku kerap mengirimkan parcel atau kue2 ke relasi dan besan2nya.
Si semprul kerap disuruh mengantarkan, aku tentu saja menemaninya karena anak2ku sudah di booking semua, entah diajak jalan kemana.
Yang tersedih adalah saat disuruh mengantarkan bingkisan kerumah para besan yang di Jakarta.
Sambil mengemasi bingkisan ibu mertuaku selalu bilang “kamu lihat kan, besan ibu orang berbobot semua, mertua Susi, Nunik dan Har, coba kamu lihat. Kalau orang tua Rita kan cuma supir. Jauh kan bedanya."
Cuma itu yang dikatakannya, tapi itu sudah cukup mengoyak luka lama dihatiku.
Dua tahun berturut2 sebagai pengantar bingkisan lebaran, hatiku selalu disayat2 rasanya, akhirnya tahun ketiga aku bilang ke si semprul.
“ Nanti kalau disuruh antar bingkisan lebaran, bapak bisa menolakkan? Ibu rasanya sakit hati pak, semua besan dikasih bingkisan cuma orang tua ibu saja yang tidak dikirimi. Bukannya ibu ingin orang tua ibu dikirimi bingkisan. Kenal saja tidak kan? “
Aku tidak pernah cerita ke si semprul bahwa selama 2 tahun mengantarkan bingkisan lebaran ibunya selalu berkata seperti itu.
Persis sama.
Seolah2 itu mantera yang sudah dihapalkan dan perlu diucapkan setiap menjelang lebaran bahwa “aku cuma anak seorang supir”.
Aku tidak ingin si semprul menjadi pembangkang.
Tak akan ada cerita bahwa ibunya kerap memandangiku dengan sinis.
Dia tak akan percaya soalnya.
Cukup aku saja yang tahu, kuanggap ini bekalku agar membentengi hati, tidak menyerahkan semua rasaku pada si semprul walau dia suamiku.
Aku sedang bahagia.
Rumah tanggaku harmonis.
Kata2 itu selalu kuulang dalam hati bila terasa lelah dengan beban ketidak pastian ini.
Untungnya si semprul mengerti perasaanku, dia menolak mengantarkan bingkisan lebaran dengan alasan terlalu lelah.
Sebagai pendingin suasana, bapak mertua dulu suka berkata saat kami pulang habis mengantarkan bingkisan;”
" salam buat ibu dan bapaknya Rita nanti ya”
Mungkin dia menyangka aku dan Lilik juga mengantarkan bingkisan buat orang tuaku, atau mungkin juga dia hanya ingin menghiburku.
Bagaimanapun aku tetap bersyukur, bapak mertuaku selalu bersikap baik padaku.
Aku menghormatinya.
Saat itu panggilan ku terhadap si semprul sudah menjadi Bapak – Ibu sejak anakku Dea memanggil bapaknya dengan Lilik, mengikuti caraku.
Pagi itu aku sedang di dapur, aku meminta tolong si semprul agar mengambilkan sesuatu, tapi rupanya si semprul sedang menonton TV dan tidak mendengarnya.
Dea dengan langkah kakinya yang mantap menghampiri si semprul yang sedang duduk dan berteriak “Lik.....Lilik dipanggil ibu”.
Aku dan si semprul langsung sadar, cara kami salah.
Sejak itu kami membiasakan diri saling memanggil ibu dan bapak bila sedang berbicara.
Hadirnya putri cantikku kadang mampu mencerahkan semangatku.
Sayangnya aku salah sejak awal mendidiknya.
Anakku Dea punya nafsu makan yang baik, berbeda dengan Arin.
Saat menyuapi Arin makan, sebelumnya aku selalu berdoa agar diberi kekuatan dan kesabaran.
Makanan Arin selalu baru habis sejam lebih, setelah kulihat sisa makanan menjadi cair dan biasanya setelah badanku sudah pegal2 semua.
Dengan Dea, acara menyuapi lancar dan cepat. Bahkan saat Dea sakit, saat diminumi obat dia kerap minta tambah, padahal kutahu obatnya terasa pahit.
" Lagiii....obatnya lagiii..” biasa dia minta lagi.
Kami kerap mentertawai kelucuan dan kerakusannya.
Pernah saat hari libur aku kewarung membeli sayur2an.
Saat ingin menyiangi sayuran, wortelnya tidak ada.
Kukira ketinggalan di warung, ternyata disudut dapur kulihat Dea sedang makan wortel kotor.
Seharusnya saat itu aku tidak menyemangati selera makannya yang berlebihan.
Kupuji dia saat makan banyak.
Badannya gempal memang, bukan gemuk.
Lucu melihatnya.
Seharusnya bukan itu yang kulakukan.
Bertahun tahun kemudian, baru aku tahu tindakanku salah.
Ususnya sudah biasa memproses banyak makanan sejak kecil, sehingga setelah besar Dea keranjingan makan banyak.
Pelan tapi pasti anakku menumpuk lemak.
Saat ini Dea masih lucu.
Aku tidak tahu bahwa kelucuannya harus dibayar dengan over weight.
Putri cantikku tak cantik lagi dimataku.
Komentar
Posting Komentar