18. AKU WANITA YANG BAIK KATANYA
AKU WANITA YANG BAIK, KATANYA...
Pernah suatu saat tim kami rapat bersama pimpinan. Setelah selesai rapat, saat makan siang yang terlambat bersama Murti dan sang bos.
Sang bos memberikan secarik kertas berisi lukisan wajah jelek, yang rasa2nya familiar kukenal.
“Siapa ini pak?” tanyaku.
“Itu kamu”jawab sang bos.
Aku tidak terima wajahku dilukis sejelek itu. “kok jelek amat? Memangnya saya sejelek itu?”
Murti menimpali “saya dilukis juga dong pak Barkin.”
Aku tak mendengarkan kelanjutan percakapan antara mereka.
Pikiranku melayang kemana mana.
Aku sejelek itu?
Sampai dikamar mandi aku berlama2 memandangi cermin, memandangi wajahku.
Saat sang bos masuk ruangan kamar mandi, dia bertanya khawatir “kamu kok melamun cah ayu? Ada apa?”
“Saya mau dilukis lagi pak, tapi jangan sejelek itu. Saya yakin wajah saya tidak sejelek itu. Masak saya jelek banget sih pak?”
“ yo... yo....kamu nanti saya lukis yang cantik ya cah ayu....”
Malamnya aku mengeluh kesal pada suamiku.
“ Masak ibu saat rapat dilukis sama pak Barkin jelek banget. Ibu kesel banget.”
“Ngapain pak Barkin lukis ibu. Jangan2 dia naksir ibu?” kata suamiku sambil memandangiku lekat2.
“Naksir apaan? Kalau orang naksir itu pasti melukisnya dibuat secantik mungkin, bukannya malah jelek.” Aku menjawab kesal.
“Bapak yakin pasti pak Barkin naksir ibu!” suamiku bersikeras.
Percakapan dua arah.
Aku berbicara tentang lukisan jelek wajahku, suamiku berbicara tentang naksir menaksir.
Komunikasi kami mulai tidak nyambung.
Sejak saat itu suamiku setiap malam selalu bertanya apa saja kegiatanku di kantor, makan dengan siapa, ngobrol dengan siapa, apakah aku dilukis lagi oleh sang bos.
Aku selalu menjawab dengan jujur.
Sebenarnya aku memang gadis jujur kok.
“Enggak, hari ini cuma dikasih coret2an ini” kusodorkan kertas notes berisi coretan tangan sang bos.
....Cinta adalah bagian dari jiwa,
dimana ada rasa, asa serta dosa.
Cinta itu pasti ada,
semua orang berhak jatuh cinta,
tapi kita tidak berhak melarang orang jatuh cinta....
“Jangan dibuang kertasnya pak, ibu mau salin dibuku harian” aku mengingatkan suamiku yang ingin membuang kertas itu.
“Pasti dia lagi jatuh cinta bu!” kata suamiku.
“iya kali, lagi jatuh cinta. Dia kan play boy.” Jawabku sekenanya.”Biar saja pak, asal jangan sama ibu”
Didalam tim kami juga ada anggota baru namanya Aris Sianturi, pria berkulit putih bertubuh kecil tapi mempunya segudang cerita tentang sex.
Sejak kedatangan pak Aris suasana tim jadi penuh hawa sex karena cerita2nya.
Didalam tim juga ada bujangan asal batak yang bernama Fernando Pinem, Nando panggilannya.
Saat itu nando masih single dan belum punya pacar.
Akhirnya setelah dipanas2i oleh Azasi dan Murti, Nandopun beli HP.
Saat suasana sedang sepi, Nando mendatangiku.
“Maaf bu Rita, saya bisa minta tolong gak?”
“Ada apa Nando?” jawabku ketar ketir, takut dia pinjam uang. Aku alergi dengan pinjam meminjam.
“ Begini bu Rita. Saya kan selama ini selalu diledekin teman2 1 kost an karena gak pernah dapat telpon dari wanita. Bisa gak ibu telpon saya malam ini jam 8 malam?” tanya Nando penuh harap.
“Oke, bisa saja. “ aku langsung lega karena Nando ternyata bukan pinjam uang dan hanya minta aku menelpon.
“Saya minta maaf sebelumnya bu kalau nanti malam saya manggilnya “Say” ya? Cuma pura2 saja bu”
“Say ? sayur maksudnya? He he bereslah, ibu tahu, cuma pura2 aja kok bilang “say” nya."
“Terima kasih banyak bu, terima kasih. Ibu baik sekali.” Ucap Nando berulang2 sambil menyalami tanganku.
Malamnya, sesuai janji, tepat jam 8, didepan suamiku aku menelpon Nando dan dipanggil say...
Suamiku geleng2 kepala melihat ulahku.
Dianggap “baik sekali” adalah sesuatu banget buatku yang selama ini menganggap diriku bukan orang baik2.
Sangat bahagia rasanya.
Apakah aku “baik sekali” atau “bodoh”, aku tak tahu bedanya.
Pernah satu kali aku diminta menemani temanku saat sama2 RM dulu, lagi2 seorang pria, temanku memang lebih banyak pria karena dalam lingkup pekerjaanku lebih banyak pria.
Dia minta diantar ke On Clinic sambil mengelus2 rambutnya yang menipis.
Kupikir On Clinic itu klinik untuk kesuburan rambut, karena saat minta tolong temanku itu sambil mengelus2 rambutnya.
Saat berdua temanku mendatangi On Clinic didaerah Sarinah, aku terhenyak shock, ternyata On Clinic itu klinik kesuburan pria, untuk pria2 yang mengalami ejakulasi dini atau impoten.
Sudah kuingatkan bahwa aku tidak mau masuk kedalam, karena kemungkinan aku ditanya atau jangan2 malah disuruh praktekan tehnik2 sex yang selama ini dilakukan.
Aku juga rasanya malas bila harus melihat temanku membuka celananya didepanku saat diperiksa.
Untungnya saat temanku dipanggil masuk, aku tiba2 “sakit perut” dan ingin ke kamar kecil.
Ku persilahkan temanku masuk lebih dulu.
Saat temanku masuk ruang periksa aku dengan tenang menunggunya sambil baca2 majalah, aku emoh masuk ruangan.
Di divisi kami ada satu pelayan yang sedapat mungkin kuhindari karena dari desas desus yang beredar dia hobby meminjam uang dan konon mempunyai 2 istri.
Andri namanya.
Walau aku menghindar tapi tetap saja karena seringnya ke bagian umum aku tetap bertemu si pelayan.
Akhirnya apa yang musti terjadi, terjadilah.
Aku meminjamkan uang yang makin lama makin meningkat. Setelah nilainya cukup besar, kini gantian sang pelayan yang menghindariku.
Untuk urusan uang, aku sanggup tutup mulut dari Lilik karena tahu pasti bahwa Lilik akan menceramahiku panjang lebar.
Pernah, bahkan sering, aku meminjam uang dari kantor karena ibuku mengeluh bahwa adikku Buyung ingin membuka usaha pompa dan service alat2 eletronik.
Walau tahu usaha itu akan hancur berkeping2 dimeja judi dan aku kembali akan dibohongi adikku, tetap saja aku tidak sanggup menolak permintaan ibuku.
Bukan cuma membiayai usaha Buyung tapi juga hutang2 bertumpuk yang harus kubayar, baik hutang yang dibuat ayah maupun ibu.
Aku ingin menangis menjerit2 merasa menjadi sapi perah.
Aku tak bisa mengadu pada Lilik.
Semua harus kutanggung sendiri.
Betapapun beratnya bebanku aku tetap harus menanggulanginya.
Kembali aku meminjam uang dari kantor.
Dalam jumlah besar.
Ya memang, hutang ayah atau ibuku semuanya bukan dalam jumlah kecil karenanya hanya dari kantorlah aku bisa meminjam uang.
Aku tak akan pernah mampu meminjam uang dari teman atau sahabatku betapapun mereka mampu, harga diri dan rasa maluku terlalu tinggi untuk itu.
Semua hutang2 yang kubuat untuk keperluan keluargaku kuambil tanpa sepengetahuan Lilik.
Saat itu aku tidak tahu bahwa membohongi suami walau untuk keperluan ibu adalah dosa.
Saat itu aku juga aku tidak tahu bahwa usahaku menolong keluargaku dengan membohongi suami adalah hal yang sia2.
Dimata ayah dan ibuku, aku tetap hanya sapi perah, hanya anak tiri yang kehadirannya diperlukan saat perlu uang.
Disaat2 bahagia keluargaku aku tak pernah dianggap anak.
Aku ingat saat adikku Shinta atau Susi menikah, aku tidak pernah dilibatkan dalam proses.
Tidak pernah aku sekalipun dianggap sebagai anak atau sikakak sulung yang harus hadir saat lamaran atau apalah.
Aku hanya hadir layaknya keluarga yang lain, saat pernikahan.
Betapa inginnya aku ikut hadir saat si bungsu merencanakan pernikahannya, adikku si bungsu yang sejak bayi kuurusi.
Hanya saat biaya sudah terukur perlu berapa banyak baru ibuku memanggilku.
“Ibu dan ayah hanya lupa mengabariku” berulang kali aku menghibur diri.
Tapi kenyataan adalah kenyataan.
Seandainya saja semua uang gajiku kupegang sendiri aku mungkin tidak perlu meminjam dari kantor, pikirku. Tapi saat kupikir2 lagi ada untungnya juga semua uang dipegang oleh suamiku.
Saat bapak ibunya mengajak dan lebih kearah “memaksa” untuk umroh, Lilik selalu punya uang.
Kalau kutanya uang darimana dia selalu menjawab “ya uang simpanan buat anak2lah, memangnya uang dari mana lagi.”
Yang jelas, setiap kali diajak umroh, Lilik selalu saja punya uang.
Walau kadang aku mengeluh tak pernah pegang uang banyak tapi saat diperlukan Lilik selalu ada uang, ia memegang dompetnya rapat2 seperti memegang nyawanya sendiri.
Seperti kali ini, saat upaya2 sang bos oleh Lilik dianggap makin gencar mengirimiku puisi dan lukisan2 wajahku yang kunilai jelek, entah karena hidungku yang pesek sehingga lukisan2 itu kulihat tidak pernah cantik, atau memang sang bos tidak berbakat melukis, suamiku mengajakku umroh lagi dan berlebaran di Mekah. Lilik bilang “kita second honeymoon lagi bu”
“Second honeymoon? Memangnya kita pernah honeymoon? Bukannya kita tidak pernah bulan madu karena gak punya uang?” aku meledek Lilik.
Second honeymoon atau apapun namanya, karena aku memang mencintai suamiku, setelah pulang umroh aku serasa kembali menjadi muslimah yang baru. Cintaku mekar lagi.
Sepulang umroh, lukisan2 wayang werkudoro yang sangat kugemari, patung2 yang kukumpulkan dengan penuh darah dan air mata akhirnya semua kuberikan kepada orang lain.
Rumahku kosong tanpa hiasan kecuali lukisan2 kaligrafi.
Koleksi parfum2 yang kukumpulkan dengan menghemat uang jajan sejak aku di Wilayah Senayan juga aku berikan pada orang lain.
Aku sangat percaya bahwa sebagai muslim aku tidak boleh menyimpan lukisan atau patung yang bisa dimasuki jin sehingga rumah ku tidak bisa dan enggan didatangi malaikat.
Aku juga percaya bahwa semua parfum mengandung alkohol yang dilarang Islam.
Kalau sudah percaya sesuatu aku memang suka kebablasan secara membabi buta.
Akibatnya jelas, berminggu2 aku melamun dan menangisi lukisan2 werkudoro ku.
Ya Tuhan, kenapa aku mengambil keputusan seperti itu? apakah Werkudoro ku tidak kotor berdebu dan merindukanku?
Saat melihatku menangisi semua yang telah kuberikan pada orang lain, Lilik hanya mendengus “orang aneh” katanya.
Seandainya saja dia tahu, aku bukan cuma merasa aneh tapi juga merasa bodoh.
Lengkap sudah.
Aneh dan bodoh.
Komentar
Posting Komentar