MALAIKAT TAK BERSAYAP
Aku punya teman, Yanti dia biasa dipanggil. Sebetulnya sih namanya Dwi Darmajanti, tapi dia lebih suka dipanggil Yanti, walau secara logika seharusnya nama panggilannya adalah Dwi atau Darma.
Aku pernah memprotes pak Momon Sudirman pimpinanku, karena memanggilnya Darma dan bukannya Yanti.
Tapi pak Momon berkilah “ secara teoritis harusnya namanya Darma atau Dwi bu Rita. Itu nama Yanti kan biar dia keren saja di Jakarta. Di Surabaya pasti nama panggilannya Darma” .
Benar juga logikanya pak Momon kupikir.
Jadilah pak Momon satu2nya orang yang memanggil Yanti dengan panggilan Darma.
Sahabatku itu tidak pernah marah, selalu lembut bertutur kata, gemar membantu teman yang kesusahan, tidak genit walau dia punya modal cantik untuk bergenit ria dan...pandai.
Benar2 type ideal rakyat Indonesialah kalau memang seandainya type ideal itu ada.
Beda bangetlah dengan Jokowi apalagi Syahrini.
Aku selalu ingat pesan bapak saat aku kelas 3 SD dulu, sambil melukis wajah raja Hayam Wuruk lengkap dengan mahkotanya, bapak menasehatiku, “ Da, bertemanlah dengan orang pintar, kalau perlu bermusuhanlah dengan orang pintar agar Ida jadi terdorong ingin pintar juga.”
Dahulu aku tak tahu maksud bapak, sehingga sampai kelas 5 SD aku seringkali berkelahi dengan anak2 yang kuanggap pintar dikelasku.
Kalau ada yang lebih cepat menjawab pertanyaan guruku, apalagi lebih pintar dariku, pulangnya atau paling lambat besoknya pasti kepalanya benjol kubidik dengan katepel.
Tapi itu kalau tubuhnya lebih besar dari aku, kalau tubuhnya lebih kecil dari aku, biasanya aku langsung menghadangnya dan berkelahi sampai berguling2 ditanah.
Saat menulis ini, tiba2 aku sadar, “ jangan2 ini salah satu alasan ibu tiriku membenciku, karena aku selalu pulang sekolah dalam keadaan kotor dan kadang2 sobek2 bajunya.”
Ah biarlah.
Menjelang aku dikembalikan ke ibuku, barulah bapak menjelaskan maksud nasehatnya.
Aku selalu mengagumi orang pintar.
Kadang dari awal pembicaraan saja aku langsung bisa menebak dangkal atau tidaknya pengetahuannya.
Walau aku lebih tua, aku tak pernah malu bertanya dan mengakui ketidak tahuanku.
Saat lomba Duta Layanan tahun 2005 di BNI, kulihat ada cewek cantik berjilbab, dengan mata berbinar2 memandang pak Agus bosku saat itu. Sempat kupikir “wah nih cewek nafsu banget lihat pak Agus. Apa yang dilihatnya ya?”, maklum pak Agus itu walau berbadan kekar tapi tidak rapi penampilannya, malah terkesan dekil dan bau.
Sayangnya kulihat dia berbinar2 juga saat melihat Kelly temannya sesama peserta Duta Layanan menyanyi, aku baru mahfum, ternyata matanya memang berbinar2.
Saat kulihat pak Agus, ternyata pak Agus rupanya juga sedang memperhatikan cewek berjilbab itu.
Aku segera bisiki pak Agus “pak, itu yang pakai jilbab boleh juga pak, namanya Yanti, anaknya cepat mengerti. Kenapa gak ambil dia saja pak buat asisten di Layanan? Kita kan butuh asisten Layanan.”
Dengan gayanya yang urakan pak Agus menjawab “ Memangnya elo mau ngajarin dia?”
“Ngajarin sih gampang. Kalau ada dia kan lumayan pak, buat presentasi di Cabang2.”
“Bilang aja elo gak mau presentasi. Males kan elo jalan ke Cabang2?”
“ Gak lah, ngapain juga saya malas, saya senang kok jalan ke cabang2, siapa tahu kalau saya capek bisa kurus. Tapi paling gak kalau saya sakit kan ada gantinya. Pemandangan juga jadi indah kan pak lihat Yanti dibanding bapak lihatin saya”
“ Ah elo dasar ! Nantilah gue ngomong dulu sama bos, memangnya BNI gue yang punya, enak aja lo usul2!”.
Pak Agus memang bos yang obyektif.
Mendatangi 12 Cabang, saat itu Kantor Wilayahku membawahi 12 Cabang dari Serang sampai Cikampek, dan 97 Kantor Layanan dalam rangka meningkatkan Layanan, memang bukan usaha yang mudah.
Dia juga mungkin sudah memikirkan perlunya ada tim lain yang bergerak selain aku.
Tanpa memakan waktu lama, tanpa banyak bicara cewek berjilbab itu ditarik ke Kantor Wilayah oleh pak Agus dan ditempatkan di unit Layanan.
Hubunganku dengan Yanti bukan tanpa kendala, apalagi aku termasuk orang yg sulit bergaul.
Mungkin kesulitannya yang paling nyata adalah saat aku tak berteman dan dia tidak mampu berpihak saat ada pertikaian di kelompok GSN.
Dengan bijak dia minta maaf tidak bisa dekat2 aku karena saat itu aku sudah di unit Bisnis dan tidak diunit Layanan lagi.
Aku maklum karena bagaimanapun dia hanya anak buah, tidak bisa jelas2 memihakku.
Seiring perjalanan waktu, aku dan Yanti memang tidak pernah lagi satu unit, walau masih tetap satu kantor, disela2 kesibukan, biasanya dipagi hari, kami masih suka sarapan pagi diwarung Didi, sang ahlinya membuat bakwan goreng.
Dalam usia mudanya, dia malah lebih banyak menasehatiku, orang yang jauh lebih tua dan berpengalaman dalam penderitaan.
Saat perceraianku yang kedua, saat kebimbanganku memeluk agama Islam, dia seperti orang tua menasehatiku.
Aku sangat memahami pepatah bijak “jangan lihat siapa yang mengucapkan nasehat, tapi lihatlah apa isi nasehat itu”.
Tetap saja lucu juga kalau dilihat, yang tua dinasehati yang muda.
Aku masih ingat saat dia dengan mendesah kesal lapor kepadaku “ bu, masak aku dirayu WPC”.
Hah?
Wakil Pemimpinku terkenal alim dengan wajah putihnya yang klimis bersih dari segala bulu, dia selalu sholat didalam ruangan karena tidak mau dekat2 pegawai wanita, sajadah dan Alquran menjadi hiasan kantornya.
“Dirayu gimana?” Kataku.
“Katanya, Yanti kamu kok sudah jam 4 masih cantik?” ujarnya sambil memberengut.
“Terus kamu jawab apa?”
“ Ya saya diam saja, terus buru2 keluar ruangan.”
Bagus, berkurang penghuni neraka pikirku dalam hati.
Bukan kali itu saja dia digoda dan dirayu, dari mulai pemimpin wilayah yang terkenal se Indonesia karena diam2 kabur tanpa serah terima, sampai tingkatan......asisten kampret.
Asisten kampret itu duduk bersebelahan dengan Yanti.
Dimana ada bunga pasti kumbang berkeliaran. Banyak yang datang ketempat Yanti duduk, ada yang pura2 tanya tentang layanan, atau hanya sekedar ngobrol.
Si asisten kampret yang kebetulan sudah tua, kurus kering lagi, ini kerap merasa cemburu dan sering mendiamkan Yanti kalau Yanti mengobrol dengan pegawai pria.
“Biarin aja Yan. Ada urusan apa sama dia. Memang kamu istrinya” aku ikut2an kesal juga.
Tapi memang dasar Yanti, walaupun didiamkan karena dicemburui, saat ditegur lagi dia sudah lupa.
Saat dipinjami uang, tetap saja dia memberi.
Pernah aku down saat pertama kali dengar ceritanya, ternyata Yanti kaya raya, anak pejabat kepolisian.
Waduh, sumprit banget, anak kemarin sore ternyata lebih hebat.
Setiap hari dia tetap saja hanya naik kereta berdempet2an, tak menampakan kekayaannya.
Saat ada yang memerlukan uang, dengan ringan dia kerap meminjamkannya.
Aku kerap memarahinya, karena aku lebih berpengalaman dari dia dalam soal dikibuli soal meminjamkan uang kepada sesama teman kantor.
Dalam soal kedermawanan, yang bisa menyaingi Yanti mungkin hanya Tati Muntoro.
Sudah banyak Tati dipinjami uang tanpa kembali, dikibuli berkali2 oleh pegawai lain dengan alasan untuk modal bla bla bla, herannya walau tahu akan dibohongi tetap saja dia mau memberi.
Kurasa bukan karena bodoh dia mau dibodohi, buktinya dia meraih nilai tertinggi saat test TOEIC dikantorku, menjadi notaris setelah keluar dari BNI dan mengambil S3 lagi.
Dia hanya terlalu baik untuk menolak permintaan bantuan.
Aku ingat sekali saat pertama dia masuk ruangan, kulihat dia terkesan galak dan judes, matanya bulat seolah2 memelototi lawan bicaranya, belum lagi suara cemprengnya terdengar keras banget diruangan, aku saat itu bahkan sempat mengeluh “ nih orang rame amat sih suaranya”.
Akhirnya dengan berlalunya waktu suaranya perlahan mulai turun nadanya, menjadi normal seperti pegawai yang lain, kukira karena dia melihat orang2 sekelilingnya tidak ada yang bersuara keras kecuali sang asisten kampret yang kebetulan kalau bersuara harus keras karena memang tuli, dia merasa malu.
Syukurlah.
Hanya matanya saja yang tetap bulat besar memelototi siapapun yang diajak bicara.
Saat sedang mgobrol dengannya aku suka pura2 komplain “ Kalau ngomong sama orang tua gak usah pakai marah2 gitu kenapa Tat? Gak usah melotot2 segala”
Aku ingat ada pelayan, Iwan Kuro namanya, saat kuminta meminjam charger HP ke Tati karena aku lupa bawa charger, langsung menolak mentah2.
“Bu mending ibu suruh saya ngapain kek, jangan ke bu Tati bu. Saya takut. Matanya melototin saya terus.”
Walau kubujuk berkali2 Iwan tetap saja menolak dengan mimik ketakutan.
Itu dulu, sebelum semua orang sadar bahwa Tati mudah dimintai bantuan dan ringan membantu.
Yah, dimana ada gula memang pasti disitu ada semut.
Sang asisten kampret yang kuceritakan tadi, beberapa saat sebelum aku mengambil Masa Persiapan Pensiun kerap meminjam uangku, dan kebetulan karena kupikir dia baik, aku tidak berkeberatan, karena dia memang selalu tepat waktu membayar tidak seperti yang lain.
Dulu dia memang asisten kesayanganku, sebelum dia berubah jadi aneh karena terpengaruh kecantikan yanti.
Saat bantuan dariku masih tidak cukup dan dia masih mengeluh kekurangan, aku berinisiatif bilang ke Tati “ Tat, zakat dan sedekahnya selama ini disalurkan kemana? Bisa gak dikasih ke sang asisten,” ujarku.
“Bisa bu. Mau berapa? Minta nomor rekening ibu deh, nanti siang saya transfer” kata Tati.
Waduh, aku kok jadi badan amil Zakat kupikir. Jangan2 dia pikir buat aku ya?
”Gak usah Tat, langsung kirim ke rekening sang asisten saja, nanti ibu mintain nomornya”.
Yanti dan Tati, sama2 berakhiran Ti, sama2 diberkati kekayaan, kecantikan dan kepandaian, sama2 mudah merogoh saku untuk membantu.
Yang beda hanya dalam penampilan.
Walau sama2 rapi berjilbab, menyelempangkan pashmina kekanan dan kekiri berputar2 beberapa kali memutari kepala sampai aku pusing melihatnya, mereka berbeda dengan cara yang unik.
Yanti sederhana.
Tati terkesan mewah, walau dia berusaha hanya tampil dengan kaos dan celana panjang biasa sekalipun, seolah2 didahinya sudah terpatri tulisan “mewah”.
Mungkin penilaianku bias, karena sejak awal melihat Yanti selalu sederhana, jadi walau dia pakai baju berlapis2 yang harganya mahal tetap saja dimataku dia masih tetap Yanti yang sederhana.
Sementara saat melihat Tati karena aku sudah tahu sejak awal bahwa dia anak ketua MA, aku sudah mencapnya mewah sedari awal.
Saat ini Yanti telah melampui pangkatku sejak dia mutasi ke Kantor Besar menjadi auditor.
Akhir2 ini saat aku mengurusi pensiunku, aku banyak dibantu olehnya, terutama soal hak2 ku yang rasanya harus bersusah payah kuperoleh, dari mulai SK Pensiun sampai DPLK, aku sangat terbantu olehnya.
Sebagai auditor dia mempunyai banyak kenalan yang bisa dimintai bantuan. Dia rajin bertanya padaku, apalagi yang belum beres, apalagi yang bisa dibantu.
Duh Tuhan, mahluk ini....
Syukurlah Tuhan, selalu ada yang membantuku, berulang2 aku mensyukuri nikmatNYA.
Inilah arti teman untukku, Yanti selalu ada disampingku saat aku kesulitan.
Dibelantara ganasnya dunia kerja, masih ada orang2 baik disekelilingku.
Kalau malaikat itu ada di Jakarta, pasti malaikat itu bernama Yanti atau Tati.
Eh kalau malaikatnya perempuan.
Dalam islam ada gak sih malaikat perempuan, kayaknya adanya bidadari ya?
Kekayaan hanya titipan, buat mereka.
Kecantikan itu hanya untuk suami, kata mereka.
Mudah2an keduanya akan selamanya bersikap seperti itu, tidak silau oleh harta atau cinta, walaupun si ganteng George Cloney mendekati dan merayu.
Cukuplah sudah yang dimiliki, malah lebih dari cukup menurutku.
Berbagi dengan sesama, membantu yang menderita, kuharap itu akan selalu dilakukan mereka, orang2 baik, malaikat tak bersayap, yang dengan bangga kuakui sebagai temanku.
Tetaplah jadi orang baik teman, doaku diam2 dalam hati.
Komentar
Posting Komentar