19. DAN DUNIAPUN TERBALIK ....
"Mas, aku rapih gak sih? Cakep gak sih ?” tanyaku pada suamiku.
“ Cakep kok, rapi jali deh pokoknya istriku. Ayo biasanya kamu semangat dan percaya diri, kemana semangatnya pergi? Ayo semangat ah!” kata suamiku meledek.
Aku cuma bisa tersenyum kecut menanggapinya, dan lamunanpun kembali mengaliri benakku.
Saat itu kami dalam perjalanan menuju rumah bapakku, bapak kandungku, R. Soedarmo Sastrodijoyo.
Bapak yang tidak pernah kutemui sejak 20 tahun yang lalu tiba-tiba datang kerumah adikku, mencari satu demi satu anak-anaknya yang tercecer.
Dari jendela mobil kulihat anak2 kecil beriringan ditepi jalan raya Serang, memakai sepatu dan ada pula yang bersandal jepit membawa tas sekolah.
Aku pernah mengalaminya, rasanya bahkan baru kemarin terjadi.
“ Yaah si Ida sendal jepitnya putus lagi....diikat tali rapiah aja Da.” kata temanku Nawiyah.
Kulirik kanan kiri jalan siapa tahu ada sepotong tali rapiah tercecer, tidak ada satupun.
“ Ini pakai peniti saja Da, aku penitinya gak dipakai kok, ambil saja.” Temanku Eli Sadeli menawarkan penitinya yang disimpan di kotak pensil bagus.
Eli Sadeli memang yang paling kaya dikelasku, bapaknya polisi lalu lintas, pak Sadeli namanya.
Walau kaya Eli Sadeli baik hati.
Beres memakaikan peniti ke sandalku, kembali aku jalan beriringan sambil memperhatikan mobil-mobil dari arah Jakarta lewat.
“Kalau sudah besar aku ingin punya mobil warna merah dan tinggal di Jakarta biar bisa lihat Monas setiap hari.” kataku.
Saat itu buat kami penduduk di kota Serang, melihat orang Jakarta lewat jalan raya depan sekolah dengan mobil-mobil bagus merupakan kenikmatan tersendiri.
Rasanya nikmat bisa ikut bermimpi, seolah-olah kami yang sedang berada didalam mobil itu.
“ Aku juga mau punya mobil merah, aku suka warna merah, tapi aku gak mau tinggal di Jakarta, aku tetap mau tinggal di Serang saja.” Kata Eli.
“ Aku juga mau tinggal di Serang sajalah, gak mungkin aku tinggal di Jakarta, apalagi punya mobil. Aku kan orang miskin.” Kata Nawiyah.
“ Aku juga miskin kok Nawiyah, tapi aku pasti punya mobil merah. Aku sumpah harus punya mobil merah dan tinggal di Jakarta.” Aku berulang-ulang mengucapkan sumpahku.
Kini, saat ini aku mengendarai mobil merah yang masih gres, kembali memasuki kota Serang.
“ Masih jauh gak Yang rumahnya?” kata suamiku membuyarkan lamunanku.
“ Sesudah rumah sakit DKT belok kanan, jembatan kedua belok kanan lagi. Rumahnya tepat didepan pabrik es Cimuncang.” Ujarku.
Rumah sakit DKT ( Djawatan Kesehatan Tentara) itu satu2nya rumah sakit kota Serang saat itu )
Belasan menit kemudian, kami sampai didepan rumahku dulu, tepatnya rumah kakekku, aku memanggilnya mbah kakung.
“ Tunggu mas, parkir didepan pabrik es saja, aku belum siap.” Kataku memberi instruksi.
Tanpa mematikan mesin mobil, dengan suara mendayu saksopon Kenny G, kami hanya diam mematung tak saling bicara didalam mobil.
Kulihat pintu gerbang rumah mbah kakung, sepi.
Pohon mangga dan pohon jambu disudut-sudut rumah sudah tidak ada lagi.
“Disebelah kanan rumah dulu terdapat sebuah pohon mangga mas”, kataku, “besar sekali. Gak ada yang berani lewat kalau malam karena katanya ada penunggunya. Dulu aku kalau pulang sekolah kehabisan nasi, aku biasanya manjat sampai tinggi dan nangkring disana, berbekal pisau dan garam. Diatas pohon, aku makan mangga, syukur-syukur dapat yang matang, kalau gak ada yang matang yah terpaksa makan mangga muda sambil dicocol garam. Kalau ada anak lewat biasanya dari atas pohon aku timpuk pakai mangga yang masih pentil, biasanya sih itu anak langsung kabur ketakutan disangkanya ditimpuk setan. ”
“ Masih kecil kamu sudah punya bakat bandel, mudah2an anak-anak kita gak ada yang menuruni bakat ibunya.”
“ Aku cuma nimpukin anak-anak yang jahat sama aku saja kok. Mereka kan suka ngeledekin aku “Ida miskin..... Ida miskin” kalau ketemu. Kalau anak yang gak jahat ya gak aku timpukin.”
“ Aku heran, kok dirumah bisa kehabisan nasi Yang ?” kata suamiku.
“ Iya mas, hampir setiap hari dulu kehabisan nasi. Kalau aku pulang lebih dari jam 12 siang, nasinya dibuang buat makan ayam oleh mamah atau kadang oleh mbah putri. Mbah putri itu gak pernah marah tapi suka ngadu-ngadu sama bapak dan mamah. Tapi kalau bapak sih diadukan oleh mbah putri gak pernah marah, paling bapak bilang “namanya juga anak kecil, maafin sajalah bu.” Mbah putri itu kan ibu tirinya bapakku mas. Mbah putri kalau aku kesiangan selalu mengancam akan memasukkan aku ke penjara anak nakal di Tangerang. Kalau mamah yang diadukan mbah putri dia langsung bereaksi. Aku sering banget kelaparan karena nasinya keburu dibuang mamah, padahal cuma selisih 5 menit. Untungnya dibelakang rumah ada banyak pohon pisang. Kalau pisangnya pisang kepok atau pisang ambon, aku sih gak bakal kebagian, tapi kalau pohonnya pohon pisang batu, itu benar2 berkah buatku. Pisangnya aku tebang, taruh dikarung atau taruh saja digudang, aku aman deh makan pisang batu selama seminggu, gantian sama mangga. Pulang sekolah aku jadi gak perlu buru-buru pulang karena gak khawatir gak makan lagi, kan punya persediaan pisang batu dan mangga, tapi aku sih daripada makan mangga mentah lebih enak makan pisang batu.”
“ Serius kamu nebang pohon pisang sendiri ?”
“ La iyalah, siapa yang mau nebang kalau pohon pisang batu? Biasanya sampai busuk dimakan codot gak ada yang mau susah-susah nebang. Aku kan walau baru kelas 4 SD sudah tinggi mas, sama dengan mamah tingginya. Tinggal nebang batang pisang bagian bawahnya kan nanti pohonnya roboh, gampang kok mas. Yang berat malah saat gotong tandan pisangnya kedalam gudang. “
Suamiku masih menatapku tak percaya.
“ Aku saking seringnya duduk dikebun pisang belakang rumah malah jadi dapat tugas menyapu dan membersihkan daun2 pisang yang kering menjuntai ketanah. Pernah karena malas harus memotong dahan2 pisang yang kering aku punya ide, aku ambil korek, aku bakar daun pisang yang kering itu dari bawah, kupikir nanti kan akhirnya daun pisang itu terbakar sendiri, gak perlu repot memotong apalagi menyapunya. Gak tahunya malah kebakaran, untung ada tetangga belakang rumah yang melihat dan teriak “ kebakaran...ada kebakaran...tolong ada kebakaran...” sambil siram pakai air karena sudah 2 pohon pisang yang terbakar. Aku cuma bisa bengong, kaget melihat cepatnya api merambat. Yang tersiar kabar malah aku sengaja mau bakar rumah. Mana ada sih anak kecil punya pikiran seperti itu mas ? Aku digebuki pakai tongkat yang biasa dipakai mbah kakung, padahal biasanya mbah kakung baik dan sayang sama aku. Mungkin karena dia kesal mbah putri ngomel dan bujuk2 biar aku dihajar. Aku lihat mbah putri telpon semua paman2ku agar datang karena aku mau bakar rumah. Malamnya bapak datang, semua pamanku datang, paman yang sudah kolonel dan tinggal di Tanah Abang juga datang. Aku memanggilnya pak de Marjo.
Dengan mata kepalaku sendiri aku lihat bapak di tampar bolak balik oleh pak de Marjo, sambil kokang pistol dan menodongkannya kekepalaku dia bilang “ Aku bunuh anakmu sekarang juga kalau kamu gak bawa anak ini pergi dari sini, anak sialan, anak monyet gak tahu diuntung. Mau bawa pergi anakmu gak? Jawab!” Aku dengar bapak menjawab pelan “ ya besok saya bawa Ida ke ibunya di Jakarta. “. Lalu pak de Marjo menyentakkan kepalaku pakai ujung pistolnya “ bawa anak sialan ini dari sini. Aku gak mau lihat muka jeleknya.” Aku lihat bapak cuma bisa menunduk, dan setelah pak de Marjo pergi kembali ke Jakarta, bapak kemudian memelukku sambil menangis. “bapak tahu Ida gak berniat bakar rumah, mereka cuma gak mau mengerti alasan Ida saja. Besok kita ke Jakarta ya, Ida tinggal sama ibu dulu, nanti kalau bapak kaya, Ida bapak ambil lagi. Disana jangan nakal ya Da, kalau Ida nakal dan diusir lagi, Ida mau tinggal dimana.?” Tanya Bapak. Besoknya aku diantar bapak sampai didepan gang menuju rumah ibu dengan dibekali sepucuk surat dan 3 tas plastik berisi baju2ku. Itu terakhir aku ketemu bapak mas.”
Sebulir air mata tanpa terasa jatuh, membayangkan kejadian malam itu.
“ Ayo Yang......sudah siap temuin bapak? Sudah 15 menit kita dimobil, biar bisa cepat-cepat pulang kerumah, nanti terjebak macet barengan orang pulang piknik dari Anyer. Lagian besok kan anak-anak mau ulangan, nanti pada gak belajar deh kalau gak ada kita.” Kata suamiku.
Dengan berat hati aku turun, melangkah memasuki rumah besar tempat aku dibesarkan.
Dihalaman ini rasanya baru kemarin aku disuruh jongkok oleh mbah putri, dan disiram minyak tanah rambutku. Dari mulai rambut sampai sekujur tubuhku basah oleh minyak tanah.
“ Anak jorok, kepala penuh kutu rambut, kalau gak pakai minyak tanah mana bisa hilang kutunya! Seisi rumah ketularan kutu rambut jadinya.!”
Mbah putri memang artis jempolan, mana ada penghuni rumah yang berkutu selain aku?
Didepan mbah kakung selalu mbah putri menyuruh aku makan, padahal dia tahu nasinya sudah tidak ada karena dibuang buat makan ayam-ayam.
Didepan bapakku sering mbah putri menyisiri rambutku dengan wajah lembut dan suara merdu penuh kasih, tapi begitu bapak berpaling kearah lain, kepalaku didorong dengan jijik.
Bila bapak sudah tidak ada lagi, mbah putri langsung mengibas kibaskan tangannya dengan jijik sambil bilang “najis, badan penuh kutu, jorok. Sana pergi jangan dekat-dekat!”
Kulewati halaman, kuketuk pintu rumah sambil berseru “ assalamualaikum”.
Kudengar suara langkah kaki diseret, sesosok wajah muncul diambang pintu.
Wajah mbah putri.
“ Oh Ida datang, kok baru datang? Gak pernah nengokin bapaknya, padahal bapaknya kan sayang banget sama Ida. Mbah kakung meninggal juga boro-boro datang. Sudah kaya raya jadi lupa ya?” katanya tanpa jeda, menggarami luka hatiku.
Aku pura2 tidak dengar, kucium tangannya sambil kuperkenalkan suamiku.
“ Mo, ini anak kesayangnya datang nih, tumben2an.” Kata mbah putri memanggil bapakku.
Bapakku yang bernama Sudarmo, biasanya dipanggil Mamo.
Dari dalam kamar keluar bapak, dengan tubuh yang menggelembung tak sehat, menghampiriku.
Kucium tangannya dalam diam, kuresapi dalam hati, tangan inilah yang selama ini selalu mengajariku menggambar, yang selalu menyisiri rambutku dengan kepang2 berantakan, yang selalu menggendong diatas bahu saat melihat film layar tancap, yang selalu membetulkan sepatu2 rusakku dengan menjahitnya memakai jarum besar.
Aku rindu tangan ini mengusap kepalaku.
“ Maafin Ida baru bisa datang sekarang pak.....” kutatap wajah bapak.
Bapakku yang pandai, yang serba tahu, pria tampan yang selalu dikerumuni wanita bila sedang jalan2 denganku, kini sudah berubah menjadi pria tua, gemuk dengan wajah penuh gurat2 kesengsaraan.
Suamiku langsung memperkenalkan diri memecah kebisuan yang mendadak muncul diruangan.
“ Saya Lilik Bintoro pak, suaminya Ida. Maaf gak bawa anak2, tadinya mau bawa anak-anak biar kenal sama kakeknya, tapi anak-anak besok ulangan. Nanti kapan-kapan saya bawa kesini deh.”
“ Gak apa-apa, ini sudah ditengokin juga bapak sudah senang kok. Ayo duduk disini, ayo jangan malu-malu.Gimana Ida sekarang kerja dimana? Lilik kerja dimana ?” tanya bapak.
“ Ida kerja di bank pemerintah pak, pas lulus SMA Ida langsung kerja. Kalau mas Lilik mengajar di SMEA pak. “
Tiba-tiba mbah putri nyeletuk “ohhh suaminya cuma guuuruuuu.........” dengan nada diayun, yang terkesan menghina.
Belum sempat aku menjawab ocehan mbah putri, bapak sudah berbicara lagi.
“ Maaf ya Da, bapak gak bisa sekolahin Ida, apalagi kuliahin, seharusnya kamu kuliah, ambil ilmu setinggi-tingginya, kamu pinter Da, seandainya bapak ada uang....” suara bapak terhenti.
“ Gak apa-apa pak, Ida legowo kok menerima keadaan. Ida bekerja di bank juga sambil kuliah di fakultas hukum UI. Ini ketemu jodohnya juga dikampus sama mas Lilik. O iya mbah, ini mas Lilik bukan cuma guru biasa kok, sekolahannya punya bapaknya, dia sedang magang jadi pengacara.”
“ Oh Ida masih sombong seperti dulu ya ternyata.” Kata mbah putri.
Ya Allah, ampuni aku bila telah bersikap sombong.
Kalimat mbah putri menyadarkan aku.
Bukan maksudku menyombongkan diri, aku hanya tidak ingin suamiku dilecehkan.
“ Buat apa sih Ida sombong mbah, Ida cuma menerangkan saja, bahwa mas Lilik bukan cuma sekedar guru biasa tapi juga pemilik sekolahnya. Seingat Ida dulu Ida juga gak pernah sombong deh, sepatu buat sekolah saja gak punya, cuma bisa pakai sandal jepit sekolah, apa sih yang bisa disombongin?” aku balik bertanya.
“ Ida itu gak sombong bu, dia memang dari dulu punya cita-cita tinggi, tapi orang suka salah arti dianggap sombong. Kalau mempunyai keinginan ya itu bukan sombong namanya.” Bapak menerangkan pada ibu tirinya.
Merasa gerah berhadapan dengan mbah tiriku, aku rasanya ingin cepat-cepat pergi dari situ.
“ Bapak ikut Ida yuk, jalan-jalan keluar. “ ajakku.
“ Iya pergi ikut anaknya sana Mo, minta sekalian beliin belanja dapur buat sebulan, sekali-sekali makan enak mumpung ada yang beliin.” Kata mbah.
Aku kaget melihat sikap nyinyir mbah putri.
Rasanya dulu dia hanya jahat dibelakang, dimuka selalu bermulut manis, sekarang ternyata dimukapun sudah penuh dengan sindiran-sindiran berbisa.
Aku malu pada suamiku melihat sikap nyinyir mbah putri.
Rencananya akan kuajak bapak pergi ke restoran dan mall terbesar, membeli apapun yang dia mau, membeli apapun yang dia perlukan.
Sayangnya Serang kota kecil, belum ada mall besar, kami akhirnya terdampar ke kota Cilegon.
Bapak ingin makan direstoran ayam goreng yang saat itu baru dibuka, ya sudah kuikuti.
Sementara bapak dan suamiku makan, aku jalan dari ujung ke ujung mall mencari baju dan celana panjang serta sepatu untuk bapak.
Sayangnya tubuh bapak yang tinggi menjulang membuatku kesulitan mencarinya.
Siapa sih yang punya tubuh setinggi dan sebesar bapakku dikota sekecil ini?
Akhirnya cuma kudapati celana panjang, sementara baju dan sepatu tidak ada yang ukuran besar, akhirnya kubelikan bapak sandal terbesar dan terbagus yang ada.
Kuajak juga bapak belanja bulanan.
Suamiku yang biasa hemat dengan pengeluaran tidak berkata apa-apa, dia malah bilang “ kasihan bapak ya, bulan depan kita anggarkan pengeluaran untuk bapak makan selama sebulan.”
Aku cuma diam, terharu mendengar ucapannya, terharu dan heran sih sebenarnya.
Saat menurunkan barang belanjaan bapak, mbah putri ikut melihat sambil berkacak pinggang.
“ Wah mobilnya baru ya? Ternyata baru bisa nengokin karena nunggu beli mobil baru ya?” kata mbah putri sambil senyum manis.
Mobilku memang masih dibalut plastik.
Itu kebiasaanku untuk tidak melepas plastik.
Plastik baru dibuka setelah tersobek-sobek ulah anakku, biasanya ulah si bungsu yang suka usil.
Ingin aku menerangkan bahwa kabar tentang bapak baru kuterima dari adikku Wiwik beberapa minggu yang lalu, dan tidak mudah meninggalkan anak-anak sendirian untuk pergi menemui bapak.
Menjelang pulang, sambil mengantarkan aku ke mobil bapak berkata pelan “ terima kasih ya Ida, Lilik, bapak sudah diajak makan dan dibelikan barang banyak. Kalau mbah putri ngomong apa-apa gak usah didengarkan, maklumlah namanya juga orang sudah tua, sikapnya kembali seperti anak kecil lagi. Bapak minta maaf atas nama mbah ya, jangan dimasukkan kedalam hati.”
“ Gak apa-apa saya gak tersinggung kok. Insha Allah bulan depan kalau gak ada halangan saya bawa anak-anak ke Serang biar kenal kakeknya.” Jawab suamiku.
Aku terperangah kaget, keputusan suamiku untuk berkunjung lagi belum dibicarakan denganku.
“ Oh ....Alhamdulilah kalau begitu. Titip anak bapak ya, yang sabar kalau hadapin Ida, dia anak bapak yang paling jujur. Tolong bahagiakan Ida, bapak selama ini belum pernah bahagiakan Ida.”
Dari sudut mataku kulihat air mata bapak menetes.
Bapak memang cengeng dan romantis, persis sama sepertiku.
Dulu saat bapak dan ibu baru bercerai, sering kudengar bapak bersiul atau kadang bersenandung lagu Besame Mucho, Love story, Changing partner atau lagu Indonesia entah apa judulnya yang kalimatnya Jangan ditanya kemana aku pergi.
Cuma empat lagu itu yang selalu dinyanyikan bapak dengan suara sedih terputus2.
Aku tahu, saat itu bapak pasti sedang ingat ibuku.
Saat pulang, kuajak suamiku melewati pasar Royal, agak memutar memang, agar bisa melihat rumah mbah kakung dari arah belakang.
“ Pelan-pelan jalannya mas, tuh lihat mas, bangunan besar memanjang itu adalah kandang ayam. Dulu aku sering disuruh tidur dikandang ayam kalau pulang mengaji kemalaman.”
“ Memangnya jam berapa pulangnya? Anak kecilkan memang gak boleh keluyuran.”
“ Kalau mengaji itu kan ngantri, kalau dapatnya belakangan kan bisa jam 8 baru pulang, rumah sudah dikunci, cuma ada suara mbah saja yang bilang “ kamu tidur dikandang ayam malam ini. Besok kalau pulang ngaji lewat jam 8 tidurnya dikandang ayam lagi.”
Kandang ayam sebesar itu, belum lagi bau tahi ayam, bayangkan mas, aku cuma bisa tidur sambil duduk menyender. Kalau sedang ada ayam yang sedang mengeram, itu adalah masa-masa aku terkena penyakit kulit, namanya buduk. Itu penyakit kulit yang bruntulan kecil dan isinya air, kalau pecah merembet ketempat lain. Gatal dan perih sekali. Ayam kalau sedang mengeram biasanya mengibas kibaskan sayapnya, melemparkan meri, itu sejenis kutu yang ada di ayam. Sekujur tubuh gatal-gatal dan perih semua. Tidur dikandang ayam berhenti saat bapak marah, dan itu aku sengaja memang, pulang mengaji lewat jam 8 malam. Karuan saja aku langsung disuruh tidur dikandang ayam, aku pura-pura menangis menjerit memanggil nama bapak. Bapak yang sudah tidur langsung bangun dan marah sejadi-jadinya kepada mbah putri. Mbah kakung juga ikut memarahi mbah putri, rupanya selama ini mbah kakung gak tahu kalau aku tidur dikandang ayam.”
Sambil satu tangan memegang setir mobil, suamiku mengusap kepalaku.
“ Aku percaya Yang, sekarang saja mbah putri sikapnya seperti itu, apalagi dulu.”
“ Rumah mbah kakung kan besar, dengan banyak kamar, dibuat kost untuk anak sekolah dan mahasiswa. Pernah satu hari ada anak kost yang kehilangan kalung emas. Aku dituduh mencurinya. Aku disuruh minum air putih dari dukun agar mengaku. Berbotol-botol air campuran dari dukun aku minum sampai perutku kembung, ya memang aku gak mencuri, aku gak mungkin mengaku. Ternyata anak kost itu hanya lupa menaruhnya. Sampai kapanpun aku akan ingat kejadian itu, saat kepalaku dijedutkan ketembok dan dipaksa mengaku mencuri. “
“ Ya sudahlah jangan diingat-ingat lagi. Sekarang kita balas mereka dengan kebaikan saja, jangan dibalas dengan kejahatan juga. Kalau mbah putri ngomong apa-apa gak usah dijawab, anggap saja itu ujian buat kesabaran kamu Yang.”
“ Itu mas kok ambil keputusan sendiri, mau ke serang lagi, gak rembukan dengan aku dulu.”
“Memangnya mau kenalkan anak-anak ke kakeknya harus rembukan dulu ya?” suamiku pura-pura bertanya dengan mimik yang tidak lucu.
“Itu kan perlu uang banyak, buat bensin, buat tol, buat beli macam-macam, belum buat makan, itu harus dihitung dulu dong.”
“ Sikap bapak melindungi kamu dulu, kasih sayang bapak buat kamu padahal bapak melawan arus dan akhirnya dibenci keluarga karena belain kamu itu gak bisa dinilai sama uang Yang. Umur bapak memang berapa lama lagi sih, lihat saja tubuh bapak gak sehat seperti itu, jalan saja nafasnya kencang sekali terdengar. Sudahlah gak usah hitung-hitungan buat bapak.”
“ Kalau kasih bapak sih aku gak masalah, rela dunia akhirat mas, tapi kalau sampai rejekiku dimakan oleh mbah putri atau mamah, jujur aku gak rela.”
“ Astagfirulloaladzim, istigfar Yang. Gak boleh seperti itu ah.” Suamiku agak marah.
“ Pokoknya aku gak rela rejeki kita dimakan dua orang itu.” Aku tetap bersikukuh.
“ Istigfar Yang, aku gak suka kamu seperti itu. Kasih orang gak punya atau kasih mereka juga kan gak ada bedanya, sama-sama beramal. Kamu anggap saja kalau sedang bersedekah pada orang yang gak punya, cuma kebetulan orang itu kamu kenal, kebetulan pernah menyakiti kamu.
Toh tujuan kamu beramal. Siapa tahu mbah putri dan mamah kamu jadi insaf.”
Aku cuma diam membayangkan mbah putri dan mamah insaf.
Rasanya gak mungkin sekali.
Tapi aku diam saja, mumpung suamiku sedang baik hati, kalau kudebat malah nanti marah.
Pertemuan dengan bapak disiang hari tadi membuatku tidak bisa tidur.
Sepi malam yang menggigit malah membangkitkan kenanganku saat aku kedinginan tidur dikandang ayam bersama puluhan ekor ayam, saat aku basah kuyup kedinginan dan tidak dibukakan pintu oleh mereka.
Sumpah, malam itu rasanya aku masih mencum bau amis kandang ayam diruangan kamarku.
Banyak hal yang membawa dampak dalam hidupku kini.
Aku tidak suka makan ayam, karena dulu sekali setiap mbah putri masak ayam, masakan mbah putri memang selalu enak, dia pintar masak, ayam yang sudah mati disuruh aku yang bubuti, itu lho diambil bulu-bulunya setelah ayam direndam air panas.
Walau aku menangis menjerit-jerit disuruh memegang mayat ayam, mbah putri tetap memaksa.
Aku sampai bermimpi didatangi raja ayam selama berhari-hari karena membubuti bulu-bulu anak buahnya.
Aku juga kini tidak suka makan mangga muda, aku bahkan benci melihatnya.
Rasanya gigiku mengkerut, perutku terasa perih karena lapar dan tanpa sadar...aku menangis dalam diam.
Aku juga benci perhiasan emas.
Walau aku mampu membeli perhiasan emas, aku tak pernah terpikir untuk membelinya.
Aku masih trauma dituduh mengambil kalung emas penghuni kost dulu.
Sedemikian dahsyatnya kenangan memaku kita dalam kesehariannya.
Tapi ada juga akibat positif hinaan yang kuterima dulu.
Aku jadi giat belajar, apapun yang terjadi, sekolah adalah nomor satu buatku.
Walau ibu juga sering membenci dan menampar wajahku karena wajahku mirip bapak katanya, aku tak peduli.
Aku harus jadi nomor satu.
Waktu aku tahu ayah tiriku tak mampu membiayai kuliahku, saat itu aku berjanji, memohon malah pada ibu, agar aku tetap dibiayai hanya sebatas uang pangkal masuk universitasnya saja, uang kuliah setiap semester biar aku cari sendiri entah dari mana.
Untungnya ibu setuju, dan untungnya lagi aku diterima di universitas negeri ternama di Jakarta, jadi bayaran uang kuliahnya sangat murah.
Setiap hari sepulang kerja jam 4 sore, aku langsung kuliah sampai malam, dan baru tiba dirumah jam 11 kadang jam 12 malam, tergantung selesainya kuliah. Kendaraan dari Rawamangun jakarta timur ke Cibinong tempatku tinggal sangat jarang bus, apalagi kalau malam.
Kutepis rasa takut pulang malam hari sendirian, melewati tempat gelap diperempatan By Pass, melewati gerombolan pemabuk yang berkumpul dibedeng sementara didekat halte bus.
Mereka seringkali meneriaki aku dengan kata-kata tak senonoh, bahkan ada beberapa yang berani mendatangi dan mencegatku, tapi aku tak bergeming.
Aku tetap berjalan dengan wajah beku, dan mereka pun enggan menggodaku melihat wajah masamku yang menakutkan dilihat.
Ternyata ada untungnya juga memiliki wajah mati rasa sepertiku ini, gumamku dalam hati.
Kutepis semua halangan itu asal bisa tetap kuliah.
Kadang aku juga lelah, kadang aku ingin menyerah bekerja sambil kuliah, tapi secepat semangatku pudar, secepat itu pula dia datang lagi saat aku membayangkan wajah mbah putri atau mamah yang mentertawakan aku saat aku diteriaki dan dituduh maling oleh penghuni kost.
Bukannya membela aku, mereka malah ikut-ikutan menuduhku.
Allah Maha Besar, saat aku muntah-muntah kebanyakan disuruh minum air putih, saat itu pula pemilik perhiasan berteriak bahwa dia menemukan kalungnya terjatuh disela tempat tidur dan bantal.
Tak ada kata mohon maaf untukku karena telah salah dituduh, cap sebagai maling tetap melekat walau perhiasannya sudah ketemu dan dulu sempat hilang karena kelalaiannya sendiri.
Jujur saja, dalam tahun-tahun berlalu aku melupakan bapak.
Dalam bayanganku bapak juga telah membuangku, karena tak pernah mencariku walau sekali.
Aku tumbuh dalam cangkang manusia egois.
Walau kadang sakit hati melihat ibu dan ayah bercengkerama, melihat betapa ibu sangat mendewa-dewakan adik-adik tiriku, aku cuma sanggup berjanji dalam hati : aku harus cepat pergi dari rumah ini, aku harus bisa cari uang sendiri.
Aku bukan bagian dari mereka, aku tak pernah menjadi bagian dari mereka.
Kudengar suara mengorok suamiku disebelahku, kutatap wajahnya.
Aku bersyukur mempunyai suami dia, selalu memiliki jawaban atas semua pertanyaanku, selalu mempunyai uang bila aku perlu dan bergengsi.
Nyaman untuk ditampilkan dan dipamerkan.
Rasanya mas Lilik memang jawaban yang tepat untuk menjawab kesombongan mbah putri.
Apa yang bisa dihina dari mas Lilik ?
Tampan, pengacara walau baru magang, berduit pula.
Kucium suamiku dengan penuh rasa syukur sebelum lelap diperaduan.
Bulan-bulan yang kulalui selalu kuisi dengan mengunjungi bapak di kota Serang, walau kadang anak-anak mengeluh bosan.
Kadang hanya aku dan suamiku yang pergi, kadang bersama anak-anak.
Aku berusaha bersikap baik walau kadang hatiku panas membara mendengar omongan mbah putri mengomentari segalanya seperti saat ini.
“ Wah mobilnya baru lagi ya, jangan-jangan bukan cuma mau nengokin ya, jangan-jangan mau pamer mobil. “
Aku cuma diam tak menjawab.
Bukan aku bermaksud pamer, kalau yang ikut banyak belum lagi nanti kami pasti keluar belanja bulanan untuk bapak, gak mungkin cukup kalau aku cuma pakai mobil sedan.
Suamiku menepuk nepuk punggungku, menenteramkan aku agar bersabar.
“ Wah bajunya kompakan ya sama mobilnya, hijau-hijau semua.” Kata mbah putri lagi.
Aku memang membiasakan agar serasi dengan anak2 bila sedang bepergian.
“ Yah begitulah Ida mbah. Kalau bajunya hijau dia maunya pakai mobil hijau, kalau merah dia maunya pakai mobil merah dan semua anaknya juga disuruh pakai baju merah. Kalau kuning ya semuanya juga kuning, tinggal saya yang capek keluar masukkan mobil. Cucunya mbah memang aneh.” Tiba-tiba suamiku menjawab enteng.
Aku kaget.
Tidak pernah suamiku menyombongkan diri dia anak siapa, selama ini dia selalu bersahaja.
Urusan warna mobil ini kok suamiku terkesan sombong saat diucapkan walau itu kenyataan.
Saat semua masuk kedalam, tinggal aku dan suamiku yang masih berkutat menurunkan oleh-oleh buat bapak, kutanya dia.
“ Ada apa mas? Kok tumben sombong? Katanya kita gak boleh sombong. Istigfar mas.”
“ Aku juga manusia biasa Yang, rasanya mau meledak juga lihat kamu yang sudah sabar tidak menjawab dan berusaha berbaik-baik walau aku tahu sebetulnya kamu masih sakit hati kok masih disakiti terus. Bisa gak sih mbah-mu itu sekali saja memujimu?” mas Lilik mulai emosi.
“ Sudahlah mas, lupakan saja mbah. Kan bapak juga sudah bilang kalau orang tua memang seperti itu, kelakuannya jadi seperti anak kecil lagi. Ayo istigfar sebelum masuk rumah.”
Seperti anak-anak kecil lainnya, anakku berlari-larian dirumah mbah, memegang semua perabotan, memindah-mindahkan pajangan yang ada.
“ Ibuuuu.....mbah uyut pelototin Dea” anakku yang nomor dua berlari memelukku.
Mas Lilik mulai mendelik melihat anak kesayangannya dipelototi.
“ Makanya Dea gak boleh pegang-pegang pajangan. Pajangan itu kan ditaruh disitu biar indah. Ibu juga marah kan kalau pajangan dirumah dipegang-pegang sama Dea. Iya kan ?!” ujarku.
“ Tapi ini kan pajangannya jelek bu, jadi boleh dong Dea pindahin, naruhnya juga gak benar kok bu, itu kan Dea pindahin biar gak kelihatan jelek bu. Ibu kan bilang kita harus punya selera.”
Buru-buru kubekap mulut Dea, tapi kerusakan sudah terjadi.
Diujung sana kulihat mbah putri merengut marah dengan mata melotot.
Bapak dan mas Lilik berbarengan tertawa, walau pastinya kutebak dengan alasan yang berbeda.
Si bungsu sejak awal masuk rumah bahkan tidak mau mendekati mbah putri, “ atut bu” katanya.
Dia selalu mengelayut padaku atau pada mas Lilik.
Saat kami berpamitan pulang, kembali anakku Dea membuat ulah.
Bila kakak dan adiknya mau disuruh cium tangan mbah putri dan mamahku, Dea tetap tidak mau walau sudah kutarik dan kupelototi.
“ Gak mau cium tangan....tangannya bau semua bu. Lagian Dea tadi dipelototin sama mereka, Dea gak mau cium tangan bu..” anakku tetap ngotot walau mas Lilik dan aku memaksanya.
Tak sanggup memaksa anakku untuk mencium tangan mereka, akhirnya kami meminta maaf atas kelakuan Dea sambil berpamitan.
Sebelum kami semua masuk mobil, seorang pengendara es krim yang merknya mirip tokoh kartun, lewat depan rumah mbah, tentu saja yang namanya es krim, merk apapun merupakan magnet tersendiri buat anak-anakku yang penggila es krim.
Es krim itu !
Es krim Woody !
Suara teriakan-teriakan ceria anak-anakku seolah-olah teriakan anak-anak mamah, adik-adik tiriku, anak bapakku dengan mamah.
Aku masih ingat berdiri disudut pintu gerbang rumah mbah memperhatikan mereka memegang 2 buah es krim dikanan kirinya.
“ Ida gak usah makan es krim ya, sudah besar. Kalau mau es krim minta beliin sama ibunya di Jakarta sana. Ini rejekinya anak-anak mamah sama bapak, kamu kan bukan anak mamah.”
Sakitnya masih terasa.
Lagi !
Buru-buru kubelikan anak-anakku es krim, dan tanpa berpaling pergi meninggalkan bapak, mamah dan mbah putri berdiri dipintu gerbang rumah.
Aku tak mau mereka melihat air mataku, melihat kesakitanku.
Cukup sudah !
Tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, akhirnya setiap kami menjenguk bapak, anak-anak tak pernah lagi kubawa.
Perlakuan mamah sudah berubah jauh, tak berani ikut-ikutan mbah putri mencelaku.
Dari dulu walau sikap mamah memusuhiku tapi dia lebih banyak sebagai follower saja.
Kelakuan mbah putri tetap, berapapun banyak barang yang kubeli dan uang yang kuberi.
Pernah aku bertanya pada bapak, kenapa mbah putri selalu membenciku sejak dulu sampai kini.
Bapak cuma bilang bahwa sikap orang tua memang seperti anak-anak lagi.
Selalu itu alasannya.
Karena mas Lilik selalu mewanti-wanti tidak membalas apapun yang mbah putri katakan, aku merasa mempunyai “pengawas” untuk tidak melanggar batas kesopanan.
Kalau menuruti emosi mungkin sudah kuabsen semua penghuni kebun binatang, tapi pesan bapak dan mas Lilik menguatkanku.
Sampai detik terakhir aku bertemu mbah putri aku masih bisa menahan diri dan bermanis muka.
Karena kesibukan anak-anak yang semakin meningkat, hari libur seringkali diisi dengan latihan karate dan lainnya, aku makin jarang bisa menemui bapak.
Bijaknya mas Lilik dia membukakan rekening tabungan untuk bapak, sehingga bapak selalu ada uang untuk membeli keperluan tanpa menunggu kedatanganku.
Berbulan-bulan kemudian baru aku tahu kalau mbah putri meninggal dunia.
Beberapa malam sebelum mbah putri meninggal, bapak menelponku menyuruhku datang, karena mbah putri ingin bertemu denganku.
Bapak bilang mbah putri kangen, bapak tidak bilang kalau mbah putri ingin meminta maaf.
Seandainya bapak bilang mbah putri bilang ingin minta maaf, pasti akan kusempatkan datang.
Tapi kangen ?
Hah ?
Siapakah aku yang dikangeni?
Aku masih ingat puluhan julukan yang diberikan untukku, dari mulai si Kutu, si Bule sampai si Buduk.
Kutolak mentah-mentah bujukan bapak agar aku datang menemui mbah putri untuk terakhir kali.
Dan akhirnya mbah putripun meninggal sambil mengharap kedatanganku.
Aku diomeli habis-habisan oleh suamiku karena masih membawa dendam dan tidak bisa melepaskan hantu masa lalu.
Tidak menemui mbah putri untuk yang terakhir kali memang telah menimbulkan penyesalan jauh disudut hatiku.
Kenapa aku tidak bisa menahan sabar dihari-hari terakhirnya, siapakah aku yang menghakimi kelakuan mbah putri?
Sudah bersihkah aku ?
Bukankah aku juga penuh jaring dosa?
Aku tidak bisa menebus kesalahanku pada mbah putri, tapi aku bisa membahagiakan mereka yang tersisa, bapak dan mamah.
Benar suamiku bilang, kejahatan tidak perlu dibalas dengan kejahatan, lebih manis bila dibalas dengan kebaikan.
Mamah telah meminta maaf atas kesalahannya dimasa dulu, berkali-kali malah, walau aku masih belum bisa melupakannya, tapi aku telah memaafkannya.
Semua kesakitan ini pasti akan bisa hilang dengan kebaikan.
Bila bantuan keuangan dari seorang anak kepada orang tuanya bisa disebut sebagai kebaikan, aku akan berusaha meraih hati mamah dan bapakku melalui bantuanku.
Membeli hati, cinta dan perhatian yang layak kudapatkan bertahun-tahun yang lalu dari mereka.
Maafkan Ida atas kesadaranku yang terlambat ini Pak..
Komentar
Posting Komentar