GANTUNGLAH CITA2MU SETINGGI LANGIT, DAN JANGAN BIARKAN IBUMU IKUT CAMPUR...



Saat aku masih kecil almarhum bapak kandungku sering bercerita tentang dokter Herlina, dokter cantik yang yatim piatu dan terpisah karena banjir dengan adik satu2nya yang juga menjadi dokter, dokter Budi. 
Walau miskin akhirnya Herlina bisa menjadi dokter karena rajin belajar. Selain pandai, dokter Herlina juga berwajah cantik.
Kalau kuingat ingat lagi pasti bapak cuma cerita ngibul, untuk membangkitkan semangatku agar rajin belajar dan bisa menjadi dokter. 
Kok mudah sekali jadi dokter? 
Memangnya uang darimana, katanya mereka miskin?
Lagipula memangnya Jakarta jaman dulu sudah sering banjir? kok bisa kakak adik berpisah puluhan tahun karena banjir?
Mengingat ingat cerita bapakku saat ini, aku kadang tersenyum geli sambil menggeleng2kan kepala membayangkan tidak masuk akalnya cerita bapak.
Tapi sebagai anak kecil saat itu, memangnya ada yg berani meragukan cerita sang bapak?
Bapak buatku adalah laki2 ganteng yang terdzolimi oleh politik negeri ini, pahlawan dimata Ida kecil. 
Seingatku sejak aku masih di TK Garuda di Serang sampai kelas 4 SD bapak sering bercerita tentang dokter Herlina dan dokter Budi, sehingga aku, karena ingin membahagiakan bapakku, langsung bercita2 “ ingin jadi dokter”, belum jelas mau jadi dokter apa, apakah ingin menjadi dokter gigi karena aku suka lihat gigi yang putih rapih atau kah menjadi dokter kulit karena aku suka kulit yang putih dan  bersih, tapi yang jelas setiap ditanya orang aku akan menjawab “ingin jadi dokter”.
Sebetulnya selain banyak bercerita tentang dokter Herlina bapak juga gemar bercerita tentang kerajaan. Setiap pelajaran sejarah, bapak akan bercerita tentang raja2 dan putri2nya, istana2nya dan kekayaan2nya, biasanya sambil menggambar wajah sang raja atau sang putri diatas buku gambarku.
Tanpa sadar bapak mengajarkan aku tentang seni melukis dan ...berkhayal.
Pernah karena seringnya bapak memuji2 kecantikan putri Diah Pitaloka, aku sempat bercita2 ingin jadi putri raja dan ingin secantik Diah Pitaloka. 
Berulang kali bapak bilang bahwa aku tidak bisa menjadi putri karena bapak bukan keturunan raja, namun saat aku tetap ngotot bercita2 menjadi putri Diah Pitaloka, bapak dengan jujur bilang “ dengar Da, Ida gak bisa jadi putri. Ida kan tidak cantik, hidungnya pesek, Diah Pitaloka itu tidak pesek Da. Dia cantik secantik2nya wanita yang pernah ada dimuka bumi, bahkan bidadaripun kalah cantik. Ida ganti cita2nya ya.”
Saat sekecil itulah aku mengerti kata bahwa “aku tidak cantik” dan bahwa “hidungku pesek”.
Bapak mengajariku mencintai seni lukis dan menulis, tapi bapak juga yang menghancurkan mimpiku untuk menjadi cantik.
Dari bapak jugalah aku belajar kejujuran dan berkata terus terang.

 
Saat aku masih tinggal di Serang dengan nenek tiri dan ibu tiri, setiap ada pemotongan kurban aku tidak pernah melihatnya, aku selalu malas.
Bahkan saat masih sekecil itupun aku sudah tidak suka keramaian, rasanya malu kalau ada yg melihatku.
Biasanya adikku Wiwik yang mengambil daging kurban. 
Saat Wiwik tidak ada entah kemana, tugas itu jatuh kepundakku tanpa bisa kutolak. 
Berbekal sebuah bakul aku mendatangi pemotongan hewan. 
Saat melihat darah berceceran, aku langsung lemas dan menangis tersedu2.
Saat itu aku langsung tahu, aku tidak bisa menjadi dokter.
Aku menangisi cita2ku.
Kejadian kedua yang memupuskan cita2ku menjadi dokter adalah saat aku berkelahi dengan temanku, Jaenah namanya. 
Saling pukul dan jambak pun terjadi. 
Aku diatas angin karena badanku lebih besar. 
Tapi saat kulihat darah keluar dari hidungnya, aku malah menangis ketakutan melihat darah.
Cita2ku menjadi dokter kandas tidak tercapai, bahkan sebelum aku tahu ingin menjadi dokter apa.

Aku ingat pertama kali merasakan nikmatnya tape singkong adalah saat pertama kali ikut ibuku yang saat itu baru menikah dengan ayahku dan tinggal di Karet Gusuran, sekarang kira2 di Metropolitan Building tempatnya.
Saat bulan puasa ibu membeli tape untuk dibuat stup tape.
Kucoba sedikit tape yang belum dimasak, ternyata enak.
Sejak saat itu aku tergila2 pada tape. Aku hanya jajan tape. 
Aku menabung untuk beli tape.
Saat saudara2 ayah datang dan aku ditanya ingin jadi apa kelak, dengan mantap aku bilang “ Ida ingin jadi tukang tape.”
Kelas 5 SD dengan badan setinggi aku seharusnya aku sudah punya nalar, demikian pikiran ibuku mungkin. Kenapa cita2ku masih seperti anak kecil?
Ibu dengan penuh semangat bercerita bahwa membuat tape itu susah, apalagi wanita, karena tidak boleh buat tape saat sedang menstruasi. Aku tidak percaya.
Ibuku meyakinkanku bahwa tukang tape itu tidak akan kaya raya.
Akupun bernegosiasi “ yah kalau tidak jadi tukang tape, Ida mau kawin sama tukang tape saja. Nanti Ida yang kerja. Kan enak bisa makan tape setiap hari.”
Ibuku hanya bisa terdiam kesal.
Bertahun2 aku tetap bercita2 ingin jadi tukang tape atau setidaknya kawin dengan tukang tape.
Ibuku tidak pernah lagi menanyai apa cita2ku kelak, karena aku pasti menjawab dengan jawaban yang sama. 
Untungnya ibu tetap mendukung hobbyku makan tape singkong dan sama sekali tidak pernah melarangku.
Saat aku kelas 3 SMP, kami sekeluarga untuk sementara tinggal di Cijantung, seberang pabrik Khong Guan, dirumah mamah, adik ibuku, karena rumah yang dibangun di Cilodong belum jadi.
Diseberang rumah mamah ternyata ada sederet rumah kontrakan yang diisi oleh tukang tape pikulan.
Aku bahagia mendengar dekat rumah mamah banyak tukang tape.
Ibu dengan cerdik menyuruhku membeli tape langsung ke rumah kontrakannya.
Rumah kecil, kotor dan berbau asam khas tape membuatku langsung merubah cita2.
Saat pulang dari rumah tukang tape ibuku bertanya “gimana Da? Masih mau jadi tukang tape? Masih mau kawin sama tukang tape?”
“ Nggak bu. Sekarang Ida mau jadi arkeolog saja bu. Nilai sejarah Ida kan selalu bagus.”
Ibuku hanya diam, dipikirnya itu hanya cita2 anak kelas 3 SMP yang baru saja patah hati melihat kondisi tukang tape.

Sejelek apapun pelajaranku, untuk mata pelajaran sejarah aku selalu bagus, sejatinya aku memang cinta pelajaran sejarah.
Aku hafal semua tahun2 yang ada dibuku. 
Bukan karena aku pintar menghafal, tapi karena saat menghafal aku selalu membayangkan wajah sang raja, atau wajah sang tokoh cerita, bukan cuma sekedar tahun yang kuhafal.
Aku benar2 menyukai sejarah.
Aku serius dengan cita2ku menjadi ahli sejarah, arkeolog dan sejenisnya. 
Aku rela membuat bagan peristiwa agar mudah mengerti dan menghafalkan sejarah.
Aku tak akan berubah cita2 lagi, tekadku.

Adikku Wiwik lebih bisa membuat orang tuaku bahagia.
Dengan otak yang hanya pas2an menurutku, adikku tetap optimis dengan cita2nya.
Saat ayahku bertanya “Ida mau jadi arkeolog, Wiwik mau jadi apa nanti?”
“Wiwik mau kawin saja yah. Ngapain capek2 belajar mau jadi dokter. Kawin saja sama dokter kan jadi bu dokter. Mau jadi menteri? Kawin saja sama menteri kan jadi bu menteri”
Ayahku mengangguk2 setuju, pasti sambil membayangkan adikku Wiwik menjadi istri menteri dengan wajah cantiknya. 
Bukan hal yang mustahil memang, adikku cantik.
Adikku bisa semudah itu bercita2 karena wajah cantiknya.
Kadang aku iri melihat wajah cantiknya, dia dengan mudah bisa berganti2 pacar.
Bayanganku pasti dengan mudah dia akan mencapai cita2nya menjadi istri menteri.
Sementara aku dengan keterbatasanku harus belajar dengan giat untuk menjadi arkeolog.

Saat persiapan ujian Perintis untuk masuk UI tahun 1979, ibu memanggilku untuk berbicara 4 mata.
Aku ditanyai ingin memilih jurusan apa?
Dengan pasti kujawab “arkeologi bu. Pilihan keduanya sastra sejarah bu. Ida ingin jadi ahli sejarah”
Aku tidak tahu apakah ada kaitannya antara fakultas sastra sejarah, antropologi dan ahli sejarah saat itu.
Aku juga masih meraba2, tidak ada yang memberi tahuku
Seandainya orang tuaku kaya mungkin aku akan ikut bimbingan test masuk UI dari Siky Mulyono mungkin, bimbingan belajar yang sedang nge top saat itu dengan biaya selangit.
Aku pasti akan diajari cara memilih jurusan.
Sayangnya aku tidak memiliki tempat bertanya.
Ibu dengan pelan bilang “ jangan masuk kesitu Da, Kamu kan harapan keluarga, kalau kamu lulus dari situ kamu tidak bisa bantu keluarga, itu jurusan susah cari uang. Coba pilih jurusan ekonomi biar bisa kerja di bank kalau sudah lulus.” Ibu menyarankan.
“Ida kan gak suka berhitung. Ida benci hitung2an. Nanti malah Ida gagal” seperti biasa aku ngeyel.
“ Kalau begitu coba pilih jurusan Hukum saja Da. Kamu kan suka membela orang yang lemah. Kamu bisa jadi pembela, bisa jadi jaksa atau hakim. Selain banyak uang itu profesi mulia Da, membela rakyat.”
Aku suka membela orang lemah? 
Menindas yang lemah, itu baru pas.
Rasanya aku tidak pernah membela yang lemah seperti itu. 
Aku yakin aku orang yang egois dan penyendiri.
Ini trick ibuku agar aku merasa penting.
Walau tahu ibuku berbohong, tetap saja aku bahagia dibohongi.
Akhirnya aku pun memilih jurusan fakultas Hukum di UI.
Walaupun akhirnya aku tidak menjadi jaksa, pembela apalagi hakim, tapi setidaknya aku bahagia.
Dengan prinsipku yang sok bersih dan sok jujur, seandainya aku masuk kejaksaan atau kehakiman, tinggal masalah waktu saja aku pasti hengkang, karena aku memang tidak suka ketidak adilan.
Untunglah walau cita2ku tidak tercapai aku tidak menyesal.
Tuhan membelokkan cita2ku menjadi pegawai bank, ladang penuh riba.
Syukurlah, gagal masuk mulut buaya aku masuk mulut dosa penuh riba.
Terlambat kusadari bahwa “Gantunglah cita2mu setinggi langit” itu masih ada lanjutannya, yaitu “Gantunglah cita2mu setinggi langit, dan jangan biarkan ibumu ikut campur”.
Yah sudahlah, ini takdirku rasanya.

Komentar

Postingan Populer