8. LATAH MEMBAWA DERITA....
Saat ini aku sudah 7 tahun menikah.
Saat ini kami bahagia, kurasa.
Kehidupan yang mapan dengan keuangan yang tak pernah surut, dan dua anak yang lucu.
Aku tak tahu bagaimana cara Lilik memegang keuangan rumah tangga, tapi yang jelas, kami hidup berlebih.
Mungkin karena aku cuma dijatah uang makan seadanya, sementara semuanya dimasukkan kedalam tabungan.
Kadang memang tak nyaman tiap hari hanya dibekali uang rp. 20 ribu didompet, tapi itupun sebenarnya masih berlebih karena saat itu dengan uang rp. 10 ribu aku sudah bisa makan enak.
Aku sudah dimutasi ke kantor wilayah 10 di depan gedung DPR/MPR.
Kalau mau jujur sebetulnya aku tak mau pindah.
Aku sudah 5 kali pindah kantor.
Lelah rasanya harus menyesuaikan diri dan menebak2 sikap teman dan pimpinan.
Aku tidak pernah memikirkan harus naik pangkat, agak tak peduli sebetulnya.
Pak Satori malahan yang selalu mengingatkan aku agar mengurus penyesuaian pangkat karena perubahan pendidikanku.
Kebetulan saat itu kantor kas Depok Margonda tempat aku bekerja berpindah induk dari Cabang Pasar Minggu menjadi berinduk ke Cabang UI Depok yang saat itu baru dibuka.
Entah tidak suka melihat aku selalu kritis tanpa basa basi, entah gerah melihat penampilanku yang seadanya dan tak ber make up, pak Edi Junaedi pemimpin cabang yang baru saat itu buru2 mengusulkan kepindahanku dan Hasan Saih yang juga sama2 sudah menjadi Sarjana Hukum.
Aku dan Hasan Saih ditempatkan di unit Administrasi Kredit, gudangnya uang.
Aku dan Hasan Saih yang biasa memakai PC berkode, hanya tinggal menghafal kode2 transaksi, sekarang harus memakai PC dan harus bisa mengetik.
Sungguh tersia2 dan terlunta2 nasib kami berdua.
Saat aku diajari mengetik oleh bu Tati, tanganku kerap ditepiskan karena terlalu cepat menekan tombol enter. Kami di operasional memang selalu diburu2 waktu disamping sudah hafal kode, jadi selalu cepat menekan tombol enter.
Itu kendala buatku, sampai dilaporkan ke pemimpin bagian.
Oleh pemimpin bagian kami, namanya Nelson Tobing, aku dan Hasan Saih di ultimatum agar buru2 mempelajari komputer.
Aku segera mendaftar kursus komputer di Depok, mempelajari word dan excell setiap malam.
Selama sebulan aku ikut kursus, baru berhenti saat sang pengajar sudah mulai berubah genit dan memegangi tanganku.
Tanpa sempat dapat ijazah aku keluar.
Cukuplah kupikir.
Sementara dikantor aku tetap belajar komputer.
Ada 3 orang batak yang sedikit banyak berpengaruh dalam hidupku saat itu.
Ada sesama pegawai di bagian laporan diunitku, namanya Gultom.
Kejam, singkat kalimatnya dan kasar.
Aku sempat terpikirkan untuk berpuasa dan tirakat buat dia, saking kesal dan sakit hatinya.
Untung disitu ada mantan temanku dari cabang Matraman, namanya Sitinjak.
Melihat aku dianiaya Gultom, dia menawarkan diri untuk mengajariku untuk mengetik.
Dengan telaten pak Sitinjak mengajariku.
Sering kudengar Gultom berbicara dengan nada mengejek dan menghasut, intinya agar pak Sitinjak tidak mengajariku lagi.
Pak Sitinjak memang orangnya baik.
Dia tidak peduli disindir dan dilarang mengajari kami.
Aku belajar dari pak Sitinjak, betapa bantuan sekecil apapun untuk pegawai baru sangat berarti.
Aku yang gampang terharu biru langsung berikrar “Kelak aku tidak akan pelit ilmu.
Aku ingin seperti pak Sitinjak!”.
Dari Nelson Tobing aku belajar tidak pelit dengan uang kepada anak buah.
Setiap hari jumat, pak nelson selalu membagi2kan kami uang.
Selalu.
Biasanya aku dapat rp. 250 ribu.
Kadang dapat rp. 500 ribu.
Aku segera menambah ikrarku
“Kelak kalau jadi pemimpin aku tidak akan pelit kepada anak buah. Aku ingin seperti pak Nelson!”.
Penah saat itu hari kamis tanggal 31 desember 1992, menjelang libur panjang.
Biasanya bila tutup tahun kami setengah hari langsung pulang.
Dengan yakin akupun pulang dan buru2 persapan piknik ke Anyer.
Ternyata hari itu kantor kami full bekerja sampai sore.
Hari seninnya aku dipanggil pak Nelson.
Suaranya menggelegar walau hatinya aku yakin baik.
Saat aku dipanggil, saking ketakutannya aku sudah menangis lebih dulu, selain sedih, takut, aku juga merasa kecewa karena telah mengecewakan orang sebaik dia.
Rupanya pak Nelson jadi salah tingkah.
Akhirnya aku disuruh duduk tanpa sempat dimarahi.
3 orang dari suku yang sama tapi bagai bumi dengan langit sikapnya.
Gultom angkuh,pelit,kasar dan penuh iri.
Sitinjak lembut,sabar, tidak pelit ilmu namun agak pelit uang.
Nelson Tobing, gemar bergurau dan tertawa dengan suara keras serta tidak pelit.
Saat pak Nelson pindah dan diganti pak Kesmar, hidup penuh uang meredup, kebiasaan bagi2 uang hadiahpun berhenti.
Karena ada posisi kosong di Unit Kontrol Intern Wilayah, aku dipindah ke unit KIW dibawah Asmiran Wijaya nama pemimpinnya.
Bosku itu type jawa santun, kalau bicara seperti orang kumur2 dan malu, tapi ternyata gemar berbicara porno.
Di unit itu aku satu2nya wanita, sementara 5 orang lainnya adalah pria.
Konon pak Asmiran memilihku karena menurut penglihatannya aku “berisi”.
Aku tidak membantah dan mengiyakan.
Dalam hati aku menjawab “La iyalah berisi, aku kan sdh punya anak 2. Berisi banget malah ”.
Satu ruangan dengan sekelompok orang yang ditakuti karena pemeriksa, sekelompok orang gemar berbicara porno dan agak urakan.
Paling berkesan aku dengan Hadi Iskandar.
Ganteng, putih, tinggi dan pemarah.
Tapi ternyata dia orang yang paling baik, selalu berbicara apa adanya.
Pertama dan terakhir, mudah2an tidak ada lagi yang memanggilku “ Kebo”.
Kupikir tadinya panggilan itu hinaan karena tubuhku yang tinggi besar, tapi rupanya itu karena sikapku yang suka menerobos aturan, padahal di unit kami itu tidak boleh, justru kami sebagai penegak aturan.
Pak Hadi Iskandar pula yang membimbingku saat membuat Berita Acara Pemeriksaan, Kronologis Peristiwa, trik2 membuat tersangka mengakui.
Aku belajar dari ahlinya ternyata.
Entah kenapa aku kerap disuruh memeriksa perselingkuhan pegawai, tuntutan dari istri kr perselingkuhan,dan yang semacam itu.
Mungkin karena aku kerap bercerita kalau aku sering berganti pacar.
Atau mungkin karena pak Hadi
Iskandar dan pak Asmiran melihat wajahku yang bukan type setia?
Aku suka sekali ditempatkan di unit ini.
Aku belajar mendeteksi kebohongan kebohongan.
Aku belajar tentang kesalahan.
Tanpa disadari akupun belajar trik2 perselingkuhan. Seharusnya aku sadar, bahwa Tuhan menempatkan di unit berkuasa itu karena satu maksud, agar aku mempelajari akibat perselingkuhan.
Sering kami didatangi istri yang menangis melaporkan suaminya, atau suami yang membawa anaknya kr istrinya tidak pulang.
Aku tidak belajar dari penderitaan orang agar tidak mengulanginya aku hanya berusaha menegakkan peraturan, dan lambat laun mencerna perselingkuhan bukannya mencerna akibatnya bagi keluara yang salah satunya berselingkuh.
Nurani itu malah datang dari temanku Hadi Iskandar. Teman yang kuanggap kasar malah kerap menyelamatkan pengajuan laporan suami / istri yang berselingkuh.
Saat itu temanku pak Hadi kerap mendamaikan pasangan berselingkuh dan mengancam sang suami (biasanya suami yang berselingkuh, hanya ada 1 pegawai wanita yang berselingkuh) agar tidak mengulangi masalahnya dan akan memprosesnya.
Saat itu masih dalam suasana reorganisasi sehingga kasus2 yang seharusnya di proses unit lain akhirnya diproses di unit kami.
Seharusnya aku belajar arti kesetiaan dan akibat perselingkuhan dari kasus2 yang kutangani.
Saat itu aku tidak pernah belajar makna kehidupan.
Apa yang ada kujalani saja.
Saat berganti pucuk pimpinan dengan Freddy Saiya, suasana di kantor kami tiba2 berubah.
Pegawai yang beragama kristen berkumpul hanya di unit Umum, tiba2 banyak pegawai berambut keriting berkulit hitam masuk dan jadi pegawai baru.
Selama ini aku bersahabat dengan Martinelly Sihombing, sahabatku yang kukenal sejak pertama kali masuk BNI.
Aku tak pernah sadar bahwa kami beda agama, toh aku juga bukan penganut Islam yang taat.
Aku bahkan tak pernah sholat.
Aku iseng berbicara dengan Elly, kupikir dia sahabatku,aku bilang “ El, seharusnya di unit Umum jangan orang kristen lagi. Kasih orang Islamnya. Jangan seperti sekarang kita terkotak2 dan terpisah2. Islam dan kristen saling berkumpul dengan kelompoknya.”
Ternyata orang yang kuanggap sahabatku malah mengadu pada Hilda atasannya.
Jadilah aku bagai pesakitan disidang dimeja bundar, dihadiri oleh Hilda, pak Asmiran dan pak Freddy sang pemimpin tertinggi.
Aku dibilang SARA.
Aku berkelit dan bilang “ saya kan cuma bilang agar sebaiknya pegawai yang kristen mau membaur dengan yang Islam, tidak terpisah2 seperti ini, masing2 tidak mau kenal.”
Hilda bilang “Kalau saya makan sendiri dengan sesama umat kristiani itu karena kami kerap makan babi. Islam kan gak boleh makan babi.”
Jawaban bodoh.
Aku bilang “Memangnya makan babi setiap hari? Memangnya tidak pernah makan lainnya sehingga tidak bisa berkumpul dengan yang muslim?”
Pak Freddy melihat anak kesayangannya tak bisa menjawab marah sambil bangkit dan melotot menggebrak meja bundar “Kamu tahu gak kalau kamu itu SARA ! itu namanya menghasut umat kristen dan muslim agar terpisah2.!”
Secara reflek aku juga ikut2an berdiri dan menggebrak meja “Bapak tahu tidak apa itu SARA? Kalau saya bicara dengan muslim itu baru namanya SARA dan menghasut. Saya bicara dengan orang kristen. Kalau saya SARA saya gak akan mungkin mau bersahabat dengan Elly yang kristen!” aku ganti berteriak.
Sesampainya diruangan, pak Asmiran bercerita berkali2 kepada teman2ku, ada nada memuji, ada nada menyesali dan bilang “ kamu seharusnya tidak bersikap seperti itu Rita. Biar bagaimanapun pak Freddy itu pemimpin kita. Tidak boleh marah sampai berteriak2 dan menggebrak meja. Itu tidak sopan!”
Sekarang gantian aku yang kaget.
Marah?
Menggebrak meja?
Waduh !
Aku bilang “Pak Asmiran kan tahu saya latah. Kalau saat itu pak Freddy memeluk saya pasti saya juga gantian peluk dia. Itu reflek kalau orang latah mengikuti gerakan lawan pak."
Memang orang latah seperti itu.
Pernah saat mau pulang kantor karena tempat parkir penuh aku menunggu suamiku didepan halte bus. Rupanya disitu banyak orang yang menghipnotis dan meminta uang.
Tiba2 aku ditepuk pundaknya oleh seorang bapak2. Karena kaget aku balas menepuk pundaknya.
Si bapakpun langsung pergi.
Penumpang yang sama2 menunggu bilang “ itu orang yang suka menghipnotis dan meminta uang saat sudah dihipnotis. Saya pernah lihat kejadian yang sama bu.”
Aku tak menjawab.
Aku malah sewot, kenapa dia tidak melaporkan ke satpam BNI atau polisi yang suka parkir diujung halte?
Keesokan hari sesudah insiden gebrak meja, pak Asmiran memberikan sepucuk surat merah, surat peringatan, dan selembar surat putih, surat mutasi.
Pak Asmiran sambil berkaca2 bilang “ Gak usah dipikirkan Rita. Saya tahu maksud kamu baik kok. Kamu cuma prihatin dengan keadaan dkantor ini tidak ada maksud SARA. Surat peringatan ini saya buat atas perintah pak Freddy, tapi kamu tenang saja, tidak ada copynya, jadi tidak menjadi beban kamu karena tidak ada di dossier kepegawaian.”
Bijaknya pak Asmiran.
Berakhir sudah masa2 indah di unit Kontrol Intern.
Rasanya baru kemarin aku salah ketik “ Kontrol Intern” saat membuat Nota Intern, saat pak Asmiran dengan malu2 menunjuk ke huruf Kontrol Intern yang kekurangan 1 huruf R sehingga terkesan porno.
Aku dipindahkan ke unit HKW.
Dari hukum ke hukum, dengan scope yang lebih luas karena membawahi seluruh cabang di Wilayah 10.
Aku masih kadang bekerja sama dengan pak Hadi karena di Unit kami kekurangan orang.
Dari mulai mengusut surat kaleng, sampai mendampingi pegawai BNI yang diperiksa polisi itu dilakukan.
Biasanya pegawai Teller yang paling sering dipanggil polisi.
Dari pak Anang bos ku yang baru, aku belajar menyepak nyepak kaki dikolong meja sebagai tanda “jangan menjawab pertanyaan dan bilang tidak tahu”
Biasanya aku berganti dengan sepatu hak datar.
Karena pernah suatu kali saat mendampingi Teller dari cabang Jatinegara yang aku lupa namanya, saat kusepak kakinya sebagai kode dia malah menjerit kesakitan.
Rupanya kakinya kena sepak tumit sepatu runcingku. Siapapun pasti menjerit kesakitan.
Berhubungan dengan polisi, itu yang paling menyakitkan.
Aku harus berwajah cerah menemui sang polisi. Sialnya saat sang polisi meminta upeti aku tak tahu harus menjawab apa karena bosku menghindar.
Berhubungan dengan profesiku dulu, Teller, aku selalu merasa trenyuh, ingat pengalamanku selama 8 tahun menjadi teller.
Garda terdepan dari Bank BNI yang paling sering diomeli nasabah, resiko ditipu dan kehilangan uang karena ulah nasabah, belum lagi ulah dari teman sendiri, kerugian yang paling besar dialami oleh Teller dengan gaji lebih kecil.
Pernah saat pertama kali menjadi Teller Cabang Jakarta Kota, kami diajari cara melakban atau mengikat uang setelah 100 lembar dengan 1 ikatan kertas bertuliskan nominal uang.
Setiap habis mengikat uang kami diharuskan memberikan paraf.
Setelah beberapa hari, pemimpin kasir pak Nurkosim kalau tidak salah, mengharuskan aku mengganti kekurangan uang beberapa lembar karena kurang atau kadang karena pemberitahuan dari Bank Indonesia ternyata kurang.
Biasanya sambil melambai2kan bekas ikatan kertas pada uang yang berparaf namaku.
Hal yang mustahil.
Benar2 mustahil.
Kami anak baru, masih sangat berhati2 bahkan sampai berkali2 menghitung uang sebelum mengikat dengan kertas.
Aku dan teman2ku hanya bisa saling menggerutu.
Belakangan aku baru tahu ternyata itu permainan sang kasir.
Mudah2an saat ini tidak ada lagi hal seperti itu.
Berapa sih gaji Teller?
Pasti lebih banyak gaji kasir dibanding Teller, tapi tega2nya mereka membodohi kami anak2 baru.
Saat itu aku hanya anak baru yang butuh uang dan pekerjaan, tidak berani membantah.
Banyak Teller yang kerap memberiku amplop sesudah membantu mendampingi pemeriksaan ke polisi.
Aku selalu menolak dan bilang “maaf gaji saya lebih besar. Kamu pasti lebih memerlukan.”
Terkesan sombong, tapi itu satu2nya caraku menolak secara tegas.
Unit HKW tempatku berada terletak didekat mushola sehingga kerap bertemu dengan Hasan Saih.
Dia kerap mengeluh tidak berubah, masih tidak dikasih pekerjaan.
Aku langsung menghubungi pak Sitinjak, karena dia pernah menolongku, Batak baik hati idolaku.
Tapi pak Sitinjak menyerah kalah untuk mengajari Hasan Saih.
Dia bilang “ pak Hasan beda dengan bu Rita. Saya sudah menawari mau mengajarkan komputer sepulang kerja karena kalau jam kerja komputernya kan dipakai, pak Hasannya tidak mau, dia bilang rumahnya jauh. Saya juga kasihan melihatnya.”
Kalau pak Sitinjak si baik itu menyerah berarti semua kembali kedirinya sendiri.
Aku tak tahu lagi harus bagaimana bersikap.
Letak ruanganku yang dekat dengan musholla masih belum membuka mataku.
Suara adzan masih belum membuka kesadaranku bahwa uang banyak itu tak selamanya ada.
Aku masih si latah yang bermata jelalatan melihat keindahan.
Aku masih tetap si peragu, yang meragukan masa depanku dengan suamiku.
Aku masih tetap sering ditegur ibu mertuaku bila melihatku tertawa dengan keras dan mulut terbuka lebar.
Mungkin karena tak indah dilihat, mulut lebarku menganga sehingga dikhawatirkan bisa mengundang lalat saat tertawa.
Tapi bisikan ibu mertuaku mengisyaratkan lain “makanya ibu selalu bilang kalau pilih jodoh harus berdasarkan bibit, bebet dan bobot. Kalau bibit, bebet dan bobotnya baik gak mungkin ketawanya seperti itu.”
Aku langsung terdiam.
Kulanjutkan tertawaku tapi dengan mulut tertutup.
Hanya senyum dikulum.
Sejak saat itu bila ada ibu mertuaku, aku tak pernah tertawa lebar, betapapun lucunya lelucon yang kudengar.
Hatikupun tak bisa tertawa lagi, hanya bisa mengira2 kapan kiranya kami akan berhasil dipisahkan?
Komentar
Posting Komentar