4. SAAT SI TAMPAN HADIR



Dear Diary,

Menikah dengan Lilik lebih menyerupai berjudi sebenarnya.
Saling mencinta tapi aku yakin semua itu akan berakhir suatu waktu, cepat atau lambat.
Entah kelebihan atau kutukan bila aku bisa membaca garis tanganku, garis nasibku.
Aku bersikeras meyakinkan diriku bahwa aku salah. Jodoh, Mati, Rejeki itu semua ditangan Allah, tidak ada yang bisa menebaknya. 
Aku meyakinkan diriku.
Tetap saja ada sejumput ketidak nyamanan dan was2 karena yakin akan berakhir.
Karena itu, selama 16 tahun usia perkawinanku, tak pernah sekalipun aku berkeinginan memperkenalkan kedua orang tua Lilik dengan kedua orang tuaku.
Biarkan saja, toh akan berakhir nanti. 
Disamping itu, kedua orang tua Lilik juga kelihatan sekali tidak berkeinginan mengenal orang tuaku.

Dear Diary,
Berbulan2 menikah, tak pernah terbersit satu bayanganpun kalau aku bisa hamil. 
Hidup itu masa muda, nikmati saja. 
Biasa kukatakan seperti itu bila Lilik bertanya kenapa belum hamil. 
Aku sudah membayangkan skenario terjelek bahwa aku tidak akan bisa hamil karena dulu aku kerap minum minuman keras, merokok dan minum obat penenang dari dokter Prayitno.
Menstruasikupun tidak pernah teratur. 
Nikmati saja, kuyakinkan diriku.
Maka saat tiba2 berbulan2 aku tidak menstruasi, aku segera ke dokter. 
Ternyata aku hamil.
Lilik kesenangan. 
Dia menggendong tubuhku kesekeliling kamar kost sampai terseok seok.
Aku sendiri hanya bisa bingung. 
Apàa yang akan kulakukan bila kami nanti cerai?
Ikut siapa anakku? 
Apakah aku mampu berpisah dengan anakku?
Lilik menyadarkan ku, bahwa perceraian itu tidak akan terjadi.
Karena ada anak diantara kita, dia bilang.
Aku terdiam tak yakin.

Hamil itu ternyata melelahkan Dear Diary. 
Aku tidak  bisa lagi lari2 mengejar kendaraan. Sepatukupun harus sepatu datar, tidak boleh berhak tinggi. 
Saat itu aku bertugas di Cabang Matraman.
Aku tidak boleh  berkomentar jelek dan usil karena dia tahu aku kerap usil menjuluki seseorang. 
Misalnya saat bertemu dengan pacar adiknya yang kepalanya botak aku suka langsung koment "wah silau ya.."
Semua patokan itu diucapkan Lilik berulang2. 
Karena Lilik ingin anak laki2 maka aku harus banyak makan daging dan ayam. 
Aku yang vegetarian terpaksa menahan jijik mencoba makan daging. 
Aku muntah2 selama seminggu penuh karenanya. Sejak itu aku kapok mencoba berusaha makan daging.
Aku coba makan ayam. 
Ternyata aku bisa, dengan syarat harus ayam kampung.
Jadilah aku makin berhemat, agar aku dapat sering makan ayam kampung. 
Lilik makan setelah aku makan, menghabiskan bagian2 dari ayam yang tidak bisa kumakan.
Ingin rasanya makan bersama seperti dulu, sepiring berdua, main suap suapan, tapi Lilik bersikeras agar aku makan lebih dulu, dia belakangan saja. 
Sedih rasanya melihat Lilik makan mengais ngais sisa ayam goreng.
Untungnya selama hamil aku cuma bisa makan sesuap dua suap untuk dimuntahkan lagi.
Tapi ternyata Lilik malah bahagia walau cuma makan sisa2 makananku. 
Sering dia bilang sambil mengusap usap perutku “mudah2an kamu laki2 ya nak, bapak pengen ajak kamu main catur”
Aku nyaris tertawa terbahak2 mendengarnya. 
Main Catur?
“Kenapa gak diajak main tenis aja Lik, Lo kan pintar tenis? Diajarin main catur nanti anaknya bego malahan, lo saja kalah main catur lawan gue.”
Tiba2 Lilik terdiam.
”Kayaknya kita harus ubah cara kita bicara deh Rit. Mulai sekarang jangan gue elo lagi bisa kan ya, soalnya nanti ditiru anak kita. Nanti anak kita bahasanya kasar.”
Aku tercenung  dan berpikir. 
Jadilah sejak saat itu bahasaku menjadi lebih sopan.
Kami juga berdebat ingin dipanggil apa oleh anak2 nanti. 
Aku ingin dipanggil ibu, Lilik ingin dipanggil ayah. 
Ayah – Ibu ?
Kami tidak sepakat. 
Seperti lagu anak2 alasanku “ oh ibu dan ayah selamat pagi, kupergi sekolah sampaikan nanti...” sambil bernyanyi kuledek Lilik.
Papa-Mama, Papi – Mami ?
Kami juga sepakat menolak mentah2, karena  terlalu kebarat2an.
Ayah-Bunda? 
Kami juga tidak sepakat, kubilang mirip lagu “ bunda piara piara akan daku, sehingga aku besarlah...” aku menyanyikan lagu itu sampai tuntas.
Akhirnya disepakati anak2 akan memanggil kami Ibu dan Bapak. 
Sangat Indonesia alasannya, disamping tak ada lagu anak2 yang memanggil orang tuanya dengan Ibu dan Bapak.

Dear Diary,
Tiba2 saja sang play boy terkutuk datang lagi kekantorku saat aku sedang dikantor .
Dia tak percaya kalau aku sedang hamil 6 bulan. Memang saat hamil tubuhku malah lebih kurus karena tidak ada makanan yang masuk, seringnya malah dikeluarkan.
Aku curiga dia hanya ingin meledek kesengsaraanku sementara dia sudah naik sedan merah mulus.
Kecurigaanku pupus saat dia memberiku amplop tebal berisi uang.
Rasa gengsiku memang sudah tak ada lagi sejak aku sering kekurangan uang.
Kuterima amplop pemberiannya dan bilang “ sering2 ya Jo..”
Sesudah memberi amplop, diapun hilang seperti ditelan bumi.

Saat aku hamil 6 bulan itulah, tiba2 aku dipanggil ayahnya Lilik ke kantor notaris di Tebet.
Ternyata aku dipanggil untuk menanda tangani akte hibah sebidang tanah seluas 200 m2 di Beji Timur Depok, di jalan Nusa Indah 2 no. 8.
Jujur saja sejak awal pernikahan, bapaknya Lilik sangat manusiawi sikapnya, maksudku, dia selalu menganggapku manusia.

Aku buru2 mengambil pinjaman UMG perumahan untuk membangun tanah yang di Depok itu. 
Aku bosan mengontrak. 
Dengan darah kami membangun rumah itu. 
Benar2 dengan darah dalam artian sebenarnya. 
Beberapa kali tangan Lilik atau tanganku terkena palu saat memaku.
Hampir semua finishing bagian rumah aku dan Lilik yang mencat atau mengampelas kayunya.
Kebetulan aku suka bertukang.
Lilik mencari sisa2 bangunan dari gedung PGRI yang sudah tidak dipergunakan, sisa2 bahan bangunan dan bekas bathtub yang tidak terpakai dari rumah orang tuanya. 
Susah payah kami membangun rumah itu.
Saat uang sudah habis, sementara kaca belum terbeli terpaksa jendela2 ditutup dengan triplek.
Saat gajian barulah pembangunan dilanjutkan kembali dan kamipun siap2 makin hemat lagi.

Dear Diary,
Rumah baru 2 tingkat  ditanah seluas 200 m2 berwarna putih akhirnya selesai.
Bagian dari rumah yang paling kusukai adalah kamar mandi dengan bathtub bekas yang dicat semprot oleh Lilik dengan warna pink dipadu dengan batu alam dan kerikil2.
Serasa mandi dihutan dalam udara terbuka karena disekelilingnya kutanam pohon bambu dengan rapat. 
Bukannya sengaja, tapi karena kekurangan uang untuk membangun atap kamar mandi terpaksalah cuma dibangun dinding tembok setinggi 2 meter yang dikelilingi oleh pohon bambu. 
Nikmatnya mandi beratapkan awan biru. 
Lilik memang kreatif, seleranya saat menggambar rumah dan menentukan model ruangan benar2 baik.
Banyak teman2ku yang datang memuji rumah kami. 
Ah...seandainya mereka tahu latar belakangnya pasti mereka akan menangis tersedu sedu. 
Entah berapa pinjaman yg kuambil utk mewujudkan rumah itu.
Bersamaan dengan selesainya rumah kami, lahirlah bayi tampanku, Rintoadi Putrojati.
Bapaknya Lilik yang memberi nama. 
Artinya adalah anak pertama yang tampan, putra Rita dan Bintoro, nama Lilik.
Dipanggil Arin atau Jati.
Sebetulnya aku mau protes karena ada nama Rinto, nama yang orang yang kubenci, keponakan pemilik kost di Manggarai Utara yang kabur setelah meminjam uangku.
Tapi aku tidak tega mendebatnya, melihat wajah cerah bapak mertua yang baik.
Dua hari tidak keluar2 bayinya, dua kali itu pula bapak mertuaku menengokku di RS YPK,Menteng.
Ibuku? 
Rasanya aku seperti anak yatim tak beribu, padahal Lilik sudah menelpon orang tuaku memberi tahukan bahwa tanggal 4 Oktober 1988, aku melahirkan bayi laki2.
Bayi tampanku, berkulit putih, dengan berat 4 kg  panjang 51 cm dan...alhamdulilah berhidung mancung.
Lilik menangis bahagia melihat kulit bayiku yang putih, aku menangis bahagia melihat bayiku berhidung mancung. 
"Alhamdulilah Tuhan anakku sehat dan berkulit putih" kudengar berulang2 Lilik berdoa sambil menciumi anaknya.
Masing2 mempunyai alasan menangis yang berbeda.

Dear Diary,
Saat pulang dari RS, aku dijemput bulenya Lilik, bule Sunar namanya, karena aku dan Lilik sama2 belum bisa menggendong bayi. Duduk dimobil tersakit2  menahan nyeri 12 jahitan, membuat air mataku mengalir, membayangkan seandainya ibuku hadir, walau cuma sebentar. 
Benar2 siksaan tak tertanggungkan, memandikan bayi padahal untuk bangunpun susah.
Untung Lilik punya teman sekantor yang kerap pulang pergi bersama, bu Marha namanya. 
Wanita bule cantik keturunan Belanda  itu membantu memandikan putra tampanku, sampai 40 hari, sampai aku bisa memandikan bayiku. 
Pertama dia melihatku memandikan Arin, dulu aku memanggilnya seperti itu, anakku hampir mati tenggelam kr kemasukkan air dan aku panik saat melihat anakku megap2 kemasukkan air.
Berkat bu Martha pelan2 aku bisa memandikan anakku dengan benar. 
Seandainya saja ibuku hadir, seringkali aku membayangkan kehadiran ibuku... 
Mungkin ini yang membuatku jauh dengan ibuku.
Selama aku bekerja, Juli 1982 sampai aku meninggalkan rumah tahun 1987, semua gajiku kuserahkan untuk keperluan rumah. 
Walau aku tak pernah datang kiriman untuk orang tuaku tetap kukirimkan, tapi mereka tak pernah peduli akan keberadaanku.
Untuk pertama kali aku merasa seperti sapi perahan dan anak yang tak diinginkan.
Lilik berulang2 berusaha menepis rasa gusarku, dan bilang bahwa mungkin saja mereka sibuk.

Begitulah Lilik. 
Tanpa sungkan dia memandikan bayi, menyuapi, membersihkan kotoran bahkan mencuci. 
Saat itu kami masih belum mampu menggaji pembantu.
Untuk menghemat  susu yang cukup mahal untuk ukuran kami, aku selalu menyusui  bayiku.
Saat masa cuti hamil telah habis terpaksa kami menggaji pembantu, Sugiarti namanya, aku biasa memanggilnya Sug.
Saking inginnya halaman rumahku ditumbuhi rumput, disaat saat aku sedang libur Sug kusuruh mengambil rumput gajah dikebun kosong yang masih banyak terdapat disekeliling rumah. 
Kadang aku dan suamiku yang mencari rumput kalau pas hari libur..
Aku juga sangat suka suplir. 
Tanaman yang sering kulihat tumbuh liar dipinggiran tembok. 
Dengan hati2 kucabut dan kupindahkan ke pot bekas kaleng susu bayi tampanku.
Dalam beberapa bulan rumahku tampak hijau rimbun ditumbuhi rumput dan berkaleng kaleng suplir.
Kadang aku membawa pulang tanaman dari kantorku di Matraman yang saat itu sedang dalam proses pindah sementara ke dekat restoran Roda karena akan dibangun baru.
Lilikpun tak kalah rajin mengumpulkan tanaman gratisan dari rumah orang tuanya untuk memperindah rumah. 
Setiap ada tanaman yang akan dibuang atau diganti oleh ibunya selalu dibawa pulang kerumah.
Rumah baruku terlihat indah dipenuhi tanaman bunga. Benar2 indah dan penuh warna warni. 
Saat itu ibunya sudah mulai menerimaku walau dengan berat hati Dear Diary.                         

Arin adalah cucu pertamanya, karena kedua kakaknya yang sudah menikah masih belum dikaruniai anak.

Jadilah bayi tampanku sebagai jembatan silaturahmi aku dan ibu mertua.
Aku lupa punya suami pintar dan licik. 
Saat kehabisan uang untuk beli susu Lilik seringkali membawa bayiku menginap dirumah orang tuanya dan....ditinggal selama berhari hari.
Untuk sesaat aku lega karena terbebas membeli susu.
Tapi lama kelamaan aku juga kesepian tanpa bayiku.
Payu daraku bengkak karena air susunya tidak diminum bayiku, namun dengan niat baik akhirnya Lilik menggantikan tugas bayiku menghisap habis semua air susu daripada dibuang percuma.
Terbiasa lama tanpa kehadiran bayiku, kami serasa pengantin baru lagi.
Sayangnya musibah datang, pembantuku terpaksa keluar karena dihamili tukang bangunan, sementara sang tukang bangunan kabur membawa emas2an yang ditabung si Sug selama ini.
Jadilah anakku makin lama dititipkan dirumah orang tuanya Lilik.
Pelan tapi pasti anakku dijauhkan dan menjauh dariku. 
Saudara2nya Lilik sambil bercanda bilang “sudah mbak Rita bikin anak lagi aja, biar Arin ditinggal disini.”
Yang tidak mereka tahu dibelakang mereka ibu mertuaku menasehatiku “ini saatnya Rita mempertimbangkan lagi rumah tangga dengan Lilik. Beli susu saja gak mampu, rumah juga kalau gak dikasih gak punya rumah, itu berarti kalian belum mampu berumah tangga. Orang tuanya Rita cuma supir bukan?”
Belum sempat aku menjawab, percakapan terpaksa berhenti karena tiba2 Lilik datang.
Nasehat ibu mertuaku sangat membekas dan berarti bagiku, bahwa seperti firasatku, sampai kapanpun pernikahan ini tidak akan berhasil dan tidak akan direstuinya. 
Saat pulang kerumah aku meradang sepanjang jalan.
Untuk pertama kali sejak menikah, kami bertengkar. Sebetulnya cuma aku sih yang bertengkar, marah2 sambil lempar2 barang tanpa mendapat tanggapan dari Lilik.
Aku tak sanggup menceritakan nasehat ibunya tadi. Sekejam.apapun ucapan ibunya aku tidak pernah menyampaikan ke Lilik.
Biarlah akan kusimpan, sebagai bahan persiapan mentalku kelak. Cukup aku saja yang tahu, toh seandainya diceritakan Lilik belum tentu percaya dan malah menambah sakit hatiku.
Bibit2 ketidak nyamanan, ketidak amanan dan sakit hati mulai timbul.
Sedikit tapi pasti menggerogoti hati dan kesetiaanku yang hanya setipis benang.
Aku mulai berpikir ulang tentang arti perkawinan untukku.
Kupikir, apa yang akan terjadi, terjadilah...
What ever will be will be...

Komentar

Postingan Populer