5. BADAIPUN MULAI HADIR ....
Dear Diary,
Perlahan tapi pasti keyakinanku akan keutuhan rumah tanggaku mulai pupus.
Lilik lebih banyak dirumah orang tuanya daripada dirumah kami.
Setiap ada adegan antar jemput selalu Lilik yang menjadi supir, padahal saat itu dari ke 5 saudaranya hanya 1 orang yang saat itu belum bisa menyetir, jam berapapun, padahal stasiun Gambir atau bandara Soekarno Hatta Cengkareng itu lebih jauh dari Depok bila dibandingkan dari arah Pondok Pinang.
Kenapa cuma Lilik yang disuruh menjemput?
Kadang kasihan melihat Lilik baru sampai rumah dari kantor, sudah harus menjemput jam 10 malam atau jam 5 subuh. Badan kurusnya terasa makin kurus kulihat.
Tapi aku tak pernah mau melarang Lilik.
Kupikir itu bagian dari baktinya sebagai anak yg selalu menyusahkan.
Sering Lilik mengeluh lelah dan sakit2 seluruh badannya, tapi aku hanya bisa mengurut dan kerok seluruh badannya sambil mengingatkan dia bahwa sudah sewajarnya Lilik antar jemput orang tuanya, itu tugas seorang anak.
Kalau sudah begitu biasanya dia langsung bersemangat melakukan antar jemput.
Sikapku memang ambivalen, disatu sisi mendorong Lilik menerima tugas antar jemput, disisi lain aku merasa kehilangan dan makin jauh.
Aku hanya bisa bertanya2 dalam hati, inikah trik ibu mertuaku agar Lilik perlahan menjauh dariku?
Satu demi satu kejelekan Lilik mulai kuperhatikan Dear Diary.
Kami mulai sering bertengkar.
Kebiasaannya kumur2 air minum dan ditelan lagi sesudah makan membuatku jijik.
Berkali2 diperingati tapi selalu diulangi.
Akhirnya aku tak pernah mau makan semeja lagi dengannya. Aku kan jijikan orangnya.
Kebiasaan Lilik, kalau kuperhatikan juga kebiasaan seluruh anggota keluarganya, yang biasa buang angin disembarang tempat, tak peduli ada orang didepannya, membuatku histeris.
Bayangkan, bila sedang enak2nya kita menjelang tidur tiba2 tercium bau kentut diseluruh kamar tidur?
Atau saat kita sedang enak2 makan tiba2 dia buang angin dengan bau yang menyengat.
Bukannya aku tak pernah buang angin.
Tapi saat buang angin akan selalu kucari tempat sepi, selalu juga kuperhitungkan arah angin bila aku ingin buang angin. Aku tidak ingin bau kentutku tercium orang lain. Bagiku itu adalah memalukan bila buang angin didengar atau tercium orang lain, walau suami sekalipun.
Bila sudah bertengkar soal kentut, biasanya aku menangis sampai tertidur.
Begitulah jahatnya hati, bila sudah timbul curiga maka semua tindakannya yang dulu biasa2 saja jadi tidak biasa lagi dimataku.
Dulu aku biasa makan sepiring berdua, saling suap, sekarang aku malah jijik melakukannya.
Padahal kebiasaan Lilik kumur2 dan diminum airnya itu sudah sejak dulu kuketahui.
Dulu terlihat lucu dan unik buatku.
Dulu saat Lilik buang angin dalam kamar kost, kami malah suka main gebuk2an bantal sambil menghilangkan bau.
Tak ada amarah dan benci.
Kami tertawa terbahak2 sampai sakit perut.
Tapi sekarang kulihat semua tindakan Lilik menjijikkan.
Kebiasaan Lilik adalah tidak pernah cuci kaki, cuci muka dan cuci tangan sebelum tidur.
Dulu kalau dia tertidur kelelahan sebelum membersihkan kaki, tangan dan muka, aku selalu membasuh dan membersihkannya, sambil kutarik tarik hidung mancungnya dan kucium penuh sayang.
Entah kemana semua rasa itu menghilang.
Saat tak tahan lagi, kutulis semua kejelekannya diatas kertas.
Kuminta Lilik menulis semua kejelekanku diatas kertas juga, agar kami bisa saling memperbaiki diri.
Kertas kejelekanku putih kosong.
Dia bilang aku sempurna.
Aku malah makin kesal.
Dulu mungkin aku akan menangis terharu, tapi kini aku malah merasa diejek.
Mana ada orang sempurna.
Tekad untuk saling merubah diri bersama langsung sirna.
Dear Diary,
Dulu Lilik punya sahabat karib, namanya Darius dan Yosi, teman seangkatan.di FHUI tahun 1981.
Mereka akrab bertiga, akhirnya para istripun ikut akrab juga, malah aku, Nur istrinya Darius dan Nuni istri Yosi jauh lebih akrab dibanding suami2nya.
Biasanya beberapa minggu sekali kami 3 serangkai bersama pasangannya akan makan diluar, bergantian saling membayari.
Aku malu saat tiba giliran Lilik membayari.
Dia cari tempat makan paling murah, dan usaha terakhirnya....pura2 susah mengeluarkan dompet.
Aku betul2 malu melihat ulah suamiku.
Saat bersama sahabat, kenapa harus pelit?
Sesampainya dirumah, kami ribut besar.
Lilik mulai membalas omelanku walau dengan suara pelan.
Itu yang petama buatku.
Ibuku yang mulai baik hubungannya denganku tiba2 menelponku, mengabarkan bahwa adikku, Buyung yang masih kelas 3 SMA harus menikah karena Dwi pacarnya terlanjur hamil.
Aku merasa lumpuh.
Buyung adik kesayanganku, yang kuurus sejak bayi akan menikah?
Betapa aku ingin menyekolahkan Buyung agar menjadi sarjana tehnik, sesuai keahliannya dibidang listrik. Sia2 aku berharap.
Dia lebih dari sekedar adik buatku.
Aku curiga pacarnya bohong dan menjebak adikku. Aku ingin segera membawa pacarnya kedokter kandungan.
Kutelpon Lilik minta diantar, tapi Lilik tidak mau menjawab.
Aku lupa kalau kami sudah seminggu saling berdiam diri tak bertegur sapa.
Tiba2 sang play boy datang kekantorku, segera saja kumintai tolong untuk mengantarkan pacarnya Buyung dan aku ke dokter kandungan.
Dengan senang hati dia mengantarkan kami.
Ternyata memang benar, pacarnya sudah hamil, dan tidak bisa digugurkan karena sudah 4 bulan.
Setelah mengantar pacar adikku pulang, kutumpahkan semua ceritaku, semua unek2ku tentang Lilik.
Si Play boy hanya diam sambil sebentar2 menenangkan aku yang hampir histeris.
"Adikku masih kecil Jo ! Dia tidak boleh kawin ! bla bla bla....."
Suasana malam, suasana hati, semua menggelayut membutakan pertimbanganku, bahwa kami sudah berbeda arah .
Bahwa aku pernah dikhianati dan sangat membencinya.
Bahwa aku seorang istri dan dia suami orang.
Tapi cinta kami rupanya tak pernah mati.
Sampai lelah kami saling bercerita tentang cinta.
Apakah itu cuma nafsu sesaat?
Entahlah, yang jelas aku besok pasti akan melupakannya sekaligus membencinya lagi.
Dear Diary,
Kesedihanku melihat adikku menikah tak berlangsung lama.
Aku hamil lagi.
Seperti biasa kalau sedang hamil aku selalu benci mencium bau badan Lilik, walau sesungguhnya dia tidak berbau.
Setiap melihat orang dekil, atau buruk rupa, aku selalu muntah.
Kali ini aku sudah pindah kerja di BNI kantor kas Depok Margonda dibawah pimpinan pak Satori, pria pendiam, lembut tapi bermata tajam menusuk.
Kalau aku mempunyai kesalahan, pak Satori cukup memandangiku dalam diam, aku biasanya langsung mengaku salah dan menangis tersedu sedu.
Aku memang bersalah, suka mengusili satpam kami, baik itu Uriyanto atau Lauren.
Siapa yang tidak kesal bila fungsi satpam nyaris tak ada karena satpamnya malah ngobrol dan menjagai bengkel sebelah kantor?!
Saat nasabah ada yang kecopetan, atau ada nasabah yang mengamuk karena merasa lama dilayani, satpamnya malah tidak ada, kadang kutemui satpamnya sedang tidur dilantai 2.
Saat itu belum ada standar layanan, jadi layanan yang ada sesuai standar yang biasa berlaku.
Nasabah kami umumnya dari daerah Depok kebanyakan dihuni wartawan, yang biasa merasa " dirinya iatas manusia rata2 dan selalu meminta service lebih".
Saat sang wartawan itu terlambat datang padahal semua uang dan mesin sudah ditutup, biasanya sang wartawan mengamuk dan menyebutkan nama pemimpin2 kami, mengancam kami.
Yang paling terkena imbasnya adalah aku, karena aku paling tak bisa menahan sabar dan pemarah.
Kemana satpam kami?
Ternyata sedang asyik minum kopi sambil main kartu.
Yang sering menerima keusilanku selain satpam adalah Hasan Saih, kasir dikantor kami.
Kebiasaannya berlama2 menghitung uang, walau kuakui sangat teliti, bisa diterima, tapi kebiasaannya berbicara sambil garuk2, maaf, selangkangannya, membuatnya menjadi bahan empuk buat diledek. Saling ledek, saling curhat, semua berjalan seimbang.
Dibawah kepemimpinan pak Satori, kami merasa aman dan saling memahami.
Saat usia kehamilanku 6 bulan aku dan Lilik diwisuda di balairung UI Depok.
Aku datang bersama ibu dan ayahku, karena orang tuaku tak punya mobil.
Orang tua Lilik juga datang, tapi seperti sudah diatur Tuhan, antara kedua orang tuaku dan orang tua Lilik tidak saling bertemu.
Balairung UI kan segede gaban, luas sekali.
Satu lagi tanda2 dari Tuhan yang membuka mataku, kami akan berpisah, orang tua kami saja tak saling jumpa apalagi kenal padahal sudah 5 tahun lebih kami menikah.
Sepulang dari wisuda sebelum ke Pondok Pinang rumah mertuaku, kami menyempatkan diri berphoto di Jonas photo studio dekat Tarakanita Kebayoran.
Akhirnya aku jadi sarjana Tuhan !
Akhirnya Lilik jadi sarjana !
Aku bahkan lupa berapa lama aku kuliah, saking seringnya aku mengambil cuti kuliah.
Setiap aku putus pacaran, aku selalu mengambil cuti kuliah semester berikutnya agar tidak bertemu mantan pacar.
Karena tak punya mesin ketik, aku minta dibuatkan skripsi pada Musono Basuki, dengan bahan2 mentah dan konsep dariku.
Tapi karena yang dimintai tolong adalah kutu buku berotak pintar dan mempunyai IQ diatas rata2, apa yang dikonsepkan berbeda dengan hasilnya, jauh lebih bagus.
Sementara skripsi Lilik aku tak tahu dan tak mau tahu, tapi kurasa dia buat sendiri, entah kenapa rasanya aku masih tetap saja merasa tak nyaman dengannya.
Aku tetap menjaga jarak sebisa mungkin, walau Lilik sudah mulai berubah, lebih banyak diam dirumah.
Dia tetap bersikap baik, tapi aku tetap nomor 2 baginya.
Apapun yang dikatakan ibunya itu adalah yang lebih dulu dilakukan.
Entah berapa banyak janji terabaikan hanya karena 1 hal: kami harus kerumah orang tuanya.
Segera !
Kadang aku bisa mengerti dan memaklumi sikapnya, anakku toh ada disana.
Tapi aku kan juga istrinya, dengarkan aku, selalu kuteriakkan itu, tapi hanya dalam hati.
Aku juga ingin ditemani.
Sikap Lilik yang selalu tunduk pada perintah orang tuanya lama kelamaan membuat cintaku perlahan mati, walau aku tetap melayani sebaik2nya sebagai istri.
Aku rugi sendiri bila tidak bersedia melayani Lilik, aku toh perlu dicumbu.
Kebutuhan itu yang menghalangiku marah total.
Lilik pecinta yang hebat, staminanya juga kuat walau tidak romantis.
Cuma itu yang kuperlukan dari dia, kupikir tadinya.
Aku bahkan kerap berpikir menikah itu hanya demi seks yang halal.
Saat itu aku lupa bahwa aku menikah karena cinta, aku tak tahu kalau ternyata aku masih sangat mencintainya.
Komentar
Posting Komentar