20. DUKA ITU DATANG LAGI.
Tahun 2001 tahun penuh duka buatku.
Bapak, pahlawanku meninggal awal desember 2001.
Aku lupa tanggal pastinya karena buku harian tahun 2000 dan 2001 yang kutemui sudah bolong2 dimakan rayap dan tak terbaca lagi, tapi semua ingatan menyakitkan itu masih terpatri jelas dalam memori ingatanku.
Saat itu aku sedang dikantor.
Sekitar pukul 9, adik tiriku Eka menelpon dan memberitahuku bahwa bapak sudah meninggal karena sakit. Hanya semalam sakitnya.
Anehnya aku tak bisa menangis. Orang2 bilang ini namanya shock yang tertunda.
Ada rasa tak percaya, ada rasa lega juga karena bapak akhirnya bebas dari jerat penderitaan.
Bersama suamiku, setelah menjemput adikku Wiwik dan Bambang, kami berangkat ke Mancak, Cilegon, tempat bapak terakhir tinggal.
Untungnya aku masih bisa berpikir dengan jernih.
Ku telpon temanku di BNI Cilegon, pak Nana, kutanyakan kebiasaan orang2 di Cilegon saat memakamkan jenazah.
Berbekal informasi dari Pak Nana aku ambil uang sebanyak kubisa, sebagian kutukar dengan pecahan rp. 5 ribuan dan rp. 10 ribuan. Kubeli amplop sampai berkotak kotak.
Diperjalanan juga kubeli buku yasin untuk dibaca pelayat.
Saat sampai di Mancak, kulihat wajah tirus bapak yang sedang tersenyum terbujur kaku ditutupi kain batik kusam, dan disitulah aku baru bisa menangis sedih.
Tapi aku tak bisa berlama2 bersedih karena terlalu banyak yang harus kuurus.
Kulirik ibu tiriku, aku memanggilnya Mamah,orang yang dulu lebih memilih membuang nasi daripada dimakan olehku sang anak tiri, dia sedang menangis dengan mata melirik kanan kiri.
Aku yakin itu pura2, aku ahli berpura2 dan mengelabui orang, dari jarak jauh aku tahu kepura2annya.
Kesedihannya tak sampai dimatanya, matanya tetap melirik pelayat laki2 yang datang.
Aku memang pernah dengar selentingan kalau mamahku sudah beralih kelain hati.
Itu kekesalan ku yang pertama.
Saat melihat kepura2an mamah menangis begitupun aku masih tetap bersikap tak peduli, aku hanya ingin segera bapak dimakamkan.
Betapa anehnya adat istiadat suatu daerah.
Disebelah jenazah bapak kuletakan tumpukan buku2 yasin yang kubeli, maksudnya agar dibaca sambil melayat jenazah. Ternyata dalam sekejap tumpukan buku2 yasin yang menggunung habis tanpa dibaca didepan jenazah tapi dibawa pulang kerumah masing2.
Tanpa dibaca !
Betapa kesalnya aku !
Padahal penduduk terlihat alim bersarung, berkopiah dan berbaju koko, masak melayat seperti itu ?!
Apakah tidak ada yang bisa baca surat Yasin?
Itu kekesalanku yang kedua.
Didaerah Mancak ini bila seseorang meninggal, bila laki2 harus membeli 2 buah kambing sebagai akikah, kalau wanita harus membeli 1 buah kambing.
Betapapun aku menolak karena bapak sudah diakikahkan, mamah tetap ngotot ingin dibelikan 2 buah kambing. Walau hatiku dongkol setengah mati melihat wajahnya aku tetap membeli kambing.
Itu kekesalanku yang ketiga.
Untuk pelayat yang melakukan sholat jenazah, keluarga almarhum harus memberikan amplop yang isinya berkisar antara rp. 15 ribu atau rp. 20 ribu/ orang.
Untuk pengantar jenazah setiap orang harus diberi Rp. 20 ribu/orang.
Tips untuk pembaca doa dan penggali kubur berbeda dengan pembaca doa, , sementara biaya tanah makam gratis. Kalau biaya untuk penggali kubur dan pembaca doa itu sih memang wajar disemua daerah ada.
Aku tidak bisa membayangkan bila yang meninggal keluarganya tidak punya cukup uang.
Bapak dimakamkan dengan diantar banyak pelayat, yang aku yakin karena tertarik pada amplop berisi uang, bukan pada ketulusan hati sebagai tetangga.
Saat bapak masih hidup dulu, hampir setiap bulan atau 2 bulan sekali aku dan suamiku kadang2 dengan anak2 pergi mengunjungi bapak, memberikan uang bulanan untuk bapak.
Suamiku pernah mengeluh karena jarak menuju Mancak yang jauh, menanjak berbukit2 dan sempit, lebih jau dari kota Serang.
“Kenapa tidak ditransfer saja sih bu seperti saat bapak di Serang dulu ? Ongkos bensin dan tol kesana kan lebih baik buat bapak.”
Tapi aku tak bergeming. Aku beralasan ingin menyerahkan langsung kebapak, aku ingin ajak makan bapak dan memenuhi permintaannya, padahal alasan sesungguhnya karena aku tahu, bapak pernah cerita bahwa uang yang kutransfer tidak pernah bapak terima karena sudah diambil anak2nya.
Sambil menunggu makanan biasanya bapak kuajak berbelanja.
Walau dia mengajak istrinya aku tak pernah melirik sekalipun untuk membelikan istrinya, ibu tiri terkejam didunia, dan aku orang paling pendendam sejagat raya.
Setiap aku datang mengunjungi bapak, selalu bapak bersandal jepit dengan lain warna. Bapak kerap mengeluh bahwa sandal jepitnya selalu hilang saat bapak sholat di mesjid, yang tersisa hanya sandal butut jelek berbeda warna. Selalu sandal jepit yang minta dibelikan bapakku.
Beberapa bulan sebelumnya bapak minta dibelikan freezer karena istrinya ingin berjualan es mambo. Memang listrik baru saja masuk dikampung bapak.
Aku belikan freezer besar. Aku juga beli kipas angin karena bapak mengeluh suka gerah.
Walaupun tak percaya udara dipuncak gunung bisa gerah, aku tetap membeli.
Aku sayang bapak.
Bapak contoh ketidak adilan politik di negeri ini.
Terfitnah karena disangka pendukung PKI padahal bapak hanya ikut SOBSI, itupun karena diperintahkan oleh atasannya, agar karirnya lancar.
Menjelang akhir hayat bapak sering membantu partai PAN yang saat itu sedang naik daun dan mencari muka di arena politik.
Saat partai PAN mengadakan acara sosial membagi2kan beras dan bahan pokok lainnya, bapak turut membantu membagi2kan pada warga sekitar.
Sejak itu bapak dimusuhi orang sekampung karena dianggap penganut Muhamadiah, sementara penduduk sekitar situ pendukung fanatik NU.
Apa sih yang bapakku mengerti tentang agama?
Bapak bukan orang yang mendalami agama, dia hanya mengerjakan sholat 5 waktu dan kadang2 tahajud atau dhuha, itupun baru 2 tahun belakangan.
Walaupun sarjana, mana dia peduli tentang NU atau Muhamadiah, bedanyapun dia tidak tahu.
Pertemuan terakhirku dengan bapak, saat makan, saat bapak mengeluh perlakuan orang2 sekampung yang mengucilkan bapak karena membantu partai PAN.
Bapakku bukan pendukung partai PAN, dia hanya membantu membagi2kan bantuan sosial berupa beras dan bahan2 pokok yang dibagikan partai PAN saat itu.
Bantuan bahan pangan dari partai PAN diterima, namun sikap bapak yang membantu mambagi2kan bantuan tidak diterima oleh pendukung NU sekelilingnya.
Bapak juga sempat ingin kumasukan panti werdha, bahkan aku belum sempat mencari2.
Aku benci saat mamah dengan bangga bercerita bahwa dia bertengkar dengan bapak dan mengusir bapak dari rumah, walau akhirnya mereka rujuk lagi. Saat mendengar itulah aku memutuskan bahwa bapak harus dirawat dipanti werdha.
Belum sempat aku mencari panti werdha sayangnya bapak sudah tidak ada.
Saat sholat jenazah, saat pemakaman, kuperhatikan wajah2 penduduk kampung itu, mencari2 wajah orang yang memusuhi bapakku.
Hubunganku dengan mamah berakhir 40 hari setelah bapak dimakamkan.
Mamah meminta uang untuk selamatan1 sampai 40 hari berturut2.
Memangnya dia pikir aku bodoh apa? Memangnya yang meninggal anak gadis atau bujang sehingga harus 40 hari berturut2.
Cukup sudah. Aku tidak ingin berurusan dengan wajah itu lagi.
Segera kupenuhi permintaannya sekaligus untuk 1,7,14 dan 40 hari selamatan bapak.
Aku hitung biayanya dan kukalikan 4.
Aku tidak akan pernah datang ke Mancak melihat wajah itu lagi, janjiku dalam hati.
Saat aku datang aku hanya akan menyambangi kuburan bapak.
Karena banyak menyesali perlakukanku terhadap bapak, aku seringkali sakit. Penyesalanku terdalam karena bapak belum pernah sekalipun menginjakkan kaki dirumahku di Pondok Cabe. Aku malu dengan keadaan bapakku yang kekurangan. Betapapun kupoles penampilannya, akhirnya bapak kembali pada penampilan awalnya, slebor dan tidak peduli pada penampilan.
Aku tak ingin bapak bertemu keluarga suamiku yang kaya raya itu, aku tak ingin bapak dihina.
Saat adik2ku tidak ingin tahu tentang bapak walau bapak berkali2 mengeluh ingin bertemu adik2ku, aku juga tak peduli, cukuplah bapak ada buatku.
Penolakanku atas kehadiran bapak dirumahku kelak akan selalu menjadi penyesalanku.
Perutku terasa dipilin pilin, kadang disertai darah berminggu2.
Setiap kali berhubungan intim dengan suamiku aku selalu berdarah darah.
Aku merasa jangan2 aku sudah menjelang menopause, padahal usiaku 41 menjelang 42 tahun.
Pak Sugeng sesama rekanku 1 tim di Mikro Banking, mengusulkan agar aku berobat di RS Harum dipinggiran Kali Malang.
Suamiku mengeluh karena tempatnya jauh dan macet, tapi aku perayu ulung, selalu kudapatkan keinginanku, suamiku tak pernah mampu menolakku apabila aku memohon dengan pandang penuh cinta dan bibir merayap kesana kemari.
Jadilah aku diantar suamiku berobat ke RS Harum yang jalanannya super macet.
Baru kutahu ternyata dirahimku terdapat daging tak diundang seberat 5 gram.
Seperti biasa aku berpikiran positif, bahwa setelah dioperasi beratku akan turun 5 gram.
Asyik kupikir...
Penyakitku makin hari makin bertambah, walau kucoba untuk menunda2 operasi, menyesuaikan diri dengan suasana dirumahku, karena kebetulan semua pembantuku pulang dan tidak kembali lagi. Mereka semua ada hubungan keluarga, jadi bila yang 1 pergi yang 2 pasti ikut pergi.
Kucari2 pembantu sambil kasak kusuk, tapi masih belum dapat juga.
Untuk sementara semua kukerjakan sendiri dari mulai mencuci sampai menyetrika dibantu suamiku saat menjemur pakaian.
Pekerjaan rumah tangga yang banyak, penyesalan dan rasa dikejar dosa membuat sakitku makin parah dan tak lagi bisa menunda nunda.
Akhirnya akupun dioperasi, sekaligus diangkat rahim.
Kupikir ini sudah akhir penderitaanku, tapi ternyata ini baru awal.
Komentar
Posting Komentar